Wed 6 Apr 2005
PROTEIN A: II. Penggunaan dalam Diagnostik Laboratorium
(PROTEIN A: II. USING IN LABORATORIUM DIAGNOSTIC)
I Nyoman Suarsana
Lab. Biokimia, Fakultas Kedokteran Hewan
Universitas Udayana
ABSTRAK
Protein A adalah protein permukaan yang secara normal merupakan kandungan dari dinding sel bakteri Staphylococcus aureus dan berikatan secara kovalen dengan bagian struktur peptidoglikan dinding sel dari staphylococcus koagulase positif. Kira-kira 98% isolat Staphylococcus baik yang koagulase positif maupun negatif menghasilkan protien ini. Untuk mengetahui keberadaan cell-boud dan ektraseluler protein A dari isolat yang diuji dapat dilakukan masing-masing dengan uji: tes immunofluorescen, tes slide hemaglutinasi, tes immunodifusi, tes mikroplate hemaglutinasi dan tes serum agar plate, tes mikroplate hemaglutinasi. Protein A mempunyai kemampuan untuk mengikat bagian Fc dari imunuglobulin pada berbagai spesies mamalia dan oleh karena sifat-sifat ini secara luas digunakan dalam teknik imunologi dan juga karena reaktivitasnya telah digunakan sebagai bahan diagnostik yang secara luas sangat berguna dalam teknik laboratoium. Dalam kepentingan diagnostik, protein A telah diaplikasikan secara luas dalam assay imunokimia, tes koaglutinasi, radioimuno presipitation (RIPA), sandwich Elisa, afinitas kromatografi dan imunopresiptasi serta sebagai konjugat dalam Western Blotting.
Key words: Protein A, Teknik imunologis, reagen diagnostik laboratorium.
ABSTRACT
Protein A is a surface protein that is a normal constituent of the cell wall of Staphylococcus aureus and it’s covalently linked to the peptidoglycan structure of the cell wall of many strains of coagulase positive staphylococci. Approximatly 98% of all Staphylococcus isolates both coagulase positive and negative contain this protein. Detection of cell-bound and extracellular protein A of the isolate was examinated by the following test: immunofluorescence test; slide hemagglutination test; immunodiffusion test; microplate hemagglutination and serum agar plate test; microplate hemagglutination test, respectively. Protein A has the ability to bind to the Fc portion of immunoglobulin a variety of mammalian species and, because of this property, is useful in a variety of immunological tecniques and this reactivity of protein A has made a valuable reagent that has been utilized succesfully in a wide variety of laboratory tecniques. In diagnostic importance, protein A has been used in a wide variety of application in immunochemical assay, coaglutination test, radioimmuno presipitation (RIPA), sandwich Elisa, cromatography affinity and imunopresipitation, and as konjugat in Western Blotting
Kata-kata kunci: Protein A, immunological tecniques, reagen diagnostic laboratorium
PENDAHULUAN
Peran antigen protein dan komponen protein permukaan sel bakteri memiliki banyak fungsi. Selain sebagai faktor virulen, protein permukaan mempunyai peluang untuk dimanfaatkan dalam bidang diagnostik. Salah satu kelompok protein permukaan yang dapat mengikat bagian Fc dari imunoglobulin (Fc binding proteins) adalah protein A.
Kelompok protein A dihasilkan oleh Stapylococcus aureus strain Cowan I (Takeuchi et al., 1995). Selain itu, mayoritas S. aureus koagulase positif 98% dapat menghasilkan protein A (Forsgren, 1970; Harlow and Lane, 1988; Carlton and Charles, 1993).
Keberadaan protein A dapat didemontrasikan dengan uji Slide menggunakan antibodi eritrosit. Kultur S. aureus direaksikan diatas gelas objek dengan suspensi eritrosit. Slide digoyang-goyang dan aglutinasi terjadi bila S.aureus mengandung protein A.
Kemampuan protein A dalam berikatan dengan bagian Fc dari imunoglobulin G pada berbagai spesies mamalia kecuali imunoglobulin ayam (Harlow dan Lane, 1988), memberikan peluang untuk diaplikasikan secara luas dalam uji-uji imunologis dan pengembangan reagen untuk keperluan diagnostik laboratorium
Tulisan ini bertujuan untuk memberikan gambaran fungsi lain dari protein A selain sebagai faktor virulen yaitu kegunaan sebagai pembuatan reagen penting dalam imunologis dan diagnostik laboratorium. Dalam tulisan ini akan dibahas mengenai sifat biokimiawi protein A, sumber dari protein A, penentuan keberadaan protein A untuk tujuan isolasi dan pemanfaatan protein A dalam diagnostik laboratorium.
SIFAT BIOKIMIAWI PROTEIN A
Protein A adalah protein yang terdapat pada permukaan sel bakteri S. aureus (Cowan I), merupakan rantai polipeptida dengan bobot molekul 56 kDa ( Bjork et al., 1972) dan berikatan secara kovalen pada bagian struktur peptidoglikan dinding sel S. aureus (Cox et al., 1986; Takeuchi et al., 1995). Berat molekul protein A selain strain Cowan I dilaporkan berkisar 45-57 kDa (Cheung et al., 1987)
Menurut Uhlen et al (1984), hasil analisis asam-asam amino dari protein A memperlihatkan 2 fungsi yang berbeda pada bagian molekulnya. Bagian amino terminal mengandung 4-5 unit-unit yang homolog yang berfungsi untuk mengikat bagian rantai berat (Fc) dari imunoglobulin, masing-masing terdiri dari kurang lebih 58 asam amino dan bagian karboksil terminal yang berikatan dengan dinding sel bakteri S.aureus terdiri dari beberapa ulangan oktapeptida (8 asam amino) yaitu Glu-Asp-Gly-Asn-Lys-Pro-Gly-Lys.
Masih menurut Uhlen, komposisi asam amino protein A disusun oleh 16 macam asam amino yaitu lisin, histidin, arginin, asam aspartat, thrEonin, serin, asam glutamat, prolin, glisin, alanin, valin, methionin, isoleusin, leusin, tirosin dan phenilalanin.
Prasad et al. (1988), melaporkan adanya korelasi yang sangat kuat antara produksi protein A S. aureus dengan karakteristik biokimiawi seperti koagulase, nuklease termostabil, DNase, produksi fosfatase, aktivitas hemolitik dan reduksi nitrat.
Reaksi antara protin A dengan Fc Ig dikenal dengan reaksi pseudoimun, dikatakan demikian karena pada pengujian agar gel diffusion, hasil reaksi antara protein A dan rantai H dari Fc Ig memperlihatkan endapan (Forsgren dan Sjoquist, 1966).
Demikian juga dengan Kronvall et al (1970) memperlihatkan reaksi antara protein A dengan bagian Fc IgG1, IgG2 dan IgG4 pada manusia bersifat nonspesifik (pseudoimun). Hal yang sama juga diperlihatkan oleh Gustafson et al. (1968), yang mana protein A berikatan dengan IgG1 dan IgG2 marmot tanpa mengganggu aktivitas Fab-nya.
Hal yang sama juga dijumpai pada antibodi kelinci, nampaknya Fc dari antibodi merupakan bagian konstan yang praktis hampir sama untuk setiap hewan dan manusia, dimana bagian Fc dan adanya rantai C menyebabkan terjadinya ikatan (diperlihatkan dengan adanya presipitasi) dengan protein A (Forsgren dan Sjoquist, 1967), kecuali dengan bagian Fc dari Ig ayam (Harlow dan Lane (1988). Hal ini menandakan bahwa protein A bersifat aglutinogenik terhadap serum yang berasal dari hewan serta manusia dan menunjukkan suatu peristiwa telah terjadi dengan komponen serum tersebut tanpa memperdulikan ada atau tidaknya antibodi spesifik terhadap protein ini.
Mekanisme mengapa protein A tidak berikatan dengan bagian Fc dari Ig ayam belum jelas, tetapi mungkin disebabkan karena urutan asam-asam amino pada rantai C dari Fc yang terdapat pada bagian Ig ayam berbeda dengan yang terdapat pada hewan mamalia dan manusia. Adanya perbedaan urutan asam-asam amino pada rantai C dari Fc Ig berkorelasi dengan perbedaan dalam struktur utama rantai C (Kronvall dan William, 1969). Hal menarik yang dapat diambil dari peristiwa ini adalah bahwa dengan tidak terikatnya Ig ayam oleh protein A, maka penomena ini dapat dijadikan sebagai kontrol negatif.
SUMBER PROTEIN A
Selama ini, sumber protein A diperoleh dari S. aureus strain Cowan I asal manusia sebagai kontrol positif (menghasilkan protein A), sedangkan S. aureus strain Wood 46 digunakan sebagai kontrol negatif (tidak menghasilkan protein A) (Takeuchi et al., 1990). Sementara itu, sumber lain pada isolat S. aureus koagulase positif asal hewan juga telah dilaporkan menghasilkan protein A.
Hampir 98% genus Staphylococcus yang bersifat koagulase positif menghasilkan protein A (Forsgren 1970; Harlow dan Lane, 1988; Carlton dan Charles, 1993) antara lain isolat S. aureus asal sapi dan kambing yang terkena mastitis (Jarp, 1990), isolat S. aureus asal babi (Takeuchi et al, 1995). Selain itu staphylococcus koagulase negatif juga dilaporkan menghasilkan protein ini. Staphylococcus ini ditemukan antara lain pada isolat S. intermedius asal anjing dan kucing (Cox et al, 1986), isolat S. hyicus subsp. hyicus asal babi, ayam dan sapi (Takeuchi et al, 1987).
Takeuchi et al.(1990) melaporkan, S. hyicus subsp hyicus yang diisolasi dari babi sehat menghasilkan rata-rata 200 ng cell-bound protein A per ml, sedangkan bakteri yang sama yang diisolasi dari babi sakit (exudative epidermitis) menghasilkan sekitar 1000 ng cell-bound protein A per ml. Sementara itu, S. aureus Cowan I menghasilkan lebih dari 1200 ng cell-bound protein A per ml.
Hal yang sangat menarik dan pelu untuk diteliti kebenarannya adalah kemampuan bakteri Eschericia coli yang juga dilaporkan dapat menghasilkan protein A, jika bakteri ini ditumbuhkan dalam media laktosa sebagai satu-satunya sumber karbon. Menurut Lehninger (1994), jika E. coli ditempatkan di dalam medium kultur yang berisi laktosa sebagai satu-satunya sumber energi dan karbon (dalam kadaan normal E. coli tidak menggunakan laktosa melainkan glukosa), maka dalam waktu 1-2 menit bakteri ini akan mensistesis b-laktosidase, b-galaktosida permease dan protein A. Apabila medium diganti dengan glukosa, maka ketiga protein diatas tidak terbentuk.
UJI KEBERADAAN PROTEIN A UNTUK TUJUAN ISOLASI
Untuk mengetahui keberadaan protein A yang dihasilkan oleh bakteri, baik dalam bentuk cell-bound ataupun ekstraseluler protein A dapat ditentukan dengan uji yang telah dikembangkan oleh (Kronvall et al, 1971; Sjoquist et al, 1972; Winblad dan Ericson, 1973; Masuda et al., 1975 dan Takeuchi et al., 1987).
Meskipun protein A terikat secara kovalen dengan dinding sel staphylococcus, telah pula dilaporkan bahwa protein A dapat berupa sekresi ekstraseluler dan konsentrasinya tergantung pada strain Staphylococcus (Cox et al, 1986; Takeuchi et al, 1987; Takeuchi et al, 1995). Bahkan Cox et al. (1986) melaporkan hampir 96% protein A ekstraseluler dapat diperoleh dari supernatan dengan cara absorpsi oleh gel agarose yang mengandung IgG.
Untuk mengetahui keberadaan cell-bound protein A dari isolat yang akan diuji dapat ditentukan dengan tes sebagai berikut:
1. Immunofluorescence Test ( menurut Takeuchi et al., 1987)
Metode ini dilakukan dengan cara membuat preparat ulas bakteri diatas gelas ogjek (slide) kemudian difiksasi dengan cara melewatkan diatas api bunsen. Setelah fiksasi, ditetesi satu tetes Ig kelinci yang dikonjugasikan dengan FITC dan diinkubasi 37oC selama 30 menit. Selanjutnya dicuci dengan Buffer fosfatase saline (PBS) 0,01 M pH 7,2. Slide dilapisi dengan buffer gliserol dan ditutup dengan cover glas. Slide diamati dengan mikroskop fluorescen menggunakan saringan B.
2. Slide Hemagglutination Test. (menurut Winblad dan Ericson, 1973)
Satu koloni bakteri dibuat emulsi dengan satu tetes PBS diatas objek gelas. Emulsi sel bakteri ini disensitisasi dengan menambahkan satu tetes 3% suspensi eritrosit domba dan campur dengan cara digoyang-goyang. Dosis setengah minimum hemaglutinasi dari antiserum kelinci yang memiliki titer hemaglutinasi 1:3000, digunakan sebagai dosis sensitisasi. Slide digoyang-goyang dan diamati selama 4-5 menit. Aglutinasi terjadi bila bakteri memiliki protein A.
3. Immunodiffusion Test. (menurut Sjoquist et al, 1972).
Tes imunodifusi dilakukan dalam PBS yang mengandung agar 1% diatas objek gelas (slide) dengan menggunakan IgG manusia. Sel bakteri yang telah dicerna dengan lysostapin disentrifugasi guna memperoleh supernatan. Supernatan ini dan IgG dimasukkan kedalam masing-masing sumur yang telah dibuat di dalam plate agar. Setelah diinkubasi 2 hari, slide diuji terhadap adanya garis presipitasi yang dibentuk oleh ikatan protein A dalam supernatan dengan IgG manusia.
4. Microplate Hemagglutination Test. (menurut Kronvall et al, 1971)
Supernatan (25 ml) dari suspensi bakteri yang telah dicerna dengan lysostapin dibuat secara seri dilarutkan 2 kali (2, 4, 8, 16, 32, 64, dst) dengan PBS yang mengandung 0,1% bovine serum albumin (Sigma) dalam plate mikrotiter. Dengan volume yang sama disensitisasi dengan 1% suspensi eritrosit domba dan dimasukkan ke dalam masing-masing sumur plate. Selanjutnya plate digoyang-goyang dan diinkubasi 37oC selama 2 jam. Plate diamati terhadap adanya aglutinasi. Titer hemaglutinasi dinyatakan sebagai berbanding terbalik dengan larutan tertinggi yang dapat menyebabkan aglutinasi pada eritrosit domba.
Untuk mengetahui keberadaan ekstraseluler protein A dari isolat yang akan diuji dapat ditentukan dengan tes sebagai berikut:
1. Serum Agar Plate Test. ( Masuda et al.,1975)
Pengecualian serum normal babi telah digunakan sebagai pengganti antiprotein A serum kelinci. Satu loop bakteri diinokulasikan kedalam plate agar yang mengandung 1% serum normal babi. Setelah diinkubasi 37oC selama 24 jam, plate dipindahkan ke dalam refrigerator selama 48 jam. Kemudian di dalam plate diamati adanya zone atau lingkaran keruh disekitar koloni bakteri, yang dibentuk oleh ikatan protein A ekstraseluler dengan IgG babi.
2. Microplate Hemagglutination Test. (menurut Kronvall et al, 1971)
Metode ini sama dengan yang telah dijelaskan diatas. Hanya saja untuk mendeteksi ekstraseluelr protein A digunakan supernatan dari isolat yang akan diuji.
Untuk tujuan isolasi dan pemurnian protein A dapat dilakukan dengan berbagai cara yang tersedia, meskipun prosesnya berbeda, namun pada prinsipnya mengikuti pola purifikasi protein yaitu: metode presipitasi dengan garam amonium sulfat, dilanjutkan dengan pemurnian berdasarkan perbedaan berat molekul ( menggunakan kolom kromatografi, ultrafiltrasi, sentrifugasi berjenjang), berdasarkan perbedaan muatan (menggunakan ion-exchange cromatography, elektroforesis dan isoelectric focusing ) atau dengan afinitas kromatografi sampai dengan sekuensing asam amino.
PEMANFAATAN PROTEIN A DALAM DIAGNOSTIK
Protein A mempunyai kemampuan untuk mengikat bagian Fc dari imunuglobulin pada berbagai spesies mamalia dan karena reaktivitasnya itu, protein A telah digunakan sebagai pembuatan reagen diagnostik yang secara luas sangat berguna dalam teknik laboratoium dan imunologis.
Sebagai reagen penting dalam teknik diagnostik, protein A telah digunakan dalam tes koaglutinasi, radioimuno presipitasi, sandwich Elisa, dan teknik kromatografi afinitas. Sedangkan untuk kepentingan imunologis, protein A juga diaplikasikan untuk purifikasi Imunoglobulin, sebagi konyugat dan sebagai koaglutinator.
Beberapa peneliti telah mengaplikasikan kegunaan protein A tersebut, diantaranya Wibawan dan Pasaribu (1993) yang menggunakan protein A sebagai koaglutinator dalam tes koaglutinasi untuk penentuan grup Streptococcus sp. Tes koaglutinasi dengan menggunakan protein A merupakan metode yang sangat mudah untuk dilakukan, cepat (karena waktu uji hanya berlangsung 30 detik), hasil yang akurat serta murah. Uji ini berlandaskan pada kemampuan protein A berikatan dengan Fc-reseptor suatu antibodi.
Montassier et al. (1994) memakai protein A untuk pengembangan tes koaglutinasi dalam deteksi dan penentuan tipe virus penyakit mulut dan kuku serotipe O, A dan C.
Reddy et al. (1993) mengaplikasikan protein A dalam meningkatkan sensitifitas radioimuno presipitasi (RIPA) dalam mendiagnosa protein imunogenik avian reovirus.
Kegunaan imunologis protein A berkaitan dengan pemurnian imunoglobulin berdasarkan teknik kromatografi afinitas dan imunopresipitasi (Wals dan Headon, 1994). Selain itu, protein A digunakan sebagai konyugat dalam teknik Western Blotting dan berperan sebagai koaglutinator reaksi serologis seperti penentuan streptokokus menurut Lancefield.
Uji sandwich ELISA dengan staphylococcus-protein A dan virus-staphylococcal coaglutination test telah digunakan untuk mendeteksi produksi glukoamilase mycovirus yang menyerang Aspergillus niger (Liu dan Liang, 1988).
Berdasarkan teknik afinitas kromatografi, telah dilakukan pemurnian imunuglobulin pada hewan antara lain pemurnian IgGa-c dan IgG(T) asal kuda (Sheoran dan Holmes, 1996); dan pemurnian IgG1 dan IgG2 asal serum dan kolostrum kerbau (Kakker dan Goel, 1993) menggunakan protein A.
Protein A sebagai konjugat telah banyak dikomersialkan dan digunakan seperti konjugat protein A berlabel emas, horseradish-peroksidase, alkalis fosfatase (Biorad® ), Biotin, Ferritin, Peroksidase dan Fluoresceninisothiocyanate (FITC) (Sigma®).
Menurut Harlow dan Lane (1988), protein A telah diplikasikan secara luas untuk uji imunokimiawi. Protein ini dilabel dengan radioaktif, enzim atau fluorescen dan dibuat reagen untuk mendeteksi antibodi yang mempunyai afinitas tinggi terhadap protein A.
DAFTAR PUSTAKA
Bjork, I., Peterson, and J. Sjoquist. 1972. Some Physio-chemical Properties of Protein A from Staphylococcus aureus. J. Biochem. 29:579-584
Cheung, A.L., A.S. Bayer, J. Peters and J.I. Ward. 1987. Analysis by Gel Electrophoresis, Western Bloot and Peptide Mapping of Protein A a Heterogeneity in Staphylococcus aureus strains. Infect. and Immun. 55(4):843-847.
Cox, H.U., N. Schemer and S.S. Newman. 1986. Protein A in Staphylococcus intermedius isolates form Dogs and cats. J. Vet. Res. 47(9):1881-1884.
Carlton, L.G. and O.T. Charles. 1993. Pathogenesis of Bacterial Infections in Animals. 2ed. Iowa State University Press. Pp.21-28.
Forsgren, A., and J. Sjoquist. 1966. Protein A from Staphylococcus aureus: I. Pseudo-immun Reaction with Human g-Globulin. J. of Immunol. 97(6):822-827.
Forsgren, A., and J. Sjoquist. 1967. Protein A from Staphylococcus aureus: III.Reaction with Rabbit g-Globulin. The J.of Immun. 99(1):19-24
Forsgren, A. 1970. Significance of Protein A Production by Staphylococci. Infection and Immunity. 2(5):672-673.
Gustafson, G.T., G. Stafenhein, A. Forsgren, and J. Sjoquist. 1968. Protein A from Staphylococcus aureus. IV.Production of Anaphylaxis-like Cutaneous and Systemic Reaction in Non-Immunized Quinea pig. J.of Immun. 100(3):530-534.
Harlow, E and D. lane. 1988, Antibodies: A Laboratory Manual. Cold Spring Harbor Laboratory, New York. Pp.616-619
Jarp, J. 1990. Staphylococci from Mastitis in Ruminants:Virulence Properties and Classification of Species. Dissertation Abstracts International. Worldwide. 51(2):209
Kakker, N.K., and M.C. Goel. 1993. Purification and Charactrization of IgG1 and IgG2 from Buffalo (Bubalus bubalis) Serum and Colustrum. Vet. Immun. and Immunopathology. 37(1):61-71.
Kronvall, G., and R.C. Williams. 1969. Differences in Anti-Protein A Activity Among IgG Subgroups. J.of Immun. 103(4):828-833
Kronvall, G., H.M. Grey and R.C. Williams. 1970. Protein A Reactivity with Mouse immunoglobulines. J. of Immun. 105(5):1116-1123.
Kronvall, G., O. Holmberg, and T. Ripa. 1972. Protein A in Staphylococcus aureus Strains of Human and Bovine Origin. Acta. pathol. Microbiol Scand. 80:735-742.
Lehninger. 1994. Dasar-Dasar Biokimia (terjemahan Meggy tenawijaya). Jilid 3. Penerbit Erlangga Jakarta.
Liu, H.D., and P.Y. Liang. 1988. Detection of Mycovirus by Staphylococcus Protein A Sandwich Elisa and Virus-Staphylococcal co-Aglutination Test. Chinese J. of Virology. 4(2):157-161.
Masuda, S., S. Sakurai, and I. konodo. 1975. Simple and Effective Method for Selecting Protein A-Deficient Mutans by Cosedimentation with Sensitized Sheep Erytrocytes. Infect. Immun. 12:245-251.
Montasier, H.J., J.P. Araujo, and A.A. Pinto. 1994. Rapid Coaglutination Test for Detection and Typing of Foot and Mouth Disease Virus. J. of Virological Methods. 50(1-3):29-42
Prasad, J., M.P. Kapur, and A. Sharma. 1988. Studies on protein A Production and Other Biochemical Characteristics of Staphylococcus aureus of Human and non Human Origin. Indian Vet. J. 65(9):761-767.
Reddy, S.K., D. Sy, and A. Silim. 1993. Radionimmunoprecipitation of Avian Reovirus Polypeptides Using Virus Specific IgM and IgG Murine Monoclonal and Chicken Polyclonal Antibodies. J. of virol. Method. 42(1):13-22
Sheoran, A.S., and M.A. Holmes. 1996. Separation of Equi IgG Subclasses (IgGa, IgGb, and IgG(T) Using Their Diffrential Binding Characteristic for Staphylococcal Protein A and Sterptococcal Protein G. Vet. Immun. and Immunopathology. 55:33-43.
Sjoquist, J., B. Meloun, H. Hjelm. 1972. Protein A Isolated from Staphylococcus aureus After Digestion with Lysostaphin. Eur. J. Biochem. 29:572-578
Takeuchi, S., Y. Kobayashi, T. Morizumi and Y. Mori. 1988. Protein A in Staphylcoccus hyicus subsp. hyicus by ELISA and Immunoelectron Microscopy. Vet. Microbiol. 25:297-302.
Takeuchi, S., Y. Kobayashi, and Y. Mori. 1990. Assay of Protein A in Staphylococcus hyicus subsp. hyicus by ELISA and Immunoelectron Microscopy. Vet. Microbiol. 25:297-302
Takeuchi, S., K. Matuda and K. Sasano. 1995. Protein A in Staphylococcus aureus Isolates from Pigs. J. Vet, Med. Sci. 57(3):581-582.
Uhlen, M., B. Guss, B. Nilsson, S. Gatenbeck, L. Philipson and M. Lindberg. 1984. Complete Sequence of the Staphylococcal Gene Encoding Protein A. J. Biol. Chem,. 259(3):1695-1702.
Wals, G., and D.R. Headon. 1994. Protein Biotecnology. Jhon Willey and Sons. New York.
Wibawan, I.W.T. dan F.H. Pasaribu. 1993. Peluang Pengembangan Tes Koagulasi untuk Deteksi Serotipe Streptococcus agalactiae. Agrotek. 1(2):43-47.
Winblad, S., and C. Ericson. 1973. Sensitized Sheep Red Cells as a Reactant for Staphylococcus aureus Protein A. Acta Pathol. Microbiol. Scand. 81:150-156.
June 4th, 2005 at 9:02 pm
saya tertarik membaca tulisan bapak, saya adalah mahasiswa kimia minat biokimia semester VI Unpad, klo boleh minta tolong pada bapak gimana cara analisis data pemurnian proteinnya? so gimana cara menentukan aktifitas spesifik setiap fraksi dari protein ? klo bisa ada contoh perhitungannya dan bagaimana membuat flot grafiknya, trimakasih banyak atas penjelasannya.
August 29th, 2005 at 9:17 am
Terimaksih atas perhatiannya terhadap tulisan saya tentang protein A. Tulisan saya tentang protein A adalah hasil review beberapa artikel yang kebetulan saya banyak punya jurnalnya. Saya tidak meneliti protein A, saya sarankan untuk menghubungi Dr. drh Titiek Djanatun, MS, beliau yang meneliti khusus protein A (disertasi Pasca IPB)Beliau adalah dosen FK Iyarsi Jakarta, Bagian Mikrobiologi.
March 15th, 2006 at 7:05 pm
saya sangant tertari membaca jurnal tentang kada protein dalam darah, saya ingin tau apa udah adal penelitian tentang gambaran darah (eritrosit, leukosit, trombosit) pada kerbau? mohon dibalas. makasih
August 30th, 2006 at 7:53 pm
saya tertarik dengan tulisan bapak saya mahasiswa semester 9.lagi cari judul, minta tolong pada bapak gimana cara penentuan anti serum dengan cara spadex.dan dimana saya dapat mendapatkan bahan untuk spadex sepertibakto agar,spadex G-200,coomasie brilliant blue R-250.makasi sebelumnya