Mengebiri Kuda Posisi Berdiri
dengan Metode Terbuka

(THE CASTRATION OF STANDING HORSES
BY OPEN METHOD)

LUH PUTU LISTRIANI WISTAWAN 1,2, NI NYOMAN SUTIATI 2,
I GUSTI AGUNG GEDE PUTRA PEMAYUN3, I WAYAN BATAN 4

1. Ketua Ikatan Dokter Hewan Praktek Bali. Sekretariat, Jl. Angsoka Denpasar.
2. Yayasan Yudistira Swarga, Jl. Tukad Balian No 74 Denpasar
3. Laboratorium Bedah Veteriner,
4. Laboratorium Diagnosis Klinik Veteriner, Fakultas Kedokteran Hewan,
Universitas Udayana, Jl. PB Sudirman Denpasar. 80232.

ABSTRAK
Enam ekor kuda terdiri dari dua kuda Thoroughbred, dua kuda peranakan Thoroughbred-Sumba dan dua kuda Sumba dikebiri dalam posisi berdiri dengan metode terbuka. Kuda-kuda itu telah dewasa kelamin, sehat, dan dikebiri agar menjadi lebih jinak.
Kuda itu direstrain dalam kandang jepit dan diberi penenang xylazin 0,75 sampai 1,12 mg/kg bb i.v. Guna membius skrotum dan testis secara local diberikan lidocaine 2% sebanyak 20 sampai 40 ml. Dalam pengebirian ini sayatan dibuat memanjang dari kutub cranial ke kutub kaudal testis sejajar dengan raphe skroti. Tunika vaginalis dari testis yang telah terpisah dari fascia skrotalis disayat di atas kutub kranialnya guna mencapai korda spermatika. Duktus deferen dari korda spermatika dipisahkan, dari arteri dan vena spermatika diikat atau diemaskulasi dengan forseps kastrasi. Testis kedua diambil melalui septum skroti. Bekas sayatan skrotum dijahit dengan jahitan sederhana terputus. Penanganan pasca bedah berupa pemberian serum antitetanus (3.000-4.500 IU/ekor), antibiotik (oksitetrasiklin 2 mg/kg bb, atau ampisilin 10 mg/kg bb, atau kanamisin 10 mg/kg bb) secara intramuskuler, dan latihan ringan.
Pengebirian keenam kuda dalam posisi berdiri dengan metode terbuka tersebut memberi hasil yang memuaskan namun seekor kuda mengalami perdarahan pasca bedah. Perdarahan itu berhasil ditangani dengan pemberian obat penghenti perdarahan

Kata kunci: Kuda, kebiri, metode terbuka

ABSTRACT
Six horses consist of two Thoroughbred, two crossbreed between Thoroughbred and Sumba, and two Sumba were castrated in standing position by open method. All of these horses were sexually mature and healthy. The reason of the castration were to change disposition of the horses and made them became quite tractable around humans.
The horses were restraint in non permanent stocks and an intravenous injection of tranquilizer such as xylazine were given at a dose of 0.75 – 1.12 mg per kg of body weight. Local anesthesia of scrotum and testicle is obtained with 2% lidocaine solution, and 20-40 ml of local anesthetic is sufficient for each testicle. The incision to be parallel with raphe scrotum was made extended from cranial pole to caudal pole of testicle. The vaginalis tunic of testicle wich were separated from scrotalis fascia incised at the proximal of cranial pole to expose corda spermatica. Ductus deferens of corda spermatica was separated and the testicular artery and vein were ligated or emasculated with castration forceps. The second testicle was reached via septum scrotum and incised skin were sutured by simple interupted suture. Post operative care include the intramuscular administration of 3.000-4.500 IU of antitenus serum, antibiotic e.g. oxytetracycline 2 mg/kg b.w., or ampicillin 10 mg/kg b.w., or kanamycin 10 mg/kg b.w., and light exercise.
The castration of horses in standing position by open method were running well, but one horse bleeding after surgery and this haemorrhage successfully overcomed.

Key words :Horse, castration, open method.

PENDAHULUAN

Pengebirian kuda biasanya dilakukan agar kuda itu menjadi jinak, dan membuat kuda itu mudah dikendalikan. Disamping itu pengebirian kuda umumnya dilakukan agar kuda itu bisa dilatih (Jennings, 1984), tidak binal bila berjumpa dengan kuda betina, atau kuda jantan lainnya. Juga meniadakan peluang kuda jantan dengan mutu genetik buruk ikut berperan dalam suatu proses reproduksi (Frank, 1961)
Pengebirian yang merupakan suatu pembedahan elektif ini bisa dilakukan pada berbagai tingkatan umur, namun biasanya akan lebih baik bila dilakukan setelah kuda itu dewasa kelamin, dengan demikian kuda telah memperlihatkan maskulinitasnya (Jennings, 1984 ; Oehme, 1988)
Kuda umumnya dikebiri pada umur 12 sampai 18 bulan (Frank, 1961 ; Turner et al., 1989), namun kuda yang lebih tua, bisa saja dikebiri apabila kuda itu tidak lagi diharapkan perannya sebagi kuda pejantan (Turner et al., 1989).
Terhadap kuda yang akan dikebiri dilakukan pemeriksaan kesehatan secara umum dan secara khusus memeriksa daerah skrotum untuk memastikan testis ada pada tempatnya dan hewan itu tidak sedang menderita hidrocele atau hernia skrotalis (Bone et al., 1963). Di samping itu seperti yang dikemukakan Jennings (1984) kuda yang akan dikebiri hendaknya tidak sedang menderita penyakit influenza, distemper kuda, terinfeksi parasit, kondisi tubuh buruk, dan mutu pakan yang diberikan jelek.

MATERI DAN METODE
Kuda yang Dikebiri
Enam ekor kuda dikebiri yang terdiri dari : dua ekor kuda jenis Thoroughbred berberat sekitar 400 kg dengan umur sembilan tahun dan lima tahun ; dua ekor kuda silangan Thoroughbred dengan kuda Sumba berberat sekitar 150 kg dengan usia empat tahun dan 2,5 tahun, dua ekor kuda Sumba dengan berat sekitar 125 kg dengan usia tiga tahun dikebiri.

Restrain
Kuda yang akan dikebiri dimasukan ke dalam kandang jepit. Kuda yang agak sulit dikendalikan, bibir atasnya dipuntir dengan pram kuda sehingga membuat kuda itu menurut dan mudah dimasukan ke dalam kandang jepit. Kuda tersebut diberikan xylazine dan lima belas menit kemudian salah satu kaki depannya ditekuk pada persendian karpal. Pada kaki yang ditekuk itu ditautkan tali yang dilintaskan ke atas gumba dan pada ujung tali dipegang oleh pembantu operator. Perlakuan ini membuat kuda menumpu pada ke tiga kakinya. Kaki belakang difiksasi pada bagian depannya menggunakan balok pengaman yang menyilang kandang jepit, sedangkan pada bagian belakangnya difiksasi dengan dua balok sejajar menyilang kandang jepit.

Sediaan Penenang
Kuda yang akan dikebiri diberikan xylazine sebagai tranquilizer atau sedatif. Sediaan xylazine diberikan secara intravena melalui vena jugularis. Kuda Thoroughbred berat 400 kg diberikan 15 ml sediaan sedatif, artinya setiap kuda memperoleh 0,75 mg/kg BB. Persilangan kuda Thoroughbred dengan kuda Sumba yang bobotnya 150 kg mendapatkan 8 ml (1,07 mg/kg BB), dan kuda Sumba yang bobotnya 125 kg memperoleh 7 ml (1,12 mg/kg BB).
Analgesik Lokal
Analgesik lokal diberikan untuk membius testis dan skrotum. Terhadap kuda Thoroughbred yang berbobot 400 kg disiapkan sebanyak 40 ml lidocaine 2% sedangkan untuk kuda Sumba dan silangan kuda Thoroughbred dengan kuda Sumba diberikan lidocaine antara 20 ml sampai 30 ml. Untuk membius testis, sedian lidocaine langsung disuntikan ke posisi korda spermatika setelah organ itu melintasi cincin inguinalis superfisialis. Volume obat yang diperlukan sekitar setengah dari obat yang disediakan. Sedangkan skrotum dibius dengan melakukan infiltrasi subkutan pada tempat dimana sayatan akan dibuat, yakni garis lurus sekitar satu sampai dua sentimeter sejajar raphe skroti. Di samping itu juga dilakukan pembiusan infiltrasi terhadap septa skroti, karena pada septa itu akan dilakukan penyayatan untuk mengeluarkan testis yang ke dua.

Teknik Pembedahan
Setelah daerah skrotum dan medial paha didesinfeksi dengan povidone iodine, analgesik lokal lidocaine disuntikan kedalam kantong skrotum mengarah ke korda spermatika.
Operator menghadap bagian belakang kuda dengan posisi selalu siaga. Leher skrotum digenggam dengan tangan kiri, sambil memaksa ke dua testis beringsut ke arah fundus skrotum dan membuat skrotum menegang. Kedua testis kedudukannya disejajarkan, dengan demikian raphe skroti tampak lurus pada ruang antar testis. Satu sayatan kulit dibuat sejajar dengan raphe skroti sepanjang infiltrasi analgesia lokal yang telah dilakukan. Sayatan dibuat memanjang dari kutub kranial hingga kutub kaudal testis, hingga menyayat pula tunika dartos, namun upayakan agar tunika vaginalis tidak tersayat.
Testis di dalam tunika vaginalis dipisahkan secara tumpul dari fascia skrotalis agar bisa menyingkap korda spermatika yang berada di atas epididimis. Dalam metode terbuka ini tunika vaginalis disayat sedikit di atas kutub kranial testis, kemudian sayatan itu diteruskan ke atas, sehingga kita dengan mudah mengamati korda spermatika. Duktus deferens dipisahkan dari unsur korda spermatika lainnya. Terhadap arteri dan vena spermatika dilakukan pengikatan dengan menggunakan cat gut. Lima ekor kuda mengalami pengikatan seperti di atas, sedangkan satu ekor kuda yakni kuda Sumba setelah duktus deferensnya dipisahkan dari korda spermatika dilakukan emaskulasi menggunakan gunting tang (forceps) kastrasi terhadap korda spermatika.
Gunting tang kastrasi menjepit korda spermatika selama dua menit. Setelah satu testis diangkat dari tempatnya, testis ke dua dicapai tidak dengan menyayat seperti tadi, tapi dengan menyayat septum skroti. Testis ke dua di dorong, sehingga menyembul ke luar dari rongganya melintasi sayatan yang dibuat pada septum skroti. Prosedur selanjutnya seperti yang telah dikemukakan di atas. Setelah ke dua testis dikeluarkan, rongga skrotum dibilas dengan cairan garam fisiologis yang mengandung sedikit antibiotik ampisilin. Sayatan pada skrotum dijahit dengan jahitan sederhana terputus, menggunakan benang katun.

Penanganan Pasca Bedah
Penanganan pasca bedah meliputi imunisasi terhadap tetanus dengan memberikan serum anti tetanus sebanyak 1500 - 3000 IU untuk setiap ekor kuda (Blood et al., 1989). Terhadap luka operasi dilakukan perawatan, dan disemprotkan sediaan obat pemunah serangga topikal (Gusanex). Antibiotik yang diberikan antara lain : oksitetrasiklin dengan dosis 2 mg/kg BB / hari dalam dosis terbagi dua diberikan kepada empat ekor kuda, satu ekor kuda memperoleh ampisilin 10 mg/kg BB dan satu kuda lagi memperoleh kanamisin 10 mg/kg BB (Jones et al., 1977) setelah operasi dilakukan.
Kuda yang telah dikebiri selama beberapa jam diawasi guna memastikan tidak terjadinya hemoragi, untuk sementara waktu kuda tersebut diistirahatkan dan hanya diberikan latihan ringan. Hari-hari berikutnya, pengawasan dilakukan oleh pemilik atau pengawas kuda, dan komunikasi dengan pemilik terus dijaga.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Mengebiri kuda umum dilakukan dengan merestrain kuda pada posisi berdiri di bawah pengaruh analgesia lokal atau hewan berbaring di bawah pengaruh anestetik umum (Turner et al., 1989). Dalam posisi terbaring, kuda bisa dibaringkan ke samping dengan pemberian anastetik umum yang berlangsung sangat singkat, atau berbaring tengadah dengan anestetik per inhalasi (Oehme, 1988).
Dalam laporan ini tetah dilakukan pengebirian kuda dengan posisi berdiri. Teknik operasi ini dipilih karena dalam posisi berdiri kuda mudah dikendalikan (Jenning, 1984). Mengebiri kuda dalam posisi berdiri cocok dilakukan terhadap kuda yang memiliki peringai tenang, organ genitaliannya normal, dan testisnya mudah dicapai (Berge dan Westhues., 1966). Di samping itu posisi berdiri akan memperkecil peluang kuda itu cidera bila dibandingkan dengan posisi kuda dibaringkan, begitu pula tenaga yang dibutuhkan lebih sedikit, dan waktu lebih singkat (Bone et al., 1963).
Kuda-kuda yang akan dikebiri dihela masuk ke dalam kandang jepit. Untuk membantu restrain kepada kuda-kuda tersebut diberikan medikasi praoperasi berupa sedatif (Oehme, 1988 ; Turner dan Mc Ilwraith, 1989). Dalam hal ini diberikan sedian xylazine. Dosis anjuran untuk xylazine adalah 0,5 mg - 1,0 mg / kg berat badan. Namun ada pula pakar yang mengemukakan dosis optimum untuk xylazine adalah 1,1 mg / kg berat badan (Jones et al., 1977). Dalam pengebirian ini dosis xylazine yang diberikan terhadap kuda-kuda yang dikebiri tidak sama, namun masih berada dalam kisaran yang dianjurkan, yakni 0,75 mg, 1,07 mg, maupun 1,12 mg per kg berat badan, semuanya memberikan efek sedatif. Xylazine memberikan efek sedatif kuat pada kuda, menimbulkan relaksasi otot lebih dari 90% dari kuda yang diberikan obat ini, dan jarang menimbulkan masalah (Hall dan Clarke, 1983). Menurut Jones et al., (1977) xylazine lebih bisa diandalkan dibandingkan promazine atau asetilpromazine, karena kuda-kuda yang memperoleh xylazine jauh lebih tenang. Efek sedatif yang ditimbulkan xylazine berkisar antara 30 sampai 60 menit. Efek samping yang bisa ditimbulkan xylazine adalah posisi kepala menunduk, atau terkulai (Jones et al., 1977), dan dari enam kuda yang dikebiri hanya dua yang memperlihatkan gejala seperti di atas yakni satu kuda Troughbred dan satu kuda Sumba.
Suatu keadaan analgesia lokal guna mengebiri kuda dicapai dengan menghambat inervasi testis dan skrotum secara terpisah (Oehme, 1988). Dalam pengebirian ini analgesik lokal yang diberikan adalah lidocaine hydrochloride 2%. Secara umum inervasi testis bisa dihambat dengan tiga cara infiltrasi yakni : (1) infiltrasi langsung ke korda spermatika menggunakan spoit berjarum panjang, (2) infiltrasi langsung ke korda spermatika pada titik organ itu memasuki cincin inguinalis superfisial, dan (3) infiltrasi langsung ke dalam parenkhim testis (Jenings, 1984 ; Oehme, 1988). Dalam pengebirian ini dipakai teknik kedua, karena memiliki kelebihan yakni disamping membius testis juga ikut membius skrotum (Jenings, 1984). Walaupun begitu tindakan membius skrotum tetap dilakukan dengan menginfiltrasi langsung secara subkutan sepanjang garis dimana sayatan akan dilakukan. Titik-titik pembiusan yang dibuat memanjang dari salah satu kutub ke kutub yang lain, sejajar dengan raphe skroti dan berjarak satu sampai dua senti meter dari raphe skroti (Oehme, 1988). Untuk membius testis diperlukan lidocaine hydrochloride 2% sebanyak 10 sampai 30 ml, sedangkan untuk membius skrotum diperlukan sekitar 10 ml.
Pembiusan yang dilakukan terhadap testis dan skrotum kuda ini mengadaptasi cara yang diterapkan pada anjing (Bojrab et al., 1983). Hanya satu korda spermatika yang dibius, begitu pula skrotum, namun dalam hal ini juga dilakukan infiltrasi obat bius ke arah septa skroti, karena jaringan ini akan disayat untuk mengeluarkan testis yang ke dua.
Pada keenam kuda yang dikebiri kedua testis dikeluarkan dengan satu sayatan pada skrotum. Sayatan itu dibuat sekitar satu senti meter dari raphe skroti dan sejajar. Cara ini sangat umum dilakukan pada anjing. Menurut Bojrab et al., (1983) kadang-kadang cara ini pada anjing mengakibatkan terjadinya hematoma. Pada kuda untuk mengeluarkan kedua testis umumnya dilakukan dua sayatan sejajar yang berjarak sama dari raphe skroti pada tempat dimana analgesik lokal disuntikan (Jennings, 1984 ; Oehme, 1988; Turner et al., 1989). Walaupun cara yang kami terapkan cara yang biasa kami lakukan pada anjing ternyata penerapannya pada kuda tidak menemukan kesulitan yang berarti. Pada salah satu kuda Troughbred (usia lima tahun) kami memang menemukan sedikit kesulitan karena letak testis ke dua lebih tinggi dibandingkan testis pertama. Dalam pengeluaran testis itu ketika hendak ditarik ke luar ternyata dilawan agak kuat oleh kerja muskulus kremaster.
Dalam pengebirian metode terbuka dilakukan penyayatan terhadap tunika vaginalis, sedangkan dalam metode tertutup tunika vaginalis sama sekali tidak dibuka. Lapis parietalis tunika vaginalis dalam metode terbuka disayat dan dibuka secara memanjang agar struktur vaskuler duktus spermatika kelihatan. (Berge dan Westhues, 1966 ; Bojrab et al., 1983 ; Turner et al., 1989).
Arteri spermatika dan vena spermatika diikat, dan kemudian secara bersama-sama diikat dengan duktus deferens menggunakan cat gut ukuran 1-0. Lima ekor kuda mengalami pengikatan seperti di atas, sedangkan satu ekor kuda Sumba setelah tunika vaginalis dibuka struktur vaskulernya diemaskulasi menggunakan tang gunting kebiri. Kelebihan metode terbuka adalah dengan pengikatan pembuluh darah jauh lebih aman (Bojrab et al., 1983), dan jarang menimbulkan masalah dibandingkan dengan metode tertutup dimana sejumlah organ unsur korda spermatika dijepit bersama diantara rahang emaskulator, dan besar kemungkinannya pembuluh darah tidak teremaskulasi dengan baik (Turner et al., 1989). Sedangkan kekurangan metode terbuka adalah membuat terbukanya rongga tunika vaginalis ke proksimal dengan rongga peritoneum (Bojrab et al., 1983).
Kuda-kuda yang telah dikebiri diberikan serum kebal terhadap tetanus (ATS) dengan dosis 4500 IU untuk kuda Thoroughbred dan 3000 IU untuk kuda peranakan Thoroughbred dengan kuda Sumba, dan kuda Sumba. Dosis anjuran ATS guna tindakan pencegahan adalah 1500 sampai 3000 IU. Walaupun dosis yang diberikan dalam pengebirian ini sedikit melampaui dosis itu, namun masih jauh dibawah dosis terapi yakni 300.000 IU. (Blood et al., 1989)
Dalam pengebirian ini satu kuda Thoroughbred usia sembilan tahun mengalami perdarahan sekitar dua jam pasca operasi. Namun kuda ini tidak memerlukan perawatan yang berarti, hanya diberikan sediaan obat penghenti perdarahan (Trenex). Menurut Turner et al., (1989) hemoragi minor dalam pengebirian bisa saja terjadi dan hanya perdarahan aktif di bawah 12 jam yang memerlukan tindakan bedah. Sedangkan Jenning (1984) mengemukakan bahwa hemoragi minor bisa berhenti dengan sendirinya asalkan luka operasi tidak diganggu dan kuda tersebut dibiarkan tenang.
Cara yang efektif pula menghilangkan perdarahan adalah dengan menambatkan kuda selama 30 menit pasca pembedahan untuk mencegah kuda itu berlari-lari dilingkungannya (Bone et al., 1963). Satu kuda Thoroughbred yang lain mengalami komplikasi dua hari setelah operasi. Kuda ini mengalami pembengkakan pada pangkal penis dan skrotum. Di dalam skrotum ditemukan banyak bekuan darah. Bekuan darah itu dikeluarkan dan kuda itu diberikan sediaan obat anti radang non kortikosteroid ketoprofin selama lima hari. Perdarahan yang terjadi dalam skrotum ini mungkin saja disebabkan oleh robeknya vena pudenda pada dinding skrotum dan septum skrotum, atau akibat pemotongan muskulus kremaster. Adanya kebengkakan yang berlebihan pada daerah pembedahan bisa disebabkan oleh kurang memadainya drainase atau latihan ringan yang diberikan (Turner et al., 1989). Latihan yang cukup pasca bedah sangat diperlukan. Latihan yang diberikan bisa berupa lari pelan-pelan (joging) atau lari derap (trotting) agar daerah pembedahan mengalami pemijatan. Latihan sebaiknya dua kali sehari. Dengan membersihkan daerah pembedahan menyingkirkan eksudat, dan memberikan antiseptik yang tepat setiap harinya akan membantu menghindari terjadinya komplikasi pasca bedah (Bone et al., 1963).
Kuda-kuda yang telah dikebiri menurut sejumlah pakar tidak perlu diberikan antibiotik (Oehme, 1988, Turner et al., 1989), namun antibiotik mungkin diberikan apabila lingkungan kuda tersebut tidak terjamin kebersihannya (Jenning, 1984). Dalam hal ini antibiotik yang diberikan terhadap empat ekor kuda adalah oksitetrasiklin 2 mg / kg berat badan selama tujuh hari, satu ekor kuda Sumba memperoleh 10 mg ampicilin/ kg berat badan selama lima hari, dan satu ekor kuda Sumba lain memperoleh kanamisin10 mg / kg berat badan diberikan hanya sehari. Perbedaan jenis antibiotik yang diberikan ini tergantung kepada keadaan lapangan saat pengebirian dilakukan.

KESIMPULAN
Pengebirian kuda posisi berdiri dengan metode terbuka bisa dilakukan dengan berhasil tanpa menimbulkan penyulit yang berarti.

DAFTAR PUSTAKA

Berge, E and M. Westhues. 1966. Veterinary Operatine Surgery. Medical Book G.
Copenhagoen.
Blood, D.X., O.M. Radostits, JH. Arundel, and C. C. Gay. 1989. Veterinary
Medicine. Bailliere Tindall. Tokyo.
Bojrab, M.J., S.W. Crane, and S.P. Arnoczky. 1983. Current Techniques in Small
Animal Surgery. Lea and Febiger. Philadelphia.
Bone, J. F, E. J. Cat Cott, A. A. Gabel, L. E. Johnson, and W. F. Riley. 1963
Equine Medicine and Surgery. American Vet. Puc. Inc. California.
Frank, E.R. !961. Veterinary Surgery. Burgess Pub. Co. Minnesota.
Hall, L. W. and K. W. Clarke. 1983. Veterinary Anaesthesia. ELBS and Bailliere
Tindall London.
Jenning, P. B. Jr. 1984. The Practice of Large Animal Surgery. W.B. Saunders
Mexico City.
Jones, L. M., N. H. Booth, and L. E. Mc Donald. 1977. Veterinary Pharmacology and
Therapeutics. Oxford and IBH Pub. Co. Calcutta.
Oehme, F. W. 1988. Textbook of Large Animal Surgry. Williams and Wilkins.
Baltimore.
Turner, A. S., C. W. Mc Ilwraith, B. L.Hull, and T. Mc Craken. 1989. Techniques in
Large Animal Surgery. Lea and Febiger. London.