Thu 15 Feb 2007
Replikasi Virus Penyakit Jembrana pada Kultur Limfosit Darah Tepi asal Sapi Bali
Posted by admin under Jvet Vol 6(4) 2005Replikasi Virus Penyakit Jembrana pada Kultur Limfosit Darah Tepi asal Sapi Bali
(REPLICATION OF JEMBRANA DISEASE VIRUS IN PERIPHERAL LYMPHOCYTE CULTURE OF BALI CATTLE ORIGIN)
Nyoman Mantik Astawa1, Nining Hartaningsih2, DMN Dharma2, Wayan Masa Tenaya2, Budiantono2, Wayan Ekaana2
1.Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Udayana, Denpasar, Bali
2. Balai Penyidikan dan Pengujian Veteriner Wilayah VI Denapasar, Bali
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui replilkasi virus penyakit Jembrana (Jembrana disease/JD) pada kultur limfosit darah tepi asal sapi Bali. Limfosit dipisahkan dari darah sapi Bali yang bebas JD dan dikultur selama 3 hari dengan perangsang concanavalin (Con) A. Kultur sel ini kemudian diko-infeksi dengan limfosit yang diambil dari sapi bali yang pernah terserang JD dan kemudian ditumbuhkan dalam media penumbuh RPMI-1640 yang mengandung interleukin-2. Adanya replikasi virus JD pada kultur limfosit dilacak dengan uji immunoperoxidase dan uji western immunoblotting. Antigen virus JD di dalam sel dan medium kultur sel limfosit dapat dilacak teknik imunoperoksidase dan teknik Westernimmunobloting sekurang-kurangnya sampai 7 minggu setelah ko-infeksi. Replikasi virus JD dalam kultur limfosit diperkuat lagi oleh munculnya penyakit Jembrana pada sapi bali yang diinokulasi dengan medium dan dengan sel kultur limfosit terinfeksi. Penelitian ini menunjukkan bahwa virus JD dapat bereplikasi virus JD dalam kultur sel limfosit darah tepi asal sapi bali.
Kata kunci: virus penyakit jembrana, limfosit, darah tepi, concanavalin A, interleukin 2.
ABSTRACT
A study on the replication of Jembrana disease virus (JDV) in peripheral blood lymphocyte (PBL) culture has been carried out. The lymphocytes were collected from normal uninfected Bali cattle and stimulated in culture for three days with concanavalin A (Con A). This normal Con A-stimulated lymphocytes were then co-infected with lymphocytes collected from JDV-infected Bali cattle. The co-infected lymphocyte culture was maintained in RPMI-1640 growth medium supplemented with human interleukin-2 (hIl-2). The presence JDV in the medium and in the cytoplasm of infected cells was respectively detectable by western immunoblotting and immunoperoxidase techniques up to at least 7 weeks after co-infection. The replication of JDV in lymphocyte culture was further confirmed by development of typical JD in the Bali cattle inoculated with the medium and the cells of co-infected lymphocyte culture. This study shows a clear evidence for the replication of JDV in lymphocytes culture of bali cattle origin.
Key words: jembrana disease virus, lymmphocytes, peripheral blood, concanavalin A, interleukin 2
PENDAHULUAN
Penyakit Jembrana (Jembrana disease/JD) merupakan penyakit menular akut pada sapi Bali yang disebabkan oleh lentivirus dari familia Retroviridae. Penyakit ini mempunyai arti yang amat penting bagi perkembangan peternakan sapi Bali di Indonesia karena keberadaanya telah menghambat penyebaran sapi Bali ke berbagai daerah. Kendala utama yang dihadapi dalam mempelajari sifat virus JD adalah belum ditemukannya cara untuk mengisolasi dan menumbuhkan virus tersebut secara in vitro. Sampai saat ini, studi tentang sifat-sifat biologis virus JD hanya dapat dilakukan pada inang alaminya yaitu sapi Bali. Cara ini selain tidak praktis, juga mahal untuk dipakai dalan presedur rutin. Oleh sebab itu, upaya untuk menumbuhkan virus JD in vitro menjadi amat penting.
Banyak cara telah dicoba untuk mengisolasi dan menumbuhkan virus JD di laboratorium Berbagai hewan laboratorium seperti mencit, marmut, kelinci, dan tikus telah dicoba tanpa memberikan hasil yang memuaskan. Hewan tersebut diinokulasi dengan plasma dari sapi Bali terinfeksi virus JD yang diambil pada saat demam hari ke-2 yang diperkirakan mengandung 108 CID50 virus JD per ml plasma. Namun, setelah diamati selama beberapa hari, hewan yang diinokulasi tidak menunjukkan gejala klinis (Kertayadnya dkk, 1997). Selain hewan laboratorium, berbagai jenis kultur sel, baik kultur sel primer maupun kultur sel lestari, juga telah dicoba. Kultur sel primer yang pernah dicoba untuk mengisolasi virus JD adalah kultur sel asal embrio sapi Bali seperti ginjal, paru-paru, makrofag dan jenis sel lainnya. Kultur sel tersebut diinokulasi dengan material infektif virus JD. Akan tetapi, tidak satupun jenis sel tersebut dapat dipakai untuk menumbuhkan virus JD. Selain itu, percobaan dengan berbagai jenis kultur sel lestari seperti Vero (African green monkey kidney), CV1 (African green monkey kidney), BHK-21 (hamster kidney), EBTr (embryonic bovine turbinate), MDBK (Madin Durby bovine kidney) juga tidak memberikan hasil yang memuaskan (Kertayadnya dkk, 1997).
Sementara semua upaya di atas tidak berhasil, uji imunohistokimia dan hibridisasi in situ menunjukkan bahwa , di dalam tubuh sapi, virus JD menginfeksi limfosit. Limfosit yang terinfeksi virus JD ditemukan dalam limpa, ginjal, limfoglandula, paru-paru, dan jaringan lain yang terinfiltrasi oleh limfosit. Di dalam limpa, limfosit yang terinfeksi virus JD lebih banyak ditemukan di daerah parafolikuler ketimbang di daerah folikuler sehingga diasumsikan bahwa virus JD menyerang limfosit T (Chadwick dkk, 1997; Dharma, 1997). Itu sebabnya dalam penelitian ini dicoba untuk menumbuhkan virus JD pada kultur sel limfosit sapi Bali dengan harapan kultur sel ini dapat dipakai untuk mepelajari sifat biologis virus JD in vitro.
MATERI DAN METODE
Penyiapan kultur sel limfosit darah tepi
Limfosit darah tepi (peripheral blood lymphocytes /PBL) asal sapi Bali yang bebas dari penyakit Jembrana disiapkan dengan cara berikut. Darah dari sapi Bali bebas JD diambil secara aseptis, ditampung dalam tabung steril yang mengandung antikoagulan EDTA, dan dipusingkan dengan kecepatan 2500 rpm selama 10 menit. Lapisan putih (buffy coat) di antara sel darah merah dan plasma diambil dan disuspensikan dalam media tanpa serum. Limfosit dipisahkan dari buffy coat dengan sentrifugasi gradium densitas ficoll-paque dengan kecepatan 3000 rpm selama 45 menit. Lapisan limfosit diambil dan dicuci tiga kali dengan media tanpa serum. Limfosit ini kemudian disuspensikan dalam media RPMI-1640 yang mengandung 20% newborn calf serum (NBCS, MultiSer, New Zaeland), 100 IU /ml penisilin, 100 ïg per ml streptomisin, 20 ïg per ml 20 ïg polybreen per ml and 5 ïg per ml concanavalin A (Con A). Setelah jumlahnya dihitung dengan hemositometer, limfosit ditumbuhkan dengan kepadatan 106 sel per ml medium pada suhu 37oC dengan kandungan CO2 di udara sebesar 5%. Setelah inkubasi selama 3 hari, limfosit tersebut diko-infeksikan dengan limfosit sapi Bali yang terserang JD dan ditumbuhkan dalam media PMI-1640 yang mengandung 20% newborn calf serum (NBCS, MultiSer, New Zaeland), 100 IU /ml penisilin, 100 (g per ml streptomisin, 20 (g per ml 20 (g polybreen per ml and 5 ïg per ml, 20 IU per ml recombinant human interleuin-2 (hIL-2). Kultur sel ini kemudian diinkubasikan kembali pada 37oC dan setiap minggu ditambahkan limfosit sapi bali normal (feeder) yang dirangsang dengan Con-A.
Deteksi pertumbuhan virus JD pada kultur sel limfosit darah tepi
Deteksi virus JD di dalam sel terinfeksi
Adanya virus JD atau protein khas virus JD di dalam kultur limfosit yang terinfeksi ditentukan dengan uji imunoperoksidase. Dalam uji ini, sel asal kultur limfosit yang terinfeksi virus JD dibuat sedian usap (smear) di atas obyek glas yang telah dilapisi dengan poly-L-lysine, dikeringkan di udara, dan selanjutnya difiksasi dengan aceton yang mengandung 3% H2O2. Setelah dicuci dengan PBS, ke atas obyek glas ditambahkan serum kelinci normal dan diikuti antibodi monoklonal anti-virus JD, serta dibiarkan pad suhu kamar selama 1 jam. Setelah pencucian seperti di atas, ke atas obyek glas ditambahkan anti-mouse IgG yang dilabel dengan horseradish peroxidase (HRP), (Bio-Rad, USA) dan kembali dibiarkan pada suhu kamar selama satu jam. Adanya reaksi antara antigen JD dan antibodi anti-virus JD di dalam sel terinfeksi, divisualisasikan dengan penambahan substrat diamino benzidine (DAB). Setelah pewarnaan latar belakang dengan Harris hematoxyline, sel yang terinfeksi diperiksa di bawah mikroskop.
Deteksi virus JD pada media kultur limfosit terinfeksi
Adanya virus JD dalam media kultur sel terinfeksi dilacak dengan uji Westernimmunoblotting. Dalam hal ini, media kultur limfosit terinfeksi virus JD ditampung dan disentrifugasi dengan kecepatan 28000 rpm selama 2 jam. Pelet virus yang terdapat di dasar tabung sentrifugasi dilarutkan dalam sample reducing buffer (2,5% SDS, 5% mercaptoethanol, 0,0625M Tris-HCl pH 6,8, 10% glycerol, 0,001% bromophenol blue) dan dididihkan selama 5 menit pada suhu 95oC. Sampel kemudian dianalisis dengan sodium dodecyl sulfate-polyacrylamide eleectrophoresis (SDS-PAGE) menggunakan 12,5% separating gel dan 4% stacking gel. Protein virus JD dalam gel kemudian ditransfer ke membran nitroselulosa dengan larutan Tris-glycine- methanol (TGM). Setelah diblok dengan larutan gelatin 2%, adanya protein khas virus JD pada membran nitroselulosa dilacak dengan penambahan antibodi poliklonal atau antibodi monoklonal (produksi sendiri), diikuti dengan penambahan anti-IgG yang dilabel dengan alkaline phosphatase (Bio-Rad, USA) pada pengenceran 1:1000. Reaksi antigen antibodi pada membran nitroselulosa kemudian divisualisasikan dengan penambahan substrat NBT-BCIP (Bio-Rad, USA).
Inokulasi kultur sel limfosit terinfeksi pada sapi Bali bebas JD
Tujuh minggu setelah inkubasi pada suhu 37oC dengan penambahan limfosit (feeder) dari sapi normal yang dirangsang dengan Con-A, kultur limfosit yang terinfeksi JD ditampung dalam tabung steril dan dipusingkan pada kecepatan 1500 rpm selama 5 menit. Sel dan medium supernatannya dipisahkan. Sel dicuci 2 kali dengan media tanpa serum dan disuntikan ke 2 ekor sapi, sedangkan 5 ml mediumnya disuntikkan ke 1 ekor sapi Bali. Sapi diinokulasi dengan medium dan sel terinfeksi JD kemudian diamati terhadap adanya Jembrana seperti peningkatan suhu tubuh, penurunan jumlah leukosit dan gejala lain yang khas JD. Satu ekor sapi yang disuntik dengan sel terinfeksi JD dibunuh pada saat demam hari ke-3 untuk melihat adanya perubahan patologi khas JD.
HASIL
Karakteristik kultur sel limfosit yang terinfeksi virus JD
Limfosit sapi Bali normal yang ditumbuhkan pada media RPMI-1640 yang mengandung concanavalin (con) A sebagai mitogen, tampak tumbuh dengan cepat. Pertumbuhan sel ini dapat dipertahankan dengan mengganti Con A dengan hIL-2 konsenterasi 5 unit per ml medium. Morfologi limfosit yang ditumbuhkan dengan cara ini tampak sedikit berubah dengan munculnya sel berbentuk lonjong dan berukuran yang lebih besar dari normal (data tidak diperlihatkan). Selanjutnya tidak ditemukan adanya efek sitopatik pada sel yang terinfeksi virus JD (Gambar 1A). Adanya limfosit yang terinfeksi virus JD dapat terdeteksi dengan uji imunoperoksidase menggunakan antibodi monoklonal. Dalam hal ini, sel terifeksi tampak berwarna coklat dan sel yang tidak terifeksi tampak berwarna ungu (Gambar 1B). Uji imunoperoksidase juga menunjukkan bahwa hanya sebagian kecil limfosit yang ditumbuhkan dengan cara ini terinfeksi virus JD.
Gambar 1A. Kultur limfosit yang diinfeksi dengan virus JD. Limfosit yang dirangsang dengan con A dikonifeksikan dengan limfosit asal sapi terinfeksi JD. Kultur limfosit terinfeksi ditumbuhkan dalam media yang mengandung interleukin 2. Antigen virus JD dalam limfosit terinfeksi divisuaisasikan dengan teknik immunoperoxidase seperti yang diuraikan di atas. A. Kultur limfosit terinfeksi divisualisasikan dengan mikroskop fasecontrast. B. Limfosit terinfeksi dalam uji imunoperoksidase (tampak sel terinfeksi berwarna coklat sedangkan limfosit normal berwarna ungu)
Gambar 1B. Virus JD juga dapat dilacak pada media kultur limfosit terifeksi dengan teknik western immunoblotting. Seperti tampak pada gambar 2, jumlah dan berat molekul protein khas virus JD yang terdeteksi pada media kultur sel limfosit tidak berbeda dengan yang ditemukan dalam plasma sapi Bali terinfeksi JD yang diambil pada saat demam hari kedua. Protein khas virus JD dalam medium kultur sel dapat dilacak dengan antibodi monoklonal terhadap protein p26 dan protein p16 dan dengan antibodi poliklonal antivirus JD.
Semua sapi Bali yang diinokulasi dengan medium dan sel dari kultur limfosit terinfeksi JD memperlihatkan gejala kilinis dan perubahan patologi yang khas virus JD (Table 1 dan 2). Seperti yang terlihat pada tabel 1, ketiga sapi menunjukkan gejala demam dan penurunan jumlah lekosit secara tajam pada saat menderita demam. Sementara itu, perubahan patologi anatomi dan histopatologi khas JD juga ditemukan pada limpa, paru, hati, ginjal dan usus dengan tingkat keparahan dari ringan sampai parah (Tabel 2).
Gambar.2. Analisis protein virus JD asal medium kultur limfosit terinfeksi dengan teknik western immunoblotting. Medium kultur limfosit dipusingkan pada kecepatan 28.000 rpm selama 2 jam. Peletnya dianalisis dengan teknik Wsetern immunobloting menggunakan antibody monoklonal dan poliklonal seperti yang dijabarkan di atas. Antibodi: campuran antibodi monoklonal anti-potein p26 dan p16 virus JD (1-4), antibodi poliklonal anti-virus JD (6-9). Antigen: medium kultur limfosit normal (1 dan 6), pelet medium kultur limfosit 7 hari pasca ko-infeksi), pelet media kultur limfosit terinfeksi 7 minggu pascako-infeksi (3 dan 7), dan pelet plasma sapi bali saat demam hari ke-2 (4 dan 9). Protein standar sebagai penamda berat molekul (5 dan 10). Perhatikan: Protein virus JD dapat dilacak dalam medium kultur limfosit pada hari ke-7 setelah ko-infeksi dan 7 minggu setelah ko-infeksi protein JD tersebut sama dengan proein virus JD yang ditemukan dalam plasma Bali penderita JD.
Table 1. Perubahan suhu tubuh dan jumlah lekosit sapi bali yang diinfeksi dengan media dan sel dari kultur limfosit terinfeksi virus penyakit Jembrana
Hari pascainfeksi
Dinfeksi dengan sel terinfeksi
Diinfeksi dengan medium sel terinfeksi
Sapi bali (CB016)
Sapi Bali (CB14)
Sapi Bali (CB015)
-1
38,2
7500
38,6
8350
38,2
7650
+1
38,5
7400
38,4
8140
38,3
7650
+4
38,3
9000
38,4
7950
38,5
8500
+5
38,0
7600
38,2
5950
38,1
9900
+6
40,0
2300
40,5
2650
38,8
4900
+7
40,3
—
40,8
—-
39,8
3500
+8
40,5
2600
41,5
32000
40,6
2250
+9
40,5
2800
Mati
40,9
2950
+10
40,1
3700
40,9
2900
+11
40,2
4700
Dibunuh
+12
Dibunuh
Tabel 2. Perubahan patologi organ sapi yang diinfelksi dengan medium dan sel dari kultur limfosit yang diifeksi dengan virus penyakit Jembrana
No.sapi
limpa
Paru-parul
ginjal
Hati
Usus
PA
HP
PA
HP
PA
HP
PA
HP
PA
HP
CB14
+++
+++
+
+
+
+
+
+
+
+
CB15
++
+++
+
+
+
+
+
+
+
-
CB16
++
+++
+
+
+
+
+
+
+
-
Keterangan:
PA
: Perubahan patologi Anatomi
+++
: Parah
+
: Ringan
HP
: Perubahan histopatologi
++
: Sedang
-
: Tidak ada perubahan
PEMBAHASAN
Karakteristik Kultur Limfosit yang terinfeksi virus JD
Limfosit merupakan jenis sel yang sangat sulit untuk dikultur secara in vitro. Dengan teknik tertentu seperti penambahan lektin dan interleukin di dalam medium, sel ini dapat dikultur, meskipun kemampuan tumbuhnya sangat terbatas. Dalam percobaan ini limfosit asal sapi Bali normal dirangsang dengan lektin concanavalin A. Senyawa ini telah dilaporkan mampu merangsang pertumbuhan limfosit T (terutama sel T CD4+) bila ditambahkan pada media kultur limfosit (Smith dkk, 1994). Cara ini dilakukan karena virus JD tergolong lentivirus (Wilcox dkk, 1991) dan ada dugaan kuat bahwa virus ini menyerang sel T (terutama sel T penolong CD4+) (Dharma dkk, 1997; Chadwick dkk, 1997). Lentivirus lainnya yang juga dilaporkan menyerang sel T CD4+ adalah human immunodeficiency virus (HIV) (Brinchmann dkk, 1990) dan feline immunodeficiency virus (FIV) (Brown dkk 1991).
Limfosit yang tumbuh, morfologi dan ukurannya berubah dari sferik menjadi agak lonjong dan berukuran lebih besar. Perubahan ini sangat mungkin disebabkan oleh berubahnya limfosit dewasa menjadi sel limfoblastoid sebagai akibat dari rangsangan mitogen yang ada dalam medium. Pada mualanya, kultur limfosit yang telah diko-infeksikan dengan limfosit asal sapi bali yang pernah terserang virus JD, secara morfologis tidak tampak sama dengan kultur sel limfosit normal. Selain itu, tidak ditemukan adanya efek sitopatik pada kultur limfosit yang terinfeksi JD. Keadaan ini sangat berbeda dengan virus HIV. Pada kultur limfosit yang terinfeksi HIV sering ditemukan adanya efek sitopatik berupa sinsitium (sel besar berinti banyak) dan kemmapuan virus HIV untuk membentuk sinsitium ini berkaitan erat dengan stadium penyakit yang diderita oleh pasien (Tesmette dkk, 1989; Xie dkk, 1998).
Meskipun kultur limfosit yang terifeksi virus JD tidak menunjukkan kelainan (efek sitopatik), adanya antigen virus JD di dalam limfosit dapat dilacak dengan teknik imunoperoksidase menggunakan antibodi monoklonal. Namun, tampaknya hanya sebagian kecil limfosit yang dikultur dengan cara ini dapat terinfeksi virus JD (gambar 1). Rendahnya persentase sel dalam kultur limfosit yang terinfeksi virus JD sangat mungkin disebabkan oleh kekhasan sel target virus JD. Lentivirus umumnya menyerang limfosit T terutama sel T penolong (CD4+). Jika hal ini juga terjadi pada virus JD, maka ada kemungkinan bahwa sel target virus JD adalah sel CD4+. Hal ini sesuai dengan hasil pelacakan sel terinfeksi virus JD dengan teknik imunoperoksidase dan hibridisasi in situ pada limpa sapi terifeksi JD yang menunjukkan bahwa limfosit yang terinfeksi di daerah parafolikel (daerah sel T) jauh lebih banyak jika dibandingkan dengan yang ada di daerah folikel (daerah sel B) (Dharma, 1997, Chadwick dkk, 1997). Untuk menentukkan jenis limfosit yang terinfeksi virus JD perlu dilakukan uji immunoperoksidase dengan teknik double labeling.
Bukti lain tentang adanya replikasi virus JD pada kultur limfosit darah tepi adalah terlacaknya virus tersebut pada pelet media yang diperoleh dengan cara pemusingan kecepatan tinggi media kultur limfosit yang diinfeksi dengan virus JD. Pada uji, ini virus sudah dapat JD dilacak dalam medium 1 minggu setelah ko-infeksi dan makin jelas setelah minggu ke-7 pascako-infeksi. Jumlah protein dan berat molekulnya tidak dapat dibedakan dengan virus JD yang ditemukan plasma sapi Bali terserang virus JD yang diambil pada saat hari-2 demam. Pada saat ini titer virus JD yang ditemukan dalam plasma sangat tinggi (108CID50 per ml plasma) (Soeharsono dkk, 1995) dan dipakai sebagai sumber antigen virus JD untuk uji ELISA (Hataningsih dkk, 1993) dan uji Western Immunoblotting (Kertayadnya dkk, 1995).
Bukti lebih lanjut tantang adanya replikasi virus dalam kultur limfosit darah tepi adalah adanya gejala klinis dan perubahan patologi penyakit jembrana pada sapi Bali yang diinokulasi dengan medium dan sel asal kultur limfosit yang telah ditumbuhkan dan di-feed dengan limfosit sapi bali normal selama 7 minggu. Seperti tampak dalam tabel 1, ketiga sapi yang diinukulasi dengan kultur limfosit terinfeksi menunjukkan gejala klinis dan hematologi yang khas penyakit jembrana. Demam tinggi > 40oC dan penurunan jumlah leukosit adalah gejala umum sapi bali yang terserang penyakit jembrana (Soesanto dkk, 1990). Selain itu, pemeriksaan patologi anatomi juga menunjukkan bahwa sapi yang diifeksi dengan kultur limfosit terinfeksi menunjukkan adanya perubahan yang khas. Perubahan yang paling menjolok adalah pembesaran limpa (Tabel 2). Perubahan ini sesuai dengan yang dilaporkan (Dharma , 1997).
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa virus JD dapat bereplikasi pada kultur limfosit darah tepi asal sapi Bali. Namun, dalam tehnik ini masih diperlukan mitogen seperti interleukin 2 yang harganya mahal sehingga tidak praktis digunakan dalam presedur rutin. Oleh karena itu upaya untuk dapat menumbuhkan virus JD pada kultur sel lestari masih perlu terus dilakukan.
SIMPULAN
Berdasarkan hasil uji Westernimmunoblotting, immunoperoksidase dan inokulasi kultur limfosit terinfeksi ke sapi Bali yang rentan, dapat disimpulkan bahwa virus penyakit Jembrana dapat bereplikasi pada kultur limfosit darah tepi asal sapi Bali
DAFTAR PUSTAKA
Brinchmann, J.E., Goundernack, G. and Vartdal, F. 1990. CD8+ T cells inhibit HIV replication in naturally infected CD4+ T cells. J. Immunol. 144 : 2961 – 2966.
Brown, W.C., Bissey, L., Logan, K.S., Pedersen, N.S., Elder, J.H. and Collison E.W. 1991. Feline immunodeficiency virus infects both CD4+ and CD8+ T lymphocytes. Jounal of Virology 65 : 3359 – 3364.
Chadwick, B.J, Desport, M., Dharma, D.M.N., Browblie, J. and Wilcox, G.E. 1997. Detection of Jembrana Disease virus in paraffin-embedded tissue sections by in situ hybridazation. Workshop on Jembrana Disease and the bovine lentivirus Denpasar Bali, . ACIAR Proceeding 75: 66-71
Dharma, D.M.N. 1997. The pathology of Jembrana disease, Workshop on Jembrana Disease and the bovine lentivirus Denpasar Bali. ACIAR Proceeding 75: 26 – 28
Hartaningsih, N., Soehrsono, S., Dharma, DMN, Kertayadnya, G., Sulistyana, K.,Budiantono, A., and Wilcox, G.E. 1997. The developpment and use of a vaccine for control of Jembrana disease. Workshop on Jembrana Disease and the bovine lentivirus Denpasar Bali. ACIAR Proceeding 75 : 85 - 87
Kertayadnya, G. , Wilcox, G.E., Soeharsono, S., Hartaningsih, N., Coelen, R.J. Cook, RD,, Collin, M.E. and Brownlie. J. 1993. Characteristics of a retrovirus associated with jembrana disease in bali cattle. J. of General Virology 74:1765-1774
Kertayadnya, G. Soeharsono, S., Hartaningsih, N., and Wilcox, G.E. 1997. Physicochemical characteristics of a virus associated with jembrana disease. Workshop on Jembrana Disease and the bovine lentivirus Denpasar Bali. ACIAR Proceeding 75 : 43-48
Smith, H.E., Jacobs, R.M. and Mallard, B. 1994. Cell-associated and humoral immunity of sheep exposed to bovine immunodeficiency-like virus. Comparative Immunology, Microbiology and Infctious Diseases 17: 29-39.
Soeharsono, S., Wilcox, G.E, Dharma, DMN, Hartaningsih , N. Kertayadnya, G., and budiantono, A. 1995. Tramsmition of jembrana disease, a lentivirus disease of Bos javanicus cattle. Epidemiology and Infection 115 : 367 – 374.
Soesanto, M., Wilcox, G.E., Budiantono, A., Sulistyana, K., Tenaya, M. and Wilcox, G.E. 1990. Studies on experimental Jembrana disease in Bali cattle II; Clinical signs and hematological changes. Journal of Comparative Pathology 112 : 391 – 402
Tesmette, M., Gruters, R.A., De wolf, F., De Goide, R.E.Y., Lange, J.M.A, Schellekens, P.T.A., Goudsmith, J., Huisman, J.G. and Miedema, F. 1989. Evidence for a role of virulent human immunodeficiency virus (HIV) variants in pathogenesis of AIDS obtained from a panel of sequential HIV isolates. Journal of Virology 63: 2118-2125
Wilcox , G.E. Chadwick, B.J. and Kertayadnya, G. 1995. Jembrana disease virus: a new bovine lentivirus producing an acute severe clinical disease in Bos javanicus cattle. Abstaract in third International Conggress on Veterinary Virology , Interleken, Switzerland 4-7 September 1994.
Xie, X., Shoida, T, Fukushima, M., Hu, H, Oka, S., Iwamoto, A. and Nagai, Y. 1998. Facilitation of HIV isolation from patients by neuraminidase. Archives of Virology 143: 85-95.