Wed 6 Apr 2005
Aspek Biokimiawi dalam Patogenesis Penyakit Anthrax
BIOCHEMICAL ASPECTS IN PATHOGENESIS OF ANTHRAX
IWAN HARYONO UTAMA.
Lab biokimia, Fakultas Kedokteran Hewan
Universitas Udayana. Bukit Jimbaran Kuta Badung Bali
E-mail : [email protected]
.ABSTRAK
Bacillus anthracis penyebab penyakit anthrax memiliki dua faktor virulen yaitu kapsul polimer asam g d-glutamat dan eksotoksin yang membantu invasinya pada inang. Tulisan ini memfokuskan peranan biokimiawi eksotoksin (faktor virulen ekstraseluler) yang terdiri dari antigen protektif (PA), faktor edema (EF) dan faktor letal (LF) dalam patogenesis anthrax. Dapat disimpulkan bahwa molekul PA berperan sebagai kargo pembawa LF atau EF ke dalam sel inang. Faktor edema menyebabkan peningkatan kadar siklik adenosin mono fosfat (c-AMP), sedangkan faktor letal menyebabkan pemutusan rantai molekul protein kinase dalam sel. Kedua mekanisme ini bertanggung jawab terhadap virulensi B. anthracis.
Kata kunci : Anthrax; patogenesis biokimiawi
ABSTRACT
Bacillus anthracis, the causative agent of anthrax has poly d-g-glutamic acid capsule and exotoxins as virulence factors. Both factors provoke invasion to host. This paper focused on biochemical roles of protective antigen (PA), edema factor (EF) and lethal factor (LF) as components of exotoxin in anthrax pathogenesis. It could be concluded the role of PA as carrier LF and EF in entering host cells. Edema factor elevates intracellular cyclic adenosine mono phosphate (c-AMP) and lethal factor breaks polypeptide chain of intracellular protein kinase. Both mechanism are responsible in virulence of B. anthracis.
Key words : Anthrax; biochemical pathogenesis
Pendahuluan
Antrax merupakan penyakit infeksius yang disebabkan oleh bakteri Bacillus anthracis berbentuk batang dan bersifat Gram positif. Penyakit ini banyak menyerang hewan seperti pemamah biak, babi, dan hewan lainnya, bahkan pernah menyerang burung unta di daerah Purwakarta (Jawa Barat) beberapa waktu yang lalu.
Dalam dunia kedokteran hewan (veteriner), anthrax sebenarnya merupakan penyakit yang sumber penularannya terdapat di tanah, hewan sering terkena akibat memakan sesuatu yang terdapat di tanah yang tercemar oleh spora B. anthracis / daerah endemik Gambar 1). Penyakit ini bersifat zoonosis, manusia sering terkena melalui konsumsi hewan terinfeksi atau terkontaminasi bulu hewan yang biasa dibuat bahan tekstil. Wool’s sorter disease adalah bentuk penyakit anthrax pada manusia yang menyerang saluran respirasi (bentuk respirasi). Penyakit ini banyak ditemukan pada pembuat baju dari bulu domba (wool) (Ezzel dan Wilhelmsen, 1993).
Di Indonesia, anthrax mulai diamati pada tahun 1884, saat itu seekor kerbau tertular penyakit dengan gejala yang sangat mirip anthrax. Kasus selanjutnya tercatat tahun 1885-1886, 1899-1900, 1914 dan 1927. Hingga tahun 1930, penyakit ini banyak terjadi di berbagai daerah di Jawa dan luar Jawa. Hingga tahun 1958, tercatat Sumatra, Kalimantan, Jawa, Madura, Nusa Tenggara dan Sulawesi menjadi daerah endemik anthrax (Anon. 1978).
Istilah anthrax berarti arang, sebab penyakit ini menimbulkan gejala pada manusia berupa bisul kehitaman yang jika pecah akan menghasilkan semacam borok (bubonic palque) (Cunha, 2001). Dahulu, penyakit ini dikatakan sebagai penyakit kutukan karena menyerang orang yang telah disisihkan di masyarakat, bahkan bangsa Mesir pun pernah terkena panyakit ini kira-kira 4000 tahun sebelum masehi.
Gambar 1. Diagram skematis penularan anthrax pada hewan (Mock dan Fauet, 2001).
Kasus penyakit anthrax sebenarnya bukan hal baru di dunia medis dan veteriner, kasus anthrax menghangat setelah adanya fenomena bioterorisme di Amerika Serikat (www.pighealth.com; www.medscape.com). Sifat fisik spora B. anthracis yang tahan hidup hingga 50 tahun dan dapat disimpan dalam keadaan berupa bubuk kering memang sangat menguntungkan dalam dunia bioterorisme (Wade, 2001). Sejak dari tahun 1999, berbagai komunitas medik di Amerika Serikat telah mencermati fenomena bioterorisme dan menyusun strategi bersama untuk mengantisipasinya (Fraser dan Dando, 2001; Ingelsby et al., 1999). Bahaya lain akibat bioterorisme ini ialah tertularnya hewan ternak seperti sapi oleh B. anthracis (Brazil dan Minnick, 2001).
Biologi molekuler faktor virulen B.anthracis dan peranannya dalam patogenesis
Pathogenesis anthrax tergantung dari masuknya B. anthracis ke tubuh. Ada tiga rute pintu masuk agens yang menghasilkan tiga bentuk utama penyakit anthrax pada menusia. Bentuk gastrointestinal diakibatkan konsumsi daging atau produk hewan tertular, bentuk ini juga bisa menyerang hewan karnivora dan omnivora seperti babi. Orofaringitis merupakan gejala tersering (+ 90%) pada hewan-hewan yang tertular melalui gastrointestinal. Bentuk respirasi diakibatkan menghirup debu tertular spora (contohnya pada kasus bioterorisme anthrax di USA) atau wool’s sorter disease seperti yang diterangkan di atas. Bentuk kulit (cutaneus) pada manusia bisa disebabkan oleh kontak langsung oleh spora atau akibat konsumsi hewan sakit (Cramer dan Martinez, 2001; www.pighealth.com).
Tulisan ini lebih memfokuskan patogenesis penyakit anthrax secara molekuler. Secara molekuler, B. anthracis memiliki 2 golongan faktor virulen, yaitu kapsul poli g d-glutamat), lapis S (S-layer) yaitu berupa lapis peptidoglikan (Mesnage et al. 1998) dan karbohidrat penyusun dinding sel yang terdiri dari galaktosa dan N-asetil glukosamin (Ezzel dan Abshire, 1988; Ezzel et al. 1990). Ketiga komponen ini dikenal sebagai cell-associated antigens. toksin ekstraseluler yang dihasilkan sebagai komponen terlarut (Hanna dan Ireland, 1999). Kapsul poli d-glutamat berfungsi sebagai faktor antifagositik terhadap lekosit netrofil dan makrofag dengan cara menginduksi produksi sitokin dan lisis makkrofag (Beuregard, 2001). Kapsul ini dihasilkan oleh gen pXO2 dari plasmid 60 MDa B. anthracis (Green et al., 1985).
Toksin ekstraseluler (eksotoksin) terdiri dari antigen protektif (PA/ protein, 735 asam amino, 82 kDa), faktor letal (LF/protein, 776 asam amino, 90 KDa) dan faktor edema (EF/protein, 767 asam amino, 88 kDa) yang dihasilkan oleh gen pXO1 dari plasmid 110 MDa B. anthracis (Little dan Ivins, 1999; Mikesel et al., 1983). Antigen protektif berfungsi sebagai chaperone (pembantu ?) terhadap faktor letal dan faktor edema dalam mengekspresikan sifat virulensinya.
Secara molekuler, antigen protektif memiliki 4 domain dalam rantai polipeptidanya. Domain pertama (asam amino 1-258) berfungsi sebagai situs untuk bekerjanya enzim furin (Mock dan Fouet, 2001) dan reseptor LF atau EF. Domain ke dua (asam amino 259-487) berperan dalam pembentukan heptamer PA-63 dan insersinya pada membran sel inang. Domain ke tiga (asam amino 488-595) berperan dalam proses pengikatan LF atau EF dan stabilitas heptamer (Mogridge et al. 2000); serta domain ke empat (asam amino 596-735) berfungsi sebagai stabilisator struktur molekul PA, pengikat reseptor PA pada membran sel inang dan determinan antigenik molekul PA (Brossier et al. 1999). Sifat terakhir ini penting dalam pembuatan vaksin anthrax (Ivins et al. 1986; Brossier et al. 2000).
Faktor edema (EF) memiliki empat domain, domain pertama (asam amino 1-250/300) berperan sebagai pengikat dengan heptamer PA-63 di membran sel inang, domain ke dua (asam amino 309-325) berperan sebagai pengikat molekul adenosin trifosfat (ATP), domain ke tiga (asam amino 459-561) memiliki aktivitas adenilat siklase, domain ini mirip dengan domain adenilat siklase Bordetella pertusis (Beauregard, 2001) serta domain ke empat (asam amino 617-767) berperan sebagai stabilisator ikatan molekul EF dengan kalmodulin (Little dan Ivins, 1999; Mock dan Fouet, 2001).
Faktor letal (LF) memiliki domain pertama (asam amino 1-250/300) yang berperan dalam aktivitas sitotoksisitas molekul LF, domain ke dua (asam amino 315-416) berperan sebagai stabilisator molekul LF dengan cara mengikat ion kalsium dan kalmodulin untuk aktivitas biologis molekul LF serta domain ke tiga (asam amino 686-690 dan asam amino 745-749) berperan sebagai pengikat ion zinc. Jadi molekul LF termasuk metaloproteinase (Little dan Ivins, 1999; Miyoashi dan Shinoda, 2000).
Mekanisme kerja eksoptoksin dapat dilihat pada Ggmbar 2, di sini dijelaskan bagaimana molekul PA mula-mula berinteraksi dengan reseptornya di permukaan sel inang. Reseptor ini telah dikarakterisasi berupa protein membran tipe 1 yang memiliki antivitas faktor Von Willebrand ekstraseluler (Bradley et al. 2001).
Setelah berikatan, molekul antigen protektif dipecah oleh furin (sejenis serin-endoprotease yang terdapat dalam aparatus Golgi sel) menghasilkan komponen PA-20 yang dibuang ke medium dan PA-63 yang segera membentuk heptamer (PA-63)7 (Milne et al. 1994; Molloy, et al. 1992). Heptamer ini mampu mengikat EF atau LF secara kompetitif dan berperan sebagai kargo yang membawa dua molekul mematikan yaitu EF dan LF. Kompleks ini kemudian ditelan oleh sel inang dan masuk ke endosom yang ber pH rendah (Koehler dan Collier, 1991). Keadaan ini mampu mengubah konformasi molekul kompleks [(PA-63)7-LF] atau [(PA-63)7-EF] sehingga kompleks tersebut mampu membentuk pori di endosom dan melepas EF atau LF (Blaustein et al. 1989).
Gambar 2. Mekanisme masuknya LF dan EF ke dalam sel inang, dimana molekul PA berperan sebagai chaperone dalam proses tersebut. Keterangan : PA : antigen protektif; EF : faktor edema; LF : faktor letal; ATP ; adenosin trifosfat; CaM : kalmodulin; AMPc : siklik adenosin monofosfat; MAPKKs : protein kinase yang diaktivasi oleh mitogen (Sumber : Mock dan Fauet, 2001).
Ekspresi virulensi molekul EF dan EF justru terjadi setelah mereka keluar dari endosom sel inang, saat itu kedua molekul ini berubah menjadi toksin edema dan toksin letal (Brossier dan Mock, 2001; Crammer dan Martinez, 2001).
Setelah di dalam sel, dengan aktivitas adenilat siklase yang dimilikinya, molekul EF bekerja dengan cara mengubah molekul ATP yang diikatnya menjadi siklik 3,5 adenosin monofosfat / c-AMP. Molekul C-AMP berperan sebagai pembawa pesan sekunder yang akana meneruskan pesan yang disampaikan dari molekul EF ke sistem enmzimatik intraseluler (Voet dan Voet, 1995; Duesberry dan Woude, 1999). Hasil akhir dari kerja molekul EF ialah edema seluler akibat perubahan gradien transmembran sel dan kebocoran seluler akibat insersi molekul PA (Gauthier dan Finlay, 2001). Pola serupa juga dilakukan oleh molekul LF yang mampu memotong sejenis protein kinase intraseluler (mitogen-activated protein kinases) yang berfungsi sebagai pembawa pesan ke dua di dalam sel (Mock dan Fouet, 2001), akibatnya terjadi hipotensi, shock dan akhirnya kematian sel (Cunha, 2001).
Pengamatan in vitro menunjukkan bahwa untuk ekspersi sitotoksisitasnya, LF dan EF memerlukan proses sintesis protein yang kontinu dalam makrofag (Bhatnagar dan Friedlander, 1994). Fenomena ini juga ditunjang dengan pengamatan Tang dan Leppla (1999) yang menunjukkan diperlukannya suatu proteasom oleh toksin lethal untuk membunuh makrofag. Hal ini menyebabkan makrofag mensintesis bermacam-macam protein seperti interleukin 1 (IL-1) dan faktor nekrosis tumor alfa (TNF-a). Interleukin 1 diduga kuat menyebabkan kematian dan shock pada penderita (Hanna et al. 1993). Adanya peningkatan sekresi interleukin 6 dan TNF-a juga akan meningkatkan kadar c-AMP intraseluler, hal terakhir ini juga berperan menyebabkan shock dan kematian (Hoover et al. 1994).
Pengamatan in vitro juga menunjukkan tidak semua jenis makrofag peka terhadap toksin lethal anthrax. Makrofag yang mengalami defek tertentu saat menelan toksin letal justru resisten terhadap toksin tersebut (Friedlander et al. 1993). Kebocoran sel akibat pembentukan heptamer P-63 yang bertahan di membran sel, juga ikut menyebabkan kematian penderita anthrax (Zhao et al. 1995).
Terapi dan strategi antisipasi anthrax
Antibiotika penisilin masih merupakan antibiotik pilihan pertama dalam terapi anthrax (Cramer dan Martinez, 2001; Cunha, 2001). Meskipun demikian beberapa institusi seperti center for disease control and prevention (CDC) di Amerika Serikat (www.cdc.gov) dan buletin dari perhimpunan internasional mengenai penyakit infeksius ([email protected]) merekomendasikan penggunaan siprofloksasin dan doksisiklin untuk terapi anthrax (Barrett, 2001). Meskipun demikian, dengan diketahuinya struktur kristal toksin anthrax (Pannifer et al. 2001) dan reseptornya pada sel inang (Bradley et al. 2001) dapat dibuat senyawa inhibitor yang cukup efektif mencegah ikatan antara antigen protektif dan EF / LF secara in vitro (Mourez et al. 2001; Pearson, 2001; Pardue dan Doepel, 2001).
Vaksinasi merupakan strategi lain untuk pencegahan anthrax. Residu karboksi terminal dari antigen protektif merupakan imunodeterminan vaksin anthrax, komponen ini memberi daya protektivitas vaksin (Ivins, 1986). Tampaknya mekanisme pengikatan antigen PA pada membran sel merupakan kunci untuk mencegah aktivasi eksotoksin B. anthracis (Mock dan Fouet, 2001). Meskipun demikian, daya protektivitas vaksin anthrax kurang berkorelasi dengan tingginya titer antibodi terhadap antigen protektif. Ini dibuktikan dengan kajian pada marmot yang memiliki titer antigen protektif yang tinggi tidak terproteksi dengan baik saat ditantang dengan spora B. anthracis (Little dan Knudson, 1986).
Brossier et al. (2000) mengatakan bahwa imunisasi menggunakan B. anthracis yang dilemahkan memberi daya protektivitas yang baik pada mencit, ini dapat digunakan sebagai dasar imunisasi pada manusia. Cohen et al. (2000) juga memperlihatkan bahwa B. anthracis tidak berkapsul, nontoksigenik dan memiliki antigen protektif yang telah direkayasa juga memberi respon protektif lebih baik daripada menggunakan B. anthracis dalam bentuk vegetatif. Tampaknya masih perlu merekayasa B. anthracis lebih lanjut agar mendapat kandidat vaksin lebih baik.
Sato et al. (2000) menjelaskan bahwa gejala pascavaksinasi seperti kelelahan, kelainan persendian juga tampak pada 5% wanita yang divaksinasi ulang. Gejala serupa tampak tidak lebih dari 2% pria (http://www.anthrax.osd.mil). Friedlander et al (1999) juga melaporkan gejala reaksi berupa edema dan peradangan lokal terjadi pada + 4% penerima vaksin anthrax, sedangkan gejala umum seperti kelelahan dan lesu dijumpai kurang dari 0,2% pennerima vaksin. Sebagian besar penerima vaksin anthrax adalah personel militer dengan tujuan perlidungan diri dari bioterorisme (Ingelsby et al. 1999). Belum jelas benar, apa yang menyebabkan perbedaan tersebut, tampaknya perbedaan respon individu juga berperan di sini. Meskipun demikian, vaksin anthrax di Amerika Serikat saat ini agak langka dijumpai. Selain masalah pendanaan, anthrax boleh dikatakan sudah tidak pernah muncul lagi di Amerika Serikat (Philipkoski, 2001). Baru pada sekitar bulan Oktober 2001 muncul penyakit ini akibat bioterrorisme.
Meskipun mekanisme biokimiawi dari patogenesis anthrax dan juga rekayasa pembuatan senyawa atau molekul antitoksin yang baru sudah banyak dikaji, masih perlu dilakukan kajian pada keadaan yang mendekati keadaan in vivo. Tampaknya arah penelitian patogenesis saat ini sudah mengarah pada rekayasa keadaan yang sedekat mungkin dengan keadan in vivo (Camilli, 1995).
Kesimpulan
Patogenesis penyakit anthrax dapat dilihat dari keunikan aktivitas molekuler eksotoksinnya yaitu antigen protektif (PA). Tampaknya sistem Trojan horse berlaku dalam patogenesis biokimiawi penyakit anthrax, dimana justru molekul PA berperan sebagai Trojan Horse itu sendiri (Little dan Ivins, 1999). Pengacauan sistem siklik AMP dan pemecahan molekul protein kinase di dalam sel menjadi kunci dalam fatalnya kasus anthrax baik pada hewan dan manusia.
DAFTAR PUSTAKA
Anon. 1978. Pedoman Pengendalian Penyakit Hewan Menular jilid 1. Direktorat Kesehatan Hewan, Direktorat jendral Peternakan Departemen Pertanian. : 49-61.
Beauregard, K. 2001. Evolution of a killer : Genomics illuminates the deadly potential of anthrax toxin and how to fight it. (www.sciencemag.org)
Bhatnagar, R. and A.M. Friedlander. 1994. Protein synthesis is required for expression of anthrax lethal toxin cytotoxicity. Infect. Immun., Vol 62: 2958-2962(Abs).
Blaustein, R. G., T. M. Koehler, R. J. Collier and A. Finkelstein. 1989. Anthrax toxin : Channel-forming activity of protective antigen ini planar phospholipid bilayer. Proc. Natl. Acad. Sci. USA : 86 : 2209-2213 (Abs.)
Bradley, K. A., J. Mogridge, M. Mourez, R. J. Collier and J. A. T. Young. 2001. Identification of the cellular receptor for anthrax toxin. Nature 414 : 225-229.
Brazil, E. and S. Minnick. 2001. Anthrax Cattle, USA (California). ProMed Mail. 31 Oktober.
Brent Barrett, B. 2001. Antimicrobial susceptibility of Bacillus anthracis isolates. ProMed Mail. 22 Oktober ([email protected]).
Brossier, F., M. and M. Mock. 2001. Toxins of Bacillus anthracis. Toxicon 39 : 11 : 1747-1755 (Medline/www.bmn.com)
Brossier, F., J. C. Sirard, C. Guidi-Rontani, E. Duflot, and M. Mock. 1999. Functional analysis of the carboxy-terminal domain of Bacillus anthracis protective antigen. Infect. Immun. 67:964-967 (Abs.)
Brossier,F., M. Weber-Levy, M. Mock and Jean-Claude Sirard. 2000. Protective antigen-mediated antibody response against a heterologous protein produced in vivo by Bacillus anthracis. Infect. Immun. 68 : 5731-5734.
Brossier, F., M. Weber-Levy, M. Mock and J. C. Sierad. 2000. Role of toxin functional domains in anthrax pathogenesis. Infect. Immun. 68 : 1781-1786.
Camilli, A. 1995. Noninvasive techniques for studying pathogenic bacteria in the whole animal. Trends Microbiol. 4 : 295-296.
Cohen,S., I. Mendelson, Z. Altboum, D. Kobiler, E. Elhanany, T. Bino, M. Leitner, I. Inbar, H. Rosenberg, Y. Gozes, R. Barak, M. Fisher, C. Kronman, B. Velan, and A. Shafferman. 2000. Attenuated nontoxinogenic and nonencapsulated recombinant Bacillus anthracis spore vaccines protect against anthrax. Infect. Immun. Vol. 68 : 4549-4558.
Cramer, H. and M. Martinez. 2001. CBRNE : Anthrax infection. e-medicine J. 31 Okt, Vol. 2 No. 10.
Cunha, B. A. 2001. Anthrax. e-medicine J. 26 Okt. Vol. 2 No :10.
Duesbery , N.S. and G. F. Woude. 1999. Anthrax toxins. Cell. Mol. Life Sci. 55:1599-609 (Medline/www.bmn.com).
Ezzel, J. W. and T. G. Abshire. 1988. Immunological analysis of cell-associated antigens of Bacillus anthracis. Infect. Immun. 56 : 349-356 (Medline/www.bmn.com).
Ezzel, J. W., T. G. Abshire, S. Little and C. Brown. 1990. Identificationm of Bacillus anthracis by using monoclonal antibody to cell wall galactose/N-acetyl-glucosamine polysaccharide. J. Clin. Microbiol. 28 : 223-231 (Abs.)
Ezzell, J. W. and C. L. Wihelmsen. 1993. Bacillus anthracis. Dalam : Gyles, C. L. dan C. O. Thoen (Eds) Pathogenesis of Bacterial Infection in Animals. Ed. 2. Iowa State University Press-Ames-Iowa-USA. : 36-43.
Fraser, C. M. and M. R. Dando. 2001. Genomics and future biological weapons : The need for preventive action by the biomedical community. Nature genetics Oct. 2001 : 1-4.
Friedlander, A. M. 2001. Tackling anthrax. Nature 414 : 160-161.
Friedlander, A. M., R Bhatnagar, S.H. Leppla, L. Johnson and Y Singh. 1993. Characterization of macrophage sensitivity and resistance to anthrax lethal toxin Infect. Immun., Vol 61, : 245-252 (Abs.)
Friedlander, A. M.., P. R. Pittman and G. W. Parker. 1999. Anthrax vaccine : Evidence for safety and efficacy against inhalational anthrax. J. Am. Med. Assoc. 282 : 2104-2106 (www.medscape.com).
Gauthier, A. and B. B. Finlay. 2001. Bacterial pathogenesis : The answer to virulence is in the pore. Curr. Biol. 11 : R264-R267.
Green, B. D., L. Battisti, T. M. Koehler, C. B. Thorne and B. E. Ivins. 1985. Demonstration of a capsule plasmid in Bacillus anthracis. Infect. Immun. 49 : 291-297.
Hanna, P. C., D. Acosta and R.J. Collier. 1993. On the role of macrophages in anthrax. Proc. Natl. Acad. Sci. USA : 90 : 10198-10201 (Abs.)
Hanna. P. C. and J. W. Ireland. 1999. Underdstanding Bacillus anthracis pathogenesis (viewpoint). Trends Microbiol. 7 : 180-182 (Medline)
Hoover, D. L., A. M. Friedlander, L. C. Rogers, I. K. Yoon, R. L. Warren and A. S. Cross. 1994. Anthrax edema toxin differentially regulates lipopolysaccharide-induced monocyte production of tumor necrosis factor alpha and interleukin-6 by increasing intracellular cyclic AMP. Infect. Immun. Vol 62: 4432-4439 (Abs.)
Ingelsby, T. V. 1999. Anthrax as a biological weapon : Medical and public health management. J. Am. Med. Assoc. Vol. 281 : 1735-1745 (www.medscape.com)
Ivins, B. E., J. W. Ezzel, J. Jemski, K. W. Hedlund, J. D. Ristroph and S. H. Leppla. 1986. Immunization studies with attenuated strains of Bacillus anthracis. Infect. Immun. 52 : 454-458.
Koehler, T. M. and R. J. Collier. 1991. Anthrax toxin protective antigen : Low pH-induced hydrophobicity and channel formation in liposomes. Mol. Microbiol. 5 : 1501-1506 (Medline/www.bmn.com).
Little, S. E. and B. E. Ivins. 1999. Molecular pathogenesis of Bacillus anthracis infection. Microbes and infect. 2 : 131-139.
Little, S. E. and G. B. Knudson. 1986. Comparative efficacy of Bacillus anthracis live spore vaccine and protective antigen vaccine against anthrax in the guinea pig. Infect. Immun. 52 : 509-512.
Milne, J. C., D. Furlong, P. C. Hanna, J. S. Wall and R. J. Collier. 1994. Anthrax protective antigen forms oligomers during intoxication of mammalian cells. J. Biol. Chem. 269 : 20607-20612.
Mogridge, J., M. Mourez, and R. J. Collier. 2000. Involvement of domain 3 in oligomerization by the protective antigen moiety of anthrax toxin. J. Bacteriol. 183 :2111-2116.
Molloy, S. S., P. A. Bresnahan, S. H. Leppla, K. R. Klimpel and G. Thomas. 1992. Human furin is a calcium-dependent serine endoprotease that recognizes the sequence Arg-X-X-Arg and efficiently cleaves anthrax toxin protective antigen. J. Biol. Chem., Vol. 267: 16396-16402 (Abs.)
Mesnage, S., E. Tosi-Couture, P. Gounon, M. Mock and A. Fouet. 1998. The capsule and S-layer: Two independent and yet compatible macromolecular structures in Bacillus anthracis. J. Bacteriol. 180 : 52-58.
Miyoshi, Sin-ichi and S. Shinoda. 2000. Microbial metalloproteases and pathogenesis. Microbes and infect. 2 : 91-98.
Mourez, M., R. S. Kane, J. Mogridge, S. Metallo, P. Deschatelets, B. R. Sellman, G. M. Whitesides and J. R. Coolier. 2001. Designing a polyvalent inhibitor of anthrax toxin. Nature biotechnol. 19 : 958-961.
Malecki, J. 2001. Update: Investigation of bioterrorism-related anthrax and interim guidelines for exposure management and antimicrobial therapy. Morbidity and Mortality Weekly Report (MMWR) 50 (42);909-919.
Mickesell, P., B. E. Ivins, J. D. Ristroph and T. M. Dreier. 1983. Evidence for plasmid-mediated toxin production in Bacillus anthracis. Infect. Immun. 39 ; 371-376.
Mock, M. and A. Fouet. 2001. Anthrax. Ann. Rev. Microbiol. 55 : 647-671.
Mourez, M., R. S. Kaine, J. Mogridge, S. Metallo, P. Deschateles, B. R. Sellman, G. W. Whitesides and R. J. Collier. 2001. Designing a polyvalent inhibitor of anthrax toxin. Nature Biotechnol. 19 : 958-961.
O’Brien, J., A. Friefelder, T. Dreier, J. W. Ezzell and S. Leppla. 1985. Effects of anthrax toxin components of human neutrophils. Infect. Immun. 47 : 306-310.
Pannifer, D. A., T. Y. Wong, R. Schwarzenbacher, M. Renatus, C. Petosa, J. Bienkowska, D. B. Lacy, R. J. Collier, S. Park, S. H. Leppla, P. Hanna and R. C. Liddington. 2001. Crystal structure of the anthrax lethal factor. Nature 414 : 229-233.
Pearson, H. 2001. Anthrax action shapes up : Researchers find two new leads for anti-anthrax drugs (www.nature.com)
Perdue, Sam. and L. K. Doepel. 2001. Researchers discover secrets of anthrax’s killer toxin. Natl. Institute of Allergy and Infectious Diseases (NAID) News. 23 Oktober.
Philipkoski, K. 2001. Why anthrax vaccine is scarce (Wired Digital Inc., a Lycos Network site).
Sato, P. A., M. Ryan, G. C. Gray, K. J. Hoffman, C. N. Costello, G. M. Wassermann, M. V. Rubertone, S. A. Stanek, J. D. Grabenstein, J. R. Riddle, D. Trump, 2000. Surveillance for adverse events associated with anthrax vaccination — U.S. Department of Defense, 1998—2000. Morbidity and Mortality Weekly Report (MMWR). 49(16);341-345.
Tang, G. and S. H. Leppla. 1999. Proteasome activity is required for anthrax lethal toxin to kill macrophages. Infect. Immun. 67 : 3055-3060 (Abs.)
Voet, D. and J. G. Voet. 1995. Biochemistry 2nd Ed. John Willey and Sons, USA.
Wade, N. 2001. Anthrax Germs Turn the Body Against Itself. The New York Times 23 Okt.
Zhao, J., J. C. Milne and R. John Collier. 1995. Effect of anthrax toxin’s lethal factor on ion channels formed by the protective antigen. J. Biol. Chem. 270: 18626-18630.
March 6th, 2006 at 10:17 pm
Gagasan baru protein dijadiakn sebagai vaksin…
tolong kirim keterangan yang lengkap tentang protein sebagai vaksin anthrax