Perubahan Klinik pada Kucing
Selama Pembiusan dengan Thiopenton Sodium

CLINICAL CHANGES OF CATS ANESTHETIZED
WITH SODIUM THIOPENTONE

I GUSTI. AGUNG GDE PUTRA PEMAYUN1) I GUSTI MADE KRISNA ERAWAN 2)
I GUSTI AGUNG NGURAH TRESNANINGSIH 3)

1) Laboratorium Bedah Veteriner
2) Laboratorium Penyakit Dalam Veteriner
Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Udayana
3) Dokter Hewan Praktisi

ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perubahan-perubahan klinik yang ditimbulkan selama pembiusan dengan thiopenton sodium pada kucing lokal.
Lima belas ekor kucing lokal jantan dewasa yang sehat digunakan sebagai hewan percobaan. Penelitian ini menggunakan rancangan acak lengkap dengan tiga perlakuan, yaitu pemberian thiopenton sodium dosis 15, 20, dan 25 mg/kg BB. Data yang diperoleh dianalisis dengan sidik ragam, sedangkan data kualitatif ditransformasi dengan skor dan dianalisis dengan uji Kruskall – Wallis
Hasil penelitian menunjukkan bahwa thiopenton sodium dosis 15, 20, dan 25 mg/kg BB aman digunakan pada kucing lokal karena perubahan-perubahan klinik yang ditimbulkan selama pembiusan masih berada dalam kisaran normal. Pada dosis 15 mg/kg BB kurang bagus digunakan untuk tindakan pembedahan karena 10 menit setelah teranestesi kucing telah mengalami perioda pemulihan kesadaran.

Kata kunci : Perubahan klinik, anestetik sodium thiopenton, kucing

ABSTRACT
The aim of this study was to find out the clinical changes of local cats anesthetized with sodium thiopenton..
Fiveteen healthy male local cats were randomly selected and gruoped into group A, B, and C. Each group were injected intravenously with 15, 20, and 25 mg/kg body weight of sodium thiopenton respectively. The clinical changes such as cardiovascular, respiratory system, body temperatur, jaw tension, pupil and orbic reflect were measured 0, 10, 20, 30 minute following the injection. Data obtained were analyzed by analysis of variance and the qualitatif data were tranformed by scoring and analyzed by Kruskall-Wallis test.
The results of this study showed that sodium thiopentone can be safely used with dose of 15, 20. and 25 mg/kg body weight. The clinical changes of local cats anesthetized with sodium thiopentone were still in normal range. However the dose of 15 mg/kg body weight is recommended for surgery due to rapid recovery. The other two dose of sodium thiopentone exhibited 20 – 30 minute recovery periode.
Key words : Clinical changes, anesthetic sodium thiopenton, cat

PENDAHULUAN

Anjing dan kucing yang termasuk jenis hewan peliharaan telah menjadi teman setia manusia sejak jaman dahulu. Sebagai hewan kesayangan kucing semakin banyak dipelihara dan digemari oleh masyarakat terutama masyarakat di perkotaan. Pada umumnya orang lebih menyukai kucing sebagai hewan peliharaan karena hewan ini lebih tenang, mampu menjaga kebersihannya sendiri dan tidak membutuhkan tempat yang luas untuk memeliharanya (Sisson dan Grossman, 1966).
Akhir-akhir ini banyak pemilik hewan kesayangan khususnya kucing datang ke klinik hewan maupun dokter hewan praktek untuk memeriksakan kesehatan hewannya, yang kebanyakan erat hubungannya dengan tindakan pembedahan, seperti kastrasi, ovariohisterektomi, menjahit luka dan lain-lain. Untuk pelaksanaan pembedahan tersebut perlu dilakukan pembiusan. Banyak anestetik yang telah digunakan pada kucing, seperti ketamin. tiletamin, maupun kombinasi ketamin dan xilazil.
Sodium thiopenton sodium sebagai agen anestetik umum sering digunakan pada anjing, akan tetapi pada kucing jarang digunakan. Anestetik ini termasuk golongan ultra short acting barbiturat yang pemberiannya secara intravena. Obat ini pada manusia dilaporkan dapat menimbulkan efek samping seperti depresi pernapasan, aritmia jantung, hipotensi, mual dan rasa pusing sesudah operasi (Siswandono dan Soekarjo, 1995). Pada anjing dilaporkan pemberian sodium thiopenton tidak begitu berpengaruh terhadap efek kardiografi walaupun dapat terjadi penurunan tekanan darah (Jones, 1957). Di samping memiliki kekurangan thiopenton sodium mempunyai beberapa keuntungan seperti induksi mudah dan cepat, pulihnya kesadaran dengan cepat dan tidak terjadinya iritasi mukosa saluran nafas. Hall (1971) juga melaporkan bahwa sodium thiopenton menyebabkan relaksasi otot rahang, otot abdomen yang terjadi pada tahap kedua atau ketiga dari stadium pembedahan. Pada beberapa kucing dilaporkan bahwa sodium thiopenton dapat mengakibatkan eksitasi selama periode pemulihan ( Norswarthy, 1993).
Sejauh ini penggunaan sodium thiopenton sebagai agen anestetik pada kucing khususnya kucing lokal belum begitu banyak dilaporkan terutama mengenai keamanan obat tersebut ditinjau dari aspek kliniknya. Berdasarkan hal tersebut perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui dosis yang tepat digunakan pada kucing lokal serta keamanan penggunaannya pada kucing. Penelitian ini diharapkan nantinya dapat memberikan gambaran tentang perubahan-perubahan klinik yang terjadi pada kucing lokal selama pembiusan dengan sodium thiopenton

MATERI DAN METODE
Hewan Percobaan
Hewan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah 15 ekor kucing lokal jantan dewasa dengan berat badan antara dua sampai empat kilo gram yang diperoleh dari sekitar kota Denpasar.

Bahan dan alat-alat
Bahan dan obat-obatan yang digunakan adalah sodium thiopenton (pentothal), klorpromazin HCl, atropin sulfat, alkohol 70%, dan kapas. Sedangkan alat-alat yang digunakan adalah alat suntik sekali pakai, stetoskop, alat pencatat waktu, lampu senter dan termometer.

Persiapan Hewan Percobaan
Kucing-kucing yang akan dipakai untuk percobaan diadaptasikan selama dua minggu dalam kandang-kandang yang terpisah. Selama adaptasi kucing diberi makan nasi dan daging dua kali sehari serta air minum ad libitum. Kucing percobaan tersebut kemudian dibagi menjadi tiga kelompok perlakuan masing-masing terdiri-dari lima ekor.

Pemberian Anestetik
Sebelum diberikan anestetik sodium thiopenton kucing ditimbang berat badannya serta dilakukan pemeriksaan untuk menentukan kucing dalam keadaan sehat. Selanjutnya diberikan premedikasi anestesi dengan klorpromazin HCl dosis 2 mg/kg BB secara intramuskuler dan atropin sulfat dosis 0,04 mg/kg BB secara subkutan. Lima belas menit kemudian dilakukan anestesi dengan sodium thiopenton 2,5% yang diberikan secara intravena melalui vena femoralis pada tiap-tiap kelompok perlakuan dengan dosis berturut-turut 15, 20, dan 25 mg/kg BB.

Pengambilan Data
Pengambilan data dilakukan saat kucing mulai teranestesi (T1), 10 menit teranestesi (T2), 20 menit teranestesi (T3), dan 30 menit teranestesi (T4). Pada penelitian ini variabel yang diamati adalah perubahan-perubahan klinik yang tampak selama teranestesi, yaitu (1) sistem kardiovaskuler, meliputi denyut jantung (dalam menit), intensitas suara jantung (dengan skor: 1 = lemah, 2 = sedang, 3 = keras), warna selaput lendir (dengan skor: 1 = pucat, 2 = normal, 3 = merah) dan waktu pengisian kembali kapiler/ capillary refilling time/CRT (dalam detik); (2) sistem respirasi, meliputi laju dan tipe respirasi (dalam menit); (3) perubahan pada mata meliputi ukuran pupil, refleks pupil dan kelopak mata; (4) aktivitas otot dan (5) temperatur tubuh ( C)

Rancangan Penelitian
Rancangan penelitian yang digunakan pada penelitian ini adalah rancangan acak lengkap (RAL) dengan tiga perlakuan, yaitu perlakuan I pemberian thiopenton sodium dengan dosis 15 mg/kg BB (TP15), perlakuan II dengan dosis 20 mg/kg BB (TP20), dan perlakuan III dengan dosis 25 mg/kg BB (TP25). Setiap perlakuan menggunakan lima ekor kucing sebagai ulangan.

Analisis Data
Data yang diperoleh dari penelitian ini meliputi denyut jantung, CRT, laju respirasi, dan temperatur tubuh dianalisis dengan sidik ragam dan dilanjutkan dengan uji wilayah berganda Duncan bila didapatkan hasil yang berbeda nyata (Steel dan Torrie, 1989), data kualitatif yang diperoleh meliputi intensitas suara jantung, warna selaput lendir, dan tekanan rahang ditransformasi dengan skor kemudian dianalisis dengan uji Kruskal-Wallis (Nasoetion dan Barizi, 1976), sedangkan reflek kelopak matan dan pupil dilaporkan secara deskriptif.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil penelitian menunjukkan bahwa dosis sodium thiopenton berpengaruh nyata (P0,05) terhadap denyut jantung selama teranestesi, CRT pada T1, T3, dan T4, laju respirasi pada T4, dan terhadap temperatur tubuh pada T3 dan T4.
Uji Kruskall-Wallis(Tabel 2) menunjukkan bahwa perbedaan dosis thiopenton sodium berpengaruh nyata (P

Tabel 1. Uji Wilayah Berganda Duncan Terhadap CRT, Temperatur Tubuh, dan Laju
Respirasi pada Kucing Lokal Selama Teranastesi dengan Thiopenton Sodium

CRT Temperatur Tubuh
T2 T1 T2
Dosis Rataan (detik) Sig5% 1% Dosis Rataan (0C) Sig5% 1% Dosis Rataan (0C) Sig5% 1%
TP25TP20TP15 1,061,040,70 a aa ab a TP15TP20TP25 37,8237,8036,98 a aa ab a TP15TP20TP25 37,6837,5036,74 a aa ab a
Laju Respirasi
T1 T2 T3
Dosis Rataan (/menit) Sig5% 1% Dosis Rataan (/menit) Sig5% 1% Dosis Rataan (/menit) Sig5% 1%
TP15TP20TP25 36,4027,2022,00 a ab abb b TP15TP20TP25 34,2028,2020,00 a aa ab a TP20TP25 27,2019,00 a ab a
Keterangan : Nilai dengan huruf yang berbeda ke arah kolom menunjukkan berbeda nyata (P sangat nyata (P

Selama teranestesi dengan sodium thiopenton dalam dosis 15, 20, dan 25 mg/kg BB, denyut jantung tidak berbeda nyata karena efek thiopenton sodium terhadap perangsangan saraf simpatis dan parasimpatis pada jantung hampir sama. Saat mulai teranestesi perbedaan dosis thiopenton sodium tidak berpengaruh nyata terhadap intensitas suara jantung, 10 menit teranestesi pada TP15 intensitas suara jantung lebih lemah dibandingkan dengan dosis yang lebih tinggi. Pada dosis yang lebih tinggi terjadi peningkatan intensitas suara jantung kemudian pada T3 dan T4 intensitas suara jantung tidak berbeda nyata diantara perlakuan. Muhiman (1989) mengatakan bahwa intensitas suara jantung dipengaruhi oleh sistem saraf simpatis. Pada kucing yang diberi perlakuan TP15 efek sodium thiopenton terhadap saraf simpatis pada T3 dan T4 telah berkurang karena kerja obat yang singkat sehingga kucing telah dalam fase pemulihan kesadaran. Pengaruh sodium thiopenton terhadap CRT dan warna selaput lendir selama teranestesi menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata antara TP20 dan TP25 begitu juga TP15 saat mulai teranestesi, tetapi setelah T2 antara TP15 dengan TP20 dan TP25 memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap CRT dan warna selaput lendir, dimana pada dosis yang lebih tinggi waktu CRT lebih panjang dan warna selaput lendir lebih pucat. Jones (1957), Istiantoro (1987), dan Thaib (1989) menyatakan bahwa dosis sodium thiopenton yang lebih besar akan menekan pusat vasomotor lebih hebat di bagian perifer yang menyebabkan vasodilatasi, sehingga dapat menurunkan curah jantung dan tekanan darah. Akibat curah jantung yang menurun akan terjadi penurunan aliran darah yang berakibat CRT lebih panjang dan dimanifestasikan berupa kepucatan selaput lendir.

Tabel 2. Uji Kruskall-Wallis Terhadap Intensitas Suara jantung, Warna Selapiut Lendir,
dan Tekanan Rahang pada Kucing Lokal Selama Teranastesi dengan Thiopenton
Sodium

Waktu Intensitas Suara jantung Warna Selaput Lendir Tekanan Rahang
Dosis MeanRank. Sig. Dosis MeanRank. Sig. Dosis MeanRank. Sig.
T1 TP15TP20TP25 7,08,58,5 aaa TP15TP20TP25 7,59,07,5 aaa TP15TP20TP25 12,0 6,0 6,0 abb
Kruskall-Wallis : NS Kruskall-Wallis : NS Kruskall-Wallis : **
T2 TP15TP20TP25 4,010,010,0 abb TP15TP20TP25 11,0 8,0 5,0 aab TP15TP20TP25 12,9 6,1 5,0 abb
Kruskall-Wallis : * Kruskall-Wallis : * Kruskall-Wallis : **
T3 TP20TP25 5,06,0 aa TP20TP25 6,54,5 aa TP20TP25 7,63,4 ab
Kruskall-Wallis : NS Kruskall-Wallis : NS Kruskall-Wallis : **
T4 TP20TP25 5,55,5 aa TP20TP25 6,54,5 aa TP20TP25 6,64,4 aa
Kruskall-Wallis : NS Kruskall-Wallis : NS Kruskall-Wallis : NS

Keterangan : NS = tidak berbeda nyata (P>0,05)
* = Berbeda nyata (P ** = Berbeda sangat nyata (P

Dosis sodium thiopenton berpengaruh sangat nyata terhadap laju respirasi pada T1, dan berpengaruh nyata pada T2 dan T3. Menurut Caughey dan Dundes (1980) sodium thiopenton menekan sistem respirasi dan periode apnoe pendek biasa terjadi setelah injeksi obat yang cepat. Pada Tabel 1 terlihat bahwa semakin besar dosis sodium thiopenton laju respirasinya semakin menurun, hal ini sesuai dengan pendapat Krantz dan Corr’s (1972) dan Muhiman (1989) yang menyatakan bahwa sodium thiopenton yang diinjeksikan secara intravena dapat menyebabkan depresi pernapasan yang sebanding dengan besarnya dosis. Menurunnya laju respirasi karena pengaruh langsung sodium thiopenton terhadap pusat pernapasan di medulla oblongata, sensitivitas terhadap CO2 berkurang sehingga ventilasi paru-paru berkurang, keadaan ini menyebabkan pengeluaran CO2 dan pemasukan O2 menurun (Goodman dan Gilman, 1975; Caughey dan Dundes, 1980; dan Istiantoro, 1987). Pada penelitian ini tampak tipe respirasi abdominal yang teratur, lambat dan dangkal pada semua kucing selama teranestesi. Hal ini sesuai dengan pendapat Jones (1957) yang menyatakan bahwa pada hewan kecil yang teranestesi sodium thiopenton respirasinya teratur, lambat dan dangkal.
Penurunan tekanan rahang yang sangat nyata terjadi pada T1 dan T2 , sedangkan pada T3 menurun nyata. Menurut Jones (1957), Hall (1971), dan Einstein et al., (1994), anestetik sodium thiopenton menyebabkan aktivitas otot menurun seperti terjadinya relaksasi otot rahang dan otot abdomen. Semakin besar dosis yang diberikan tekanan rahang yang ditimbulkan semakin kecil karena jumlah melekul obat yang menduduki reseptor semakin banyak. Hal ini sesuai dengan pendapat Marshall dan Hughes (1972) dan Sunatrio (1989) yang menyatakan bahwa relaksasi otot dapat terjadi karena reseptor asetilkolin diduduki oleh molekul-molekul obat. Pemulihan fungsi saraf terjadi kembali jika jumlah molekul obat yang menduduki reseptor telah berkurang karena proses eliminasi dan distribusi.
Selama teranestesi dengan sodium thiopenton rata-rata temperatur tubuh nyata lebih rendah pada dosis 25 mg/kg BB dibandingkan dengan dosis 15 dan 20 mg/kg BB saat T1 dan T2. Hal ini disebabkan karena sodium thiopenton mendepresi metabolisme basal selama hewan teranestesi sehingga panas tubuh yang dihasilkan berkurang, di samping itu tubuh kehilangan panas yang berlebihan akibat vasodilatasi perifer (Jones, 1957). Menurut Istiantoro (1989), temperatur tubuh menurun dapat disebabkan karena aktivitas fisik berkurang disamping adanya depresi pusat pengatur suhu tubuh.
Refleks kelopak mata pada kucing yang mendapat perlakuan dosis TP15 saat T1 masih ada pada satu ekor, pada T2 reflek kelopak mata telah normal kembali pada semua kucing. Semua kucing yang mendapat perlakuan dosis TP20 refleks kelopak matanya telah hilang pada T1, pada T2 refleks kelopak mata ada pada satu ekor kucing, pada T3 ada tiga ekor kucing dan pada T4 semua kucing refleks kelopak mata telah kembali normal. Pada dosis TP25 saat T1 dan T2 refleks kelopak mata hanya ada pada satu ekor kucing, pada T3 tidak ada dan pada T4 refleks kelopak mata telah normal pada tiga ekor kucing.
Refleks pupil terhadap cahaya masih ada pada kucing yang diberi dosis TP15 pada T1 dan T2 sebanyak dua ekor kucing, pada dosis TP20 saat T1 dan T2 tidak ada refleks pada semua kucing sedangkan pada T3 dan T4 ada pada tiga ekor kucing. Pada dosis TP25 saat T1 dan T2 tidak ada refleks pada semua kucing sedangkan pada T3 dan T4 refleks pupil hanya ada pada satu ekor kucing. Adanya perubahan posisi bola mata, refleks kelopak mata, refleks pupil terhadap cahaya selama teranestesi menunjukkan bahwa anestetik sodium thiopenton bekerja pada otak yaitu pada batang otak kemudian mempengaruhi saraf kranial.

KESIMPULAN
Sodium thiopenton dosis 15, 20, dan 25 mg/kg BB aman digunakan pada kucing karena perubahan klinik yang ditimbulkan selama pembiusan masih berada dalam kisaran normal. Sodium thiopenton dengan dosis 15 mg/kg BB kurang bagus digunakan karena kerja obat terlalu singkat, 10 menit setelah kucing teranestesi telah menimbulkan efek yang tidak diinginkan untuk tindakan pembedahan karena telah terjadi pemulihan kesadaran.
SARAN
Untuk tujuan pembedahan pada kucing disarankan menggunakan thiopenton sodium dosis 20-25 mg/kg BB, karena dosis ini masih aman digunakan dan lama anestesi berkisar 20-30 menit.

DAFTAR PUSTAKA
Caughey, Mc. And J.W. Dundes. (1980). Drug in Anaesthetic Practice, In G.S. Avery.
(Ed). Drug Treatment. Adis Press. Sydney. Pp : 288-289.
Einstein, R. , R.S. Jones, A. Knifton, and G.A. Stamer. (1994). Principles of Veterinary
Therapeutics. Longman Singapore Publishers Ltd. Singapore. Pp : 129-149.
Goodman and Gilman. (1975). The Pharmacological Basis of Therapeutics. Macmillan
Publishing Co. New York. Pp : 293-404.
Hall, L.W. (1971). Veterinary Anaesthesia and Analgesia. 7th ed. The English
Language Book Society and Baillere Tindall. London. Pp : 202-206.
Istiantoro, Y.H. (1987). Hipnotik – Sedatif. Dalam S. Gan, R. Setiabudi, U. Sjamsudin,
dan S.S, Bustami (ed). Farmakologi dan Terapi. Fakultas Kedokteran,
Universitas Indonesia. Jakarta. Hal : 116-123.
Jones, L.M. (1957). Pharmacology and Therapuetics. Iowa State University Press,
USA. pp : 149-167.
Krantz and Corr’s. (1972). Pharmacologic Principles of Medical Practice. 8th ed. The
Williams and Wilkins Company, Baltomore. P : 198.
Marshall, P.T. and G.M. Hughes. (1972). The Physiology of Mammals and Other
Vertebrates. The University Press, Cambrige. Pp : 182-183.
Nasoetion, A.H. dan Barizi. (1976). Metode Statistika. PT. Gramedia Jakarta. Hal : 46.
Norsworthy, G.D. (1993). Feline Practice. J.B. Lippincott Company, USA. p : 640.
Sisson, S. and J.D. Grossman. (1966). The Anatomy of Domestic Aimal. 5th ed
Departement of Veterinary Anatomy. Iowa State University, USA.
P : 1425.

Siswandono dan B. Soekarjo. (1995). Kimia Medisinal. Airlangga University Press,
Surabaya. Hal : 99-101.
Steel, R.G.D. and J.H. Torrie. (1989). Principles and Procedures of Statistics,
Diterjemahkan oleh B. Sumantri. Prinsip dan Prosedur Statistik Suatu
Pendekatan Biometrik. Edisi kedua. PT. Gramedia Jakarta, Indonesia.
Hal : : 168-169.
Thaib, M.R. (1989). Obat Anestetika Intravena. Dalam M. Muthiman, M.R. Thaib, S.
Sunatrio, dan R. Dahlan. Anestesiologi. CV. Infomedika, Jakarta.
Hal : 65-71.