(THE PREVALENCE OF COMPARISON PARASITIC INFECTION OF PIGS
IN SIBORONGBORONG AND PATUMBAK IN NORTH SUMATERA)

Florida Rehulina Tarigan1, Christina Sianturi1, Risa Tiuria1,
dan Mangaraja P. Tampubolon2

1.Bagian Helmintologi, 2.Bagian Protozoologi, Departemen Parasitologi dan Patologi
Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor,
Jalan Agatis Kampus IPB Darmaga Bogor.

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbandingan prevalensi infeksi kecacingan pada babi di Kecamatan Siborongborong dan Kecamatan Patumbak Sumatera Utara berdasarkan umur dan jenis kelamin ternak. Sampel tinja diambil dari kandang yang dipelihara secara tradisional oleh penduduk di daerah Siborongborong dan daerah Patumbak. Sampel tinja dibagi dalam 5 kelompok umur yaitu: 0-3 bulan, 3-6 bulan, 6-9 bulan, 9-12 bulan dan lebih dari 12 bulan. Pemeriksaan sampel dilakukan melalui pendekatan kuantitatif dengan metode McMaster. Hasil penelitian menunjukkan bahwa cacing nematoda yang terdapat pada kedua daerah tersebut adalah Ascaris suum, Trichuris suis dan Oesophagostomum dentatum. Babi umur 3-6 bulan pada daerah Siborongborong lebih rentan terhadap infeksi A.suum dibandingkan daerah Patumbak dan menunjukkan hasil yang berbeda nyata (P

Kata Kunci: Ascaris suum, Trichuris suis, Oesophagostomum dentatum

ABSTRACT

The aim of this study was to compare the prevalence of parasitism infection of pigs in Siborongborong and Patumbak in North Sumatera based on age and sex. Fecal samples were collected from traditional stable farm in Siborongborong and Patumbak. These samples were divided into 5 groups; 0-3 months, 3-6 months, 6-9 months, 9-12 months and over 12 months old. Samples were examined quantitavely with McMaster method. The results showed that the nematodes found in those 2 areas were Ascaris suum, Trichuris suis and Oesophagostomum dentatum. Figs of three to six months old pig in Siborongborong were more found susceptible (P

Key Words: Ascaris suum, Trichuris suis, Oesophagostomum dentatum

PENDAHULUAN

Babi merupakan ternak yang mempunyai daya pertumbuhan dan perkembangan yang relatif pesat, selain itu babi merupakan sumber daging yang sangat efisien sehingga arti ekonominya sebagai ternak potong sangat tinggi (Sosroamidjojo 1991). Potensi ternak babi di Sumatera Utara pada tahun 2001 sebanyak 847.375 ekor, sementara populasi yang terdapat di provinsi tersebut hanya 807.375 ekor, dilihat dari data tersebut maka masih terbuka peluang investasi untuk budidaya ternak babi di provinsi itu sebanyak 40.000 ekor. Oleh karena itu banyak penduduk Sumatera Utara yang berternak babi baik secara intensif maupun semi intensif sebagai usaha dalam pemenuhan kebutuhan sehari-hari (Anonimous 2004a).
Menurut Sosroamidjojo (1991) babi rentan terhadap berbagai macam penyakit dan parasit, salah satunya adalah parasit cacing. Penyakit yang disebabkan oleh parasit cacing termasuk ke dalam penyakit menular. Parasit-parasit internal juga banyak menimbulkan kematian dan kelemahan dari babi-babi muda. Parasit internal yang penting diantaranya adalah cacing gelang (Ascaris suum); cacing nodul (Oesophagostomum spp.); cacing cambuk (Trichuris spp.), dan Koksidia (Isospora suis) (Williamson dan Payne. 1993; Anonimous 2000). Noble dan Noble (1989) mengatakan bahwa jumlah parasit terhadap inangnya ditentukan umur, jenis kelamin, iklim, musim dan lokasi geografik dari inang definitifnya. Lokasi penelitian yang pertama adalah Kecamatan Siborongborong Kabupaten Tapanuli Utara. Daerah tersebut merupakan daerah dataran tinggi yang terletak antara 300-1800 m di atas permukaan laut. Lokasi yang kedua adalah Kecamatan Patumbak Kabupaten Deli Serdang yang merupakan dataran rendah yang terletak antara 0-1500 m di atas permukaan laut.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbandingan prevalensi infeksi kecacingan pada babi di daerah Siborongborong dan Patumbak Sumatera Utara berdasarkan umur dan jenis kelamin babi.

MATERI DAN METODE
Materi
Penelitian ini dilaksanakan mulai bulan Juli sampai dengan Agustus 2003 di peternakan rakyat di Sumatera Utara. Jumlah sampel tinja yang diperoleh dari dua lokasi penelitian sebanyak 83 sampel yang terdiri dari 45 sampel dari Siborongborong dan 38 sampel dari Patumbak. Hal ini disesuaikan dengan jumlah ternak di lapangan. Sampel tinja ternak babi dibagi atas 5 (lima) kelompok umur yaitu (1) 0-3 bulan; (2) 3-6 bulan; (3) 6-9 bulan; (4) 9-12 bulan dan (5) umur lebih dari 12 bulan.

Metode
Pemeriksaan tinja dilakukan melalui pendekatan kuantitatif dengan metode McMaster yaitu menghitung jumlah telur dengan cara memisahkan telur dengan partikel tinja yang lain dengan menggunakan cairan pengapung. Pemeriksaan menggunakan mikroskop dengan pembesaran 10x10 untuk diidentifikasi dan dihitung jumlah telur cacing pada dua kamar hitung. Kemudian dihitung jumlah TTGT pada sampel dengan menggunakan rumus:

TTGT=
Keterangan:
n = Jumlah telur cacing dalam dua kamar hitung
Bt = Berat tinja
Vt = Volume total (volume tinja + larutan pengapung)
Vk = Volume kamar hitung

Untuk mengetahui perbedaan infeksi kecacingan pada kedua daerah tersebut berdasarkan umur dan jenis kelamin babi, maka data yang diperoleh dianalisis dengan Uji T (T-test).

HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil dari pengamatan yang dilakukan di laboratorium menunjukkan bahwa cacing nematoda yang ditemukan pada babi di daerah Siborongborong dan daerah Patumbak Sumatera Utara adalah cacing Ascaris suum, Trichuris suis dan Oesophagostomum dentatum.

Berdasarkan umur babi di daerah Siborongborong dan daerah Patumbak
Perbandingan prevalensi infeksi kecacingan pada babi dan pengaruh umur ternak babi terhadap derajat infeksi cacing parasitik di Siborongborong dan Patumbak dapat dilihat pada Tabel 1 dan Tabel 2.

Tabel 1. Perbandingan prevalensi infeksi kecacingan pada babi di daerah Siborongborong dan daerah Patumbak

Keterangan : 1). Umur 0-3 bulan, 2) Umur 3-6 bulan, 3) Umur 6-9 bulan, 4) Umur 9-12 bulan, 5) Umur lebih dari 12 bulan

Tabel 2. Perbandingan rataan TTGT berdasarkan umur babi di daerah Siborongborong dan daerah Patumbak

Perbandingan rataan TTGT berdasarkan umur babi di daerah Siborongborong dan daerah Patumbak

Keterangan : Tanda huruf (Superkrip) yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan hasil yang berbeda nyata (P

Prevalensi infeksi cacing A. suum tertinggi di Siborongborong terdapat pada babi berumur 3-6 bulan (100%), sedangkan di Patumbak terdapat pada umur lebih dari 12 bulan (75%). Prevalensi terendah cacing A. suum di Siborongborong adalah 33% (babi umur 0-3 bulan) dan di Patumbak 0% (babi umur 9-12 bulan) (Tabel 1). Menurut Niemeyer (1996) dan Johnstone (1998) ternak babi yang digemukkan (umur 2-5 bulan) adalah masa yang sangat rentan dengan ascariosis sehingga menunjukkan nilai infeksi A. suum yang tinggi. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan Suweta (1993) dan Niasono (2002) dimana prevalensi infeksi cacing A. suum tertinggi terdapat pada kelompok babi muda (dibawah 6 bulan). Corwin dan Tubs (1993) juga melaporkan bahwa pada umumnya telur cacing A. suum ditemukan dalam jumlah yang besar pada babi berumur 2-3 bulan dan kadang-kadang ditemukan juga pada babi yang lebih tua. Rataan total telur per gram tinja (TTGT) cacing A. suum tertinggi di Siborongborong juga terdapat pada babi umur 3-6 bulan yaitu 5080, sedangkan di Patumbak terdapat pada babi umur 6-9 bulan yaitu 3400 (Tabel 2). Infeksi A. suum pada babi umur 3-6 bulan di Siborongborong berbeda nyata (P Prevalensi cacing T.suis yang tertinggi di Siborongborong terdapat pada kelompok umur 3-6 bulan (30%), sedangkan di Patumbak terdapat pada kelompok umur 0-3 bulan (20%). Strueh (1997) mengatakan bahwa babi muda atau babi grower (kurang dari 6 bulan) biasanya lebih rentan terhadap T.suis dibandingkan dengan ternak yang lebih tua. Infeksi cacing pada kelompok umur lebih dari 6 bulan semakin sedikit bahkan prevalensi pada kelompok umur lebih dari 12 bulan 0% (Tabel 1). Hal ini tidak jauh berbeda dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Nsoso et al. (2000) yang menemukan prevalensi tertinggi pada babi muda sebesar 15%, sedangkan babi kelompok umur 12 bulan keatas adalah 0%. Infeksi T.suis berdasarkan umur ternak pada kedua daerah tersebut menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata.
Prevalensi infeksi cacing O.dentatum tertinggi di Siborongborong dan Patumbak terdapat pada babi umur 6-9 bulan, yaitu 55,56% dan 30% (Tabel 1). Perbandingan rataan TTGT cacing ini tidak menunjukkan perbedaan yang nyata antar kedua daerah tersebut. Straw (1996) mengungkapkan bahwa prevalensi infeksi O.dentatum pada sebuah peternakan adalah sebesar 33%. Daya tahan larvanya sangat bergantung pada kondisi yang lembab dan temperatur yang sesuai. Lebih rendahnya prevalensi O.dentatum dibandingkan dengan A.suum disebabkan karena cacing ini tidak mampu bertahan hidup pada kondisi yang terlalu panas ataupun terlalu dingin (Moncol 1994).
Berdasarkan jenis kelamin babi di daerah Siborongborong dan daerah Patumbak
Pengaruh jenis kelamin babi terhadap derajat infeksi cacing parasitik di Siborongborong dan Patumbak dapat dilihat pada Tabel 3

Tabel 3. Pengaruh jenis kelamin terhadap derajat infeksi cacing di Siborongborong dan Patumbak

Pengaruh jenis kelamin terhadap derajat infeksi cacing di Siborongborong dan Patumbak

Keterangan : Tanda huruf (Superkrip) yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan hasil yang berbeda nyata (P

Prevalensi infeksi A.suum tertinggi di Siborongborong terdapat pada babi jantan (63,63%), sedangkan di Patumbak terdapat pada babi betina (39,13%) (Tabel 3). Levine (1990) melaporkan bahwa daya tahan tubuh ternak terhadap infeksi parasit cacing dipengaruhi oleh jenis kelamin, umur dan kondisi gizi ternak. Menurut Suweta (1993) ternak betina mempunyai hormon oestrodiol yang dapat memacu tubuh inang untuk membentuk antibodi terhadap parasit, sedangkan pada jantan tidak mempunyai kemampuan itu. Infeksi A.suum pada babi di Siborongborong lebih tinggi dibandingkan dengan infeksi A.suum di Patumbak, hal ini dilihat dari jumlah rataan TTGT cacing A.suum namun secara statistik tidak berbeda nyata (P Pada daerah Siborongborong prevalensi infeksi T.suis dan O.dentatum tertinggi terdapat pada jantan sebanyak 13,63% dan 45,45%. Hal ini sangat berbeda dengan hasil di Patumbak, dimana prevalensi infeksi kedua cacing tersebut lebih banyak menyerang babi betina. Prevalensinya secara berurutan adalah 8,69% dan 17,39%. Hasil ini menunjukkan bahwa tidaklah cukup untuk menahan terjadinya infeksi cacing hanya dengan antibodi saja, namun diperlukan juga pemberian obat cacing yang efektif sehingga dapat membunuh larva cacing guna mencegah kerugian ekonomi akibat kerusakan yang timbul dari efek migrasi larva. Dilihat dari perbandingan rataan TTGT cacing T.suis antara babi jantan di Siborongborong dengan babi jantan di Patumbak, infeksi babi jantan di Siborongborong nyata (P Infeksi cacing O.dentatum lebih tinggi di Siborongborong dibandingkan dengan Patumbak. Menurut Kusumamihardja (1992) infeksi cacing O.dentatum berlangsung pada saat babi memakan makan di atas tanah atau makan tumbuh-tumbuhan yang mengandung larva infektif. Pakan babi di Siborongborong biasanya diberi daun ubi jalar, sedangkan di Patumbak jarang sekali diberi daun ubi jalar. Lantai kandang babi di Siborongborong terbuat dari tanah sehingga lantai mudah menjadi becek (basah). Kusumamihardja (1992) melaporkan bahwa telur O.dentatum yang keluar bersama tinja akan menetas dalam waktu 24-48 jam dalam tanah yang lembab. Kemungkinan hal inilah yang menyebabkan Oesophagostomiosis pada babi jantan di Siborongborong nyata (P Kisaran TTGT cacing A.suum dan T.suis tertinggi di Siborongborong terdapat pada babi jantan yaitu 200-17400 dan 600-1400, sedangkan kisaran TTGT cacing O.dentatum tertinggi terdapat pada betina yaitu 200-4000. Pada daerah Patumbak kisaran TTGT cacing A.suum tertinggi terdapat pada jantan yaitu antara 4800-15000, namun kisaran TTGT cacing T.suis dan O.dentatum tertinggi di Patumbak ditemukan pada babi betina yaitu 2000-3400 dan 400-2200 (Tabel 3). Menurut Wasito et al. (1991) jumlah telur per gram tinja hanya menunjukkan adanya infeksi parasit cacing, tetapi tidak memberikan informasi tentang banyaknya cacing yang ada.
Adanya perbedaan derajat infeksi cacing antara A. suum, T. suis dan O. dentatum pada babi di kedua lokasi penelitian disebabkan adanya perbedaan daya tahan telur cacing di lingkungan luar. Menurut Strueh (1997) telur cacing A. suum di luar tubuh tahan terhadap lingkungan yang basah dan hangat selama 30 tahun. Disamping itu telurnya sangat tahan terhadap kondisi yang tidak menguntungkan seperti pengeringan dan pembekuan juga terhadap bahan-bahan kimia (Soulsby 1982). Telur T. suis juga sangat tahan terhadap faktor lingkungan dan mampu bertahan di lingkungan selama 10 tahun (Strueh 1997), sedangkan telur O. dentatum sangat peka terhadap lingkungan.

KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa :

Babi di daerah Siborongborong Kabupaten Tapanuli Utara dan Patumbak Kabupaten Deli Serdang Sumatera Utara terinfeksi cacing Ascaris suum, Trichuris suis dan Oesophagostomum dentatum
Babi umur 3-6 bulan di daerah Siborongborong lebih rentan terhadap Ascariosis dibandingkan dengan babi di Patumbak.
Tidak terdapat pengaruh umur terhadap Trichuriosis dan Oesophagostomiosis.
Babi Jantan di Siborongborong lebih rentan terhadap Ascariosis, Trichuriosis dan Oesophagostomiosis dibandingkan babi betina.
Infeksi Trichuris suis dan Oesophagostomum dentatum pada babi jantan di Siborongborng lebih tinggi dibandingkan babi jantan di Patumbak.
Babi betina di daerah Patumbak lebih rentan terhadap Trichuriosis dan Oesophagostomiasis, sementara untuk Ascariosis babi jantan yang lebih rentan.
Tidak terdapat pengaruh yang nyata antara jenis kelamin terhadap Ascariosis pada babi

Saran
Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk melihat pengaruh cuaca dan sistem pemeliharaan terhadap infeksi cacing Ascaris suum, Trichuris suis dan Oesophagostomum dentatum di daerah dataran tinggi dan dataran rendah di Sumatera Utara.
Perlu diperhatikannya sanitasi kandang dan lingkungan peternakan untuk pengendalian penyakit parasit terutama kecacingan untuk memperoleh produksi ternak yang baik.

DAFTAR PUSTAKA

Anonimous. 2000. Internal Parasite (Endoparasite).
http://www.members.aol.com/FOREPAUGH/internal.Parasite.htm [9 November 2003]
Anonimous. 2003. Tapanuli. http://TapanuliCoffee.com [9 November 2003]
Anonimous. 2004a. Potensi Pengembangan Ternak. http://bangnak.ditjennak.go.id/md-41.htm [20 Januari 2004]
Anonimous. 2004b. Geografis Deli Serdang. http://www.pemkomedan.go.id/medan_info.htm [10 Februari 2004]
Corwin. RM. and R.C. Tubbs. 1993. Common Internal Parasite of Swine.
http://muextension.missouri.edu/explore/agguides/ansci/g02430.htm [15 Maret 2004]
Johnstone,C. 1998. Parasite and Parasitic Diseases of Domestic Animals. http://cal.nbc.upenn.edu/merial/Ascarids/images/Ascl76F.jpg [15 Maret 2004]
Kusmamihardja, S. 1992. Parasit dan Parasitosis pada Hewan Ternak dan Hewan Piaraan di Indonesia. Pusat Antar Universitas Bioteknologi, Institut Pertanian Bogor.
Levine, N.D. 1990. Parasitologi Veteriner. G. Ashadi, (penerjemah). Gadjah Mada Universitas Press Yogyakarta. Terjemahan dari Veterinary Parsitology.
Moncol, D.J. 1994. Parasitology Control and The Impact of Management Practices. Swine Parasitology: Health and Economic Considerations. North American Animal Health Division. USA.
Niasono, A.B. 2002. Prevalensi Infeksi Kecacingan Ternak Babi di Lingkungan Peternakan Kampus IPB Darmaga. Skripsi Fakultas Kedokteran Hewan. Institut Pertanian Bogor.
Niemeyer, H. 1996, Living the Life Cycle of Nematoda.in Pigs. An Int. Magazine on Pig Keeping 12:8-9.
Noble, E.R, dan G.A. Noble. 1989. Parasitologi: Biologi Parasit Hewan. Wardiarto, (penerjemah). Gadjah Mada Universitas Press Yogyakarta. Terjemahan dari Parasitology: The Biology of Animal Parasites.
Nsoso S.J., K.P. Mosala, R.T. Ndebele dan S.S. Ramabu. 2000. The Prevalence of Internal and Parasites in Pig of Different Ages and Sexes in Southeast Distrik, Botswana. Onderstepoort. Journal Veterinary Research 67:217-220.
Sosroamidjojo, S.M. 1991. Ternak Potong dan Kerja. CV. Yasaguna. Jakarta.
Soulsby, E.J.I. 1982. Helminth, Arthropods and Protozoa of Domestic Animal. 7 th ed. Bailliere, Tindall and Cassell. London.
Straw, B.E. 1996. Controlling Internal Parasites in Swine. http://ianrpubs.unl.edu/swine/g1049.htm [9 November 2003]
Strueh, K. 1997. Parasite in Swine.
http://www.anr.ces.purdue.edu/anr/anr/swine/health/kurtstrueh.html. [9 November 2003]
Suweta, I.G.P. 1993. Prevalensi Infeksi Cacing Ascaris suum pada Babi di Bali Dampaknya Terhadap Babi Penderita dan Upaya Penanggulangannya. Bali: Universitas Udayana. 78h.
Wasito., Salfina., Akhmad.H, Suryana. 1991. Prevalensi Parasit-Parasit Gastro-Intestinal pada Babi Yorkshire di Desa Lianganggang, Kabupaten Tanah Laut, Kalimantan Selatan. Jurnal Penyakit Hewan. Vol.XXIII No. 42.
Williamson, G dan W.J.A. Payne. 1993. Pengantar Peternakan di Daerah Tropis. Darmadja. SGN. (penerjemah). Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.