Thu 15 Feb 2007
Analisis Nilai Gizi Daging Itik Bali
Posted by admin under Jvet Vol 6(4) 2005Analisis Nilai Gizi Daging Itik Bali
(THE ANALYSIS OF MEAT NUTRTIVE VALUES OF BALI LOCAL DUCKS)
I. Wayan Suardana, I.B.N.Swacita dan Heryanto B.Bora.
Laboratorium Kesehatan Masyarakat Veteriner, Fakultas Kedokteran Hewan
Universitas Udayana, Jl. P.B.Sudirman, Denpasar, 80232.
ABSTRAK
Analisis terhadap nilai gizi daging itik Bali dimaksudkan untuk memperoleh informasi dan gambaran nilai gizi dari daging itik Bali, sekaligus untuk memperkenalkan secara luas potensi dari peternakan itik Bali di Indonesia. Sebanyak 18 ekor itik diambil dari tiga kabupaten di Bali yaitu : Kabupaten Buleleng, Karangasem dan Bangli. Parameter nilai gizi yang diamati yaitu kadungan protein, lemak, karbohidrat dan kadar abu dari daging. Hasil penelitian menunjukkan bahwa prosentase protein daging itik dari Kabupaten Buleleng yakni 14.82 + 0.18, Bangli 13.78 + 0.09 dan Karangasem 12.74 + 0.01. Prosentase kadar lemak dari Kabupaten Karangasem sebesar 3.47 + 0.14, Bangli 2.44 + 0.02 dan Buleleng 2.25 + 0.18. Prosentase kadar abu dari Kabupaten Buleleng sebesar 1.32 + 0.02, Bangli 1.26 + 0.02 dan Karangasem 1.05 + 0.04 dan rata-rata prosentase karbohidrat daging itik dari Kabupaten Buleleng sebesar 0.07 + 0.0023, Karangasem 0.06 + 0.0041 dan kabupaten Bangli 0.04 + 0.0001. Berdasarkan atas hasil penelitian tersebut ditemukan bahwa nilai gizi dari daging itik Bali masih berada dalam kisaran standar nilai gizi seperti daging itik lainnya serta dapat disimpulkan bahwa itik Bali sangat potensial untuk dikembangkan sebagai itik pedaging untuk konsumsi masyarakat luas.
Kata kunci : Itik Bali, Nilai gizi daging
ABSTRACT
In analysis on the nutrive values of local Balinese duck meat was carried out. The aim was to asses the potential of local Balinase duck to be used as the source of animal protein for human consumption in Indonesia. The meat of local Balinese duck originated from 3 districts in Bali (Buleleng, Bangli and Karangasem) were analysed for their total protein, fat, and ash levels. The result showed that the level of total protein were Buleleng ( 14.82 + 0.18), Bangli (13.78 + 0.09) and Karangasem (12.74 + 0.01). The fat levels of the duck meat were Buleleng (2.25 + 0.18), Bangli (2.44 + 0.02) and Karangasem (3.47 + 0.14). The ash levels were Buleleng (2.25 + 0.18), Bangli (2.44 + 0.02) and Karangasem (1.05 + 0.04). The values showed that the nutrive values of local Balinese duck meat were on the range of those of the ducks and it can, therefore be concluded that local Balinese dukcs are the potential source of animal protein for human consumption in Indonesia.
Key words : Bali local duck, nutritive meat values.
PENDAHULUAN
Konsumsi daging di Indonesia umumnya berasal dari daging sapi. Dalam Anon (1996), dinyatakan bahwa laju peningkatan permintaan daging belum dapat diimbangi oleh laju peningkatan produksi, sehingga diperkirakan masih diperlukan impor daging. Impor daging ini terutama diperlukan untuk memenuhi permintaan konsumen, hotel atau rumah makan yang membutuhkan daging bermutu baik. Oleh karena itu perlu dicari penghasil daging selain ternak ruminansia besar sebagai alternatif untuk mempercepat upaya peningkatan produksi daging, baik untuk mengurangi impor daging maupun sebagai konsumsi masyarakat untuk peningkatan gizi.
Salah satu alternatif yang dapat ditempuh adalah dengan jalan diversifikasi produk yaitu pemanfaatan produk-produk unggas, baik unggas yang sudah populer (ayam ras dan buras) maupun unggas lainnya (itik dan entok). Ternak itik sebagai salah satu sumber protein hewani memang patut dipertimbangkan.
Ternak itik memiliki kelebihan jika dibandingkan dengan ternak unggas yang lainnya. Ternak itik lebih tahan terhadap penyakit sehingga pemeliharaannya mudah dan kurang mengandung resiko. Selain itu juga, itik memiliki efisiensi dalam merubah pakan menjadi daging yang baik (Akhadiarto, 2002).
Berbagai jenis atau galur itik lokal telah dikenal di Indonesia, walaupun pengelompokan dan penamaan jenis-jenis tersebut terutama didasarkan hanya pada lokasi geografis dan sifat-sifat morfologis (Hetzel, 1986). Itik merupakan ternak unggas yang paling terkenal sesudah ayam diseluruh negara-negara Asia.
Menurut Bharoto (2001), jenis-jenis itik di Indonesia adalah: itik Tegal, itik Mojopuro, itik Alabio, itik Manila (entok), itik Brati dan itik Bali. Itik Bali di kepalanya kadang-kadang ada jambul, badannya tegak seperti botol, kepalanya kecil, leher lebih pendek dari itik Tegal, bagian belakang sempit dengan ekor pendek hampir mendatar, itik ini banyak dipakai untuk keperluan upacara-upacara adat dalam agama Hindu dan produksi telurnya berkisar antara 140-200 butir pertahun. Menurut Simanjuntak (2000), Itik Bali sering dijuluki sebagai “Itik Pinguinâ€. Sosoknya hampir sama dengan itik Jawa, tetapi lehernya lebih pendek dan bagian belakang tubuhnya tidak begitu lebar. Warna bulunya lebih terang dibandingkan dengan itik Jawa. Ada tiga macam warna bulu itik Bali yang biasanya ditemukan, yakni warna sumbian (menyerupai warna jerami padi), cemaning (kombinasi warna hitam dan putih), dan selam gulai (hitam seperti warna gula aren).
Menurut Triyantini dkk., (1997), rataan kandungan air, protein, lemak dan abu pada daging unggas (ayam ras, buras, itik dan entok) bervariasi, tetapi tidak jauh berbeda. Daging itik memiliki kandungan air 60,19 % - 73.91 %, protein 13,63 % - 19,11 %, lemak 0,50 %– 22,00% dan kadar abu 0,54 % - 1,09 %. Sedangkan Grow, (1975) dalam Srigandono, (1986), meyatakan bahwa komposisi daging itik terdiri dari air 68,0 %, protein 21,4 %, lemak 8,2 %, abu 1,2 %, dan nilai energi per 100 g sebesar 159 Kkal. Khususnya untuk itik Bali, informasi tentang gambaran nilai gizinya sampai saat ini belum ada, sehingga penelitian ini perlu dilakukan dengan harapan daging itik Bali dapat menjadi sumber protein alternatif atau pilihan bagi masyarakat Bali termasuk wisatawan yang berkunjung ke Bali.
MATERI DAN METODE
Materi
Penelitian ini menggunakan 18 ekor itik Bali (Anas sp) betina bulu sumi berumur 6-8 bulan, berat 1-1,5 kg yang diambil dari daging bagian dada (pectoralis superficialis), yang diambil dari tiga lokasi yaitu: Kabupaten Buleleng, Karangasem dan Bangli.
Pereaksi yang digunakan dalam penentuan kadar protein, lemak, karbohidrat dan kadar abu adalah pereaksi Biuret : CuSO4, 5H2O, larutan protein standar, pelarut lemak : dietil eter, pereaksi anthrone 0,1 % dalam asam sulfat pekat, larutan glukosa standar 0,2 mg/ml.
Alat-alat yang digunakan adalah : spektrofotometer, sentrifuse, waring blender, alat ekstraksi soxhlet lengkap dengan kondensor dan abu lemak, alat pemanas listrik, oven, timbangan analitik, pipet 1 ml, 5 ml, tabung reaksi, kelereng/corong kecil, water bath 100 0C, kuvet, cawan pengabuan, nikel atau silika lengkap dengan tutupnya, tanur pengabuan dan penjepit cawan.
Metode
Penentuan Kadar Protein
Langkah pertama dalam penentuan kadar protein adalah dengan pembuatan kurva standar, selanjutnya dipersiapkan sampel yang akan diteliti yaitu : sampel harus berupa cairan, jika berbentuk padatan maka harus dihancurkan dulu dengan menggunakan waring blender dan penambahan air. Hancuran yang diperoleh disaring lalu di sentrifius. Protein yang terukur pada supernatan adalah soluble protein.
Penentuan Kadar Lemak
Penentuan kadar lemak dilakukan dengan alat ekstraksi soxhlet, dengan prosedurnya yaitu : labu lemak dikeringkan dalam oven dan didinginkan dalam desikator kemudian ditimbang, Sampel dalam bentuk tepung ditimbang sebanyak 5 gr langsung dalam saringan timbel, kemudian ditutup dengan kapas-wool yang bebas lemak. Timbel atau kertas saring yang berisi sampel tersebut diletakkan dalam alat ekstraksi Soxhlet, kemudian diatasnya dipasang alat kondensor. Pelarut dietil eter atau petroleum eter dituangkan kedalam labu lemak secukupnya, disesuaikan dengan ukuran Soxhlet yang digunakan. Refluks dilakukan selama minimum 5 jam. Pelarut yang ada didalam labu lemak didistilasi dan pelarutnya ditampung. Selanjutnya labu lemak yang berisi lemak hasil ekstraksi dipanaskan dalam oven pada suhu 1050C. Setelah dikeringkan sampai berat tetap lalu didinginkan dalam desikator kemudian labu beserta lemaknya tersebut ditimbang. Berat lemak lalu dihitung dalam perhitungan % lemak
Penentuan Kadar Karbohidrat
Langkah pertama dalam penentuan kadar karbohidrat adalah dengan pembuatan kurva standar dengan tahapan kerjanya yaitu : Pada tabung reaksi 0,0 (blanko), diisi dengan larutan glukosa standar. Kemudian ditambahkan air sampai total volume masing-masing tabung reaksi 1.0 ml. Pada masing-masing tabung reaksi ditambahkan 5 ml pereaksi anthrone. Tabung reaksi lalu ditutup dengan menggunakan kelereng dan dicampur hingga merata. Tabung reaksi ditempatkan dalam water bath 100 0C selama 12 menit (direndam dalam air mendidih). Dinginkan dengan menggunakan air mengalir. Pindahkan ke dalam kuvet dan absorbansnya dibaca pada 630 nm. Buat kurva hubungan antara absorbans dengan mg glukosa.
Penentuan Kadar Abu
Cawan pengabuan disiapkan, kemudian dibakar dalam tanur, dinginkan dalam desikator dan ditimbang. Sampel dalam cawan ditimbang sebanyak 3-5 gr, kemudian diletakkan dalam tanur pengabuan, dibakar sampai didiperoleh abu berwarna abu-abu atau sampai beratnya tetap. Pengabuan dilakukan dalam 2 tahap : Pertama pada suhu sekitar 4000C dan kedua pada suhu 5500C. Dinginkan dalam desikator, kemudian timbang. Sebelum dimasukan dalam tanur, sampel yang ada dalam cawan dibakar terlebih dahulu pada pembakar gas sampai asapnya habis.
Analisis Statistik
Data yang diperoleh dijelaskan secara deskriptif untuk selanjutnya disajikan dalam bentuk Tabel dan Gambar (Steel and Torrie, 1995).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Kadar Protein
Gambaran prosentase kadar protein daging itik Bali dari tiga kabupaten yaitu Kabupaten Buleleng 14,82  0,18, Kabupaten Karangasem 12,74  0,11 dan Kabupaten Bangli 13,78  0,09, seperti tersaji pada Gambar 1.
Gambar 1. Grafik Prosentase Rata-rata Kadar Protein Daging Itik Bali dari Kabupaten Buleleng, Karangasem dan Bangli.
Dari Gambar 1 diketahui bahwa kadar protein daging itik Bali di Kabupaten Buleleng lebih tinggi daripada Kabupaten Bangli dan Kabupaten Karangasem. Hasil ini tidak jauh berbeda dengan hasil penelitian Triyantini dkk., (1997) yang menyatakan bahwa kandungan protein daging itik sebesar 13,63 % - 19,11 %. Tingginya kadar protein daging itik Bali di Kabupaten Buleleng terkait dengan ransum yang diberikan berupa tambahan konsentrat, dibandingkan dengan dua kabupaten lainnya yang hanya diberikan jagung dan batang enau saja. Disamping itu daging itik Bali yang diambil di Kabupaten Buleleng berasal dari itik-itik yang lebih muda ( 6 bulan) dibandingkan dengan itik-itik di Kabupaten Karangasem dan Bangli yang berumur agak tua ( 8 bulan). Hal ini didasarkan oleh Tillman dkk., (1998) yang menyatakan bahwa kebutuhan ternak akan protein dalam ransum akan berkurang dengan bertambah tuanya ternak, karena ternak yang makin tua akan menyimpan protein kurang dalam tiap pertambahan berat badannya dibandingkan ternak muda.
Kadar Lemak
Gambaran prosentase kadar lemak daging itik Bali dari tiga kabupaten yaitu Kabupaten Buleleng 2,25 %, Kabupaten Karangasem 3,47 % dan Kabupaten Bangli 2,44 %, seperti tersaji pada Gambar 2.
Gambar 2. Grafik Prosentase Rata-rata Kadar Lemak Daging Itik Bali dari Kabupaten Buleleng, Karangasem dan Bangli.
Dari Gambar 2 diketahui bahwa kadar lemak daging itik Bali di Kabupaten Karangasem lebih tinggi daripada Kabupaten Bangli dan Kabupaten Karangasem. Hasil penelitian Triyantini dkk., (1997) menyatakan bahwa kandungan lemak daging itik sebesar 0,50 % - 22,00 %. Bila dibandingkan dengan hasil penelitian kadar lemak daging itik Bali, menunjukan bahwa kadar lemak daging itik Bali masih berada dalam interval rata-rata kadar lemak menurut data hasil penelitian Triyantini, dkk.
Tingginya prosentase lemak dari itik Bali di Kabupaten Karangasem berbanding terbalik dengan kadar proteinnya, begitu juga sebaliknya dengan Kabupaten Buleleng dan Bangli yang memiliki kadar lemak yang lebih rendah. Hasil ini sejalan dengan pendapat dari Donelly dan Hutton (1976) dalam Soeparno (1994), yang menyatakan bahwa peningkatan protein dan abu akan menurunkan kadar lemak.
Kadar Abu
Gambaran prosentase kadar abu daging itik Bali dari tiga kabupaten yaitu Kabupaten Buleleng 1,32 %  0,02, Kabupaten Karangasem 1,05  0,04 dan Kabupaten Bangli 1,26  0,02, seperti tersaji pada Gambar 3.
Gambar 3. Grafik Prosentase Rata-rata Kadar Abu Daging Itik Bali dari Kabupaten Buleleng, Karangasem dan Bangli.
Dari Gambar 3 diketahui bahwa kadar abu daging itik Bali di Kabupaten Buleleng lebih tinggi daripada Kabupaten Bangli dan Kabupaten Karangasem. Hasil ini tidak jauh berbeda dengan hasil penelitian Triyantini dkk., (1997) yang menyatakan bahwa kadar abu daging itik sebesar 0,54 % - 1,09 %. Tingginya kadar abu di Kabupaten Buleleng sejalan dengan tingginya kadar protein. Hal ini terkait erat dengan jenis pakan yang diberikan.
Karbohidrat
Gambaran prosentase karbohidrat daging itik Bali dari tiga kabupaten yaitu Kabupaten Buleleng 0,07 %, Kabupaten Karangasem 0,06 % dan Kabupaten Bangli 0,04 %, seperti tersaji pada Gambar 4.
Gambar 4. Grafik Prosentase Rata-rata Karbohidrat Daging Itik Bali dari Kabupaten Buleleng, Karangasem dan Bangli.
Dari Gambar 4 diketahui bahwa karbohidrat daging itik Bali di Kabupaten Buleleng lebih tinggi daripada Kabupaten Karangasem dan Bangli. Tingginya karbohidrat di Kabupaten Buleleng sejalan dengan tingginya kadar protein dan abu.
SIMPULAN
Berdasarkan hasil analisis nilai gizi daging itik Bali maka diperoleh rata-rata kadar protein, lemak, abu dan karbohidrat berada dalam kisaran nilai kadar protein, lemak, abu dan karbohidrat dengan daging itik lainnya. Keadaan ini menunjukan bahwa daging itik Bali memiliki nilai gizi yang cukup baik, sehingga berpotensi untuk diunggulkan sebagai alternatif unggas penghasil daging.
UCAPAN TERIMAKASIH
Penelitian ini merupakan bagian dari program kerjasama JSPS dengan Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Udayana dibawah bimbingan Prof. Yoshihiro Hayasi, DVM, PhD dari Tokyo University.
DAFTAR PUSTAKA
Akhadiarto, S. 2002. Kualitas Fisik Daging Itik pada Berbagai Umur Pemotongan. Pusat Pengkajian dan Penerapan Teknologi Budidaya Pertanian. BPPT.
Anonimous. 1996. Out-look Komoditi Pertanian Semester II. Pembangunan Pertanian 1995 dan Prospek 1996. Pusat Data Pertanian 1996. Proyek Penyempurnaan dan Pengembangan Statistik Pertanian TA. 1995/1996. Pusat Data Pertanian. Jakarta, Pebruari 1996. Hal 21.
Bharoto, K.D. 2001. Cara Beternak Itik. Aneka Ilmu. Semarang.
Hetzel, D.J.S. 1986. Duck Breeding Strategies-The Indonesian Example. In Duck Production Science and World Practice. (Ed) Farrell, D.J. dan Stapleton, P., University of England.
Simanjuntak, L. 2000. Tiktok Unggas Pedaging (Hasil Persilangan Itik dan Entok). Agro Media Pustaka. Jakarta.
Soeparno. 1994. Ilmu dan Teknologi Daging. Gajah Mada University Press. Yogyakarta.
Srigandono, B. 1997. Produksi Unggas Air. Gajah Mada University Press. Yogyakarta
Steell, R.G.D. dan J.H. Torrie. 1995. Prinsip dan Prosedur Statistik. Suatu Pendekatan Biometrik. Penerbit Gramedia Jakarta.
Tillman, A.D., Hartadi, H., Reksohadiprojo, S., Prawirokusumo, S., dan Lebdosoekojo. 1998. Ilmu Makanan Ternak Dasar. Cetakan keenam. Gajah Mada University Press. Yogyakarta.
Triyantini, Abubakar, Bintang, I.A.K., dan Antawijaya, T. 1997. Studi Komparatif Preferensi, Mutu dan Gizi Beberapa Jenis Unggas. Balai Penelitian Ternak Bogor.