Wed 6 Apr 2005
Studi Seroepidemiologi Tetelo pada Burung Emprit (Lonchura punctulata)
Posted by admin under Jvet Vol 3(2) 2002Studi Seroepidemiologi Tetelo
pada Burung Emprit (Lonchura punctulata)
(SEROEPIDEMIOLOGICAL STUDY OF NEW CASTLE DISEASE IN SPICE FINCH (LONCHURA PUNCTULATA)
RIJANTO; I NYOMAN MANTIK ASTAWA; GUSTI AYU YUNIATI KENCANA
Laboratorium Virologi Veteriner
Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Udayana
JL PB Sudirman Denpasar 80232
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kemungkinan burung emprit (Lonchura punctulata) dapat terinfeksi virus ND, melalui pemeriksaan seroepidemiologi.
Sampel penelitian ini menggunakan 100 sampel sera yang diperiksa titer antibodinya terhadap ND dengan uji serologi yaitu uji hambatan hemaglutinasi (HI). Sampel sera diperoleh dari pedagang burung di Pasar Burung Sanglah yang berasal dari daerah Banyuwangi, Jawa Timur. Data epidemiologi diperoleh melalui wawancara dan hasil pengamatan di lapangan. Data titer antibodi yang diperoleh dari hasil penelitian ini disajikan dalam bentuk deskriptif.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 100 sampel sera burung emprit yang diperiksa, 19% (19/100) positif mengandung antibodi terhadap ND dengan kisaran titer antara 8 sampai 64 unit HI. Sedangkan sisanya sebanyak 81% (81/100) menunjukkan antibodi negatif (titer HI = 0).
Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa burung emprit dapat terinfeksi virus ND dan ada kemungkinan burung-burung tersebut dapat membawa dan menyebarkan virus ND.
Kata kunci : Newcastle disease; burung emprit
ABSTRACT
Seroepidemiological study of new castle disease (ND) in spince finch (Lonchura punctulata) have been conducted using 100 sera which were collected from Sanglah Bird market Denpasar.
All sera were checked for their antibody titer against ND virus using haemaglutination-inhibition test (HI). Additional information such as the origin of the bird, numbers of sick bird and vaccination record were also collected by interviewing the owner. Bird were also observed for any symtom of clinical signs.
Nineteen (19) of the 100 sera examined were serologically positive against ND antibody (8 – 64 HI unit), whilst the remains (81,81%) were negative (0 HI unit), respectively.
Results of this study indicates that spice finch could play an inportant role in the spreading of ND virus
Key word : newcastle disease; lonchura punctulata
PENDAHULUAN
Penyakit tetelo (Newcastle Disease/ND) merupakan penyakit yang sangat menular pada banyak spesies unggas. Penyakit ini pertama kali dilaporkan di Jawa oleh Kraneveld pada tahun 1926 (Fenner, et al., 1993). Selanjutnya Doyle (1927) berhasil mengisolasi virus ND di Inggris dan mengidentifikasinya sebagai paramyxovirus-1 (PMV-1). Penyakit ini ditandai dengan gejala kelainan pernafasan, kelainan pencernaan dan kelainan saraf. Masa inkubasinya singkat antara 5 - 6 hari dengan tingkat kematian yang tinggi (Darminto dan Ronoharjo, 1996). Saat ini dikenal tiga strain PMV-1 yaitu, strain velogenik, yang paling ganas dan menimbulkan banyak kematian ayam di Asia, strain mesogenik menimbulkan kematian lebih dari 50% dan strain lentogenik yang kurang virulen (Copland, 1992).
Virus ND menyerang ayam semua umur dengan tingkat morbiditas dan mortalitas yang sangat tinggi. Kejadian ini menimbulkan kerugian yang cukup besar. Kerugian oleh ND di Indonesia diperkirakan Rp. 142 milyar per tahun yang terjadi akibat tingkat kematian yang tinggi, menurunnya produksi daging dan telur serta tingginya biaya pengendalian penyakit ini (Darminto dan Ronoharjo, 1996).
Ayam merupakan hewan peliharaan yang paling sering dilaporkan terserang ND. Namun ND dapat menyerang berbagai jenis unggas termasuk burung-burung liar seperti burung nuri, beo dan kakak tua (Santhia et al., 1985). Vickers dan Hanson (1982) telah melaporkan kasus ND pada unggas air di Wisconsin, Amerika Serikat, sedangkan Kaleta dan Marchall (1982) melaporkan kasus ND pada burung dara, Greater Flamingos (Phoenicopterus ruber) dan Demoislle Crain (Anthropoides virgo). Menurut Erikson (1976) burung-burung liar dapat bertindak sebagai carrier karena secara klinis tampak normal tetapi dapat terinfeksi kronis lebih dari satu tahun.
Salah satu cara untuk mengetahui adanya infeksi ND pada unggas adalah dengan mendeteksi adanya antibodi dalam serum terhadap virus tersebut. Deteksi antibodi dapat dilakukan dengan uji serologis seperti uji hemaglutinasi (HA/HI). Pada uji HA terjadi reaksi antara antigen dengan reseptor eritrosit, sedangkan pada uji hambatan hemaglutinasi (HI) antibodi berikatan langsung dengan hemaglutinin sehingga hemaglutinasi sel darah merah oleh virus ND tidak terjadi (Spradbrow, 1987).
Sampai saat ini belum ada daerah di Indonesia yang bebas dari ND. Perdagangan ternak unggas yang terinfeksi turut berperan dalam penyebaran penyakit ND (Fenner et al., 1993). Di Bali sendiri perdagangan burung banyak mendatangkan dari luar daerah, sehingga hal ini perlu mendapat perhatian. Untuk itu perlu dilakukan suatu penelitian adanya infeksi terhadap burung liar seperti burung Emprit, karena selain banyak ditemukan bebas berkeliaran ada juga yang memelihara untuk kesenangan pribadi. Dengan demikian dapat diketahui sejauh mana peranan burung emprit dalam penyebaran ND, sehingga dapat dilakukan antisipasi terhadap kemungkinan tersebut..
MATERI DAN METODE
Materi
Bahan-bahan yang diperlukan dalam penelitian ini adalah : seratus sampel sera burung Emprit (Gambar 2), Phospat Buffer Saline (PBS) pH 7,2, sel darah merah ayam 1%, telur ayam berembrio umur 9 hari, virus ND isolat Bali (koleksi Balai Penyidikan Penyakit Hewan Wilayah VI Denpasar), antikoagulan (EDTA), kuteks, alkohol 70%, penisilin dan streptomisin.
Alat-alat
Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini, antara lain : alat peneropong telur, inkubator, penangas air, alat pemusing, lemari es, pengayak mikro, tabung reaksi, rak tabung reaksi, gelas ukur, tuberculine syringe 1 ml, pipet pasteur, spatula, plat mikro, penetes mikro 0,025 ml dan 0,05 ml, pengencer mikro dan api bunsen.
Metode
Penyiapan Antigen
Antigen virus ND diperoleh dengan cara memperbanyak virus ND isolat Bali pada telur ayam berembrio (TAB) umur 9 hari. Pertama, Virus ND disuspensikan dalam larutan PBS yang mengandung 3000 IU/ml penisilin dan 3000 mg/ml streptomisin. Suspensi virus tersebut diinokulasikan ke dalam ruang allantois TAB. Setelah inkubasi selama 3 sampai 4 hari, lalu disimpan pada suhu –200C sebagai sumber antigen. TAB yang mati sebelum 24 jam dianggap terkontaminasi.
Penyiapan Serum
Suspensi serum dari burung emprit yang diperoleh dari Pasar Burung Sanglah. Menurut penjualnya burung ini berasal dari daerah Banyuwangi, Jawa Timur. Darah burung diambil dengan spuit tuberculin secara intra kardial, dan ditampung dalam tabung steril. Tabung ditaruh pada posisi miring dan dibiarkan pada suhu kamar sampai keluar serum. Serum dipindahkan secara aseptis ke dalam tabung steril. Sebelum diuji, serum tersebut dipanaskan pada suhu 560C selama 30 menit untuk menghilangkan faktor-faktor nonspesifik.
Penyiapan Suspensi Sel Darah Merah Ayam 1%
Darah ayam donor diambil 2 ml melalui vena brachialis yang berisi antikoagulan. Darah dicuci memakai PBS pH 7,2 dengan pemusingan berkecepatan 2000 rpm selama 15 menit. Supernatannya dibuang, selanjutnya dilakukan pencucian dengan cara yang sama sampai tiga kali. Setelah pencucian berakhir kadar sel darah merah diperiksa dengan mikrohematokrit. Sel darah merah yang telah diketahui kadarnya diencerkan dengan PBS sampai mencapai konsentrasi 1%.
Pembuatan Suspensi Antigen 4 Unit HA
Antigen hasil perbanyakan virus ND pada telur ayam berembrio ditentukan aktivitas hemaglutinasinya dengan uji hemaglutinasi (HA) mikrotiter (Allan dan Gough, 1974). Suspensi virus ND sebanyak 0,025 ml diencerkan pada plat mikro 96 sumuran. Setelah pengayakan selama 30 detik, kedalam masing-masing sumuran ditambahkan 0,05 ml suspensi sel darah merah ayam 1%. Setalah inkubasi selama 15 menit, titer HA virus ND ditentukan sebagai antilog pengenceran tertinggi virus yang masih mampu mengaglutinasi sel darah merah 1%. Suspensi virus ND 4HA diperoleh dengan menggunakan rumus V1C1=V2C2. Karena dalam penelitian ini diperoleh titer 25 HA maka virus ND 4HA unit dibuat dengan cara penegnceran 1 suspensi virus + 7 pengencer.
Uji Hambatan Hemaglutinasi (HI)
Uji hambatan heaglutinasi (haemaglutination inhibition/HI) dilakukan dengan sistim mikrotiter (Alaan dan Gough, 1974). Dalam uji ini 0,025 ml serum asal mencit diencerkan berkelipatan dalam PBS. Kedalam masing-masing pengenceran, kemudian ditambahkan 0,025 ml suspensi virus ND 4 unit HA. Setelah inkubasi pada sushu kamar selama 30 menit, kedalam masing-masing sumuran ditambahkan 0,05 ml suspensi sel darah merah ayam 1%. Pembacaan hasil dilakukan setelah inkubasi pada suhu kamar selama 15 menit.
Titer antibodi HI ditentukan sebagai antilog pengenceran tertinggi serum yang masih mampu menghambat hemaglutinasi sel darah merah 1%.
Sigi Epidemiologi
Pengambilan data epidemiologi dilakukan dengan cara pengamatan langsung di lapangan mengenai ada tidaknya gejala klinis, wawancara dengan pemilik burung mengenai asal-usul burung, lama burung di tempat penjualan, jumlah yang sakit dan status vaksinasi.
Analisis Data
Data yang diperoleh dari hasil penelitian ini disajikan dalam bentuk deskriptif.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil uji HI terhadap 100 sampel sera burung emprit dicantumkan pada tabel 1 dan 2 Hasil penelitian menunjukkan bahwa 19% (19/100) positif mengandung antibodi terhadap ND, dengan kisaran titer antara 8 – 64 unit HI. Sisanya 81% (81/100) tidak mengandung antibodi terhadap ND. Dari pengamatan sebelum pengambilan serum, tiga ekor burung ditemukan menunjukkan gejala sakit.
Tabel 1. Persentase Seropositif dan seronegatif ND pada Sera Burung Emprit.
Jumlah Sampel Sera Burung Emprit yang Diperiksa Seropositif Seronegatif
100 19 81
Persentase (%) 19 81
Tabel 2. Persentase Hasil Uji Hambatan Hemaglutinasi (HI) Berdasarkan Titer.
Titer Antibodi (unit HI) Jumlah sampel Sera Persentase
Negatif 81 81
8 4 4
16 9 9
64* 6 6
* 3 burung yang diperiksa serumnya menunjukkan gejala sakit.
Hasil uji HI dari seratus sampel sera burung emprit menunjukkan 19% (19/100) positif memiliki antibodi terhadap virus ND. Antibodi HI adalah antibodi yang bereaksi terhadap protein hemaglutinin-neuraminidase (HN) virus, biasanya muncul pada minggu pertama setelah infeksi (Spradbrow, 1987). Pada uji HI antibodi berikatan langsung dengan protein H/N dan membentuk antigen-antibodi kompleks sehingga sel darah merah yang ditambahkan akan mengendap. Adanya antibodi dalam sera burung ini menunjukkan bahwa burung tersebut pernah terinfeksi virus ND. Antibodi dalam tubuh burung pada usia muda bisa terjadi secara alamiah yaitu melalui infeksi alam atau dari antibodi maternal. Namun mengingat burung-burung tersebut belum pernah divaksinasi dan keberadaan antibodi maternal sudah tidak mungkin ditemukan karena umur burung sudah dewasa kemungkinan antibodi tersebut diperoleh melalui infeksi alami.
Dari 19 sampel sera yang positif memiliki antibodi terhadap virus ND tiga sampel diantaranya diambil dari burung yang menunjukkan gejala sakit, sedangkan sisanya tidak. Kejadian ini mungkin disebabkan tiga ekor burung sedang sakit karena infeksi virus ND ganas atau melihat dari titer antibodi yang tinggi (64 unit HI), burung terinfeksi di daerah asal sedangkan gejala sakit muncul mungkin karena pengaruh transport, stress akibat banyaknya burung dalam sangkar dan adanya kompetisi dalam memakan makanan. Namun hal tersebut di atas tidak dapat dibuktikan secara pasti karena dalam penelitian ini tidak dilakukan isolasi virus atau nekropsi untuk mengetahui sebab kematian burung tersebut. Sementara itu pada 81% (81/100) sampel sera yang lain titer antibodinya negatif. Tidak adanya titer HI pada ke-81 tidak terserang virus ND
Keberadaan antibodi dalam sampel sera yang diperiksa sebagai pertanda adanya infeksi oleh virus ND dimungkinkan karena adanya antibodi dalam tubuh burung menunjukkan bahwa burung itu pernah terpapar virus tersebut. Dalam hal ini bila benda asing, seperti virus ND masuk ke dalam tubuh hewan, maka tubuh akan membentuk antibodi yang dapat bereaksi dengan antigen tadi (Tizard, 1988). Antibodi hanya berikatan secara khas dengan antigen yang merangsang pembentukkannya. Reaksi antigen antibodi inilah yang sebagai indikator adanya infeksi atau pernah terinfeksi pada hewan yang diuji.
Secara pasti sumber atau asal virus ND yang menginfeksi burung-burung tersebut memang tidak dapat ditentukan, tetapi ada kemungkinan bahwa infeksi diperoleh dari kebiasaan burung emprit yang sering mencari makan di tempat terbuka berumput seperti di daerah sawah, kebun dan pekarangan. Keadaan ini memungkinkan burung tertular ND seperti dari ayam, kotorannya atau kandang-kandang yang tercemar ND. Kemungkinan sumber penularan lainnya adalah pada saat burung berada di pasar burung yang memungkinkan untuk bercampur dengan burung-burung lain yang terinfeksi virus ND. Infeksi terjadi ketika virus tersebut bisa saja terhirup oleh burung emprit tersebut. Menurut Spradbrow (1987) beberapa burung Psittacine menjadi karier virus ND dalam jangka waktu yang panjang.
Dari hasil penelitian seroepidemiologi terbukti bahwa burung emprit dapat terinfeksi virus ND dan sangat mungkin burung ini dapat bertindak sebagai penyebar virus ND kepada hewan atau lingkungan sekitarnya. Keadaan ini akan menyulitkan pengendalian penyakit ND pada unggas peliharaan. Namun untuk membyktikan hal ini diperlukan penelitian lebih lanjut.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian, gejala klinis dan sigi epidemiologi, maka dapat disimpulkan bahwa burung Emprit (Lonchura punctulata) yang berasal dari Banyuwangi terinfeksi oleh virus ND sebanyak 19,0%.
DAFTAR PUSTAKA
Allan, W.H., R.E. Gough.1974. A Standard Haemagglutination Inhibition Test for Newcastle Disease Virus. Vet. Rec., 95 : 147 – 149.
Copland, J. 1992. The Origin and Outcomes of The ACIAR Newcastle Disease Projects. ACIAR Proceeding, 39 : 8 – 10.
Darminto dan P. Ronohardjo. 1996. Newcastle Disease Pada Unggas di Indonesia : Situasi Terakhir dan Relevansinya Terhadap Pengendalian Penyakit. Balai Penelitian Veteriner. Hlm. 65 – 84.
Doyle, T.M. 1927. A Hitherto Unrecorded Disease of Fowls Due To A Filter Passing Virus. Journal of Comparative Pathology, 40 : 162 – 171.
Erikson, G.A. 1976. The Isolation and Characterization of a Newcastle Disease Virus from an Exotic Parrot. Australian Veterinary Journal, 54 : 534 – 537.
Fenner, F.J., E.P.J Gibbs, F.A. Murphy, R. Rott, M.J. Studdert dan D.O. White. 1993. Virologi Veteriner, Edisi Kedua. Penerjemah D.K.H Putra dan K.G. Suaryana. IKIP Senarang Press.
Fogarty, R. 1999. Newcastle Disease. Agnote DAI/67, third edition, April 1999.
Hardjosworo, S., S.U. Pramono, R. Soejoedono. 1976. Penilaian Program Pemberantasan Penyakit Tetelo (Newcastle Disease). Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor.
Kaleta, E.F. and H.J. Marschall. 1982. Newcastle Disease in A Zoo Affecting Demoiselle Crain (Anthropoides virgo), Greater Flaminggos (Phoenicopterus ruber) and A Pied Imperial Pigeon (Ducula bicolor).
Santhia, K.A.P., A.W. Brati dan I.G. Sudana. 1985. Karakterisasi Isolat Virus ND dari Ayam, Itik, Burung Pelatuk, Nuri dan Kakatua. Bull. Vet. BPPH wil. VI Dps., 2 (1) : 1 – 7.
Spradbrow, P.B. 1987. Newcastle Disease – An Overview. In Newcastle Disease in Poultry. A New Food Pllet Vaccine, (ed. J.W. Copland). Australian Centre for International Agricultural Research, Canberra, pp. 12 – 18.
Tizzard, I. 1982. Pengantar Imunologi Veteriner, Edisi Kedua. Penerjemah M. Partadiredja. Airlangga University Press.
Vickers, M.L. and R.P. Hanson 1982. Newcastle Disease virus in Waterfowl in Winconsin. Veterinary Bulletin, 52 : 6195.
Gambar 1. Karakteristik Burung Emprit