Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis) Sebagai Model
Diabetes Melitus : Pengaruh Hiperglikemia pada Lipid Darah,
Serum Oksida Nitrik, dan Tingkah Laku Klinis

THE LONG TAILED MACAQUE (MACACA FASCICULARIS) AS A MODEL OF DIABETES MELLITUS: EFFECT OF HYPERGLYCEMIA ON BLOOD LIPID, SERUM NITRIC OXIDE, AND CLINICAL BEHAVIOUR

SRI KAYATI WIDYASTUTI1, TONNY UNGERER2,
IKIN MANSJOER2, DAN RADEN PUTRATAMA AGUS LELANA2

1 Laboratorium Penyakit Dalam Veteriner, Fakultas Kedokteran Hewan
Universitas Udayana. Jl Dr Goris Denpasar 80232.
2 Pusat Studi Satwa Primata, Lembaga Penelitian Institut Pertanian Bogor.
Jl. Lodaya II /3 Bogor 16144

ABSTRAK
Sebanyak lima belas ekor monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) dipergunakan untuk mempelajari pengaruh hiperglikemia pada kadar lipid darah, kadar oksida nitrik (NO) dan tingkah laku klinis. Untuk membuat keadaan hiperglikemia, monyet-monyet disuntik alloxan secara intra vena. Monyet-monyet dikatagorikan hiperglikemia bila kadar glukosa darah puasa (prepandial) lebih dari 146 mg/dl. Monyet-monyet dibagi ke dalam tiga kelompok, masing-masing terdiri dari lima ekor. Pengaruh hiperglikemia diamati setelah satu bulan (kelompok I), enam bulan (kelompok II), dan 0 bulan (kelompok III).
Pada akhir bulan pertama dan keenam, terjadi peningkatan kadar kolesterol dan trigleserida (P

Kata kunci : Diabetes melitus (DM); Hiperglikemia; Oksida nitrik

ABSTRACT

Fifteen long tailed macaques (Macaca fascicularis) were used to study the effects of hyperglycemia on blood lipid, serum nitric oxide (NO) and clinical behaviour. To induce hyperglycemia, alloxan was injected intravenously. Monkeys with preprandial blood glucose levels of more than 146 mg/dl were considered to be hyperglycemic. The animals were divided into three groups of consisting of five animals per group. The effect of hyperglycemia was observed after one month (Group 1), the six months (Group 2) and 0 month (Group 3).
The result showed that the total cholesterol and triglyceride level increased significantly (P

Key words: Diabetes mellitus (DM); Hyperglycemia; nitric oxide (NO)
PENDAHULUAN
Diabetes melitus (DM) merupakan sindrom dari gangguan metabolisme karbohidrat, lemak, dan protein dengan bermacam sebab. DM juga kaya akan komplikasi baik yang bersifat akut maupun kronis. Komplikasi akut seperti tingginya kadar badan keton dalam darah (ketosis) saat ini relatif jarang dijumpai sejak ditemukannya insulin sebagai pengobatan DM, sebaliknya komplikasi kronis lebih banyak dijumpai (Kartari, 1989).
Komplikasi kronis DM diantaranya gangguan pada dinding arteri yang diawali dengan terjadinya disfungsi endotel akibat hiperglikemi atau tingginya kadar glukosa darah (King et al., 1996). Mekanisme perkembangan disfungsi endotel akibat hiperglikemia belum begitu jelas diketahui, tetapi diduga hiperglikemia dapat mempengaruhi metabolisme vaskuler (Hein dan King, 1994).
Majunya taraf hidup dan perubahan pola makan manusia menyebabkan prevalensi DM di Indonesia meningkat (Tjokroprawiro, 1990). Kelainan vaskuler seperti penyakit jantung koroner, hipertensi, penyakit pembuluh darah otak, retinopati, maupun nefropati merupakan gejala yang paling menonjol di antara gejala-gejala lain pada penderita DM. Kelainan ini berkaitan erat dengan perkembangan disfungsi endotel menjadi aterosklerosis dan dapat menjadi penyebab kematian maupun peningkatan angka kesakitan penderita DM (Pyorala et al., 1987). Data menunjukkan bahwa penderita DM cenderung dua kali lebih sering mengalami serangan jantung, lima kali berpeluang gangren dan tujuh belas kali beresiko gagal ginjal kronis dibandingkan dengan orang sehat (Tjokroprawiro, 1990).
Data yang ada saat ini tidak sepenuhnya dapat mengungkapkan hubungan antara DM dengan disfungsi endotel. Sehubungan dengan itu penelitian ini bertujuan untuk melihat pengaruh hiperglikemia terhadap produksi oksida nitrik (NO) sebagai petunjuk awal adanya disfungsi endotel dengan menggunakan hewan model monyet ekor panjang.

MATERI DAN METODE
Hewan Coba
Penelitian ini menggunakan 15 ekor monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) jantan dengan bobot badan antara tiga sampai lima kilogram, umur berkisar antara lima sampai tujuh tahun, yang diperoleh dari Unit Penangkaran Satwa Primata, Pusat Studi Satwa Primata, Lembaga Penelitian, Institut Pernanian Bogor (PSSP LP-IPB) di Darmaga Bogor. Monyet ditempatkan dalam kandang individu (squeeze back cage) yang dilengkapi dengan tempat pakan dan air minum.

Materi dan Peralatan Lain
Materi dan peralatan lain yang dipakai adalah: Alloxan monohidrat (SIGMA), ketamin (Parke Davis), humulin (Lilly), NaCl fisiologis, alkohol, kapas, glukostik (Bayer), advantage glukometer, timbangan, alat suntik, sentrifuse, termos es, sarung tangan, masker, spektrofotometer, dan tabung vacutainer.

Metode
Sebanyak 15 ekor monyet diadaptasi terhadap lingkungan kandang selama satu bulan sebelum perlakuan. Setelah masa adaptasi hewan dibagi secara acak ke dalam tiga kelompok perlakuan, masing-masing perlakuan terdiri dari lima ekor. Kelompok perlakuan 1 (P1) dan 2 (P2) disuntik alloxan secara intravena setelah dipuasakan selama 20 jam dan dibius dengan ketamin (10 mg/kg BB IM). Pemberian alloxan dapat diulang dengan dosis yang berbeda untuk mencapai kondisi hiperglikemia dengan tingkat kadar glukosa darah puasa (preprandial) di atas 146 mg/dl. P1 dibuat hiperglikemia selama satu bulan, P2 selama enam bulan, dan P3 sebagai kontrol.
Peubah yang diamati dalam penelitian ini adalah total kolesterol, trigliserida, high density lipid (HDL), oksida nitrik (NO, tingkah laku makan minum, dan urinasi.
Pengukuran total kolesterol, trigliserida dan high density lipid (HDL) dilakukan dengan metode enzimatik otomatis, sedangkan serum nitrit oksida (NO) dengan cara spektrofotometrik dan tingkah laku klinis dengan metode all occurrence sampling.
Penelitian dilaksanakan di Pusat Studi Satwa Primata LP-IPB dan Bagian Klinik Veteriner Fakultas Kedokteran Hewan IPB.

Rancangan Penelitian
Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan tiga perlakuan dan setiap perlakuan terdiri dari lima ulangan. Data yang diperoleh dianalisis dengan sidik ragam dan apabila ada perbedaan diantara kelompok perlakuan, maka diuji lebih lanjut dengan uji beda nyata terkecil (Steel and Torrie, 1993). Adapun data perubahan tingkah laku klinis disajikan secara deskriptif berdasarkan hasil uji statistika non-parametrik.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Induksi Diabetes Melitus
Untuk menghasilkan hiperglikemia dengan kadar glukosa darah puasa (preprandial) lebih tinggi dari 146 mg/dl dilakukan penyuntikan alloxan monohidrat secara intra vena. Zat diabetogenik ini yang bekerja merusak sel b pankreas. Penyuntikan alloxan menunjukkan bahwa dosis 20 mg/kg berat badan tidak direspon dengan kenaikan kadar glukosa darah. Dari delapan ekor monyet yang disuntik, kadar glukosa darahnya masih berkisar antara 56 sampai 86 mg/dl. Kadar ini menurut Litwak et al., (1998) masih berada dalam kisaran normal.
Mengingat dosis tersebut di atas kurang responsif menghasilkan hiperglikemia, maka dilakukan penyuntikan ulang dengan dosis 20, 30, 35, 40 dan 80 mg/kg bb. Dalam penelitian ini ternyata dosis 20 dan 30 mg/kg bb tidak berpengaruh terhadap kenaikan kadar glukosa darah. Respon kenaikan kadar glukosa darah terlihat setelah monyet disuntik dengan dosis 35 sampai 80 mg/kg bb. Monyet yang hiperglikemia tinggi karena penyuntikan alloxan 80 mg/kg bb memerlukan insulin untuk mencegah ketosis.
Penyuntikan berulang juga dilaporkan oleh Haider et al., (1981) pada monyet rhesus, dimana untuk membuat hiperglikemia diperlukan dosis awal 20 mg/kg bb dan diulang satu bulan kemudian. Demikian juga pada beberapa laporan menunjukkan adanya variasi dosis dalam diabetogenik (Rossini et al., 1975; Takasu et al., 1991; Litwak et al., 1998; dan Tsutsumi et al., 1998).
Dari hasil di atas dapat dikatakan bahwa pembuatan hewan model DM dengan alloxan diperlukan dosis yang beragam. Efek diabetogenik alloxan yang begitu beragam juga dilaporkan oleh Webb (1966) pada berbagai hewan model. Hal ini dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain kadar glukosa darah, umur, kecepatan penyuntikan, dan dosis. Perbedaan genetik, latar belakang nutrisi dan kesehatan sebelumnya juga berpengaruh pada sifat diabetogenik (Pitkin dan Reynolds, 1970).

Kadar Lipid Darah
Pengukuran kadar lipid darah dilakukan terhadap kadar kolesterol, trigliserida, dan HDL. Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa hiperglikemia berpengaruh sangat nyata (P

Tabel 1. Pengaruh Hiperglikemia pada Lipid Darah
Peubah P1 P2 P3
Kolesterol (mg/dl) 227,88 ± 102,97b 291,96 ± 69,45b 88,50 ± 8,38a
Trigliserida (mg/dl) 269,95 ± 276,21b 409,90 ± 141,34b 22,10 ± 26,11a
HDL (mg/dl) 96,88 ± 50,19a 61,85 ± 26,26a 58,90 ± 8,78a
Angka yang diikuti huruf yang sama dalam satu baris tidak berbeda nyata pada taraf 5%
menurut Uji Beda Nyata Terkecil

Kadar kolesterol tertinggi terjadi pada monyet yang hiperglikemia selama enam bulan, yaitu sebesar 291,96 ± 69,45 mg/dl diikuti oleh monyet hiperglikemia satu bulan dan terkecil pada monyet kontrol. Kadar trigliserida juga menunjukkan kecenderungan yang sama dengan kadar kolesterol, yaitu tertinggi pada monyet hiperglikemia enam bulan dan terkecil pada monyet kontrol. Kadar HDL walaupun menunjukkan perbedaan secara numerik tetapi secara statistika tidak berbeda nyata (P > 0.05).
Dilihat dari besarnya keragaman kadar kolesterol dan kadar trigliserida pada monyet kontrol, hiperglikemia satu bulan dan hiperglikemia enam bulan maka untuk pembuatan model DM dengan menggunakan monyet ekor panjang perlu dilakukan penyeragaman kadar lipid darah sebelum diberikan perlakuan.
Aterosklerosis menyebabkan resiko kematian meningkat tiga sampai lima kali pada penderita DM. Howard (1974) dan Bierman (1992) mengemukakan bahwa aterosklerosis ditandai dengan peningkatan kadar kolesterol dan trigliserida.
Peningkatan kadar lipid penderita diabetes disebabkan karena defisiensi insulin. Insulin meningkatkan aktivitas lipoprotein lipase di permukaan sel endotel dalam mengkatalisa perombakan trigliserida dari kilomikron dan defisiensi insulin akan menurunkan aktivitas enzim ini. Menurut Tsutsumi et al., (1998) aktivitas lipoprotein lipase 57% lebih rendah pada monyet diabetes mellitus dibandingkan dengan yang normal.

Kadar Oksida Nitrik

Pengaruh hiperglikemia pada kadar oksida nitric (NO) nyata terlihat dengan penurunan kadar NO pada monyet diabetes melitus dibanding monyet kontrol. Dalam kondisi normal kadar NO adalah (8,17 ± 3,27 mmol) sangat nyata lebih tinggi (P

Tabel 2. Pengaruh Hiperglikemia pada Kadar Oksida Nitrik (NO)

Perlakuan Kadar NO (mmol)
P1 4,22 ± 0,23b
P2 3,20 ± 0,33b
P3 8,17 ± 3,27a
Angka yang diikuti huruf yang sama dalam satu kolom
tidak berbeda nyata pada taraf 5% menurut Uji Beda Nyata
Terkecil

Penurunan kadar NO pada monyet hiperglikemia satu bulan yang berbeda dengan monyet kontrol menunjukkan bahwa pada monyet ekor panjang sebagai model DM, waktu satu bulan sudah menunjukkan adanya disfungsi endotel. Sedangkan penurunan kadar NO pada monyet hiperglikemia enam bulan yang tidak berbeda dengan monyet hiperglikemia satu bulan menunjukkan bahwa waktu enam bulan belum cukup membuat kerusakan yang lebih parah pada endotel, sehingga diperlukan waktu yang lebih lama lagi untuk mempelajari komplikasi vaskuler pada monyet ekor panjang sebagai model DM.
Dalam keadaan fisiologis sel endotel secara terus menerus menghasilkan NO yang bekerja merelaksasi otot polos dan menjaga stabilitas diameter pembuluh darah. Peningkatan kadar glukosa darah pada diabetes mellitus menyebabkan disfungsi endotel, dan hal ini diduga karena terjadi penghambatan jalur L-arginine-NO (Luscher dan Barton, 1997). Penurunan kadar NO karena hiperglikemia menurut Graier et al., (1996) disebabkan karena pembentukan radikal bebas (superoksida) yang bereaksi dengan NO.

Tingkah Laku Klinis
Tingkah laku klinis yang diamati dalam penelitian ini adalah tingkah laku makan, tingkah laku minum dan urinasi. Tingkah laku tersebut diamati mengingat gejala klinis DM pada manusia ditandai dengan polifagia (banyak makan), polidipsia (banyak minum) dan poliuria (banyak kencing).
Tingkah laku makan pada monyet diabetes mellitus sangat nyata lebih tinggi (P 0.05) dibanding kontrol tetapi ada satu tingkah laku klinis yang ditunjukkan oleh kelompok perlakuan hiperglikemia enam bulan dan tidak diperlihatkan oleh kelompok lain yaitu meminum air kencingnya sendiri.

Tabel 3. Frekuensi Makan, Minum, dan Urinasi

Tingkah Laku P1 P2 P3
Makan 18,5 20,0 5,0
Minum 12,5 5,0 3,0
Urinasi 33,0 16,6 18,0

Peningkatan frekuensi minum pada monyet hiperglikemia satu bulan diduga ada hubungannya dengan frekuensi kencing yang meningkat. Dalam keadaan hiperglikemia hewan akan banyak kencing karena ambang ginjal menyerap glukosa terlewati. (Sukotjo, 1987). Pada monyet hiperglikemia enam bulan hewan meminum air kencingnya sendiri sehingga frekuensi minum air tidak berbeda dengan monyet kontrol. Tingkah laku meminum air kencingnya sendiri ini mungkin disebabkan karena rasa air kecingnya manis sehingga hewan lebih senang minum air kencingnya daripada minum air.

KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Dari hasil penelitian disimpulkan bahwa monyet ekor panjang dapat dipakai sebagai model DM dengan penyuntikan alloxan. Hiperglikemia menyebabkan peningkatan kadar kolesterol dan trigliserida, penurunan kadar oksida nitric, dan perubahan tingkah laku klinis.
Penggunaan monyet ekor panjang sebagai model DM dengan penyuntikan alloxan cukup andal dengan terlebih dahulu menyeragamkan kadar lipid darah. Waktu enam bulan belum cukup untuk mempelajari komplikasi vaskuler pada monyet ekor panjang.

Saran
1. Penelitian semacam ini perlu dilanjutkan untuk lebih mengetahui tanda awal dan gejala klinis penyakit diabetes melitus.
2. Untuk penelitian model DM dengan menggunakan monyet ekor panjang harus diusahakan kondisi yang seseragam mungkin terutama kadar lipid darah.
3. Pengetahuan tentang mekanisme molekuler disfungsi endotel sangat diperlukan di masa mendatang untuk mencegah penyakit arterial pada penderita diabetes melitus.

DAFTAR PUSTAKA

Bierman, E.L. 1992. Atherogenesis in Diabetes. Arterioscler and Tromb, 12:647-656.
Graier, W.F., S. Simecek, W.R. Kukovetz, and G.M. Kostner. 1996. High D-Glucose-Induced Changes in Endothelial Ca2+/EDRF Signaling Due to Generation of Superoxide Anions. Diabetes 45:1386-1395.
Haider, B., C. K. Yeh, G. Thomas, H. A. Oldewurtel, M. M. Lyons, and T. J. Reagan. 1981. Influence of Diabetes on the Myocardium and Coronary Arteries of Rhesus Monkey Fed on Atherogenic Diet. Cirr. Risc. 49 (6).
Hein, K.D., and G.L. King. 1994. Vascular Abnormalities in Diabetes Mellitus in Sowers J.R. (Eds.): Contemporary Endocrinology. Humana Press Inc., Toronto. NJ.
Howard Jr.,C. F. 1974. Correlation’s of Serum Triglyceride and Prebetalipoprotein Level to the Severity of Spontaneous Diabetes in Macaca nigra. J. Clin. Endorin. And Metab. 38 (5).
Kartari, D. S. 1989. Penyakit Jantung Koroner dan Komplikasi Lain pada Penderita Diabetes Mellitus. Cermin Dunia Kedokteran 57: 21-24.
King, G.L., M. Kunisaki, Y. Nishio, T. Inoguchi, T. Shiba, and P. Xia. 1996. Biochemical and Molecular Mechanism in the Development of Diabetic Vascular Complications. Diabetes Vol. 46 (Suppl. 3):105-108.
Litwak, K.N., W.T. Cefalu, and J.D. Wagner. 1998. Streptozotocin-Induced Diabetes Mellitus in Cynomolgus Monkeys: Changes in Carbohydrate Metabolism, Skin Glycation and Pancreatic Islets. Lab. Anim Sci. 48:(172-178)
Luscher, T.F. and M Barton. 1997. Biology of the Endothelium. Clin. Cardiol. 20 (Suppl. II).
Pitkin R.M., and W.A. Reynolds. 1970. Diabetogenic Effects of Streptozotocin in Rhesus Monkeys. Diabetes 19:85-90.
Pyorala, K., M. Lakso, and M. Musitupa. 1987. Diabetes and Atherosclerosis: An Epidemiologic Review. Diabetes Metab. Rev. 3:463-524.
Rossini, A.A., M.A. Arcangeli, and G.F. Cahill. 1975. Studies on Alloxan Toxicity on Beta Cell. Diabetes 24:516-522.
Steel, R.G.D. dan J.H. Torrie. 1993. Prinsip dan Prosedur Statistika. P.T. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta
Sukotjo, W. 1987. Ilmu Penyakit Dalam II. Departemen Klinik Veteriner, Fakultas Kedokteran Hewan, IPB. Bogor.
Takasu, N., I. Komiya, T. Asawa, Y. Nagasai, and T. Yamada. 1991. Streptozocin and Alloxan-Induced H2O2 Generation and DNA Fragmentation in Pancreatic Islets. Diabetes 40:1141-1145.
Tjokroprawiro, H.A. 1990. Teknologi Baru pada Pengelolaan Diabetes Mellitus. Medica (1).
Tsutsumi, K., T. Iwamoto, A. Hagi, and H. Kohri. 1998. Streptozocin induced Diabetic Cynomolgus Monkeys is a model of Hypertriglyceridemia with Low High-Density Lipoprotein Cholesterol. Biol.Pharm.Bull. 21:693-697.
Webb, J.L. 1966. Enzyme and Metabolic Inhibitors. Academic Press. New York and London.