Pembiusan Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis) Jantan
Dengan Campuran Ketamin dan Xilazin Pada Topografi Daerah Berbeda

(The Anaesthetization of Male Long Tailed Macaque (Macaca fascicular)
by Ketamine –Xylazine on different topographic area)

I Nyoman Suartha1,2), I Gusti Agung Arta Putra 2), I Nengah Wandia 2).
1. Laboratorium penyakit dalam veteriner, FKH UNUD
2. Pusat Kajian Primata
Universitas Udayana, Kampus Bukit Jimbaran, Badung Bali

ABSTRAK

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh perbedaan topografi daerah terhadap waktu mulai terbius, lama terbius dan perubahan klinis pada pemakaian obat bius ketamin dengan premedikasi xilazin. Campuran ketamin (50mg/ekor) dengan xilazin (10 mg/ekor) disuntikan pada tujuh ekor monyet ekor panjang jantan dewasa di daerah Pulaki dan tujuh ekor di daerah Ubud dengan menggunakan alat tulup. Data yang diperoleh dianalisis dengan sidik ragam dari rancangan acak lengkap pola split in time.
Rata –rata mulai terbius pada monyet ekor panjang di daerah Ubud adalah 4,43 ± 2,27 menit, sedangkan di daerah Pulaki adalah 8,86 ± 4,37 menit, dengan lama terbius masing-masing daerah adalah 129,14 ± 20,06 menit untuk daerah Ubud dan 112,86 ± 42,23 menit untuk daerah Pulaki. Perbedaan topografi daerah, yaitu daerah pesisir pantai (Pulaki) dengan wilayah hutan (Ubud) berpengaruh nyata (P0,05).
Faktor topografi daerah berpengaruh nyata (P0,05) pada pengamatan 0 menit dan 30 menit, tetapi nyata mengalami penurunan (P0,05) selama pengamatan, tetapi ada kecendrungan mengalami penurunan selama pengamatan, kecuali frekuensi nafas untuk daerah Pulaki meningkat dipertengahan pengamatan.

Kata Kunci : topografi daerah, monyet ekor panjang, ketamine, xylazine

ABSTRACT

This experiment was conducted to investigate the effect of various topographic area on the onzet of action, the duration of action, and the clinical changes of macaque anaesthetized with ketamine and xylazine. Ketamine combined with xylazine was injected intramuscularly into long tailed macaque (Macaca fascicularis) lived in different area such as Pulaki and Ubud. In this study, seven male macaques were used and each was injected with 50-mg ketamine and 10 mg xylazine. The average onset of actions of the anaesthetic in macaque of Ubud and Pulaki were 4,43 ± 2,27 minutes and 8. 86 ± 4,37 minutes respectively, whereas the average duration of action were 129,14 ± 20,06 minutes and 112,86 ± 42,23 minutes respectively for macaque at Ubud and Pulaki. The onset of action the anesthetic at many different areas was significantly deference to each other (P There were significant differences of body temperature, heart , and respiratory rates of macaques anaesthysed at different topographic areas. The body temperature was stable between minute 0 and minutes30 after injection, but declined significantly atminutes 60 and 90 after anaesthetic injection. Both the heart and respiratory rates were stable during whole treatment. However, the heart and respiratory rates tended to decline during treatment, except those for macaque at Pulaki which was increasing again in midle of anaesthesia.

Key Word: topographic area, long tailed macaque, ketamine, xylazine

PENDAHULUAN
Satwa primata banyak dimanfaatkan untuk hewan coba karena secara anatomis maupun fisiologis mempunyai kemiripan dengan manusia, dibandingkan hewan coba lain (Sajuthi et al.,1997). Di Pulau Bali satwa primata dimanfaatkan untuk obyek pariwisata seperti Sangeh, Alas Kedaton, Ubud, Pulaki dan Uluwatu. Pemanfaatan sebagai obyek wisata menyebabkan satwa primata sering berkontak dengan manusia sehingga penyebaran penyakit yang bersifat zoonosis dari satwa tersebut akan mudah terjadi (Hall dan Clarke, 1983). Untuk menghindari hal tersebut maka kesehatannya perlu diperiksa secara rutin. Untuk memudahkan pemeriksaan, hewan harus direstrain atau dibius supaya tidak membahayakan pemeriksa (Sajuthi et al., 1997). Penggunaan obat bius dan sedatif untuk restrain telah banyak dilakukan pada hewan terutama yang giras dan sulit dikendalikan (Blackshaw dan Allan, 1988).
Ketamin yang dikombinasikan dengan premedikasi xilazin telah lazim digunakan pada anjing dan kucing (Benson et al., 1985), burung unta (Gandini et al., 1986), babi (Breese dan Dodman, 1984) dan unggas (Arifin dan Kusumatuti, 1998). Kombinasi obat tersebut memberikan keuntungan seperti mudah diberikan baik secara intramuskular(IM) atau intra vena (IV) (Benson et al., 1985), rata-rata waktu induksi dan pemulihannya cepat, relaksasi otot dan hewan terbius dengan baik (Breese dan Dodman, 1984). Pada kucing memberikan hasil pembiusan yang lebih baik dibandingkan premedikasi klorpromazin maupun diazepam (Batan et al., 1997). Pada sapi memiliki masa kerja lebih lama dibandingkan idazoxan (Thompson et al., 1989).
Pada daerah dataran tinggi bentuk hemoglobin semakin besar untuk meningkatkan kemampuannya mengikat oksigen (Berne dan Levy, 1988), sehingga akan memacu kerja jantung supaya kontraksi lebih cepat untuk mempercepat sirkulasi darah dalam mendistribusikan oksigen ke jaringan. Peningkatan kerja jantung ini akan mempercepat kontraksi paru-paru, tetapi efek ini akan ditekan oleh kerja ketamin dan xilazin (Kull et al., 2000). Berdasarkan hal tersebut, dilakukan penelitian ini untuk mengetahui pengaruh perbedaan topografi daerah terhadap waktu mulai terbius, lama terbius dan perubahan klinis seperti suhu tubuh, frekuensi nafas dan denyut jantung pada monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) jantan .

MATERI DAN METODE
Materi
Hewan coba yang digunakan dalam penelitian ini adalah monyet ekor panjang jantan yang menghuni obyek wisata Pulaki dan wanara wana Ubud. Kisaran berat badan monyet yang digunakan yaitu 7 kg sampai 12 kg. Bahan dan alat yang diperlukan yaitu tulup dengan spuit proyektilnya, ketamin, xilazin, alkohol 70%, kapas, termometer, stetoskop, dan pencatat waktu (stopwacth).

Metode
Monyet yang akan dibius, dipilih yang memiliki ukuran tubuh agak besar (diperkirakan dewasa). Monyet dibius dengan ketamin sebanyak 0,5 ml (50 mg/ekor) dicampur dengan premedikasi xilazini sebanyak 0,5 ml (10 mg/ekor) menggunakan tulup (Blow-pipe) (Hall dan Clarke, 1983) . Waktu monyet terkena tulup dicatat dengan stopwatch sampai monyet tertidur untuk mengetahui waktu induksi obat. Lama monyet terbius dicatat mulai monyet tertidur sampai sadar (reflek pedal positif) (Gandini et al., 1986). Suhu tubuh diukur melalui temperatur rektal menggunakan termometer digital, denyut jantung diukur dengan stetoskop dan frekuensi nafas diukur melalui pergerakan dinding torak (Kull et al., 2000). Pengukuran dilakukan mulai monyet tertidur ( 0 menit) dan diulang setiap 30 menit sampai kesadaran pulih.

Analisis Data
Data dari mulai terbius dan lama terbius dianalisis dengan menggunan t-Student dan data suhu tubuh, denyut jantung dan frekuensi nafas dianalisis dengan sidik ragam dari rancangan acak lengkap pola split in time. Apabila hasilnya berbeda nyata dilanjutkan dengan uji wilayah berganda Duncan (Steel dan Torrie, 1991).

HASIL DAN PEMBAHASAN
Rata –rata mulai terbius pada monyet ekor panjang di daerah Ubud adalah 4,43 ± 2,27 menit, sedangkan di daerah Pulaki adalah 8,86 ± 4,37 menit, dengan lama terbius masing-masing daerah adalah 129,14 ± 20,06 menit untuk daerah Ubud dan 112,86 ± 42,23 menit untuk daerah Pulaki. Perbedaan topografi daerah, yaitu daerah pesisir pantai (Pulaki) dengan wilayah hutan (Ubud) berpengaruh nyata (P0,05).
Rata-rata suhu tubuh, denyut jantung dan frekuensi nafas untuk daerah Ubud masing-masing adalah 38,360C, 60,39x/menit, dan 19,11 x/menit, sedangkan untuk daerah Pulaki masing-masing adalah 38,200C, 76,93x/menit,dan 25,57 x/menit. Dengan rata – rata pada masing- masing pengamatan saat mulai terbius (0 menit), 30 menit, 60 menit dan 90 menit untuk masing-masing daerah dapat dilihat pada Tabel 1.
Faktor topografi daerah berpengaruh nyata (P0,05) pada pengamatan 0 dan 30 menit, tetapi nyata mengalami penurunan (P0,05) pada pengamatan 0, 30, 60 dan 90 menit setelah pembiusan.
Terdapat suatu fenomena yang menarik, bahwa rata-rata suhu tubuh dari monyet ekor panjang di daerah Pulaki lebih rendah dari daerah Ubud, sedangkan denyut jantung dan frekuensi nafasnya lebih tinggi. Kita ketahui bahwa daerah Pulaki merupakan daerah pesisir pantai, dimana monyet ekor panjang di daerah tersebut lebih banyak terpapar oleh panas sinar matahari dibandingkan daerah Ubud yang terdiri atas hutan yang dapat melindungi tubuh dari panas matahari. Pada anjing dilaporkan ketamin meningkatkan suhu tubuh (Haskin et al, 1985).

Tabel 1. Rata-rata Suhu Tubuh, Denyut Jantung, dan Frekuensi Nafas pada Masing-
masing Daerah

No Variabel Daerah Waktu (menit) Rata-rata
1 Suhu Tubuh (0C) Ubud 0 38,96
30 38,61
60 38,13
90 37,76
Pulaki 0 38,51
30 38,47
60 38,03
90 37,80
2 Denyut Jantung(X/menit) Ubud 0 63,00
30 62,57
60 58.29
90 57,71
Pulaki 0 78,71
30 78,00
60 75,57
90 75,42
3 Frekuensi Nafas(X/menit) Ubud 0 19,14
30 19,71
60 19,00
90 18,57
Pulaki 0 24,71
30 24,29
60 26,43
90 26,86

Denyut jantung yang lebih tinggi di daerah Pulaki mungkin diakibatkan lebih tingginya tingkat paparan stres yang diterima oleh monyet ekor panjang di daerah tersebut, terutama dalam hal memperoleh makanan, dan stres karena lingkungan tempat tinggalnya, disamping juga karena pengaruh ketamin (Haskin et al, 1985). Stres menyebabkan peningkatan kadar hormon adrenalin dalam tubuh, dimana hormon ini akan memacu kerja jantung untuk lebih cepat. Tingginya denyut jantung mengakibatan proses metabolisme dan aliran darah keseluruh tubuh semakin cepat. Darah yang berasal dari jaringan ini akan membawa sisa-sisa metabolisme seperti karbon dioksida. Peningkatan kadar karbon dioksida dalam darah harus segera dikeluarkan dari tubuh, yaitu dengan cara meningkatkan frekuensi nafas.
Monyet ekor panjang yang menghuni obyek wisata Wanara Wana Ubud, menerima stres yang lebih rendah dari monyet yang ada di Pulaki, karena pakan yang tersedia sangat mencukupi bahkan berlebihan. Hal ini tidak terlepas dari manajemen pengelolaan kawasan tersebut. Monyet ekor panjang di Ubud diberikan makanan secara rutin tiga kali sehari yaitu pagi, siang, dan sore, ditambah lagi makanan yang dibawa oleh para pengunjung.
Penurunan suhu tubuh yang nyata terjadi pada pengamatan menit ke 60 berlanjut ke pengamatan menit ke 90, disebabkan oleh pengaruh pembiusan dengan ketamin-xilazin. Pada saat hewan terbius otot mengalami relaksasi sehingga produksi panas dari tubuh berkurang, sedangkan pada 30 menit pertama suhu tubuh lebih tinggi karena masih dalam proses pembuangan panas tubuh akibat dari aktivitas monyet sebelum dibius.
Frekuensi denyut jantung mengalami penurunan setiap pengamatan, tetapi secara statistika tidak berpengaruh nyata. Penurunan frekuensi denyut jantung ini diakibatkan oleh pengaruh xilazin yang berfungsi sebagai tranquilizer, yang tidak mampu diimbangi oleh ketamin (Idvall et al. 1980). Xilazin pada jantung mempunyai efek bradikardia (Cullen, 1991), dengan cara menurunkan aktivitas simpathetik dan efek depresor pada umpan balik baroreseptor (Kull et al., 2000), dan meningkatkan aktivitas vagal (Rand et al., 1996).
Frekuensi nafas mengalami penurunan antar waktu pengamatan di daerah Ubud, meskipun secara statistika tidak berpengaruh nyata . Penurunan frekuensi nafas ini akibat dari efek xilazin yang menekan pusat nafas dan menurunkan volume tidal paru-paru (Cullen, 1991). Sedangkan di daerah Pulaki penurunan frekuensi nafas terjadi pada pengamatan menit ke 30, pengamatan selanjutnya terus mengalami peningkatan. Hal ini mungkin karena pengaruh stres (perlu penelitian lebih lanjut), atau karena konpensasi fisiologis tubuh untuk memenuhi kebutuhan oksigen. Kull et al., (2000), melaporkan pengunaan ketamin- xilazin dapat menurunkan aliran darah ke paru-paru, hipoventilasi dan penurunan oksigenasi. Secara klinis pemberian premedikasi xilazin dapat mengurangi bahkan menghilangkan gerakan eksitasi sehingga monyet tampak lebih tenang.
KESIMPULAN
Perbedaan topografi daerah, yaitu daerah pesisir pantai (Pulaki) dan daerah hutan (Ubud) berpengaruh terhadap waktu mulai terbius (induksi) obat bius ketamin-xilazin. Perbedaan topografi juga berpengaruh terhadap suhu tubuh, frekuensi denyut jantung dan nafas, akan tetapi tidak berpengaruh terhadap lama kerja obat.

UCAPAN TERIMAKASIH
Penulis mengucapakan terimakasih kepada pengelola obyek wisata Pulaki dan wanara wana Ubud atas ijinnya mengambil sampel di kedua tempat tersebut. Ucapan terimaksih juga penulis sampaikan kepada Rektor Universitas Udayana atas bantuan dananya melalui dana DIK Universitas Udayana tahun anggaran 2002.

DAFTAR PUSTAKA

Arifin, Z. M. dan D. Kusumatuti. 1998. Pengaruh Premedikasi Acepromazine dan
Xylazine Terhadap Anestesi Umum Ketamine pada Ayam. Media Kedokteran Hewan. Vol 14 No 4: 277 – 281.

Batan, I W., S. K. Widyastuti., I. N. Suartha., I.G.M.K. Erawan., I.K. Suatha., dan P.
Wirat. 1997. Perubahan Klinik Pada Kucing Selama Pembiusan Ketamine Dengan
Premedikasi Chlorpromazine, Diazepam, dan Xylazine. Laporan Penelitian.
Dibiayai dari Dana OPF Universitas Udayana Denpasar.

Benson, G. J., J. C. Thurmon., W. J. Tranquilli., and C. W. Smith. 1985.
Cardiopulmonary Effects of An Intravenous Infusion of Quaifenesin, Ketamine, and Xylazine In Dogs. Am. J. Vet. Res. Vol. 46 (9) : 1896 – 1898.

Berne, R. M., and M. N. Levy. 1988. Physiology. Cetakan ke dua. The C.V. Mosby
Company

Blackshaw, J. K., and D. J. Allan. 1988. Drugs In Behavioural Modification Programs
And Strategies For Dogs and Cats. Aust. Vet. Pract. 18 (4) : 166 – 169.

Breese, C. E., and N. H. Dodman . 1984. Xylazine Ketamine Oxymorphone : An
Injectable Anesthetic Combination In Swine. JAVMA 184 (2) : 182 – 183.

Cullen,L. K. 1991. Lecture Notes On Veternary Anesthesia. Murdoch University
Australia.

Gandini,G. G. M., R. H. Keffen., R. E. J. Barrough., and H. Fleedes. 1986. An
Anaesthetic Combination of Ketamine, Xylazine, and Alphaxalone-alphadolone in Oestriches (Struthiocamelus). Vet. Rec. 118 : 729 –730.

Hall, L. W., and K. W. Clarke. 1983. Veterinary Anaesthesia, Eight ed. Bailliere
Tindall. London.

Haskins, S. C., T. B. Farver, and J. D. Patz. 1985. Ketamine In Dogs. Am. J. Vet. Res. 46
(9) : 1855 – 1860

Idvall, A., J. K. F. Aronsen and P. Stenbverg. 1980. Ketamine Infusion, Pharmacokinetic
and Clinical Effect. Dalam Ketamine and The Cardiovasculer System, Effect and Clinical Use. Excerpta Medica

Kull, M., Y. Koc., F. Alkan., and Z. Ogurtan. 2000. The Effects of Xylazine-Ketamine
and Diazepam-Ketamine on Arterial Blood Pressure and Blood Gases in Dogs. J. Vet. Res. 4 (2) : 124 – 132.

Rand, J. S., W. T.Reynolds, J. Priest. 1996. Echocardiographic Evaluation of The
Effects of Medetomidine and Xylazine in Dogs. Aust. Vet. J.73 : 41 – 44.

Sajuthi, D., T. L. Yusuf., I. Mansjoer, R. P. A. Lelana., I. H. Suparto. 1997. Kursus
Singkat Penanganan Satwa Primata Sebagai Hewan Laboratorium. Bali 21 April- 26 April 1997. Denpasar.

Steel, R. G. and D., J. H. Torrie. 1991. Prinsip dan Prosedur Statistika Suatu Pendekatan
Biometrik Alih Bahasa Ir Bambang Sumantri. Ed kedua . PT Gramedia Pustaka Utama Jakarta.

Thompson, J. R., W. H. Hsu., and K. W. Kersting. 1989. Antagonistic Effect of Idazoxan
on Xylazine Induced central Nervous System Depression and Bradycardia in Calves. Am. J. Vet. Res. 50 (5) : 734 – 735.