Pola dan Ukuran
Bercak Putih Pipi Gelatik (Padda oryzivora )

(THE PATTERN AND SIZE OF JAVA SPARROW
(PADDA ORYZIVORA ) WHITE CHEEK PATCH )

Sang Putu Kaler Surata
FPMIPA IKIP Saraswati Tabanan. E-mail: [email protected]

ABSTRAK
Pola dan ukuran bercak putih pada pipi burung gelatik (Padda oryzivora) jantan (16 ekor) dan betina (16 ekor) diamati untuk menentukan jenis kelamin burung tersebut. Pola bercak putih diamati menggunakan plastik bening yang ditempelkan di atas bercak putih, dan selanjutnya alur pinggiran bercak diikuti dengan spidol. Panjang (P) dan lebar (L) bercak masing-masing burung diukur dengan kaliper dan ditentukan ratio panjang tehadap lebar (P/L).
Pola bercak putih berbentuk trapezium tidak rata karena banyaknya lekukan dan tonjolan. Bercak putih terletak sejajar dengan paruh, bagian lebar pada bagian ventral leher dekat tenggorokan dan bagian ujung lancip pada dorsal leher sedikit di bawah tenggorokan. Tidak ada perbedaan pola bercak putih antara burung jantan dan betina. Panjang, lebar, dan P/L bercak pada gelatik jantan berkisar antara 1,30 cm sampai 2,85 cm; 0,9 cm sampai 1,75 cm; dan 1,16 cm sampai 2,81 cm; sedangkan pada burung betina 1,60 cm sampai 2,80 cm (P); 1,10 cm sampai 1,68 cm (L); dan P/L 1,19 cm sampai 2,14 cm. Uji-t menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan yang nyata pada panjang (Rataan 0,822 cm, P> 0,05), lebar (rataan 0, 286 cm, P> 0,05) dan P/L (rataan 0,235 cm, P> 0,05) antara burung jantan dan burung betina. Berdasarkan hasil ini, pola dan ukuran bercak putih tidak dapat digunakan untuk menentukan jenis kelamin burung gelatik.

Kata kunci: burung gelatik; morfometrik; bercak putih pipi

ABSTRACT
The pattern and size of Java sparrow white cheek pathch were observed in order to detect their capability in determining sexual dimorfism. The white cheek patch pattern was drawn carefully on a transparant adhesive tape which was placed on the patch first. The length (L), width (W) of white cheek patch was measured using a calliper and the ratio of length to the width (L/W) was further determined.
The white cheek patch had a trapezoidal from with crenulated edge. It is located paralel to the beak with its wide part situated ventrally adjacent to the throat and its ridge part dorsally below the throat. The pattern was closely similar between male and female birds. The male birds white cheek patch length, width and L/W was varied between 1.30 cm to 2.85 cm, 0.90 cm to 1.75 cm and 1.16 cm to 2.81 cm, respectively. Whereas in female birds 1.60 cm to 2,80 cm (length), 1.10 cm to 1.68 cm (width) and 1.19 cm to 2.14 cm (L/W), respectively. Statistically, there were no significant different between male and female birds with respect to their white cheek patch length (X = 0.822, P> 0.05), width (X = 0.286, P> 0.05) and L/W (X = 0.235, P>0.05), respectively. Based on these results, it is concluded that both pattern and size of white cheek patch is not appropriate for determining sexual dimorfism in the birds.

Key word : Java sparrow; morphometric; white cheek

PENDAHULUAN
Populasi gelatik di Pulau Jawa dan Bali menurun tajam dalam 20 tahun terakhir. Keadaan tersebut disebabkan oleh berbagai faktor seperti penangkapan dan perdagangan dalam jumlah besar-besaran baik untuk pasar domestik maupun internasional, penggunaan pupuk dan pestisida pada lahan pertanian, kalah bersaing dengan burung gereja (Passer montanus), perubahan pergiliran tanaman padi dan berbagai penurunan mutu serta perusakanekologi (Fuller et al., 1995; Van Balen, 1997; Surata, 2000).
Kepunahan mengancam gelatik jika penurunan populasi tetap dibiarkan. Oleh karena itu diperlukan berbagai upaya untuk melestarikan populasi gelatik. Program penangkaran secara ex situ (captive breeding) merupakan komponen penting dalam upaya konservasi. Program tersebut dapat menghasilkan individu baru untuk diintroduksikan kembali ke alam, memenuhi kebutuhan pasar, sebagai hewan cadangan dalam pembangunan populasi baru dan bisa digunakan untuk melindungi individu-individu spesies yang masih tertinggal akibat populasinya menurun sangat tajam (Millar et al., 1997).
Salah satu kesulitan dalam penangkaran gelatik adalah menentukan jenis kelamin. Gelatik termasuk burung monomorf karena burung jantan dan betina memiliki bentuk dan warna tubuh yang sama. Surata (2001) mengukur beberapa karakter morfometri gelatik, tetapi tidak berhasil meneguhkan dimorfisme seksual pada burung tersebut.
Akan tetapi upaya untuk mengmenentukan jenis kelamin gelatik harus terus dilakukan. Sebab hanya dengan mengetahui jenis kelamin secara akurat baru dapat
dibangun populasi dalam penangkaran dengan komposisi jenis kelamin berimbang. Hal itu berarti penentuan jenis kelamin merupakan faktor kunci bagi keberhasilan reproduksi burung dalam penangkaran. Dengan demikian penentuan bercak putih pada gelatik dalam upaya meneguhkan dimorfisme seksual perlu dilakukan.
MATERI DAN METODE
Pengamatan dan pengukuran morfometri dilakukan dengan menggunakan 32 spesimen gelatik yang terdiri atas 16 spesimen jantan dan 16 spesimen betina. Semua spesimen yang digunakan milik Balitbang Zoologi Puslitbang Biologi LIPI Cibinong.
Pola bercak putih diamati dengan menggunakan plastik bening yang ditempelkan di atas bercak putih, kemudian alur pinggiran bercak diikuti dengan memakai spidol. Sedangkan panjang dan lebar bercak putih diukur menggunakan kaliper dengan tingkat ketelitian 0,05 mm. Uji-t digunakan untuk mengetahui ada atau tidaknya perbedaan panjang, lebar dan rasio panjang terhadap lebar (P/L) antara bercak putih pada burung jantan dan betina.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pola bercak putih pada gelatik berbentuk trapesium tidak rata karena adanya banyak lekukan dan tonjolan (Gambar 1). Lebih dari separuh luas bercak putih berbentuk persegi empat panjang atau jajaran genjang. Sedangkan sisanya yaitu sekitar sepertiga berbentuk segitiga atau kerucut. Posisi bercak putih sejajar dengan paruh, bagian lebar terletak di sebelah ventral leher dekat tenggorokan dan ujung lancip terletak pada bagian dorsal leher, sedikit di bawah kepala. Tidak terdapat perbedaan pola bercak putih antara burung jantan dan betina. Dengan begitu berdasarkan bercak putih jenis kelamin gelatik tidak dapat dibedakan.

Gambar 1. Beberapa Pola Bercak Putih pada Gelatik Betina (A); dan Gelatik Jantan (B)

Panjang bercak putih gelatik jantan berkisar antara 1,30 - 2,85 cm; lebar 0,90 - 1,75 cm; dan P/L 1,16 - 2,81cm. Sedangkan ukuran bercak putih pada betina berturut-turut: panjang 1,60 - 2,80 cm; lebar 1,10 - 1,68 cm; dan P/L 1,19 - 2,14 cm. Nilai standar deviasi dari P/L bercak putih pada gelatik jantan sekitar dua kali lebih besar dibanding nilai serupa pada gelatik betina (Tabel 1). Hal tersebut disebabkan kisaran panjang dan lebar bercak putih pada jantan lebih lebar dibanding gelatik betina. Oleh karena itu, walaupun rataan P/L bercak putih pada jantan lebih besar, tidak selalu berarti rasio antara panjang dan lebar bercak putih pada burung jantan lebih besar dibanding burung betina (Gambar 2).

Tabel 1. Rataan Panjang, Lebar, dan Rasio P/L Bercak Putih pada Gelatik (Padda oryzivora )

Bercak putih Jantan (n=16) Betina (n=16)
Panjang (cm) 2,281 ± 0,427 2,292 ± 0,342
Lebar (cm) 1,273 ± 0′302 1,372 ± 0,273
P/L 1,887 ± 0,568 1,693 ± 0,251

Uji-t untuk mengetahui perbedaan bercak putih antara gelatik jantan dan betina memperoleh hasil panjang 0,822 cm (P>0,05); lebar 0,286 cm (P>0,05) dan P/L 0,235 cm (P>0,05). Hal tersebut menunjukkan bahwa ukuran bercak putih antara gelatik jantan dan betina berbeda tidak nyata. Dengan begitu panjang, lebar dan P/L bercak putih tidak dapat digunakan untuk membedakan gelatik jantan dan betina.

Gambar 2. Perbandingan Rasio P/L antara Gelatik (Padda oryzivora) Jantan dan Betina.

Pada Gambar 2 terlihat, sampai nilai 1,7 masih terjadi tumpang tindih antara jantan dan betina. Akan tetapi di atas 2,0 rasio P/L pada jantan cenderung lebih tinggi dibanding betina. Nilai P/L 2,500 hanya terdapat pada burung jantan, sedangkan nilai P/L maksimum pada betina adalah 2,114.
Jika nilai P/L lebih besar dari 2,5 besar kemungkinan burung tersebut berjenis kelamin jantan. Akan tetapi kalau nilai P/L lebih kecil 2,5 maka sangat sulit dibedakan antara burung jantan dan betina. Kelemahan lain dalam penggunaan pola dan ukuran bercak putih sebagai indikator jenis kelamin disebabkan bercak putih gelatik terbentuk secara perlahan-lahan bersamaan dengan perkembangan tubuh burung (MacKinnon, 1991). Dengan begitu tidak tertutup kemungkinan perbedaan pola dan ukuran bercak putih lebih berhubungan dengan usia dibanding jenis kelamin. Selain itu, jumlah sampel yang relatif kecil kemungkinan juga menjadi kelemahan dalam pengamatan ini. Observasi bercak putih terhadap jumlah sampel yang lebih besar dan terdiri atas berbagai usia diharapkan dapat memperlihatkan perkembangan pola bercak putih pada gelatik.
Beberapa karakter morfometri lain masih perlu dikaji dalam upaya mencari faktor pembeda jenis kelamin yang mudah dan murah sehingga memungkinkan dilakukan oleh penangkar-penangkar kecil. Ada kemungkinan intensitas warna paruh dapat dijadikan sebagai faktor pembeda jenis kelamin. Islam (1997) menyebutkan banyak individu gelatik betina kemungkinan dapat dibedakan dari burung jantan karena memiliki warna paruh yang lebih pucat. Sedangkan Price dan Birch (1996) menggunakan tingkat kecerahan warna bulu dalam mengkaji dimorfisme seksual pada burung-burung paserin. Disamping itu rasio antara panjang dan lebar paruh atas juga diperkirakan berpotensi sebagai faktor pembeda jenis kelamin gelatik. Nurjito, (pers comm.) menduga ukuran paruh atas gelatik jantan lebih besar dibanding gelatik betina.
Jika upaya pembedaan jenis kelamin dengan menggunakan karakter morfologi tidak berhasil maka salah satu cara efektif untuk mengenali jenis kelamin gelatik adalah dengan cara molecular sexing, yakni menentukan jenis kelamin burung berdasarkan analisis DNA. Banyak spesies burung telah ditentukan dengan molecular sexing seperti famili burung-burung paruh bengkok (Psittacidae) asal Amerika Selatan (Miyaki et al., 1997). Metode tersebut memiliki banyak keunggulan, misalnya seperti tidak mengancam keselamatan sampel, tidak tergantung pada usia dan memberikan hasil yang akurat (Millar et al., 1997). Kelemahannya, di samping mahal molekular sexing hanya bisa dikerjakan di laboratorium, dan belum banyak laboratorium di Indonesia yang bisa mengerjakan hal tersebut.

UCAPAN TERIMA KASIH
Ucapan terima kasih disampaikan kepada Balitbang Zoologi Puslitbang Biologi-LIPI Cibinong atas ijin yang diberikan untuk penggunaan spesimen sebagai sampel. Bapak Asep S. Adhikerana, Bapak Noerdjito, Bapak Darjono, Bapak Wahyu Widodo, dan Ibu Sudaryanti telah banyak memberikan kontribusi sehingga tulisan ini dapat disusun. Kepada mereka penulis mengucapkan terima kasih.

DAFTAR PUSTAKA

Fuller, R.J., R.D. Gregory, D.W. Gibbon, J.H. Marchant, J.D. Wilson, S.R. Baillie, and N. Carter. 1995. Population decline and range contractions among lowland birds in Britain. Conservation Biology, 9:1425-1441.
Islam, K. 1997. Java Sparrow. Padda oryzivora. The Birds of North America, No 304.
MacKinnon, J. 1991. Pengenalan lapangan burung-burung di Jawa dan Bali (terjemahan). Gadjah Mada Univ. Press, Yogyakarta
Millar, C. D., C. E. M. Reed, J.L. Halverson and D. M. Lambert. 1997. Captive management and molecular sexing of endangered avian species: an application to the Black Stilt Himantopus novaezelandidae and Hybrids. Biol. Conserv.,82:81-86
Miyaki, C.Y., J.M.B. Duarte, R. Capparoz, A. L. V. Nunes & A. Wajntal. 1997. Sex identification of South American Parrots (Psittacidae, Aves) using the human minisatellite Probe 33.15. The Auk, 114:516-520.
Price, T., and G. L. Birch. 1996. Repeated evolution of sexual color dimorphism in passerine birds. Auk, 113:842-848.
Surata, S.P.K. 2000. Filogeografi intraspecies gelatik (Padda oryzivora (L.))(Passeriformes: Ploceidae) asal Pulau Bali. Disertasi Doktor Institute Pertanian Bogor.
Surata, S.P.K. 2001. The sexual morphometric dimorphism in the Java Sparrow (Padda oryzivora L.). Biota, VI:81-84
Van Balen. 1997. Java Sparrow. Padda oryzivora. PHPA/BirdLife International-Indonesia Programme. Threathened Species Assessment Series No. 2.