Studi Histopatologi Berbagai Organ Mencit
Pasca Infeksi Isolat Lapang dan Fase Varian
S. equi zooepidemicus

(HISTOPATHOLOGICAL STUDY OF MICE ORGANS
INFECTED BY FIELD ISOLATE AND PHASE VARIANT
OF STREPTOCOCCUS EQUI ZOOEPIDEMICUS )

Eva Harlina1, Hernomoadi Huminto1, Bambang Pontjo Priosoeryanto1 dan
I Wayan Teguh Wibawan2

1Lab. Patologi Veteriner, Bagian Parasitologi dan Patologi, 2Lab. Imunologi, Bagian Penyakit Hewan dan Kesehatan Masyarakat Veteriner, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor
Jl. Agathis, Darmaga Bogor, E-mail:[email protected]

ABSTRAK
Infeksi isolat lapang dan fase varian S. equi zooepidemicus (Streptokokus grup C, SGC) pada mencit mengakibatkan kerusakan jaringan berupa radang akut, dengan nilai skor 1 sampai 3, yaitu pneumonia interstitialis akut, hepatitis akut, nefritis akut dan splenitis akut, sedangkan pada otak tidak dijumpai perubahan yang berarti. Hasil uji statistika non parametrik Kruskal-Wallis menunjukkan rataan peringkat skor perubahan histopatologi tidak berbeda nyata, tetapi cenderung lebih tinggi, antara organ-organ kelompok mencit pasca infeksi isolat lapang dibandingkan fase varian. Interval waktu pasca infeksi (PI) berpengaruh nyata terhadap perubahan histopatologi seluruh organ yang diamati. Rataan peringkat skor perubahan histopatologi paru-paru, hati dan ginjal pada 8 jam PI nyata lebih tinggi dibandingkan pada 0 jam PI. Keparahan skor pada jam ke 8 – 16 dan 16 – 24 PI, rataan peringkat skornya cenderung menurun, kecuali pada limpa akibat infeksi isolat lapang. Hal terakhir mengindikasikan bahwa SGC dapat bertahan terhadap aktivitas fagositosis dan menggunakan limpa sebagai reservoir.

Kata kunci: SGC, isolat lapang, fase varian, perubahan histopatologi, radang akut

ABSTRACT
In inoculated mice, both field isolate and phase variant of S. equi zooepidemicus (Group C Streptococcus, GCS) had induced interstitial pneumonia, hepatitis, interstitial nephritis and splenitis but spared the brain untouched. The damages were classified as acute inflammatory changes with severity scored ranging from 1 to 3. The severity of tissue damage due to field isolate tended to have a higher score despite the results after using non parametric statistical test of Kruskal-Wallis were not significantly different. A result of a significantly different on statistical test occurred on the organ damages of inoculated mice based on the PI interval. The tissue damages in lungs, liver and kidneys with interval of 8 hours were significantly higher than those of 0 hour PI, whilst the severity scores of 8 to 16 hours PI and of 16 to 24 hours PI tended to decrease. In the contrary, the spleen damage was increasing in agreement with the length of PI intervals; suggesting the spleen as reservoir organ in field cases of GCS infection.

Key word: GCS, field isolate, phase variant, histopathological changes, acute inflammatory

PENDAHULUAN

Wabah penyakit pada babi dan monyet di Bali yang disebabkan oleh bakteri S. equi zooepidemicus merupakan fenomena yang mengejutkan, karena sebelumnya bakteri ini telah lama dikenal sebagai kuman komensal. Untuk memperoleh pemahaman komprehensif khususnya tentang peran pergeseran fenotip dalam proses infeksi, dalam penelitian ini dilakukan isolasi fase varian dari isolat lapang S. equi zooepidemicus dan menguji patogenitasnya pada mencit. Penelitian ini diharapkan dapat menjawab pertanyaan mendasar berikut: (1) mengapa S. equi subsp. zooepidemicus yang pada umumnya bersifat komensal ternyata mampu menimbulkan wabah?; (2) adakah peran fase varian S. equi subsp. zooepidemicus dalam mekanisme infeksi?

MATERI DAN METODE
Isolasi Fase Varian
Pemisahan subpopulasi fase varian (tidak berkapsul) S. equi zooepidemicus dari isolat lapang (berkapsul) dilakukan dengan metoda gradient centrifugation (Salasia et al., 1994), menggunakan Ficoll Paque (Pharmacia, Upsala, Sweden). Ke dalam tabung yang berisi 9 ml larutan Ficoll dituangkan 0.5 ml suspensi bakteri secara perlahan-lahan sehingga membentuk batas yang jelas dengan larutan Ficoll, kemudian disentrifyus (5000 g; 30 menit). Hasil sentrifugasi berupa fraksi bakteri dalam berbagai kedudukan fase Ficoll. Sebanyak 200 ml suspensi bakteri-Ficoll diambil dengan siring steril, diulaskan pada agar darah dan diinkubasi pada 37oC selama 18 jam. Pemilihan fase varian S. equi zooepidemicus menggunakan kriteria yang berlawanan dengan isolat awalnya, dan tahapan isolasi diulangi beberapa kali hingga didapatkan koloni bakteri yang memenuhi kriteria.

Pengamatan Histopatologi
Masing-masing isolat bakteri diinokulasikan ke intraperitoneum mencit dengan konsentrasi 109 bakteri/ml. Setelah 8, 16 dan 24 jam pasca infeksi (PI) mencit dikorbankan jiwanya (euthanasia). Paru-paru, ginjal, hati, otak, dan limpa difiksasi dengan larutan buffer formalin 10%, kemudian dibuat sediaan histopatologi dan diwarnai dengan pewarnaan hematoksilin dan eosin menggunakan metode Humason (1972) yang dimodifikasi.
Evaluasi histopatologi dilakukan dengan memberi skor berdasarkan derajat perubahan pada masing-masing organ, yaitu: (a) paru-paru, skor 0: tidak terjadi perubahan; 1: terjadi hiperemia dan dilatasi pembuluh darah, interstitium mulai meluas dengan sedikit infiltrasi sel radang; 2: penebalan dinding alveol meluas diikuti semakin banyaknya infiltrasi sel radang; 3: penebalan dinding alveolisemakin hebat, diikuti semakin banyaknya infiltrasi sel radang; (b) hati, skor 0: tidak ada perubahan; 1: dilatasi dan hiperemia pembuluh darah, nekrosis sel individual, vakuolisasi sebagian sel hati; 2: vakuolisasi mengenai seluruh sel hati, infiltrasi sel radang di sinusoid dan periendotel; 3: nekrosis fokal, vakuolisasi seluruh sel hati dan semakin banyak infiltrasi sel radang di sinusoid maupun periendotel; (c) ginjal, skor 0: tidak ada perubahan; 1: dilatasi dan hiperemia pembuluh darah sehingga terbentuk pulau-pulau darah, nekrosis individual sel epitel tubulus; 2: infiltrasi sel radang di interstitium dan ditemukannya protein dalam tubulus; 3: infiltrasi sel radang semakin banyak; (d) limpa, skor 0: tidak ada perubahan; 1: pembendungan di pulpa merah; 2: terjadi nekrosis ringan di folikel limfoid dengan infiltrasi sel radang, infiltrasi sel radang mulai tampak di pulpa merah; 3: terjadi nekrosis hebat di folikel limfoid dan semakin banyak infiltrasi sel radang baik di pulpa putih maupun pulpa merah.

Analisis Data
Data histopatologi berupa skor dianalisis dengan uji statistika non parametrik menurut Kruskal-Wallis (Steel dan Torrie, 1980).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil pengamatan histopatologi otak pasca infeksi isolat lapang maupun fase variannya menunjukkan perubahan yang tidak berarti, sehingga diberikan skor 0. Hal ini kemungkinan disebabkan sulitnya bakteri SGC menginfiltrasi sistem pertahanan mekanik otak. Sistem ini disebut blood brain barrier, yaitu suatu sistem yang berlapis-lapis dan sangat berbeda dengan sistem pertahanan mekanik organ tubuh lainnya. Blood brain barrier meningen tersusun dari lima lapis tight junction (zonula occludens), sedikit persediaan vesicula pinositosis di sel-selnya dan sangat banyak mengandung mitokondria, untuk menahan infiltrasi agen asing ke substansi otak (Waggener, 1974; Tunkel dan Scheld, 1993).
Paru-paru mencit yang terinfeksi isolat lapang maupun fase variannya mengalami penebalan di daerah interstitium interalveoli yang bersifat multifokal (Gambar 1). Penebalan merupakan respon hiperemia, berisi timbunan eritrosit dan infiltrasi sel radang akut dalam jumlah besar. Daerah interstitium di sekitar bronkhiol dan bronkhioli tidak mengalami perubahan, sehingga disimpulkan bakteri menyebar secara hematogen dan paru-paru mengalami pneumonia interstitialis (Lopez, 1995).
Perubahan histopatologi organ hati akibat infeksi kedua jenis isolat memperlihatkan kerusakan dengan tingkat yang bervariasi, sehingga disimpulkan mengalami hepatitis akut. Hepatosit mengalami nekrosis individual sampai berkelompok sehingga terbentuk fokus-fokus nekrosis. Hepatosit juga mengalami disfungsi parenkim berupa vakuolisasi sitoplasma ringan berupa lubang-lubang kecil pada lobulus tertentu, hingga vakuolisasi hebat berupa lubang-lubang besar dan mengenai seluruh lobulus. Selain itu, sinusoid hati mengalami dilatasi, hiperemia dan peningkatan jumlah sel radang (hiperleukositosis). Respon peradangan terkonsentrasi di pembuluh darah portal, memasuki jaringan interstitial periendotel dan akhirnya memasuki pula kapiler sinusoid. Akibat adanya stimulasi faktor kemotaktik yang dihasilkan bakteri, terjadi ekstravasasi sel radang di periendotel pembuluh darah portal (Gambar 2). Bakteri yang diinokulasikan secara intraperitoneal, setelah difagositasi sel radang peritoneum dan menimbulkan peritonitis kemungkinan besar memasuki aliran darah umum melalui pembuluh limfatik peritoneum. Respon peradangan yang mengikuti pola aliran darah ini menyatakan rute infeksi melalui hematogen dan rute ini yang paling sering menimbulkan hepatitis (MacLachlan dan Cullen, 1995).
Ginjal mencit pasca infeksi isolat lapang maupun fase variannya memperlihatkan nefritis interstitialis akut berupa hiperemia dan hiperlekositosis pembuluh darah dengan sel radang netrofil lebih sering terlihat berkumpul di interstitium peritubular (Gambar 3). Banyak tubuli, terutama tubuli convoluti proximal, mengandung deposit protein dengan epitel yang mengalami nekrosis fibrinoid. Adanya kerusakan epitel tubuli tersebut menghambat fungsinya dalam mereasorbsi protein sehingga timbul proteinuria. Nefritis interstitialis disertai kerusakan tubuli merupakan tanda bahwa rute infeksi pada ginjal datang melalui hematogen (Confer dan Panciera, 1995).
Pada limpa mencit pasca infeksi kedua isolat ditemukan kerusakan berupa nekrosis folikel-folikel limfoid dan meningkatnya netrofil di pulpa merah. Di dalam fokus nekrosis folikel limfoid ditemukan reruntuhan nekrosis sel serta sel radang netrofil (Gambar 4). Limpa merupakan organ pertahanan tubuh yang mengandung banyak sel dengan fungsi respon imun dan memiliki daerah pulpa putih yang banyak dihuni oleh sel-sel penyaji antigen (sel dendritik folikel). Sel-sel tersebut bersifat fagositik dan sangat responsif terhadap partikel infeksius (Roitt, 1988). Berdasarkan perubahan histopatologi yang ditemui disimpulkan limpa mengalami splenitis akut.
Hasil penilaian histopatologi seluruh organ menunjukkan beragamnya tingkat kerusakan, dimulai dari kerusakan ringan dengan skor 1, hingga kerusakan terberat dengan skor 3. Kerusakan histologi terhebat dijumpai pada paru-paru, karena hampir semua memperoleh skor 2 dan 3. Hal ini mungkin berkaitan dengan banyaknya kapiler paru-paru dibandingkan pada organ lain, sehingga memungkinkan tersangkutnya mikroba lebih banyak (Lopez, 1995).
Hasil uji statistika non parametrik Kruskal-Wallis menunjukkan rataan peringkat skor perubahan histopatologi tidak berbeda nyata. Tetapi cenderung lebih tinggi, antara organ-organ kelompok mencit pasca infeksi isolat lapang dibandingkan fase varian. Rataan peringkat skor perubahan histopatologi paru-paru, hati, dan ginjal 8 jam PI nyata lebih tinggi dibandingkan pada 0 jam PI; tetapi tidak berbeda nyata bila dibandingkan dengan jam ke-8 hingga ke-16 dan jam ke-16 hingga ke-24.

Gambar 1. Paru-paru mencit pasca infeksi S. equi subsp. zooepidemicus. Fokus penebalan jaringan interalveoli paru (panah) yang menderita pneumonia interstitialis akut akibat hiperemia hebat dan infiltrasi sel radang. Pewarnaan HE, 100x.

Gambar 2. Daerah porta hati mencit pasca infeksi S. equi subsp. zooepidemicus. Terjadi ekstravasasi netrofil (bintang) dari vena porta hati yang distimulasi faktor kemotaktik. Pewarnaan HE, 1000x.

Gambar 3. Hiperleukositosis netrofil di vena arkuata ginjal (panah) mencit pasca infeksi S. Equi subsp. zooepidemicus dan epitel tubuli ginjal yang mengalami degenerasi fibrinoid (bintang). Pewarnaan HE, 1000x.

Gambar 4. Limpa mencit pasca infeksi S. Equi subsp. zooepidemicus. Timbunan reruntuhan nekrosis sel limfoid (a) dan infiltrasi sel radang (b) di folikel limfoid limpa. Pewarnaan HE, 1000x.

Rataan peringkat skor cenderung menurun dengan bertambahnya waktu pengamatan pasca infeksi, kecuali pada limpa akibat infeksi isolat lapang (Gambar 5). Hal ini menunjukkan bahwa meskipun SGC mampu menimbulkan kerusakan, namun kerusakan ini tidak bertahan lama dan mengarah terjadinya kesembuhan. Keadaan ini juga mengindikasikan bahwa tingkat respon pertahanan dari ketiga organ inang ini membaik dengan bertambahnya waktu pengamatan pasca infeksi.
Berbeda dengan ketiga organ lainnya, hasil skoring perubahan histopatologi limpa semakin meningkat dengan semakin lamanya waktu pengamatan pasca infeksi, baik oleh isolat lapang maupun fase varian. Hal ini disebabkan sejak 8 hingga 24 jam pasca infeksi telah terjadi peningkatan aktivitas sel penyaji antigen pada limpa mencit. Rataan peringkat skor perubahan histopatologi limpa lebih tinggi pada infeksi isolat lapang dibandingkan dengan fase varian. Perbedaan ini memberikan indikasi bahwa bakteri SGC memiliki kemampuan untuk ”bersembunyi” di dalam organ limpa. Dibuktikan dengan ditemukannya bakteri tersebut pada preparat sentuh limpa mencit yang diinfeksi isolat lapang setelah 16 dan 24 jam pasca infeksi. Wibawan et al. (1999) memperlihatkan kemudahan melakukan isolasi bakteri SGC dari organ limpa dan limfonodus babi sehat. Dengan demikian, bakteri ini diduga dapat menyebabkan terjadinya efek subklinik.
Dalam dunia bakteri, keberadaan fase varian merupakan fenomena alamiah yang umum dijumpai. Wibawan et al. (1999) membuktikan bahwa semua isolat yang diperoleh dari kasus wabah maupun subklinik di Bali memiliki pola finger print DNA yang sama. Meskipun sebagian besar isolat mempunyai bentuk koloni mukoid (berkapsul) dan beberapa isolat lainnya berkoloni kasar (tidak berkapsul). Hal ini menunjukkan bahwa isolat SGC tidak berkapsul memiliki potensi untuk membentuk kapsul dan sebaliknya isolat SGC yang berkapsul mempunyai kemampuan untuk tidak membentuk kapsul. Mekanisme ini diduga berkaitan dengan cara bakteri tersebut untuk mempertahankan eksistensinya.
Fase varian yang diperoleh dari isolat lapang pada penelitian ini menjawab pertanyaan-pertanyaan mendasar bahwa perubahan fenotip bakteri sangat dinamis atau tidak stabil, sehingga dikatakan bersifat metastabil. Perubahan fenotip ini sangat berhubungan dengan tingkat virulensi bakteri yaitu sifat ganas dan tidak ganas (Pincuss et al., 1992).
Perubahan fenotip sangat tergantung pada lingkungan dimana bakteri tumbuh. Bakteri yang terus menerus ditumbuhkan dalam media (pasase secara in vitro) akan mengalami perubahan bentuk koloni karena nutrisi dan lingkungan hidup bakteri yang sangat berbeda dengan lingkungan aslinya. Agar bentuk koloni kembali seperti semula, maka bakteri tersebut harus diinfeksikan ke hewan percobaan (pasase in vivo).

Gambar 5. Rataan peringkat Kruskal-Wallis skor histopatologi pada organ paru, hati,
ginjal dan limpa mencit yang diinokulasi dengan S. equi subsp. zoopidemicus.
(a) Fase varian dan (b) Isolat lapang.

a b

Dalam penelitian ini, hasil pasase bakteri SGC secara in vitro dalam media agar darah menyebabkan perubahan bentuk koloni dari besar, mukoid, dan ganas menjadi lebih kecil, tetap mukoid tetapi berkurang virulensinya. Selanjutnya, bentuk koloni bakteri ini menjadi besar, mukoid, dan ganas kembali setelah dipasase ke dalam tubuh mencit sebanyak tujuh kali.
Fase varian SGC sangat berperan dalam mekanisme infeksi. Hal ini terbukti dari kemampuannya mengubah ekspresi fenotip yang berkaitan erat dengan kemampuan adhesi dan ketahanannya terhadap fagositosis. Hal lain yang menunjang adalah bahwa SGC isolat lapang dapat bertahan hidup terhadap aktivitas fagositosis sel-sel netrofil dan menggunakan limpa serta limfoglandula sebagai reservoir. Hewan yang bertindak sebagai reservoir adalah hewan yang menderita penyakit secara subklinik, dan hewan ini potensial sebagai carrier dalam penyebaran penyakit. Dengan demikian, keberadaan fase varian diyakini merupakan salah satu cara bakteri mempertahankan eksistensinya di alam semesta ini.

KESIMPULAN

Infeksi S. equi subsp. zooepidemicus isolat lapang maupun fase varian pada mencit dengan pengamatan 8 hingga 24 jam pasca infeksi ternyata menimbulkan kerusakan histopatologi berupa pneumonia interstitialis akut, nefritis interstitialis akut, hepatitis akut, dan splenitis akut. Nilai rataan peringkat skor histopatologi pada paru-paru, hati dan ginjal semakin menurun dengan semakin lamanya waktu pengamatan pasca infeksi dan tidak berbeda nyata, tetapi cenderung lebih tinggi, antara organ-organ kelompok mencit pasca infeksi isolat lapang dibandingkan fase varian. Kemampuan ”bersembunyi” isolat lapang di dalam fagosit limpa merupakan kelebihan yang dimilikinya agar mampu bertahan hidup dengan bertahan terhadap aktivitas fagositosis dan menggunakan limpa sebagai reservoir. Fase varian merupakan salah satu cara yang digunakan bakteri untuk mempertahankan eksistensinya.

UCAPAN TERIMAKASIH
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Proyek Pelaksanaan Pengkajian dan Penelitian Ilmu Pengetahuan Dasar Nomor: 08/PPIPD/DPPM/96/PPIPD/1996 tanggal 22 Juli 1996, Direktorat Pembinaan Penelitian dan Pengabdian Pada Masyarakat, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, yang telah membantu sebagian dana penelitian ini.

DAFTAR PUSTAKA
Confer, A. W. and R. J. Panciera. 1995. The Urinary System. In W. W Carlton and M. D. Mc Gavin. Thomson’s Special Veterinary Pathology. 2nd Ed. Mosby-Year Book Inc. USA.
Humason, G. L. 1972. Animal Tissue Techniques. 3th Ed . W. H. Freeman and Co. San Fransisco, USA.
Lopez, A. 1995. Respiratory System. In W. W Carlton and M.D. Mc Gavin. Thomson’s Special Veterinary Pathology. 2nd Ed. Mosby-Year Book Inc. USA.
MacLachlan, N.J. and J.M. Cullen. 1995. Liver, Billiary System and Exocrine Pancreas. In W. W Carlton and M. D. Mc Gavin. Thomson’s Special Veterinary Pathology. 2nd Ed. Mosby-Year Book Inc. USA.
Pincus, S. H., R. L. Cole, M. R. Wessels, M. D. Corwin, E. K. Sollo, S. F. Hayes, W. Cieplak, Jr., and J. Swanson. 1992. Group B streptococcal opacity variants. J. of Bacteriology. 174 (11): 3739-3749.
Roitt, I. 1988. Essential Immunology. 6 thEd. Blackwell Scientific Publications.
Salasia, S. I. O., I W. T. Wibawan, C. Lämmler, and M. Sellin. 1994. Phase variation in streptococci of serological group B. APMIS. 102: 925-930.
Steel, R. G. D., and J. H. Torrie. 1980. Prinsip dan Prosedur Statistika Suatu Pendekatan Biometrik. Penerbit Gramedia, Jakarta.
Tunkel, A. R. and. W. M. Scheld. 1993. Pathogenesis and pathophysiology of bacterial meningitis. Clin. Microbiol. Rev. 6: 118-136.
Waggener, J.D. 1974. The pathophysiology of bacterial meningitis and cerebral abscesses: an anatomical interpretations. Adv. Neurol. 6: 1-17.
Wibawan, I W. T., F. H. Pasaribu, I.H. Utama, A. Abdulmawjood, and C. Lämmler. 1999. The Role of hyaluronic acid capsular material of S. equi subsp. zooepidemicus in mediating adherence to HeLa cells and in resisting phagocytosis. Res. Vet. Sci. 67: 131-135.