Thu 15 Feb 2007
Distribusi Serotipe Streptococcus agalactiae penyebab Mastitis Subklinis pada Sapi Perah di Jawa Timur, Jawa Tengah dan Jawa Barat
Posted by admin under Jvet Vol 7(1) 2006Distribusi Serotipe Streptococcus agalactiae penyebab Mastitis Subklinis pada Sapi Perah di Jawa Timur, Jawa Tengah dan Jawa Barat
( DISTRIBUTION OF SEROTYPE OF STREPTOCOCCUS AGALACTIAE CAUSED SUBCLINICAL MASTITIS ON DAIRY CATTLE IN EAST JAVA, CENTER JAVA AND WEST JAVA )
A.E.T.H.WAHYUNI1), I W.T.WIBAWAN2), F.H. PASARIBU2), B.P. PRIOSOERYANTO2)
1)Laboratorium Mikrobiologi, FKH-UGM, Jl. Olah Raga, Klebengan Yogyakarta, 55281
2)Staf Pengajar FKH-IPB, Jl. Agatis , Kampus Dermaga , Bogor
E-mail: [email protected]
ABSTRAK
Mastitis masih merupakan masalah yang serius di peternakan sapi perah di Indonesia Streptococcus agalactiae /Streptococcus grup B (SGB) merupakan salah satu bakteri utama penyebab mastitis subklinis pada sapi perah dan merupakan parasit obligat pada ambing. Pada manusia bakteri ini menyebabkan infeksi pasca salin dan infeksi pada anak yang baru dilahirkan. Karakterisasi bakteri ini biasanya ditentukan dengan serotyping. Meski kejadian mastitis subklinis di Indonesia sangat tinggi, karakterisasi bakteri ini masih sedikit dilakukan. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui distribusi serotipe dari S. agalctiae isolat dari Jawa Barat (Bogor), Jawa Tengah (Boyolali) dan Jawa Timur (Malang). Metode yang dilakukan adalah: penapisan mastitis subklinis dengan menggunakan reagen IPB-1, preidentifikasi S. agalactiae berdasarkan pada keberadaan faktor Christie, Atkins dan Muence Petersen (CAMP). Penentuan grup dilakukan dengan Agar Gel Precipitation (AGP) menggunakan antiserum spesifik terhadap SGB dan antigen hasil ekstraksi autoclaf. Penentuan serotipe dilakukan dengan antiserum spesifik terhadap S. agalactiae isolat referen dengan metode AGPT dengan sumber antigen hasil â€ekstraksi HClâ€. Hasil dari penelitian menunjukkan bahwa kejadian mastitis subklinis di Bogor (76%), Boyolali (91%) dan Malang (81%). Prosentase S. agalactiae sebagai bakteri penyebab mastitis subklinis adalah: Bogor (64%), Boyolali dan Malang (22%). Distribusi serotipe S.agalactiae isolat Bogor: II (31,4%), V (8,5%), II/V (8,5%) dan nontypeable strain(NT) (51,4%); Boyolali: V ( 61%), NT (39%) dan Malang: II (34%), NT (66%). Isolat S. agalactiae yang mempunyai serotipe NT merupakan serotipe yang paling banyak (52%), sedang antigen protein X adalah antigen protein yang paling sering muncul (35%). Seluruh isolat S. agalactiae tidak ada yang mempunyai serotipe Ia, Ib, III, IV, VI, VII, dan VIII.
Kata-kata kunci: Distribusi serotipe, Streptococcus agalactiae, Mastitis Subklinis, Sapi
Perah, Jawa Timur, Jawa Tengah dan Jawa Barat
ABSTRACT
Mastistis is still a serious problem among diary cattle industries in Indonesia. Group B streptococci (Streptococcus agalactiae) have been identified as the main cause of subclinical mastitis in dairy cattle and is an obligatory parasite in the udder. In human, this bacteria is the main cause of post-parturition and neonatal infection. The bacteria causing the infection is usually identified and characterized by serotyping. Although the incidence rate of mastitis in Indonesia is very high, the report on the characterization of bacteria causing the mastitis is still very limited. A research was therefore carried out to find out the distribution of S. agalactiae seroptypes isolated West Java (Bogor), Central Java (Boyolali), and East Java (Malang).
The subclinical mastitis was firstly screened by IPB-1 reagent, and then pre-identified based on the presence of Christie, Atkins and Muence Peterson phenomena. The presence of Group B streptococci was determined by agar gel precipitation test (AGPT) using group B-specific antisera and serotyping was also carried out by AGPT using reference sera specific to S. agalactiae. The result showed that the incidence of subclinical mastitis were Bogor (76%), Boyolali (91%), and Malang (81%). The percentages subclinical mastitis caused by S. agaactiae infection were (Bogor (64%), Boyolali (22%), and Malang (22%). The distributions of S. agalactiae serotypes in Bogor were serotype II (31.4%), serotype V (8.5%), serotype II/V (8.5%) and nontypeable (NT) (51.4%). In Boyolali, they were serotype V (61%), and NT (39%). In Malang, they were serotype II (34%), and NT (66%). NT S. agalactiae was the most frequent bacteria detected in subclinical mastitis. Protein X was detected most frequently (35%). No S. agalactiae of serotype Ia, Ib, II, IV, VI, VII, and VIII were detected in this study.
Key words : Distribution of serotype, Streptococcus agalactiae, Subclinical mastitis,
Dairy Cattle In East Java, Center Java And West Java
PENDAHULUAN
Penyakit radang ambing atau yang dikenal sebagai mastitis masih merupakan masalah utama dalam peternakan sapi perah , karena dapat menyebabkan kerugian yang besar akibat adanya penurunan produksi susu, penurunan kualitas susu, penyingkiran susu, biaya perawatan dan pengobatan yang tinggi serta pengafkiran ternak lebih awal.
Kejadian mastitis sekitar 97-98% merupakan mastitis subklinis, sedangkan 2-3% merupakan kasus mastitis klinis yang terdeteksi. Mastitis subklinis merupakan peradangan jaringan interna kelenjar ambing tanpa ditemukan adanya gejala klinis baik pada susu maupun ambingnya, namun terjadi peningkatan jumlah sel radang, ditemukan mikroorganisme patogen dan terjadi perubahan kimia susu (Sudarwanto, 1999).
Dari hasil penelitian Wibawan et al. (1995) terisolasi Streptococcus agalactiae pada kejadian mastitis subklinis sebesar 83% di wilayah Bogor, 82% untuk wilayah Boyolali dan sebesar 80% untuk wilayah Pujon. Sedang Benda et al., (1997) mengatakan bahwa salah satu bakteri patogen penyebab mastitis yang sering ditemukan yaitu Streptococcus agalctiae (92%).
Selain menyebabkan mastitis subklinis, Streptococcus agalactiae atau dikenal SGB pada kedokteran manusia dapat menyebabkan pneumonia, septisemia maupun meningitis pada neonatal dan saluran kelamin wanita sebagai reservoirnya (Baker, 1980; Limansky et al., 1998).
Karakterisasi bakteri ini secara konvensional dilakukan dengan metode serotyping. Berdasarkan spesifisitas antigen permukaan S. agalactiae ada beberapa serotipe yaitu yang memiliki antigen polisakarida yang sampai saat ini ada 9 serotipe yaitu Ia, Ib, II, III, IV, V, VI, VII, VIII dan yang memiliki antigen protein yaitu c, R, X (Gravekam et al. 1999; Bushman 1998; Kogan et al, 1996). Menurut Wibawan & Laemmler (1990a) isolat S. agalactiae dapat memiliki serotipe dengan antigen polisakarida baik berdiri sendiri maupun dalam bentuk kombinasi dengan antigen protein, misalnya Ia/c, II/X. Namun demikian ada isolat yang belum bisa diklasifikasikan kedalam serotipe yang ada dan disebut sebagai nontypeable (NT). Hasil sebaran serotipe ini penting untuk diketahui karena dapat dipakai untuk menduga faktor virulen yang paling sering muncul/dominan dalam proses infeksi. Disamping itu juga merupakan informasi dasar dalam mempelajari epidemiologi penyakit maupun untuk menemukan cara pengendalian penyakit tersebut.
Meski kejadian mastitis subklinis yang disebabkan oleh S.agalactiae di Indonesia masih tinggi, namun penelitian mengenai S. agalactiae sebagai penyebab masih sedikit dilakukan. Bahkan sampai saat ini belum atau masih sangat sedikit diketahui bagaimana sebaran serotipe dari S. agalactiae tersebut. Oleh karena itu sangat penting dilakukan penelitian ini.
BAHAN DAN METODE
Bahan
Bahan penelitian terdiri dari 12 ekor kelinci (New Zealand White). Susu sapi asal penderita mastitis subklinis dari 3 wilayah yaitu Bogor untuk Jawa Barat, Boyolali untuk Jawa Tengah dan Malang untuk Jawa Timur, serta bakteri referens Streptococcus agalactiae yang merupakan isolat rujukan internasional (International Referens Strain) yaitu : tipe Ia (A 909), Ib (H 36 B), c (A 909), II (18 RS 21), III (6313), IV (3139), V (SS 1169), VI (NT 6), VII (7271), VIII ( JM9-130013), R (24/60) dan X (25/60) dan Staphylococcus aureus strain referens Pertsh.
Metode
Skrining Mastitis Subklinis, Isolasi dan Identifikasi Streptoccus agalactiae
Untuk mendapatkan susu mastitis subklinis dilakukan dengan cara mencampurkan susu sapi dari keempat kuartir dengan reagen IPB-1 dalam Paddle (Sudarwanto, 1993), digoyang-goyang beberapa saat. Hasil dinyatakan sebagai -/+/++/+++/++++. Susu yang bereaksi positip kemudian diambil sebanyak 2 ml dimasukkan dalam botol steril dan dibawa ke laboratorium. Streptokokus diisolasi dari air susu sapi yang menederita mastitis subklinis dengan cara dibiakkan pada media Plat Agar Darah (PAD), diinkubasi (18-24 jam, 370C) dan dilakukan preidentifikasi dengan uji Christie, Atkins dan Muence Petersen (CAMP) terhadap semua isolat. Bakteri yang menunjukkan reaksi positip dengan uji ini, ditentukan serogroupnya dengan menggunakan metode imunodifusi/ Agar Gel Precipitation (AGP) dengan sumber antigen hasil “ekstraksi autoclaf†(Rantz dan Randall, 1955). Antigen ini yang diadukan dengan antiserum spesifik terhadap grup B (Wibawan et al., 1992)
Penentuan serotipe
Penentuan serotipe dilakukan dengan membuat antigen permukaan dengan ekstraksi menggunakan larutan HCl 0,1 N pada suhu 550C dari seluruh isolat S. Agalactiae. Kemudian dilakukan dengan metode imunnodifusi dengan menggunakan antiserum monospesifik dengan antigen tersebut (Wibawan dan Laemmler, 1990b). Pembuatan antiserum monospesifik dilakukan dengan jalan membuat antiserum dari seluruh isolat referens yang disuntikkan pada kelinci, kemudian serum yang diperoleh diadukan dengan antigen “ekstraksi HCl†dari seluruh isolat referens dan diuji dengan metode iimunodifusi. Apabila masih ada antiserum yang bereaksi silang dengan antigen referens, maka dilakukan absorbsi dengan mencampurkan antiserum yang belum monospesifik tersebut dengan suspensi bakteri utuh heterolognya. Absorbsi antiserum ini dipakai untuk memurnikan antiserum dan membuat antiserum yang spesifik (Clifton, 1958).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Penapisan Mastitis Subklinis, Isolasi dan Identifikasi Streptococcus agalactiae
Dari sampel susu sapi perah di Bogor (Jabar) sebanyak 72 sampel yang menderita mastitis subklinis sebanyak 55 (76,4%) , dari Boyolali (Jateng) sebanyak 152 sampel yang menderita mastitis subklinis 139 (91,4%) dan dari Malang (Jatim) sebanyak 168 sampel yang menderita mastitis subklinis 136 (80,95%). Identifikasi bakteri S. agalactiae didasarkan pada uji CAMP serta serogrouping dengan AGP. Dari hasil preidentifikasi dengan uji CAMP sebanyak 37 menunjukkan hasil yang positip untuk wilayah Bogor (67%), 43 untuk wilayah Boyolali (31%) dan 42 untuk wilayah Malang (31%). Dari hasil uji CAMP di Bogor 37, ternyata 35 terisolasi S. agalactiae (95%), sebanyak 30 dari 43 CAPM positip di Boyolali (70%) dan 31 dari 42 CAMP positip terisolasi S. agalactiae (74%) untuk wilayah Malang. Dalam penelitian ini dapat ditunjukkan bahwa semua isolat S. agalactiae yang terisolasi mempunyai CAMP positip
Hasil penapisan Mastitis Subklinis, Uji CAMP dan Isolasi S. agalactiae dari Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Hasil Penapisan Mastitis Subklinis, Uji CAMP dan Isolasi S. agalactiae di
Bogor, Boyolali dan Malang.
______________________________________________________________________________________
Asal Isolat Jumlah sampel Mastitis Subklinis CAMP + Isolasi S.agalactiae
Bogor 72 55 (76%) 37 (67%) 35 (95%)
Boyolali 152 139 (91%) 43 (31%) 30 (70%)
Malang 168 136 (81%) 42 (31%) 31 (74%)
Penentuan serotipe/ Serotyping
Setelah diperoleh antiserum yang spesifik, maka dilakukan uji serotipe/ serotyping antara S. agalactiae isolat lapang (sebanyak 96 isolat) dengan seluruh antiserum monospesifik tersebut. Hasil uji serotipe untuk daerah Bogor: serotipe NT sebesar 51,4%, II 31,4% , II/V 8,6% dan serotipe V sebesar 8,6%. Sedang hasil uji serotipe untuk daerah Boyolali: serotipe V sebesar 61% dan serotipe NT 39%. Hasil uji serotipe untuk daerah Malang: serotipe NT sebesar 66% dan serotipe II sebesar 34%. Dari serotipe NT, II maupun V yang muncul ada yang berdiri sendiri tapi kebanyakan bergabung dengan antigen protein c, R dan X.
Dari sebaran serotipe yang diperoleh dari masing-masing daerah ternyata ada perbedaan. Dari Bogor serotipe yang muncul adalah NT diikuti II dan V, sedang daerah Boyolali serotipe NT, diikuti V dan Malang serotipe NT diikuti II. Dari seluruh sebaran serotipe yang ditemukan tidak satupun yang memiliki serotipe Ia, Ib, III, IV, VI, VII, dan VIII. Hasil ini berbeda dengan hasil penelitian Pasaribu et al. (1994) yang menunjukkan bahwa serotipe S. agalactiae pada sapi di Indonesia adalah serotipe II (67%), NT (23%), IV (7%) dan V (3%). Sedang dari hasil penelitian Wibawan et al. (1995) memperlihatkan hasil sebaran serotipe di 3 daerah di pulau Jawa adalah sebagai berikut: Bogor (II: 49%; IV: 5%; V: 2%; dan NT: 44%), Boyolali ( Ia: 4%; II: 10%; IV: 6,5%; V: 10% dan NT: 69%) sedangkan Malang (!a: 4%; II: 8,5%; III: 7%; IV: 8,5%; V: 3% dan NT:70%). Sedang hasil sebaran serotipe pada sapi yang dilaporkan oleh Pasaribu et al. (1985) adalah: tipe X dan beberapa tipe IV dan R dan tipe yang lain adalah Ib, II dan III.
Jika dibandingkan hasil sebaran serotipe tersebut maka terjadi perbedaan sebaran baik jenis maupun prosentase serotipe dari masing-masing wilayah.
Dari seluruh sebaran serotipe pada penelitian ini tampak isolat NT baik berdiri sendiri maupun bergabung dengan antigen protein merupakan antigen yang paling sering (52%) baru kemudian serotipe V sebesar 26% dan serotipe II 22%. Penelitian yang dilakukan oleh Wibawan et al., 1995 dihasilakn serotipe NT (61%), II (22,5%), IV (6,5%), V (5%) serta Ia dan III walaupun relatif sedikit., Dari hasil penelitian ini tampak terjadi perubahan pola sebaran serotipe. Hasil ini mendukung pernyataan Anthony dan Okada (1977) yang mengatakan bahwa penyebaran serotipe diantara strain dari S. agalactiae berbeda-beda diantara beberapa negara tergantung dari mana isolat itu didapat dan kapan isolat itu didapat. Sementara menurut Wibawan dan Laemmler (1991) antigen protein R jarang ditemukan pada sapi , sebaliknya antigen X-lah yang sering dijumpai pada sapi. Pada penelitian ini antigen protein yang sering muncul (bergabung dengan antigen polisakarida atau NT) adalah antigen protein X sebesar 35% sedang untuk c dan R masing-masing 24% dan 8%. Menurut Jelinkova et al. (1970) tidak ada kejadian yang menunjukkan terjadinya reaksi silang antara antiserum terhadap 2 macam antigen polisakarida, namun dari hasil penelitian ini tampak ada 3 antigen polisakarida yang bereaksi masing-masing antigen polisakarida II dan V dari daerah Bogor, demikian juga ada 2 antigen protein yaitu antara c dan X yang bergabung dengan antigen polisakarida V. Hal ini terjadi kemungkinan disebabkan oleh adanya pengaruh lingkungan baik lingkungan makro maupun lingkungan mikronya.
Hasil sebaran serotipe SGB pada manusia di Indonesia yang diperoleh secara klinik sebagian besar adalah Ia/c, III dan V. Sebagian kecil serotipe II dan IV, dan tak satupun mempunyai serotipe Ib dan X (Wibawan & Laemmler, 1992). Sedang hasil penelitian Hayati (2001) memperlihatkan sebaran serotipe SGB dari Indonesia adalah: IV: 6%; V: 12%; VI: 18% dan NT: 65% (NT/c: 64%, NT: 27% dan NT/c/R: 9%). Dari sebaran pada manusia ini 63,64% SGB bergabung dengan protein c dan 9,09% bergabung dengan protein R dan tidak ada satupun yang bergabung dengan antigen protein X. Dari telaah hasil penelitian ini ternyata antigen protein X hanya dijumpai pada isolat yang berasal dari sapi dan tidak pernah dijumpai pada isolat asal manusia. Hasil ini mendukung pendapat Jensen (1980) yang mengatakan bahwa adanya protein X pada S. agalactiae mengindikasikan isolat tersebut berasal dari sapi. Demikian juga Laemmler & Wibawan, 1993 mengatakan bahwa antigen protein X adalah satu-satunya antigen protein yang terdapat pada isolat SGB asal sapi dan tidak berasal dari isolat manusia. Hasil ini didukung pula oleh penelitian Wibawan et al. (1993) yang mengatakan bahwa SGB dari manusia yang sering ditemukan adalah serotipe Ia, III yang berdiri sendiri atau kombinasi dengan c dan R. Sedang menurut Pasaribu et al ., 1985 yang membandingkan isolat SGB dari manusia dengan S. agalactiae isolat dari sapi tampak bahwa yang umum pada isolat manusia adalah : Ia, II dan III, sedang yang sering ditemukan pada sapi adalah antigen tipe X baik sendiri maupun kombinasi dengan tipe IV. Oleh karena itu antigen protein X ini dapat digunakan sebagai alat yang diskriminatif/ antigenic marker sebagai pembeda biovar S. agalactiae asal sapi. Sehingga dapat digunakan untuk studi epidemiologi untuk mengetahui terjadinya infeksi silang antara manusia dan sebaliknya, sehingga dapat diketahui apakah S. agalactiae ini merupakan penyakit yang bersifat zoonosis atau tidak. Hasil sebaran serotipe S. agalactiae secara lengkap disajikan pada Tabel 2.
Tabel. 2. Hasil uji sebaran serotipe S. agalactiae dari Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa
Timur
Antigen
Antigen polisakarida
Protein
.
Ia
Ib
II
III
IV
V
II/V
VI
VII
VIII
NT
Jumlah
Bogor
-
-
2
-
-
-
-
-
-
-
7
9
c
-
-
6
-
-
-
-
-
-
-
4
10
R
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
1
1
X
-
-
3
-
-
3
3
-
-
-
6
15
Jumlah
-
-
11
-
-
3
3
-
-
-
18
35
Boyolali
-
-
-
-
-
2
-
-
-
-
7
9
c
-
-
-
-
-
9
-
-
-
-
3
12
R
-
-
-
-
-
6
-
-
-
-
-
6
c/X
-
-
-
-
-
2
-
-
-
-
2
4
Jumlah
-
-
-
-
-
19
-
-
-
-
12
31
Malang
-
-
4
-
-
-
-
-
-
-
9
13
c
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
1
1
R
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
1
1
X
-
-
6
-
-
-
-
-
-
-
9
15
Jumlah
-
-
10
-
-
-
-
-
-
-
20
30
NT : nontypeable
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa distribusi serotipe S. agalactiae penyebab mastitis subklinis di Jawa Barat, Jawa tengah dan Jawa Timur (Bogor, Boyolali, Malang) mempunyai perbedaan. Distribusi serotipe S agalactiae isolat Bogor: II (31,4%), V (8,5%), II/V (8,5%) dan NT (51,4%); Boyolali: V ( 61%), NT (39%) dan Malang: II (34%), NT (66%). Isolat S. agalactiae yang mempunyai serotipe NT merupakan serotipe yang paling dominan (52%) , sedang antigen protein X adalah antigen protein yang paling sering muncul (35%). Dari seluruh isolat S. agalactiae tidak ada yang mempunyai serotipe Ia, Ib, III, IV, VI, VII, dan VIII. Hasil sebaran serotype dari 3 wilayah ternyata berbeda dengan penelitian sebelumnya baik jenis maupun prosentase serotipenya.
Saran
Perlu dilakukan penelitian lanjut terutama NT yang jumlahnya paling tinggi untuk mendapatkan serotipe baru. Antigen protein X bisa sebagai pembeda ciri biovar/ antigenic marker untuk mengetahui terjadinya infeksi silang antara sapi dan manusia maupun sebagai salah satu faktor virulen untuk dijadikan kandidat vaksin. Selain itu perlu juga diteliti adanya reaksi silang antigen polisakarida yang ditemukan.
DAFTAR PUSTAKA
Anthony B F., Okada DM. 1977. The Emergence of Group B Streptococci in Infections of Newborn in Infant. Ann.Rev. Med. 28:355-369
Baker, C.J. 1980. Group B Streptococcal Infections. Adv.Int. Med. 25:475-501
Benda, P.M. Vyletâ€elov’’ and A. Tich’aâ€cek. 1997. A method for Estimating the Prevalence of Mammary Staphylococcus aureus and Streptococcus agalactiae infection in Herds Based on an examination of Bulk Milk samples. Journal Veterinary Medicine (Praha). 42:101- 109
Bhushan R, AnthonyBF, Frasch CE. 1998. Estimation of Group B Streptococci Type III Polysaccharide Specific Antibody
Clifton, C.E. 1958. Introduction to the bacteria, MC Graw. Hill Book Company, Inc. New York, Toronto and London
Gravecamp,C., Dennis L.K. and C.P.Lawrence. 1999. Alpha C protein as a Carrier for Type III Capsular Polysaccharide and a as Protective Protein in Group B Streptococcal Vaccines. Infect. Immun. 67: 2491-2496.
Hayati Z. 2001. Distribusi Serotipe dan Ekspresi Fenotipe Streptokokus Grup B Isolat asal Ibu Hamil, Ibu dengan Komplikasi Obstetri dan Ibu tidak Hamil. [tesis]. Bandung:Universitas Padjadjaran, Program Pascasarjana.
Jelinkova J. 1977. Group B Streptococci in Human Population. Curr. Topics in Microbiol.Immunobiol. 76:127-165
Jensen NE. 1980. Variation of type antigens of group-B streptococci: variation of the X-antigen and other type antigens in herds where the X-antigen occurs. Acta Vet. Scand. 21:367-374
Kogan G, Uhrin D, Brisson JR, Paoletti LC, Blodgett AE, Kasper DL, Jennings HJ. 1996. Structuraal and Immunochemical Characterization of type VIII Group B Streptococcus Capsular Polysaccharide. J. Biol. Chem. 271:8786-8790
Laemmler, Ch., and I W.T. Wibawan. 1993 : Relation between capsular sialylation and various properties of a Group B Streptococcus of serotype III, XII Lancefield Ins. Symp. On streptococci Dis. St. Petersburg, Russia
Limansky,A.S., Emma G.S., Maria C.G., Ines E.T. and Alejandro M.V. 1998. Genomic Diversity among Streptococcus agalactiae Isolates Detected by a Degenerate Olygonucleotida-Primed Amplification Assay. J. Infect. Dis. 177: 1308-1313.
Pasaribu FH, Wibawan IWT, Laemmler. 1994. Antigenic variation and futher characteristic group B Streptococcal mastitis from Indonesia. J. Mikrobiol. Ind. 2(3): 15-20
Pasaribu F.H., C.H. Laemler and H. Blobel. 1985. Serotyping of Bovine and Human group B streptococci by Coagglutination. ICRS. Med. Sci. 13: 24-25
Rantz, A. and E. Randall. 1955. Use of autoclved extracts of hemolitic streptococci grouping. Stanford Med. Bul. 13: 290-291.
Sudarwanto, M. 1999. Usaha Peningkatan Produksi Susu Melalui Program Pengendalian Mastitis Subklinis. Orasi Ilmiah Guru Besar Tetap Ilmu Kesehatan Masyarakat Veteriner, Bogor 22 Mei 1999. FKH-IPB.
Sudarwanto, M. 1993. The IPB-1 as an Alternative Tool to Detect of Subclinical Mastitis. Media Veteriner. Vol 5(1). Fac.of Vet. Med. Press. Bogor Agriculture Institute.
Wibawan I.WT, Laemmler Ch. 1990a. Distribution of Group B Streptococcal Types Antigens Among Streptococci of Serological Groups B, G and L. Zbl. Bakt. 273:471-477
Wibawan, I W.T. and C. Laemmler. 1990b. Properties of Group B Streptococci with Protein Surface Antigen X and R. J. Clin. Microbiol. 28: 2834-2937
Wibawan IWT, Laemler Ch. 1991. Isolation and Characterization of Group B Streptococcal Type Antigen X and R. Zbl. Bakt. 275:327-334
Wibawan IWT, Laemmler Ch. 1992. Relationship Between Group B Streptococcal Serotypes and Cell Surface Hidrofobicity. J. Vet. Med. B 39:376-382
Wibawan IWT, Laemmler Ch, Smola J. 1993. Properties and Type Antigen Pattern of Group B Streptococcal Isolates from Pig and Nutrias. J.Clin.Microbiol 762-764
Wibawan, I W.T, F.H. Pasaribu, H. Huminto dan S. Estuningsih. 1995. Ciri Biovar Streptococcus agalactiae sebagai Petunjuk Infeksi Silang antara Sapi dan Manusia. Laporan Hibah Bersaing IV Tahap .I