Wed 6 Apr 2005
Keracunan Makanan oleh Bakteri
BACTERIAL FOOD POISONING
Sayu Putu Yuni Paryati
Akademi Medis Veteriner Puragabaya Bandung
Jl H. Yasin No 59 Terusan Pasteur Bandung 40162
ABSTRAK
Keracunan makanan adalah suatu penyakit akibat infeksi atau suatu bahan toksik karena memakan makanan atau minuman, yang ditandai dengan gejala diare dan muntah-muntah. Penyebabnya adalah bakteri, virus, parasit atau dapat juga oleh bahan-bahan kimia.
Berkaitan dengan infeksi bakteri, keracunan makanan terutama disebabkan oleh toksin, yang dikenal sebagai enterotoksin. Bakteri penghasil enterotoksin diantaranya adalah Staphylococcus aureus, Bacillus cereus dan Clostridium botulinum.
S. aureus menghasilkan 2 toksin yang mempunyai aktivitas sebagai superantigen, yaitu enterotoksin dan toxic shock syndrome toksin (TSST-1). . Terdapat tujuh tipe antigenik enterotoksin yang dihasilkan oleh S. aureus , yaitu SE-A, B, C, C2, C3, D dan E. B. cereus merupakan bakteri tahan panas dan menghasilkan toksin yang bersifat tahan panas serta mempunyai aktifitas hemolitik. Sedangkan C. botulinum adalah bakteri anaerob yang. secara serologik dikenal menghasilkan tujuh tipe toksin yaitu tipe A, B, C1, D, E, F dan G
ABSTACT
Food poisoning is a disease caused by the ingestion of infected or toxic materials which can result in diarrhea and vomiting as the symtoms. Generally, food poisoning is caused by bacteria, virus, or parasite, but occasionally chemical substances might be the causative.
The majority of bacterial food poisoning is caused by the ingestion of bacterial toxin, namely enterotxin, such as those produced by staphylococcus aureus, bacillus cereus, and clostridium botulinum.
Staphylococcus aureus produces two superantigen toxin, enterotoxin and toxic shock syndrome toxin (TSST-1). Staphylococcus aureus also produces 7 antigenically different enterotoxin, SE- A. B. C. C2. C3. D. and E. whilst B-ceeus produce a heat stable toxin and capable of hemolizing the red blood cells. Clostridium botolinum is an anaerobically bacteria producing 7 serologically different toxin, known as type A. B. C. D. E. F. and G.
PENDAHULUAN
Pengertian
Keracunan makanan atau Food poisoning didefinisikan sebagai suatu penyakit akibat infeksi atau suatu bahan toksik karena memakan makanan atau minuman mengandung toksin. Kasus biasanya ditandai dengan gejala diare dan atau muntah-muntah, disebabkan oleh bakteri, virus, atau parasit. Kadang-kadang juga disebabkan oleh bahan-bahan kimia (Anon, 1997a).
Keracunan makanan yang dikaitkan dengan infeksi bakteri terutama disebabkan oleh toksin yang dihasilkan oleh bakteri. Toksin yang diproduksi oleh bakteri biasanya digolongkan dalam dua kelompok, eksotoksin dan endotoksin. Eksotoksin diekskresi oleh sel hidup, baik oleh kuman Gram positif maupun Gram negatif. Sedangkan endotoksin merupakan bagian terpadu dinding sel kuman Gram negatif, dilepaskan ketika kuman mati dan sebagian selama pertumbuhannya.
Berdasarkan cara kerjanya, eksotoksin dibedakan menjadi neurotoksin, enterotoksin, dermonecrotoksin, osteolitik toksin dan hemolisin (Anon, 1997b). Eksotoksin penyebab diare dan keracunan makanan pada umumnya tergolong enterotoksin. Beberapa kasus keracunan makanan juga disebabkan oleh neurotoksin.
Gejala keracunan makanan dapat timbul segera setelah memakan makanan tercemari atau mungkin baru terlihat setelah beberapa hari kemudian. Staphylococcus aureus atau Bacillus cereus dapat menyebabkan timbulnya gejala dalam waktu 2 sampai 12 jam, sedangkan bakteri lain (misalnya Campylobacter) menimbulkan gejala setelah seminggu atau beberapa hari kemudian. Gejala dan waktu munculnya gejala pada kasus keracunan makanan dapat dilihat pada Tabel 1 (Anon, 1997a).
Tabel 1 : Gejala dan Waktu Munculnya Gejala Akibat Keracunan Makanan
Waktu munculnya gejala Gejala yang menonjol Kuman atau toksin
1-6 jam atau 2-4 jam Mual, muntah-muntah, diare, sakit perut, lemah Staphylococcus aureus dan toksinnya.
8 – 16 jam ( 2 – 4 jam mungkin muntah) Muntah-muntah, keram perut, diare dan mual Bacillus cereus
2 jam – 6 hari, biasanya 12-36 jam. Pusing, penglihatan ganda, kehilangan refleks, kesulitan menelan, berbicara, bernafas, mulut kering, lemah, paralisis organ respirasi Clostridium botulinum dan neurotoksin
Sumber : Anon, 1997a.
Etiologi
Berbagai macam bakteri penghasil toksin yang menyebabkan keracunan makanan, di antaranya adalah Staphylococcus aureus, Bacillus cereus dan Clostridium botulinum. Pathogenesis penyakit umumnya terjadi melalui dua cara, yaitu memakan makanan yang mengandung toksin, atau mencerna bakteri melalui makanan yang tercemari menyebabkan infeksi dan kuman memproduksi toksin di dalam tubuh.
S. aureus adalah bakteri berbentuk bola dengan garis tengah sekitar 1 mm dan tersusun dalam kelompok-kelompok tak beraturan. Dalam biakan cair tampak juga kokus tunggal, berpasangan, berbentuk rantai. Staphylococcus tidak bergerak, tidak membentuk spora, dan dapat lisis oleh pengaruh obat-obat seperti penisilin (Jawetz et al.,1996).
S. aureus merupakan flora normal pada manusia, terutama ditemukan pada saluran pernafasan bagian atas, kulit, dan mukosa. Pada babi sehat, S. aureus banyak ditemukan pada cairan bronkhoalveolar (Hensel et al., 1994). Bakteri ini bersifat Gram positif, anaerob fakultatif, katalase positif, koagulase positif, dan menghasilkan asam laktat. Pada biakan agar membentuk koloni berwarna kuning keemasan (Todar, 1998).
B. cereus termasuk bakteri Gram positif, aerob, berbentuk batang, membentuk rantai, dan dibedakan dari spesies lainnya karena bersifat motil (Anon, 1997c). Bakteri ini umumnya merupakan saprofit yang lazim terdapat dalam tanah, air, udara, dan tumbuh-tumbuhan. B. cereus dapat tumbuh pada makanan dan menghasilkan enterotoksin yang menyebabkan keracunan makanan.
C. botulinum adalah bakteri anaerobik, Gram positif, berbentuk batang , membentuk spora, menghasilkan neorotoksin, dan dikenal sebagai kelompok bakteri yang menghasilkan neurotoksin yang sangat kuat. Toksin menyebabkan botulisme, suatu penyakit yang ditandai dengan adanya paralisis baik pada manusia ataupun hewan, disebabkan oleh makanan yang mengandung toksin atau dapat juga terjadi karena adanya toksik-infeksi apabila toksin dihasilkan oleh bakteri pada saat kolonisasi pada saluran usus (Rocke, 1993).
Secara normal, Menurut Jawetz et al., (1996) bakteri hidup di dalam tanah dan kadang-kadang dalam feses hewan dan dapat hidup dalam makanan (bentuk kalengan yang dikemas hampa udara dan lain-lain). Makanan yang sering tercemari Clostridium adalah makanan yang berbumbu, makanan yang diasap, dan makanan kaleng yang dimakan tanpa dimasak terlebih dahulu (Rahim et al., 1994). Spora juga dapat ditemukan pada invertebrata, jaringan hewan, dan feses hewan (Rocke, 1993).
Penelitian pada produk ikan di Finlandia menunjukkan bahwa rinjadi prevalensi neurotoksin pada produk ikan yang dikemas secara vakum (hampa udara) sebesar 5% dan pada produk ikan yang dikemas dengan kondisi aerobik sebesar 3%. Sedangkan pada ikan yang dimasak dengan pengasapan dan dikemas secara vakum, didapatkan tingkat kontaminasi sebesar 10% dari neurotoksin tipe E (Hyytia et al., 1998).
KAITAN ANTARA STRUKTUR KUMAN DENGAN MEKANISME INFEKSI
Dalam kaitannya dengan kasus keracunan makanan, S. aureus mensekresi dua jenis toksin yang mempunyai aktivitas sebagai superantigen yaitu enterotoksin dan Toxic Shock Syndrome (TSS) Toxin (Todar, 1998). Enterotoksin dihasilkan oleh bakteri pada waktu fase pertumbuhan. Enterotoksin ini bersifat tahan panas (heat stable) sehingga toksin tidak rusak oleh pemanasan. Terdapat tujuh tipe antigenik enterotoksin yang dihasilkan oleh S. aureus , yaitu SE-A, B, C, C2, C3, D dan E (Anon, 1997d ; Clements, 1997). Enterotoksin A, B, C1,C2 dan D mempengaruhi saluran pencernaan dan menyebabkan gejala diare dan muntah-muntah pada kasus keracunan makanan (Furtado, 1997). Secara sistemik, enterotoksin juga dapat menyebabkan shock syndrome.
Toxic Shock Syndrome (TSS) Toxin adalah superantigen yang dapat merangsang perbanyakan sel-T. Jika toksin ini memasuki sirkulasi darah, toksin mampu menggertak produksi interleukin-2/IL-2 sebagai akibat pengaruhnya terhadap makrofag dan sel-T (Clements, 1997) menyebabkan gejala shock, mual, dan muntah-muntah (Anon, 1997d ; Anon, 1997e).
Struktur bakteri B. cereus yang berkaitan dengan mekanisme infeksi, di antaranya adalah hidrofobisitas permukaan sel bakteri dan berbagai komponen adhesin yang berperan dalam proses adhesi, seperti laminin, collagen tipe I dan fibronectin yang akan berikatan dengan fibrinogen (Kotiranta et al., 1998). Vitronectin kemungkinan memperantarai adhesi bakteri pada sistem saraf pusat (Lundberg et al., 1997).
Bentuk spora dari B. cereus bersifat tahan panas dan sering mengakibatkan pencemaran pada makanan yang sudah dimasak ataupun yang dipanaskan (Clements, 1997). Bakteri ini juga menghasilkan toksin yang bersifat tahan panas, sebagai penyebab gejala muntah, dan toksinnya yang tidak tahan panas menimbulkan gejala diare (Anon, 1997a).
Genus Clostridium anaerob obligat, dapat membentuk endospora sebagai respon terhadap keadaan lingkungan. Dalam keadaan kekurangan makanan, tiap sel membentuk satu endo spora, dan dilepaskan bila sel induk mengalami autolisis. Spora merupakan sel istirahat yang sangat tahan terhadap kekeringan, panas, dan zat-zat kimiawi. Bila keadaan lingkungan menguntungkan, maka spora akan berkecambah dan menghasilkan satu sel vegetatif (Jawetz et al., 1996). Spora sangat resisten terhadap panas dan mungkin dapat bertahan hidup dalam makanan yang telah disterilisasi namun proses itu, tidak sempurna (Anon, 1997f; Todar, 1997a). Bakteri dapat tumbuh dengan baik pada pH netral dan suasana agak asam (>pH4,5), sedangkan pada pH asam atau bila konsentrasi garam tinggi, resistensi terhadap panas berkurang
C. botulinum menghasilkan toksin yang sangat kuat, tapi tidak tahan panas dan musnah dengan pemanasan secukupnya. Toksin ini mempunyai afinitas terhadap reseptor yang terdapat pada sinaps ujung saraf neuromuskular yang merangsang kontraksi otot (Griffin et a.l, 1997).
Secara serologik, terdapat tujuh tipe toksin yang telah dikenal dihasilkan oleh C. botulinum, yaitu tipe A, B, C1, D, E, F dan G (Anon, 1997f; Jawetz et al, 1996; Rocke, 1993 ; Todar, 1997a). Tipe A, B, E dan F menyebabkan botulismus pada manusia, C dan D pada hewan sedangkan tipe G baru diisolasi dari tanah di Argentina (Anon, 1997f). Tidak semua strain C. botulinum menghasilkan toksin. Strain bakteri lisogenik, mengkode produksi toksin tipe C dan D, sedangkan bakteri non-lisogenik tidak membentuk toksin. Toksin tipe C1 dan D dikode oleh gen bakteriofag, tipe G dikode oleh plasmid sedangkan tipe C2 dicetuskan oleh kromosom (Todar, 1997a).
MEKANISME INFEKSI
S. aureus dapat menimbulkan penyakit melalui kemampuannya berkembang biak dan menyebar luas dalam jaringan disamping melalui pembentukan berbagai zat ekstraseluler berupa enzim maupun toksin. Kemampuan patogenik strain S. aureus tertentu ditentukan oleh faktor ekstraseluler, toksin serta kemampuan strain itu menyusup. Keracunan makanan mungkin merupakan akhir suatu penyakit akibat termakannya enterotoksin yang sudah terbentuk (Jawetz et a.l, 1996). Enterotoksin merupakan eksotoksin yang mempunyai aktivitas sebagai superantigen. Enterotoksin merupakan penyebab penting pada kasus keracunan makanan dihasilkan ketika S. aureus yang tumbuh pada makanan yang tercemari (Clements, 1997). Enterotoksin masuk ke dalam tubuh melalui makanan yang tercemari. Terdapat dua mekanisme dalam kasus keracunan makanan oleh S. aureus, yaitu : (1). Toksin secara langsung bekerja pada sel-sel dari mukosa jejunum dan pada mitokondria dari sel-sel ini. Rangsang muntah dari organ visceral dan saraf sensoris mencapai pusat muntah melalui nervus vagus tanpa melibatkan efek langsung terhadap SSP, dan (2). Dihubungkan dengan kemampuan dari enterotoksin dalam merangsang proliferasi sel T yaitu bersifat sebagai superantigen (Clements, 1997). Aktifitas enterotoksin S. aureus pada sel epitel usus (enterocyte) bersifat cytotonic, yaitu tidak menyebabkan kerusakan pada membran sel tetapi menyebabkan peningkatan pembentukan messenger intraseluler (cAMP) yang dapat meningkatkan sekresi dan menyebabkan diare (Anon, 1997b). Superantigen berbeda dengan antigen biasa. Superantigen menstimulasi sel-T secara non spesifik tanpa adanya pengenalan antigen secara normal (Todar, 1998). Terikatnya superantigen pada Major Histocompatibility Complex (MHC) klas II pada permukaan antigen presenting cells (APC) terjadi secara langsung tanpa melalui proses oleh APC, menyebabkan terikatnya beberapa APC dan stimulasi sel-T secara berlebihan. Stimulasi pada sel-T ditandai dengan meningkatnya produksi cytokine (IL-2, IFN) dan proliferasi sel-T secara berlebihan. Sel-sel menjadi kurang tanggap (anergik) untuk beberapa lama. Beberapa sel dapat pulih kembali dan sebagian lagi mengalami kematian (Anon, 1997b).
TSST terlihat secara sistemik sebagai penyebab toxic shock syndrome /TSS (Todar, 1998) serta menimbulkan gejala demam, mual, dan muntah-muntah yang sering terjadi pada gejala keracunan makanan (Anon, 1997h).
Enterotoksin yang dihasilkan oleh B. cereus sebagai penyebab keracunan makanan menurut Clements (1977) masuk ke dalam tubuh inang melalui dua cara, yaitu :
1. Spora tahan panas yang mengkontaminasi makanan akan mengalami perkecambahan dan perbanyakan pada suhu antara 15 sampai 50° C dan enterotoksin dikeluarkan oleh kuman. Enterotoksin kemudian termakan bersama-sama dengan makanan, menyebabkan gejala keracunan makanan.
2. Spora tahan panas mengalami pertumbuhan dan perbanyakan, termakan bersama-sama dengan makanan dan di dalam tubuh inang membentuk enterotoksin di daerah usus.
Gambar 1. Mekanisme Infeksi Bacillus cereus (Clements, 1997).
Proses berkecambahnya spora merupakan respon spesifik terhadap kondisi lingkungan, hal ini dapat dimulai oleh berbagai agen seperti makanan, enzim, dan berbagai faktor fisik seperti abrasi dan tekanan hidrostatik. Pada B. cereus 569, operon gerI yang berperan dalam memulai perkecambahan spora adalah L-alanin dan inosine (Clements dan Moir, 1998).
C. botulinum sebagai penyebab foodborne botulism atau foodborne intoxication disebabkan karena memakan makanan yang mengandung neurotoksin yang dihasilkan oleh C. botulinum. Kemungkinan lain adalah bakteri masuk bersama makanan kemudian terjadi kolonisasi dan produksi toksin secara in vivo (Anon, 1997f).
Toksin diabsorpsi di usus halus, yaitu duodenum dan jejunum kemudian memasuki saluran getah bening dan sirkulasi darah menuju saraf perifer. Gangliosida GT1 mungkin sebagai reseptor untuk toksin tipe A, tetapi tidak dapat mengikat toksin tipe B dan E dengan baik (Anon, 1997b).
Toksin C. botulinum sangat spesifik untuk saraf perifer yang berhubungan langsung dengan saraf motoris pada otot, sehingga menyebabkan penghambatan fungsi synaptobrevins. Akibatnya pengeluaran neurotransmitter acetylcholine yang dibutuhkan untuk merangsang saraf perifer menjadi terhambat. Penghambatan depolarisasi membran ini menyebabkan tidak terjadinya kontraksi otot dan mengakibatkan paralisis (Sakaguchi, 1986; Todar, 1997a, Anon, 1997h). Sebagai perbandingan pada toksin tetanus misalnya, walaupun mempunyai organ target yang sama yaitu synaptobrevin, tetapi toksin tetanus tidak menghambat dihasilkannya acetylcholine. Toksin ini bekerja dengan menghambat dihasilkannya gamma aminobutyric acid (GABA) yang merupakan penghambat neurokimiawi. GABA berfungsi dalam memberikan sinyal bagi otot yang berkontraksi untuk relaksasi. Dengan demikian, tanpa adanya GABA akan terjadi spasmus otot yang berkepanjangan (Anon, 1997i).
Secara umum, eksotoksin penyebab keracunan makanan merupakan toksin yang mempunyai struktur A-B toksin. Sub unit A dari toksin memasuki sel inang sementara sub unit B berfungsi sebagai bagian yang berikatan dengan reseptor inang, sehingga toksin dapat berfungsi. Proses keracunan diawali dengan terikatnya sub unit B pada permukaan sel inang, kemudian diikuti dengan masuknya sub unit A ke dalam sel. Ikatan sub unit B pada reseptor bersifat spesifik, umumnya terjadi pada komponen CHO dari glikoprotein atau glikolipida sel inang, atau juga terjadi pada komponen protein inang. Karena itu, sub unit B dari toksin menentukan spesifisitas dari toksin terhadap organ target dimana sub unit B akan berikatan dan sub unit A memasuki sel. Sub unit A tidak dapat berfungsi tanpa adanya sub unit B (Anon, 1997g).
Kebanyakan kasus food poisoning oleh S. aureus disebabkan karena toksinnya yang mencemari makanan. Toksin ini biasanya bersifat tahan panas, tahan asam dan tahan terhadap pengaruh enzim proteolitik, seperti tripsin dan pepsin (Clements, 1997).
Demikian juga pada kasus yang disebabkan oleh B. cereus dan C. botulinum, pada umumnya menyebabkan penyakit melalui toksinnya yang mencemari makanan. Beberapa kasus disebabkan oleh karena infeksi bakteri melalui makanan yang tercemari, biasanya terjadi akibat mencerna spora yang terdapat dalam makanan (Todar, 1997b)..
Enterotoksin tidak merangsang terjadinya suatu tanggap perbarahan meskipun kuman yang menghasilkannya bersifat flogistik atau menyebabkan perbarahan. Eksotoksin merupakan protein larut yang terikat jaringan, dan bila sudah terikat, tidak dapat dinetralisir dengan mudah oleh antibodi dalam sirkulasi (Bellanti, 1993).
KERUSAKAN AKIBAT KERACUNAN
Pada kasus keracunan makanan oleh S. aureus, umumnya disebabkan oleh enterotoksin tanpa disertai oleh adanya penyusupan bakteri. Enterotoksin mengacaukan absorpsi air pada sel epitel usus dengan tanpa menimbulkan kerusakan . Gejala muntah dan diare yang ditimbulkan mungkin karena adanya perangsangan pada pusat muntah atau karena kerja toksin yang merangsang peningkatan cAMP sehingga sekresi epitel usus meningkat, menyebabkan diare (Anon, 1997b). Pada umumnya tidak ditemukan adanya gejala demam (Clements, 1997), dan secara sistemik menyebabkan sindroma shock /toksin syndrome shock toxi -1 (TSST-1).
Kemampuan S. aureus menyusup dan hidup dalam sel endotel diyakini dapat menyebabkan infeksi endovaskuler yang bersifat persisten dan menimbulkan kerusakan pada sel-sel endotel. Kerusakan sel-sel endotel ini diduga sebagai bagian dari proses apoptosis yang disebabkan oleh infeksi S. aureus (Menzies dan Kourteva, 1998).
B. cereus mempunyai aktifitas hemolitik (Anon, 1997c) dan toksinnya dapat menyebabkan gastroenteritis, merangsang adenylate cyclase pada sel epitel sehingga menyebabkan akumulasi cAMP dan meningkatkan sekresi sehingga timbul gejala diare (Anon, 1997a).
Keracunan makanan yang disebabkan oleh B. cereus dapat dibagi dalam dua bentuk, yaitu : (1) Tipe diare yang berkaitan dengan daging dan saus, yang disebabkan oleh protein dengan berat molekul tinggi, dan (2). Tipe muntah yang disebabkan oleh struktur peptida yang tahan panas dan mempunyai berat molekul rendah. Tipe muntah berkaitan dengan nasi yang tercemari dan keracunan ditandai dengan adanya pusing dan muntah-muntah dalam waktu 0,5 sampai 6 jam setelah memakan makanan yang tercemari. Kadang-kadang juga disertai adanya kejang perut atau terjadi juga diare. Gejala biasanya terlihat selama waktu kurang dari 24 jam, mirip dengan gejala keracunan makanan oleh S. aureus (Anon, 1997c). Kematian dapat terjadi oleh karena adanya kegagalan hati (Mahler et al., 1997).
Keracunan makanan oleh C. botulinum terutama disebabkan oleh toksin yang dihasilkannya. Toksinnya menyebabkan penghambatan fungsi synaptobrevins sehingga pelepasan neurotransmitter acetylcholine yang dibutuhkan untuk merangsang saraf perifer menjadi terhambat. Penghambatan depolarisasi membran ini menyebabkan tidak terjadi kontraksi otot, lalu muncul paralisis (Sakaguchi, 1986; Todar, 1997a, Anon, 1997h). Kematian dapat terjadi karena paralisis otot pernafasan atau kelumpuhan otot jantung (Rahim, 1994).
P E N U T U P
Gejala mual, muntah, diare, sakit perut dan gejala lainnya pada kasus keracunan makanan oleh S. aureus dapat disebabkan oleh bakteri ataupun toksin yang mencemari makanan (Anon, 1997a). Apabila kasus terjadi karena mencerna bakteri, keberadaanya tidak banyak menimbulkan kerusakan pada inangnya membuat bakteri dapat bertahan pada inang.
Ketahanan S. aureus banyak ditunjang oleh karena sifat bakteri yang cepat menjadi resisten terhadap obat-obat antimikrobia. Pada suatu kasus yang secara nyata meningkat, dapat terjadi akibat adanya strain S. aureus yang pada mulanya resisten terhadap methicillin (methicillin-resistant Staphylococcus aureus) ternyata juga menjadi resisten terhadap lincosamide dan streptogramin A/ LSA – MRSA (Arpin et al., 1996). Resistensi terhadap mupirocin ditentukan oleh gen resisten mupA yang terbawa oleh plasmid (Woodford et al., 1998).
Kebanyakan kasus keracunan makanan disebabkan oleh enterotoksin yang mencemari makanan. Toksin ini bersifat tahan panas , sehingga pemanasan terhadap makanan tidak akan merusak toksin. Di samping itu, enterotoksin juga bersifat tahan asam dan tahan terhadap pengaruh enzim proteolitik, seperti tripsin dan pepsin (Clements, 1997), sehingga proses pemusnahannya menjadi sulit.
Bacillus cereus dan Clostridium botulinum pada umumnya menginfeksi inangnya melalui makanan yang tercemari kemudian tumbuh dan berkolonisasi pada lumen saluran pencernaan yang merupakan daerah yang sulit dicapai oleh sel-sel fagosit (Todar, 1997c). Keadaan ini dapat membantu bakteri untuk terhindar dari proses pemusnahan dan menunjang persistensi bakteri di dalam tubuh inang.
Selain itu bakteri dapat menghindari kontak dengan sel fagosit melalui pembentukan toksinnya yang dapat menghambat kemotaksis (Todar, 1997c) dan sifatnya yang tidak imunogenik (Jawetz et al., 1996).
DAFTAR PUSTAKA
Anon. 1997a. What is Food Poisoning? http://www.bdf.org.uk/leaflets/foodpoi.html.
Anon, 1997b. Toksins.
http://www.vet.uga.edu/mmb/pathogenic/WEBFILES/margie/toksin.htm
Anon. 1997c. Bacillus cereus and Other Bacillus spp. Foodborne Pathogenic Microorganism and Natural Toksins Handbook. Center for Food Safety & Applied Nutrition. U.S. Food & Drug Administration. http://vm.cfsan.fda.gov/-mow/chap12.html.
Anon, 1997d. Bacterial Toksins : Staphylococcal enterotoksins ; Toxic Shock Syndrome Toksin and Streptococcal Pyrogenic Exotoksins. http://www.urmc.rochester.edu/SMD/mbi.bactox/stphent.htm
Anon, 1997e. Bacterial Toksins : Superantigens.
http://www.urmc.rochester.edu/SMD/mbi/bactox/sprant.htm
Anon. 1997f. Clostridium botulinum. Foodborne Pathogenic Microorganism and Natural Toksins Handbook. Center for Food Safety & Applied Nutrition. U.S. Food & Drug Administration. http://vm.cfsan.fda.gov/-mow/chap2.html.
Anon, 1997g. Bacterial Toksins : A/B Subunit Family of Toksins. http://www.urmc.rochester.edu/SMD/mbi/bactox/abtox.htm.
Anon. 1997h. Bacterial Toksins : Botulinum Toksins. http://www.urmc.rochester.edu/SMD/mbi/bactox/botox.htr
Anon, 1997i. Bacterial Toksins : Tetanus Toksin. http://www.urmc.rochester.edu/SMD/mbi/bactox/tetanus.htm.
Arpin, C., I. Lagrange, J.P. Gachie, C. Bebear and C. Quentin. 1996. Epidemiologycal Study of an Outbreak of Infection wuth Staphylococcus aureus Resistant to Lincosamides and Streptogramin A in a French Hospital. J.Med.Microbiol. 44:303-310.
Bellanti, J. 1993. Immunology III (Indonesian Edition). Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.
Byrne, M.P., T.J. Smith, V.A. Montgomery and L.A. Smith. 1998. Purification, Potency and Efficacy of The Botulinum Neurotoksin Type A Binding Domain from Pichia pastoris as a Recombinant Vaccine Candidate. Infection and Immunity. 66(10):4817-4822.
Clements, J.D. 1997. Medical Microbiology Lecture Notes – Food Poisoning. Tulane University Medical School. http://www.mcl.tulane.edu/clementslab/teaching/page/lectures/badfood/html.
Clements, M.O. and A. Moir. 1998. Role of The gerI Operon of Bacillus cereus 569 in The Response of Spores to Germinants. Journal of Bacteriology. 180(24):6729-6735.
Furtado, D. 1997. Microbiology : Bacteriology. http://www.kumc.edu/AMA-MSS/study/micro3.
Griffin, P.M., C.L. Hatheway, R.B. Rosenbaum and R. Sokolow. 1997. Endogenous Antibody Production to Botulinum Toksin in an Adult with Intestinal Colonization Botulism and Underlying Crohn’s Disease. The Journal of Infectious Diseases. 175:633-637.
Hensel, A., M. Ganter, S. Kipper, S. Krehon, M.M. Wittenbrink, and K. Petzoldt. 1994. Prevalence of Aerobic Bacteria in Bronchoalveolar Lavage Fluids from Healthy Pigs. Am. J. Vet. Res. 55(12) : 1697-1702.
Hyytia, E., S. Hielm and H. Korkeala. 1998. Prevalence of Clostridium botulinum Type E in Finnish Fish and Fishery Products. Epidemiol. Infect. 120:245-250.
Jawetz, E., J.L. Melnick dan E.A. Adelberg. 1996. Mikrobiologi Kedokteran. Alih bahasa : Edi Nugroho dan R.F. Maulany. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta.
Kotiranta, A., M. Haapasalo, K. Kari, E. Keresuo, I. Olsen, T. Sorsa, J.H. Meurman and K. Lounatmaa. 1998. Sruface Structure, Hydrophobicity, Phagocytosis and Adherence to Matrix Proteins of Bacillus cereus Cell with and without the Crystalline Surface Protein Layer. Infection and Immunity. 4895-4902.
Lundberg, F., S. Schliamser and A. Ljungh. 1997. Vitronectin May Mediated Staphylococcal Adhesion to Polimer Surfaces in Perfusing Human Cerebrospinal Fluid. J. Med. Microbiol. 46:285-296.
Mahler, H., A. Pasi, J.M. Kramer, P. Schulte, A.C. Scoging, W. Bar and S. Krahenbuhl. 1997. Fulminant Liver Failure in Association with The Emetic Toksin of Bacillus cereus. New England Journal of Medicine. 336:1142-1148.
Menzies, B.E. and I. Kourteva, 1998. Internalization of Staphylococcus aureus by Endothelial Cells Induces Apoptosis. Infection and Immunity. 66(12):5994-5998.
Munson, S.H., M.T. Tremaine, M.J. Betley dan R.A. Welch. 1998. Identification and Characterization of Staphylococcal Enterotoksin Types G and I from Staphylococcus aureus. Infection and Immunity. 66(7):3337-3348.
Sakaguchi, G. 1986. Clostridium botulinum Toksins. From Pharmacology of Bacterial Toksins, eds. F. Dorner and J. Drews, Pergason Press, Oxford. http://www.vet.uga.edu/mmb/pathogenic/WEBFILES/margie/toksin.htm
Rahim, A., M. Lintong, Suharto, S. Josodiwondo. 1994. Batang Positif Gram : Bacillaceae. Dalam Mikrobiologi Kedokteran. Edisi Revisi. Bina Rupa Aksara. Jakarta. 125-142.
Rocke, T.E. 1993. Clostridium botulinum in Pathogenesis of Bacterial Infections in Animals. Second edition. Edited by Gyles, C.L. and C.O. Thoen. Iowa State University Press, Ames.
Todar, K. 1997a. Bacteriology 330 Lecture Topics : Pathogenic Clostridia : Tetanus and Botulism. http://www.bact.wisc.edu/Bact330/lecturetetbot
Todar, K. 1997b. Inflammation.Bacteriology 330 Lecture Topics : Antifagocytic Defense. http://www.bact.wisc.edu/bact330/lecturead
Todar, K. 1997c. Inflammation.Bacteriology 330 Lecture Topics : Constitutive Defenses Part 2. http://www.bact.wisc.edu/bact330/lecturecd2.
Todar, K. 1998. Bacteriology 330 Lecture Topics : Staphylococcus. http://www.bact.wisc.edu/bact330/lecturestaph.
Woodford, N., A.P. Watson, S. Patel, M. Jevon, D.J. Waghorn and B.D. Cookson. 1998. Heterogeneous Location of The mupA High-Level Mupirocin Resistance Gene in Staphylococcus aureus. J.Med.Microbiol. 47:829-835.
RIWAYAT PENULIS
Drh. Sayu Putu Yuni Paryati, lahir di Bali, 4 Juni 1965. Lulus dokter hewan pada tahun 1990. Tahun 1993 menjadi dosen tetap Kopertis Wilayah IV Jawa Barat, diperkerjakan di Akademi Medis Veteriner Puragabaya Bandung dan saat ini sedang mengikuti pendidikan Program Pascasarjana (S2) di IPB – Bogor.