Thu 1 Dec 2005
Epidemiologi Verocytotoxigenic Escherichia Coli (Vtec) Pada Peternakan Sapi Perah Di Propinsi Jawa Tengah Dan DIY
Posted by admin under Jvet Vol 6(3) 2005( EPIDEMIOLOGY OF VEROCYTOTOXIGENIC Escherichia coli (VTEC) OF
DAIRY CATTLE FARM IN CENTRAL JAVA PROVINCE AND
YOGYAKARTA SPECIAL TERRITORY )
Bambang Sumiarto1, Setyawan Budiharta1, Widya Asmara2, dan Subronto Prodjoharjono3
¬1Bagian Kesehatan Masyarakat Veteriner, 2Bagian Mikrobiologi, 3Bagian Ilmu Penyakit Dalam, Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Gajah Mada, Sekip Unit II, Yogyakarta.
ABSTRAK
Tujuan peneltian ini adalah untuk mengetahui gambaran epidemiologi VTEC pada tingkat peternakan sapi perah di Propinsi Jawa Tengah (Jateng) dan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Empat ratus tiga puluh enam (436) peternakan sapi perah rakyat, yang diperoleh melalui sampling tiga tahapan dari 10 kabupaten/kota padat ternak, digunakan sebagai sampel penelitian. Status prevalensi peternakan ditentukan dengan enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA) atas isolat E.coli sampel tinja menggunakan antibodi monoklonal VTEC. Model prevalensi peternakan dibangun dengan analisis stepwise regression dan unweighted least square linear regression. Hasil penelitian menunjukkan bahwa prevalensi VTEC di Propinsi Jateng dan DIY pada tingkat peternakan 53,5 %. Faktor yang berpengaruh terhadap prevalensi VTEC di tingkat peternakan, secara berurutan, pengaruh terbesar adalah kebersihan lantai (0,3535, OR = 20,7), jarak sumber air dari kandang (0,3213, OR = 23,8), kebersihan air (0,1427, OR = 1,6), kebersihan sekitar kandang (0,1292, OR = 1,3), kebersihan pribadi pemilik/pekerja (0,1232, OR = 1,6), tempat penampungan kotoran (0,0989, OR = 1,4), sumber air terkontaminasi E. coli (0,0974, OR = 7,7), dan air dari sumur (0,0566, OR = 1,45). Pada analisis data peternakan dengan memasukkan faktor daerah, Kabupaten Magelang (0,2347, OR = 2,06) berpengaruh positif terhadap prevalensi VTEC, sedangkan Kabupaten Wonosobo (-0,1998, OR = 0,87) dan Kota Semarang (-0,1282, OR = 0,38) berpengaruh negatif terhadap prevalensi VTEC.
Kata kunci: Prevalensi VTEC peternakan, analisis linear regression, dan model penyakit
ABSTRACT
The ultimate goal of the current research is to find out the epidemiological patterns of VTEC infection in dairy cattle farms in Central Java Province and Yogyakarta Special Territory. A total of 436 dairy cattle farms was sampled by a three stage sampling procedure in 10 dairy cattle densely populated areas of dairy cattle. The prevalence status of farms sampled was determined by isolation E. coli and testing the isolate by enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA). Monoclonal antibody used in the assay was produced against local isolates VTEC. The prevalence model VTEC infection was constructed using multiple linear regression procedures to create a predictive model of the VTEC prevalence at the farm level. The result of research showed that VTEC prevalence in Central Java Province and Yogyakarta Special Territory at the farm level was 53,5 %. Several factors significantly affected the prevalence VTEC infection at farm level. The factors were the cleanliness of barn floor (OR = 20.7; 0.35354), distance between water sources and the study barns (OR = 23.8; 0.3213), water cleanliness (OR = 1.6; 0.1427), cleanliness of the study barn surrounding areas (OR = 1.3; 0.1292), thr farm owner’s cleanliness (OR = 1.6; 0.1232), manure accumulating spots (OR = 1.4; 0.0989), E. coli contaminated water sources (OR = 7,7, 0,0974), and well water sources (OR = 1.45; 0.0566). The results of data analyses based on the regional variables indicated that Magelang district (OR = 2.06, 0.2347) positively influenced VTEC prevalence, and Wonosobo district (OR = 0.87, -0.1998) and Semarang municipality (OR= 0.38, -0,1282) negatively influenced VTEC prevalence.
Key words: VTEC prevalence farm, linier regression procedures, and disease model
PENDAHULUAN
Beberapa galur E. coli mempunyai kemampuan menyebabkan penyakit pada saluran pencernaan, perkencingan, atau persyarafan pada manusia. Konowalchuck et al. (1977) menemukan galur entero¬hemorrhagic E. coli (EHEC) atau VTEC sebagai isolat yang menyebabkan diare berdarah pada manusia. Berdasarkan hasil penyidikan dua letupan penyakit, E. coli O157:H7 terbukti dapat mengakibatkan diare berair yang diikuti oleh diare berdarah, disertai sedikit atau tidak demam, dan diawali oleh kejang perut.
Kenaikan impor sapi potong dan perah dari luar negeri yang endemik VTEC memungkinkan galur VTEC masuk dan menyebar ke Indonesia dari negara asalnya. Sebagian besar peternak sapi perah di Indonesia merupakan peternak kecil. Pengelolaan sapi perah rakyat pada kenyataannya masih bersifat tradisional. Sapi perah dipelihara dengan manajemen yang kurang baik karena keterbatasan ekonomi dan pengetahuan beternak. Cara beternak yang masih tradisional memungkinkan galur VTEC mencemari dan berkembang di peternakan sapi perah rakyat.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui prevalensi VTEC pada peternakan sapi perah rakyat di Propinsi Jateng dan DIY dan model infeksi VTEC pada tingkat peternakan untuk mencari faktor risiko penyakit.
MATERI DAN METODE
Penelitian dilakukan terhadap peternakan sapi perah rakyat di Propinsi Jateng dan DIY. Empat ratus tiga puluh enam peternakan sapi perah rakyat, yang diperoleh melalui sampling tiga tahapan dari 10 kabupaten/kota padat ternak, digunakan sebagai sampel penelitian. Sampel peternakan didapat dengan cara rambang por¬posional dengan populasi ternak setiap kecamatan. Setiap kecamatan proposional dengan jumlah peternakan dipilih desa, kemudian setiap desa secara rambang dipilih peternakan.
Kuesioner dirancang mencakup faktor risiko yang mempunyai hubungan biologis dengan infeksi VTEC. Data peternakan yang dikumpulkan meliputi tanggal pengambilan sampel, daerah sampel, pendidikan formal peternak, kepemilikan ternak, pengalaman beternak, jenis lantai kandang, kebersihan lantai dan lingkungan kandang, saluran dan tempat penampungan kotoran, jarak sumber air dari kandang, pemisahan kandang pedet dari dewasa, alas tidur pedet, pergantian alas tidur, kebersihan pribadi pemilik/pekerja, lokasi peternakan, sumber air, dan sampel air.
Status prevalensi peternakan ditentukan dengan enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA) atas isolat E.coli sampel tinja menggunakan antibodi monoklonal VTEC. Prevalensi setiap peternakan dihitung dari jumlah ternak yang positif dibagi dengan jumlah ternak yang dimiliki peternak.
Data pemeriksaan prevalensi dan kuesioner setiap peternakan dikumpulkan dan dianalisis dengan stepwise regression dan unweighted least square linear regression untuk menentukan faktor penyebab infeksi pada peternakan. Uji chi-square digunakan untuk menganalisis asosiasi antara infeksi VTEC dan faktor peternakan (Siegel, 1992).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Statistik Deskriptif pada Tingkat Peternakan
Hasil penelitian dengan menggunakan strategi sampling tahapan berganda didapat 436 sampel peternakan dan 316 sampel air dari sumber air peternakan sapi perah rakyat di Propinsi Jateng dan DIY. Data peternak sapi perah rakyat di Propinsi Jateng dan DIY dapat dilihat pada Tabel 1.
Tingkat pendidikan dan pengalaman peternak sangat berhubungan dengan pengetahuan dan kemampuan peternak dalam mengelola peternakannya. Sebagian besar peternak, yakni 77,3 % hanya berpendidikan SD, bahkan ada yang tidak sekolah 4,6 %. Tingkat pendidikan peternak merupakan salah satu faktor penyebab kurang berkembangnya peternakan sapi perah rakyat di Propinsi Jateng dan DIY. Menurut Direktorat Jenderal Peternakan, kualitas, produktivitas, dan keterampilan sumber daya manusia (SDM) yang terlibat dalam pembangunan pertanian umumnya masih rendah. Sub-sektor peternakan menunjukkan bahwa dari 2,82 juta orang tenaga kerja, sebanyak 24,2 % tidak pernah mengenyam bangku sekolah, 32,0 % tidak tamat SD, 5,9 % tamat SLTP, 3,8 % tamat SMU, dan 0,7 % berpendidikan PT. Menurut World Bank unsur terpenting dalam peningkatan SDM adalah pelatihan dan pendidikan. Pelatihan merupakan kegiatan untuk menambah kemampuan dan keahlian, sedangkan pendidikan tidak hanya meningkatkan keahlian dan keterampilan, tetapi juga dapat memperbaiki sikap dan menambah pengetahuan SDM. Tingkat pendidikan peternak yang tinggi mempermudah peternak untuk menerima pengetahuan beternak yang baik lewat buku atau penyuluhan (Sutawi, 2001). Bedard (1992) mengatakan bahwa kurang berkembangnya peternakan rakyat di Indonesia karena kurangnya pendapatan peternak sehingga pekerjaan sebagai peternak kurang diminati oleh mereka yang berpendidikan tinggi.
Tabel 1. Data Peternakan yang Digunakan untuk Mendeteksi Prevalensi VTEC pada Sapi Perah Rakyat di Propinsi Jawa Tengah dan DIY
Rata-rata kepemilikan ternak adalah 4,6 ± 4,2 ekor setiap peternak. Kepemilikan yang kecil (
Pengalaman beternak sapi perah umumnya cukup lama, yakni 14,5 ± 7,4 tahun. Walaupun demikian pengalaman ini tidak memperbaiki keadaan peternakan karena penghasilannya yang rendah sehingga peternakan dikelola secara tradisional. Peternak umumnya (57,0 %) mempunyai kandang ternak dengan lantai semen, sedangkan sisanya (42,4 %) lantai tanah. Kondisi lantai kandang perlu mendapat perhatian karena 69,3 % lantai kandang selalu basah dan kotor oleh tinja, air kencing, dan sisa pakan. Peternak sapi perah rakyat mempunyai kebiasaan secara turun temurun mengelola peternakannya secara tradisional. Peternak sulit untuk mengadopsi pengetahuan yang baru tentang persapiperahan. Menurut Crouch (1992), dibutuhkan proses untuk mengubah kebiasaan tersebut. Variabel kunci untuk mengubah kebiasaan tersebut adalah proses adopsi, keterampilan, sikap, peningkatan penghasilan, dan motivasi.
Kondisi sekitar kandang tergolong kotor, yaitu 84,9 %, disebabkan 81,9 % tidak mempunyai saluran pembuangan kotoran dan 61,2 % tidak mempunyai tempat penampungan kotoran sehingga kotoran selalu disimpan di dalam kandang. Menurut Bath et al. (1985) pengumpulan dan penampungan kotoran sangat berpengaruh terhadap infeksi penyakit, sanitasi produksi, sistem kandang, dan kendali polusi.
Air minum sapi perah sebagian besar (59,2 %) dari sumur dan 25,2 % dari bak penampungan yang mendapat air dari saluran pipa. Sumber air minum 73,6 % telah tercemari E. coli dari kotoran kandang. Pencemaran sumber air karena jarak sumber air
Hasil penelitian menunjukkan bahwa prevalensi VTEC di Propinsi Jateng dan DIY pada bulan Januari - Mei pada tingkat peternakan adalah 53,5 %. Prevalensi ini cukup tinggi dibanding dengan kejadian VTEC di beberapa negara sub-tropis, seperti Jerman 10,8 % (Montenegro et al., 1990), Amerika Serikat pada peternakan 50,0 % di bulan Juni-Agustus (Zhao et al., 1995), dan Italia pada peternakan 21,7 %. Menurut Wang et al. (1996) sapi perah merupakan reservoir utama E. coli O157:H7 karena manajemen peternakan sapi perah lebih cocok untuk pertumbuhan agen penyakit. Sebaliknya, prevalensi ini lebih rendah jika dibandingkan dengan prevalensi VTEC di negara tropis, seperti Thailand 11,0–84,0 % pada sapi di musim penghujan (Suthienkul et al., 1990) dan Sri Lanka 53,0 % pada sapi perah di bulan September -Februari 1987 (Tokhi et al., 1993).
Faktor yang Mempengaruhi Prevalensi VTEC
Hasil analisis least square linear regression tingkat peternakan memperlihatkan R- squared 0,6436 dengan nilai variance inflation factor (VIF) kurang dari 3, berarti tidak ada multikolinieritas antar-variabel tersebut. Hasil regression residual plot menunjukkan bahwa varian tidak terdistribusi normal, sedangkan analisis Wilk-Shapiro/Rankit Plot sebesar 0,9522 berarti model mempunyai linieritas kurang tinggi. Model mempunyai linieritas yang tinggi jika nilai Wilk-Shapiro/Rankit Plot minimal 0,97 (Draper dan Smith, 1981). Untuk mendapatkan model yang lebih baik, maka variabel dependen prevalensi VTEC tingkat peternakan perlu ditransformasi dengan beberapa pola (Tabel 2).
Tabel 2. Angka Wilk-Shapiro/Rankit Plot untuk Transformasi pada
Pola Inverse, Atkinson, Kuadrat, dan Akar Kuadrat
Model transformasi akar kuadrat mempunyai linieritas yang tertinggi 0,9964 terlihat pada Tabel 1 dan Wilk-Shapiro/Rankit Plot pada Gambar 1.
Gambar 1. Wilk-Shapiro/Rankit Plot terhadap standardized residuals pada tingkat
peternakan setelah menunjukkan linieritas tinggi.
Model akhir prevalensi VTEC setelah transformasi ke akar kuadrat adalah:
√VTEC = - 0,357716 + 0,09737 sampel air terkontaminasi E. coli + 0,32130 jarak sumber air dari kandang + 0,12920 kebersihan sekitar kandang + 0,35354 kebersihan lantai + 0,05659 sumber air sumur + 0,14267 kebersihan air + 0,12319 kebersihan pribadi pemilik/pekerja + 0,09890 tempat penampungan kotoran.
Faktor kebersihan lantai mempunyai asosiasi positif dan terbesar (0,35354) terhadap prevalensi VTEC. Kebersihan lantai mempunyai odds-ratio 20,7 dengan kejadian VTEC. Semakin kotor lantai kandang yang dimiliki peternak memberikan infeksi VTEC hampir 21 kali lebih besar dibanding peternak yang mempunyai lantai bersih. Menurut Radostits et al. (1994), kenaikan mikroorganisme dan kematian pada ternak yang selalu dikandangkan disebabkan oleh kurangnya pengawasan keadaan lingkungan seperti menumpuknya kotoran, kelembaban tinggi, dan sanitasi kandang yang jelek. Kontaminasi mikroorganisme biasanya berasal dari lantai atau dinding yang berlubang dan kotor, dan alas kandang.
Jarak sumber air dari kandang mempunyai asosiasi positif dan kedua terbesar (0,32130) terhadap prevalensi VTEC. Jarak sumber air- kandang mempunyai odds-ratio 23,8 terhadap kejadian VTEC. Semakin dekat jarak sumber air dari kandang ( 10 m). Sumber air sumur mempunyai asosiasi positif (0,05659) terhadap prevalensi VTEC dengan odds-ratio 1,45. Sumur merupakan sumber air yang paling banyak (59,2 %) digunakan oleh peternak. Sumur umumnya dibuat secara sederhana dengan dinding yang diperkeras, dinding bata yang tidak diperkeras, tanpa dinding, dengan dan tanpa bibir sumur. Kondisi ini menyebabkan air limbah peternakan mencemari air sumur, terutama pada musim penghujan. Menurut Syarief dan Sumoprastowo (1984), jarak ideal tempat penampungan kotoran paling tidak 10 m dari sumber air. Jarak ideal ini dilakukan untuk menghindari pencemaran mikroorganisme pada sumber air minum.
Sumber air terkontaminasi E.coli merupakan faktor penting dalam menduga adanya VTEC pada peternakan sapi perah. Faktor sumber air terkontaminasi E. coli mempunyai asosiasi positif (0,09737) terhadap prevalensi VTEC dengan odds-ratio 7,7. Temuan ini menunjukkan bahwa sumber air terkontaminasi E. coli hampir 8 kali lebih besar sebagai sumber penyakit VTEC dibanding dengan sumber air yang tidak terkontaminasi E. coli. Menurut Faith et al. (1996), air minum ternak telah diidentifikasi sebagai salah satu sumber E. coli O157:H7 (3,0 %) pada sebuah peternakan sapi perah di Wisconsin. Kajian ini juga mengindikasi bahwa sumber air yang terkontaminasi kotoran hewan merupakan salah satu sumber E. coli O157:H7 pada peternakan sapi perah.
Kebersihan pribadi pemilik/pekerja peternakan merupakan salah satu indikator kebersihan dan kesehatan lingkungan. Keadaan ini mungkin berhubungan dengan kerajinan peternak di dalam mengelola peternakannya. Peternakan sapi perah di Propinsi Jateng dan DIY umumnya merupakan usaha sambilan. Kepemilikan ternak rata-rata 4 ekor, dan pekerjaan pokok peternak adalah petani dan pedagang. Kebersihan pribadi pemilik/pekerja memberikan pengaruh 12,3 % (p = 0,0001) terhadap prevalensi VTEC. Menurut Radostits et al. (1994), umumnya usaha produksi peternakan merupakan sebuah usaha bisnis. Suatu usaha akan dikelola dengan baik bilamana menguntungkan dalam waktu yang lama. Pada banyak kasus, masalah yang sesungguhnya adalah finansial, bukan biologik. Produktivitas sendiri tidak cukup untuk mengukur keuntungan perusahaan, karena umumnya produksi diterjemahkan sebagai pengembalian bukan sebagai keuntungan. Kenyataannya, di negara berkembang, biaya produksi mungkin terlalu tinggi dengan keuntungan sangat rendah (Bedard, 1992). Keadaan inilah yang menyebabkan kekurang-seriusan peternak dalam mengelola usaha peternakannya. Oleh sebab itu, pembagian keuntungan yang jelas antara peternak, koperasi, dan industri pengolah susu akan memotivasi peternak untuk meningkatkan kualitasnya (Crouch, 1992).
Faktor kebersihan air (0,14267), kebersihan sekitar kandang (0,12920), dan tempat penampungan kotoran (0,09890) berasosiasi terhadap prevalensi VTEC (p
Analisis least square linear regression pada tingkat peternakan dengan memasukkan faktor daerah didapat bahwa kabupaten Magelang (0,23467) mempunyai asosiasi positif terhadap prevalensi VTEC dengan odds-ratio 2,06. Artinya, peternakan yang ada di Kabupaten Magelang terinfeksi 2 kali lebih besar dibandingkan dengan peternakan yang berada di daerah lain. Peternakan sapi perah rakyat di Kabupaten Magelang umumnya berada di lereng gunung Merapi dan Merbabu, daerah yang sulit untuk mendapatkan air. Kesulitan mendapatkan air menyebabkan ternak dan kandang menjadi sangat kotor (100 %). Menurut Umali et al. yang disitasi oleh Haan (1992), peternakan sapi perah rakyat mempunyai keuntungan yang kecil. Keuntungan yang kecil menyebabkan ongkos pengelolaan peternakan sapi perah menjadi mahal. Mahalnya pengelolaan peternakan sapi perah diperberat dengan sulitnya peternak mendapatkan air.
Kabupaten Wonosobo (-0,19975) mempunyai asosiasi negatif terhadap prevalensi VTEC. Kabupaten Wonosobo mempunyai odds-ratio sebesar 0,87 dengan kejadian VTEC. Artinya, peternakan yang ada di Kabupaten Wonosobo terinfeksi 0,87 kali lebih kecil dibandingkan dengan peternakan daerah lain. Peternak di Kabupaten Wonosobo termasuk peternak yang rajin. Keadaan ini didukung dengan mudahnya peternak mendapat sumber air gunung. Peternakan umumnya mempunyai selokan dengan air jernih yang berasal dari gunung yang mengalir sepanjang tahun. Mudahnya mendapatkan air menyebabkan sapi dan kandang dalam keadaan bersih.
Kota Semarang (-0,12815) mempunyai asosiasi negatif terhadap prevalensi VTEC. Peternakan sapi perah di Kota Semarang terinfeksi VTEC 0,38 kali lebih kecil daripada peternakan daerah lain. Hal ini karena peternakan sapi perah di kota Semarang merupakan perusahaan dengan kepemilikan antara 10 - 20 ekor, dengan cara beternak semi-moderen. Peternakan umumnya mempunyai manajemen peternakan yang baik dengan kunjungan dokter hewan secara rutin. Susu yang dihasilkan sebagian besar untuk konsumen daerah perkotaan. Tuntutan konsumen ini merangsang peternak untuk selalu memperhatikan kesehatan susu.
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dapat disimpulkan bahwa prevalensi VTEC di Propinsi Jateng dan DIY pada tingkat peternakan 53,5 %. Model prevalensi VTEC pada peternakan menunjukkan bahwa, secara berurutan, pengaruh terbesar terhadap prevalensi VTEC adalah kebersihan lantai, jarak sumber air dari kandang, kebersihan air, kebersihan sekitar kandang, kebersihan pribadi pemilik/pekerja, tempat penampungan kotoran, sumber air terkontaminasi E. coli, dan sumber air sumur. Model prevalensi VTEC pada peternakan dengan memasukkan faktor daerah menunjukkan bahwa kesulitan air, pendidikan peternak yang rendah, dan peternakan tradisional merupakan faktor utama yang berasosiasi dengan infeksi VTEC di peternakan sapi perah rakyat.
UCAPAN TERIMA KASIH
Penulis mengucapkan terima kasih kepada University Research for Graduate Education (URGE) Project Batch III 1997/1998, Directorate General of Higher Education, yang telah memberi biaya penelitian.
DAFTAR PUSTAKA
Bath, D.L., F.N. Dickinson, H.A. Tucker, and R.D. Appleton. 1985. Dairy cattle. Principles, Practices, Problems, Profits, 3rd ed. Lea & Febiger, Philadelphia.
Bedard, B.G., 1992. Delivering veterinary clinical and diagnostic services to smallholders farmers. In: Wilson, M. ed. Livestock services for smallholders: A critical evaluation. Proceeding of a seminar held in Yogyakarta, Indonesia, 303 - 309.
Crouch, B.R., 1992. Farmer centered - Farming system extension. In: Wilson, M. ed. Livestock services for smallholders: A critical evaluation. Proceeding of a seminar held in Yogyakarta, Indonesia, 211 - 216.
Draper, N. R. and H. Smith. 1981. Applied regression analysis. 2nd ed. John Wiley and Sons, New York. 412 - 419.
Faith, N.G., J.A. Shere, R. Brosch, K.W. Arnold, S.E. Ansay, M.S. Lee, J.B. Luchansky, and C.W. Kas¬par. 1996. Prevalence and clonal nature of Escherichia coli O157:H7 on dairy farm in Wiscon¬sin. Appl. Environ. Microbiol. 62(5): 1519 - 1525.
Haan, C.D., 1992. The delivery of livestock services to smallholders. In: Wilson, M. ed. Livestock services for smalholders: A critical evaluation. Proceedings of a seminar held in Yogyakarta, Indonesia. 33 - 40.
Kadzere, C.T., 1992. Constraints to smallholder dairy cattle productivity in Southern Africa. In: Wilson, M. ed. Livestock services for smallholders: A critical evaluation. Proceeding of a seminar held in Yogyakarta, Indonesia, 267- 268.
Konowalchuck, J., Speirs, J.L., and Stavric, S., 1977. Vero response to a cytotoxin of Escherichia coli. Infect. Immun. 18, 775 - 779.
Montenegro, M.A., M. Bulte, T. Trumpt, S. Aleksic, G. Reuter, E. Bulling, and R. Helmuth. 1990. Detec¬tion and characterization of fecal verotoxin-pro¬ducing Escherichia coli from healthy cattle. J. Clin. Microbiol. 28(6): 1417 - 1421.
Radostits, O.M., K.E. Leslie, and J. Fetrow. 1994. Herd health. Food animal production medicine, 2nd ed. W.B. Saunder Company, USA.
Siegel, J., 1992. Statistix analytical software, version 4.0 user’s manual. St. Paul, Minnesota: Analytical software.
Sutawi, 2001. Kesiapan Sumber Daya Manusia peternakan masa depan. Poultry Indonesia. 248: 58 - 62.
Suthienkul, O., J.E. Brown, J. Seriwatana, S. Tienthoughdee, S. Sastravaha, and P. Echeverria. 1990. Shiga-like toxin-producing Escherichia coli in retail meat and cattle in Thailand. App. Environ. Microbiol., 56: 1135-1139
Syarief, Z. dan C.D.A. Sumoprastowo. 1984. Ternak perah untuk Sekolah Pertanian Pembangungan. Penerbit Yasaguna, Jakarta.
Tokhi, A.M., J.S.M. Peiris, S.M. Scotland, G.A. Willshaw, H.R. Smith and T. Cheasty. 1993. A longitudinal study of verocytotoxin producing Escherichia coli in cattle in Sri Lanka. Epidemiol. Infect. 110: 197 -208.
Wang, G., T. Zhao and M.P. Doyle. 1996. Fate of enter¬ohemorrhagic Escherichia coli O157:H7 in bovine feces. App. Environ. Microbiol. 62(7), 2567 - 2570.
Zhao, T., M.P. Doyle, J. Shere and L. Garber. 1995. Prevalence of enterohemorrhagic Escherichia coli O157:H7 in a survey of dairy herds. App. Environ. Microbiol. 61(4): 1290 - 1293.