POLYMERASE CHAIN REACTION
Oleh:
I G. Ngurah K. Mahardika
Laboratorium Virologi Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Udayana
Jl Sudirman, Denpasar, Telp. 0361-223791, Faks. 0361-701808
Email: [email protected]

PENDAHULUAN
Reaksi rantai polimerase (“polymerase chain reaction“/PCR), yang ditemukan oleh Kary Mullis pada pertengahan 1980-an, merupakan salah satu tonggak revolusi dalam genetika molekuler. Teknik ini memungkinkan pendekatan-pendekatan baru dalam studi dan analisis gen. Dimasa lalu, masalah utama dalam analisis molekuler adalah bahwa suatu gen sering merupakan sasaran yang jarang dalam genom suatu makhluk yang sangat rumpil, lebih-lebih pada mamalia. Mahluk ini dapat mempunyai sampai lebih dari seratur ribu gen. Berbagai teknik dalam genetika molekuler ditujukan untuk mengatasi masalah ini. Teknik tersebut umumnya memerlukan waktu yang relatif lama yang meliputi pengklonan dan pelacakan urutan DNA yang khas – prosedur yang sangat sulit dan memakan waktu. PCR telah memungkinkan kita untuk memperoleh urutan DNA tertentu tanpa melalui pengklonan.

KEUNGGULAN PCR
Teknik PCR sebenarnya mengekploitasi berbagai sifat alami replikasi DNA. Dalam proses tersebut, Polimerase-DNA menggunakan DNA berserat tunggal sebagai cetakan untuk mensintesis serat baru yang komplementer. Di laboratorium, cetakan berserat tunggal dapat diperoleh dengan mudah melalui pemanasan DNA berserat ganda pada temperatur mendekati titik didih. Polimerase-DNA juga memerlukan suatu wilayah berserat ganda pendek untuk memulai (“prime“) proses sintesis. Pada PCR, posisi awal dan akhir sintesis DNA dapat ditentukan dengan menyediakan suatu oligonukleotida sebagai primer yang menempel secara komplementer pada cetakan sesuai dengan keinginan peneliti. Inilah keunggulan PCR yang pertama: polimerase-DNA dapat diarahkan untuk sintesis wilayah DNA tertentu.

Kedua serat DNA dapat berfungsi sebagai cetakan untuk sintesis bila primer oligonukleotida disediakan untuk masing-masing serat. Sepasang primer dapat dipilih yang membatasi (“flanking“) wilayah dari DNA yang ingin diperbanyak, sehingga serat DNA yang baru disintesis, dimulai dari posisi primer, membentang sampai melewati posisi primer dari serat yang lainnya. Dengan demikian, tempat ikatan primer baru akan dibuat pada serat DNA yang baru disintesis. Campuran reaksi kemudian dipanaskan lagi untuk memisahkan serat awal dengan yang baru, yang kemudian berperan sebagai cetakan untuk siklus berikut yang meliputi: penempelan primer, sintesis serat DNA dan

GAMBAR 1. SKEMA SIKLUS PCR

pemisahan serat. Hasilnya adalah, setelah n kali siklus, campuran reaksi mengandung sebanyak 2n molekul DNA serat ganda, yang merupakan salinan dari urutan DNA di antara kedua primer. Ini merupakan keunggulannya yang kedua: PCR menghasilkan amplifikasi wilayah DNA tertentu (Lihat Gambar 1).

PELAKSANAAN PCR
PCR merupakan teknik laboratorium yang relatif mudah. Karena teknik ini juga relatif lentur dan rentang penerapannya demikian luas, adalah sulit untuk memberikan contoh reaksi yang khas.
Bahan awal dari PCR adalah DNA yang mengandung urutan yang akan diampliflikasi. DNA tersebut tidak harus diisolasi. Jumlah DNA yang diperlukan juga relatif kecil. Pada percobaan yang biasa, kurang dari 1µg DNA dari seluruh DNA genom sudah cukup. Bahkan PCR dapat digunakan untuk amplifikasi urutan dari satu molekul DNA. Primer oligonuklotida yang ditujukan sebagai posisi awal untuk sintesis serat baru, Polimerase-DNA, dan campuran keempat dNTP ditambahkan ke dalam tabung yang mengandung DNA. Volume keseluruhan biasanya 25 – 100µl.
Langkah berikutnya adalah pemanasan dari campuran reaksi pada 94°C selama beberapa menit. Pada temperatur ini, molekul DNA yang berserat ganda terpisah dengan sempurna, menjadi serat tunggal yang merupakan cetakan untuk primer dan Polimerase-DNA. Temperatur kemudian diturunkan agar oligonukleotida menempel pada posisi yang sesuai pada cetakan. Temperatur penempelan (“annealing“) ini merupakan peubah kunci dalam menentukan kekhasan reaksi PCR. Temperatur dan waktu untuk tahap ini dapat sangat beragam sesuai dengan urutan yang ingin diamplifikasi. Penempelan primer menghasilkan posisi awal untuk aktifitas polimerase-DNA. Langkah berikutnya adalah peningkatan temperatur pada 72°C, yang merupakan temperatur optimum dari enzim polimerase-DNA Taq. Kondisi ini dipertahankan beberapa menit untuk penyelesaian sintesis DNA.
Setelah satu siklus berakhir, temperatur ditingkatkan lagi sampai 94°C selama beberapa puluh detik, sehingga DNA serat ganda yang pendek (serat awal dan serat baru) terpisah. Serat tunggal tersebut kemudian berfungsi sebagai cetakan untuk siklus sintesis DNA berikutnya. Satu siklus, yang terdiri dari pemanasan untuk pemisahan serat, penempelan primer, dan sintesis oleh polimerase-DNA, diulang sampai 30 - 40 kali.
Polimerase Taq menyederhanakan dan meningkatkan penampilan PCR. Pada mulanya, Polimerase-DNA dari E. coli digunakan dalam PCR. Tetapi, karena enzim ini sangat peka pada panas dan rusak pada temperatur yang digunakan untuk pemisahan serat DNA, enzim baru yang segar harus selalu ditambahkan pada setiap siklus. Ini merupakan proses yang memerlukan tenaga dan tidak praktis. Kemajuan teknik yang penting datang dengan ditemukannya bakteri yang hidup pada sumber air panas. Bakteri seperti ini mempunyai polimerase-DNA yang bekerja optimum pada temperatur tinggi. Bakteri Thermus aquaticus hidup dalam air dengan temperatur 75°C. Polimerase-DNA-nya (polimerase Taq) mampunyai temperatur optimum 72°C dan masih stabil pada 94°C. Polimerase Taq cukup ditambahkan sekali saja pada awal reaksi dan akan tetap aktif melewati siklus PCR yang lengkap. Perkembangan ini memungkinkan otomatisasi PCR melalui mesin penyiklus panas, yang merupakan blok pemenas yang dapat diprogram untuk pelaksanakan siklus dengan waktu dan temperatur yang sesuai dari suatu PCR. Sekarang ini, tabung reaksi dengan komponen reaksi dapat diletakkan pada penyiklus panas tersebut tanpa intervensi manual.
Spesifisitas dan sensitivitas PCR juga ditingkatkan oleh polimerase Taq. Pada temperatur yang diperlukan oleh polimerase-DNA dari E. coli, primer dapat menempel pada tempat lain yang mempunyai urutan sedikit berbeda dengan sasaran yang diinginkan. Amplifikasi dapat terjadi bila penempelan primer tersebut terjadi pada serat yang berbeda. Hasil yang tidak diinginkan dapat diperoleh dan mengganggu interpretasi. Fragmen yang tidak benar tersebut, yang disintesis pada siklus awal PCR, akan dapat diamplifikasi dengan efisien pada siklus-siklus berikutnya. Sebaliknya, penempelan primer pada posisi di luar yang diharapkan dapat direduksi dengan nyata pada temperatur yang digunakan untuk polimerase Taq. Dengan demikian, amplifikasi selain urutan sasaran dapat dihindari. Spesifisitas ini ditingkatkan lagi dengan metode “hot start“, dimana semua reagensia dipanaskan sampai 72°C sebelum komponen akhir, yaitu polimerase Taq, ditambahkan. Peningkatan spesifisitas ini menyederhanakan analisis produk PCR. Fragmen sasaran yang telah diamplifikasi dapat dilihat dengan mudah pada gel yang diwarnai dengan etidium bromida, karena latar belakang yang berupa fragmen yang tidak sasaran telah ditiadakan.
Seperti semua proses biokimia, replikasi DNA bukan merupakan proses yang benar-benar sempurna, dan kadang-kadang, polimerase-DNA dapat menambahkan nukleotida yang tidak tepat pada serat DNA yang sedang tumbuh. Tingkat kesalahan penempelan/penambahan nukleotida pada replikasi DNA alami adalah satu dalam 109 nukleotida. Akurasi yang tinggi tersebut terjadi karena mesin replikasi DNA dapat menghilangkan dan memperbaiki kesalahan penempelan (“proofreading mechanism“). Pada In vitro, polimerase Taq tidak mempunyai mekanisme tersebut. Sehingga, pada temperatur dan kosentrasi garam yang khas untuk PCR, enzim ini menempelkan satu nukleotida yang tidak tepat pada setiap 2X104 penempelan. Hal ini tidak penting dalam analisa produk PCR, karena molekul dengan kesalahan penempelan yang sama terdapat dalam jumlah yang sangat kecil. Tetapi, kesalahan penambahan akan penting bila fragmen PCR hendak digunakan dalam pengklonan. Dalam proses ini, masing-masing klon berasal dari satu serat produk PCR. Bila molekul tersebut mempunyai satu atau lebih kesalahan penempelan, semua DNA yang diklon akan mengandung mutasi yang identik. Masalah ini dapat diatasi dengan memulai PCR yang menggunakan molekul sasaran dalam kuantitas yang besar. Pada kondisi ini, siklus PCR dapat dikurangi, sehingga kemungkinan kesalahan dalam sintesis DNA juga dapat ditekan.
DNA untuk PCR dapat berasal dari berbagai sumber. Untuk tujuan ini, DNA sering merupakan keseluruhan genom yang diekstraksi dari sel. Tetapi, PCR tidak memerlukan DNA yang benar-benar murni. Bahkan, DNA yang didapatkan dari pemanasan sel dapat langsung digunakan tanpa proses pemurnian. PCR dapat juga digunakan untuk kajian penampilan ekspresi gen: mRNA dapat diisolasi dan diubah menjadi cDNA dengan reaksi transkriptase balik, dan cDNA ini kemudian digunakan sebagai cetakan untuk PCR. Urutan DNA juga tidak perlu diisolasi sebelum amplifikasi, karena spesifisitas reaksi ditentukan oleh primer. Sebagai contoh, PCR dapat digunakan dengan memuaskan untuk penyiapan DNA dari klon pada plasmid atau bakteriofag. Yang diperlukan hanya sepasang primer yang komplementer terhadap urutan vektor pada kedua sisi tempat penyisipan. Setiap sisipan dapat diamplifikasi dengan cara ini dan tidak tergantung pada urutannya. Metode ini telah digunakan secara rutin untuk pemisahan klon yang mangandung sisipan DNA asing.
DNA merupakan molekul yang sangat stabil bila tidak terdedah nuklease. DNA dari berbagai sumber khusus telah digunakan untuk PCR. Misalnya, DNA virus papiloma manusia dapat dideteksi pada biopsi karsinoma serviks yang telah disimpan dalam parafin selama 40 tahun. Materi arsip manusia yang lain juga dapat menjadi sumber DNA untuk PCR, tidak hanya yang telah diawetkan dalam parafin. Misalnya, terok darah untuk deteksi fenilketonuria pascakelahiran biasanya diambil dan disimpan sebagai tetesan kering pada kertas/kartu selama bertahun-tahun. Dari suatu tetesan darah tersebut dapat diekstraksi sampai sebanyak 1µg DNA. Meteri ini lebih dari cukup untuk menganalisis gen penyakit keturunan pada manusia melalui PCR, seperti fenilketonuria dan fibrosis sistik. Seperti yang nanti akan terungkap, bahkan DNA yang diisolasi dari awetan jasad manusia dari Mesir (“mummy“) yang berumur ribuan tahun, telah dapat diamplifikasi dengan PCR.

KOMPONEN PCR

Semua komponen PCR dapat mempengaruhi hasil. Sebagian besar dari padanya tidak dapat dioptimasi dengan mudah kecuali konsentrasi MgCl2. Sekalipun demikian, komponen tersebut hendaknya dipertimbangkan dalam penggunaannya.

1. KATION
Polimerase-DNA Taq memerlukan kation Mg2+ dalam penyangga untuk proses penambahan nukleotida. Parameter ini dapat beragam untuk pasangan primer yang berbeda sekalipun untuk DNA cetakan yang sama. Karena konsentrasi MgCl2 dalam penyangga adalah suatu peubah yang dapat sangat mempengaruhi hasil PCR, optimasi komponen ini diperlukan sebelum digunakan sebagai prosedur yang baku.

2. REAGENSIA DAN PENYANGGA
Kemurnian semua reagensia merupakan parameter yang paling penting untuk amplifikasi sasaran yang jarang. Peniadaan cemaran pada setiap langkah adalah penting diperhatikan.
Untuk berbagai penerapan, reagensia yang berkualitas baik dan peniadaan cemaran nuklease sudah cukup. Tetapi, peniadaan cemaran ini melalui perlakuan dengan dietilpirokarbonat, yang biasa dilakukan, mesti dihindarkan. Adanya bahan kimia ini dalam konsentrasi yang sangat rendah sudah dapat mengacaukan reaksi.
Larutan Penyangga PCR umumnya mengandung 10 mM Tris pH 8,4, 50 mM KCl, gelatin 0,01%, detergen NP40 0,01%, dan Tween 20 0,01%. Detergen non-ionik dapat diganti dengan Triton X-100 0,1%. Larutan penyangga ini biasanya sudah disediakan oleh produsen enzim dalam konsentrasi 10X.

3. PRIMER
Primer merupakan parameter yang paling sulit diduga dan ditangani bila terdapat permasalahan dalam pelaksanaan PCR. Secara sederhana, beberapa primer memang tidak dapat digunakan dengan alasan yang sulit diungkapkan. Untuk mengoptimumkan kemungkinan bahwa primer yang digunakan akan dapat bekerja dengan baik, beberapa hal perlu diperhatikan.
a. Pertimbangan Umum. Satu pasang primer hendaknya menempel (“hybridize“) pada urutan yang hendak diperbanyak, sementara kemungkinan penempelan pada posisi lain harus ditekan sekecil mungkin. Bila sasaran terdapat dalam jumlah yang cukup, perlu dilakukan pengujian dengan blot Southern dan hibridisasi oligonukleotida. Jarak antara primer merupakan parameter yang lentur, dan dapat mencapai 10 kbp. Tetapi, efisiensi sintesis biasanya akan menurun pada panjang lebih dari 3 kbp. Jarak yang terlalu kecil juga mengurangi kapasitas PCR untuk memperoleh informasi urutan, atau untuk mengamplifikasi ulang dengan primer yang berposisi pada sebelah dalam posisi pasangan primer yang pertama, bila diperlukan.
Primer hendaknya dirancang untuk memungkinkan pelaksanaan uji kekhasan produk PCR. Hal ini dapat dilakukan bila diantara primer terdapat suatu tempat pemotongan untuk suatu endonuklease pembatas, atau melalui hibridisasi dengan suatu oligonukleotida yang lain dapat melacak produk PCR secara khas.
b. Komplementeritas terhadap sasaran. Untuk berbagai penerapan, primer disintesis khusus agar komplementer secara sempurna dengan cetakan sasaran. Untuk yang lain, misalnya untuk kreasi mutasi atau penambahan urutan pengenalan suatu endonuklease, atau bahkan urutan khas suatu promotor sehingga produk dapat ditranslasikan secara in vitro, pasangan basa yang tidak sepadan (“mismatch“) memang dapat dengan sengaja dilakukan atau tidak dapat dihindari. Ketidaksepadanan pasangan basa sebaiknya berada pada posisi ujung 5’ dari primer. Ketidaktepatan pasangan yang semakin mendekati ujung 3’ memperbesar kemungkinan hambatan dalam sintesis DNA oleh polimerase-DNA, yang pada hakekatnya merupakan perpanjangan dari primer tersebut. Bila klon sasaran telah tersedia, pengujian ketepatan primer penting dilakukan dalam reaksi pengurutan dengan polimerase Taq. Contoh pemilihan primer dapat dilihat pada Gambar 2. Kini, berbagai program komputer untuk seleksi primer dari urutan DNA yang telah diketahui telah tersedia. Penggunaan primer dengan urutan beragam, yang diturunkan dari urutan protein yang disandi oleh gen yang bersangkutan, atau yang merupakan urutan dari spesies yang berbeda, memang sering berhasil, sekalipun juga diperlukan beberapa kali percobaan. Bila bekerja, primer tersebut dapat sangat berarti, tetapi PCR dengan primer seperti itu sering menghasilkan produk yang kelihatannya khas, informasi yang diberikan sering tidak berguna.
c. Panjang Primer. Primer yang baik mempunyai panjang 20 sampai 30 basa. Pernyataan, bahwa primer yang lebih panjang dapat membantu dalam meningkatkan kekhasan PCR dengan nyata, belum dapat dibuktikan.
d. Urutan primer. Primer hendaknya mempunyai komponen GC yang serupa dengan sasaran. Primer dengan distribusi urutan yang tidak wajar, seperti sederetan polipurin atau polipirimidin, sebaiknya dihindari. Kondisi demikian dapat menyebabkan primer mempunyai struktur skunder yang menggangu PCR. Pengecekan berbagai stuktur skunder dari primer dengan menggunakan berbagai program komputer sebaiknya dilakukan.
e. Primer Dimer. Primer dimer merupakan artefak yang paling sering diamati bila sejumlah kecil cetakan digunakan untuk siklus yang banyak. Primer dimer terbentuk bila ujung 3’ dari satu primer menempel pada ujung yang sama pada primer yang lain. Enzim polimerase kemudian memperpanjang masing-masing primer sampai ke ujung primer lawannya. Produk ini dapat menghambat reaksi PCR yang diharapkan. Primer dimer dapat dihindari dengan menggunakan primer yang tidak saling komplementer sama sekali, terutama pada ujung 3’. Bila itu terjadi, konsentrasi MgCl2 yang tepat dapat meminimumkan primer dimer dibandingkan dengan produk yang diharapkan.
Lowe dkk. (1990) memberikan kriteria untuk pemilihan primer sebagai berikut:
1. Panjang berada diantara 18-22 nukleotida
2. Primer mempunyai CC, CG, GG, atau GC pada ujung 3’
3. Kandungan GC berkisar antara 45-55%
4. Forward dan backward primer membatasi urutan yang berkisar antara 100 - 600 bp.
5. Suatu Primer tidak menunjukkan kesamaan yang lebih dari 4 bp terhadap primer pasangannya.
f. Kemurnian Primer. Pengalaman penulis menunjukkan bahwa tingkat kemurnian primer sangat mempengaruhi efisiensi PCR. Dalam sintesis oligonukleotida sering diperoleh oligo yang lebih pendek dari yang diharapkan. Oligo cemaran ini akan mempengaruhi kekhasan reaksi PCR. Oligo yang diinginkan sebaiknya dipisahkan dari cemaran melalui pemurnian dengan gel poliakrilamid atau, yang terbaik, kromatografi cair berkinerja tinggi (“high performance liquid chromatographie“/HPLC).

Gambar 2. Pemilihan primer dan cara penulisannya untuk suatu serat target DNA yang telah diketahui.

5. CETAKAN (TEMPLATE)
Di samping prosedur isolasi DNA yang baku, berbagai prosedur sederhana dan cepat telah dikembangkan untuk berbagai jaringan. Bahkan DNA yang relatif sudah mengalami degradasi pun dapat digunakan untuk memperoleh produk PCR dengan ukuran yang tidak terlalu panjang. Dua hal penting tentang cetakan adalah kemurnian dan kuantitas.
Sejumlah cemaran dapat menurunkan efikasi PCR, seperti urea, deterjen SDS, Na-asetat, dan kadang-kadang komponen yang tebawa saat pemurnian DNA dari gel agarose. Ekstraksi organik tambahan, seperti presipitasi ethanol dan pemurnian dengan gel poliakrilamid dapat menolong mengatasi masalah ini.
Secara sederhana dapat dikatakan bahwa kita harus bekerja dengan bahan cetakan awal yang cukup untuk dapat memvisualisasikan produk dengan etidium bromid. 100 ng genom DNA sudah cukup untuk mendeteksi produk PCR dari suatu gen mamalia yang mempunyai salinan tunggal. Penggunaan cetakan yang terlalu banyak juga tidak dapat disarankan dalam optimasi MgCl2 atau parameter lain karena dapat menyembunyikan perbedaan dalam efisiensi amplifikasi. Disamping itu, penggunaan cetakan yang terlalu banyak juga menurunkan efisiensi akibat meningkatnya kemungkinan pencemaran dalam penyiapan DNA.
Jumlah cetakan sasaran bila dibandingkan dengan urutan yang tidak spesifik, dapat mempunyai pengaruh yang besar terhadap hasil yang tidak spesifik. Dengan urutan sasaran yang lebih sedikit, kemungkinan adanya produk yang tidak spesifik akan lebih besar. Untuk berbagai penerapan, seperti berbagai prosedur pengurutan DNA, dimana adanya produk tunggal sangat penting, pemurnian produk PCR tertentu dan amplifikasi ulang disarankan.

6. POLIMERASE-DNA TAQ
Di antara berbagai kelebihan yang diberikan oleh polimerase Taq adalah ketahanan enzim ini terhadap pemanasan berulang dan kemampuan untuk mensintesis DNA pada temperatur tinggi. Temperatur yang tinggi ini akan melepaskan ikatan primer yang tidak tepat dan meluruskan wilayah yang mempunyai struktur skunder. Akan tetapi, enzim ini tidak tahan pada panas yang berlebihan, sehingga untuk efisiensi yang terbaik, hendaknya tidak melakukan pemanasan yang tidak perlu. Untuk tujuan ini, berbagai protokol menyarankan penambahan Polimerase Taq setelah langkah denaturasi yang pertama.
Meningkatkan konsentrasi polimerase Taq diatas 2,5 U untuk satu reaksi kadang-kadang dapat meningkatkan efisiensi PCR, tetapi hanya sampai pada kondisi tertentu saja. Penambahan yang lebih kadang-kadang meningkatkan hasil produk yang tidak khas di luar produk yang diharapkan. Selebihnya, perlu diingat, enzim polimerase Taq bukan merupakan enzim yang tidak mahal.
Suatu sifat polimerase Taq yang penting adalah tingkat kesalahan yang diduga dapat mencapai 2 x 10-4 nukeotida dalam satu siklus. Enzim murni yang dipasarkan oleh berbagai produser tidak mempunyai aktivitas 3’-5’ endonuklease sebagai mekanisme perbaikan kesalahan. Untuk berbagai penerapan, hal ini tidak menjadi masalah. Tetapi, untuk pengurutan klon-klon yang didapatkan dari PCR atau bila memulai dengan cetakan sasaran yang sedikit, ini dapat menjadi masalah besar. Pengurutan produk PCR atau sejumlah klon yang didapatkan dari PCR dengan kontrol negatif yang sesuai dapat membantu mengatasi masalah ini.

7. DEOKSIRIBONUKLEOSIDA TRIFOSFAT (DNTPS)
Dalam salah satu usaha untuk meningkatakan efisiensi PCR, kadang-kadang diupayakan untuk meningkatkan konsentrasi masing-masing dNTP (dA-, dC-, dG-, dan dTTP). Ini hendaknya dihindari. Konsentrasi masing-masing dNTP dengan 200 µM sudah cukup untuk mensintesis 12,5 µg DNA bila sebagian dari dNTP tersebut telah digunakan dalam sintesis serat baru. dNTP mengikat ion Mg2+, sehingga dapat mengubah konsentrasi efektif ion ini yang diperlukan untuk reaksi polimerase. Disamping itu, konsentrasi dNTP yang tinggi (lebih dari 200 µM) meningkatkan tingkat kesalahan polimerase Taq.

8. PARAMETER DALAM SIKLUS TERMAL.
Setiap langkah dalam siklus memerlukan suatu waktu yang minimum untuk berdaya guna, sementara waktu yang terlalu banyak dapat tidak bermanfaat banyak dan dapat merusak polimerase-DNA. Bila waktu dalam masing-masing langkah tersebut dapat dikurangi, hasil yang lebih baik dapat diharapkan.
Denaturasi. Sangat penting untuk memisahkan serat DNA secara sempurna pada tahap denaturasi. Denaturasi merupakan reaksi unimolekuler yang sebenarnya berlangsung dengan sangat cepat. Dalam kasus menggunakan bahan awal berupa genom DNA, yang panjang, pemananasan pada 94°C atau lebih dapat diterima, dan dalam kasus ini sebaiknya dilakukan prosedur start panas (“hot start PCR“). Dalam kasus menggunakan cetakan sasaran yang pendek dan dalam siklus denaturasi berikutnya, waktu 90 detik yang telah dibakukan menjamin bahwa tabung reaksi berada dalam keadaan panas yang cukup sampai mesin penyiklus termal otomatis mencapai temperatur 94°C. Bila PCR tidak berkerja sesuai dengan harapan, ada gunanya juga untuk mengukur temperatur dalam tabung yang mengandung 100 µl air. Temperatur denaturasi juga dipengaruhi oleh urutan DNA cetakan. Jika kandungan GC dari sasaran sangat tinggi, temperatur denaturasi yang lebih tinggi mungkin diperlukan; hanya saja, perlu diingat bahwa aktivitas polimerase Taq menurun pada kondisi tersebut.
Penempelan (“Annealing“). Penting untuk mempunyai primer yang menempel secara stabil pada cetakan. Primer dengan kandungan GC yang relatif kecil ( Sintesis. Temperatur ekstensi primer (sintesis serat DNA yang komplementer dengan cetakan) 72°C yang mendekati temperatur optimum polimerase Taq (75°C) mencegah primer untuk melepaskan diri. Sebenarnya ekstensi primer sudah dimulai selama tahap penempelan, karena polimerase Taq aktif secara sebagian mulai dari temperatur 55°C.
Waktu yang diperlukan tergantung sekali dengan panjang urutan yang akan diamplifikasi. Waktu tiga menit merupakan waktu yang cukup untuk sintesis beberapa kbp. Untuk jarak yang lebih panjang, meningkatkan waktu sampai 15 menit dapat meningkatkan hasil, tetapi waktu yang lebih lama lagi tampaknya tidak menolong sama sekali. Bila PCR telah dibakukan, waktu yang lebih pendek hendaknya dicoba. Ini mungkin dapat meningkatkan efisiensi dengan menurunkan gangguan termal yang dapat merusak polimerase Taq.
Berbagai protokol menutup PCR dengan ekstensi akhir yang panjang dalam upaya untuk membuat produk selengkap mungkin. Ini terutama sangat penting bila produk yang berujung rata dengan sempurna diperlukan untuk pengklonan atau pengurutan.
Waktu antara (“rump time“). Waktu antara adalah waktu yang diperlukan untuk mencapai temperatur yang diinginkan dari satu tahap ke tahap berikutnya. Waktu yang paling singkat dapat dicapai dengan manual, yaitu memindahkan tabung dari satu penangas air ke yang lainnya. Berbagai mesin penyiklus mempunyai rentang waktu yang berbeda, yang lebih singkat akan menghasilkan produk yang lebih baik.

PENERAPAN PCR
Pada prinsipnya, PCR telah meliputi berbagai bidang kehidupan manusia dan membuka peluang baru untuk studi tentang gen. Berikut ini disampaikan beberapa contoh penerapan PCR.

1. PCR digunakan untuk amplifikasi urutan DNA yang khas bagi manusia
Bila sel-sel manusia telah dilebur dengan sel-sel rodensia, kromosom manusia biasanya hilang dari sel hibrid, sehingga sel-sel hibrid yang mengandung hanya satu kromosom manusia, atau bahkan bagian dari kromosum manusia, dapat diproduksi. Sel-sel ini merupakan sumber DNA yang cukup untuk pengklonan bila fragmen dari kromosom yang dibawa olehnya membawa gen yang diinginkan. PCR yang disebut Alu-PCR merupakan cara sederhana untuk pemilahan dan amplifikasi hanya DNA manusia dari sel-sel hibrid. Metode ini menggunakan primer untuk urutan repetitif (ulangan) pada berbagai tempat sepanjang genom. Salah satu elemen ini, yang disebut pengulangan Alu, terdapat dalam jumlah 900.000 salinan pada genom manusia. Pengulangan Alu yang mempunyai panjang 300 bp sangat beragam, tetapi mempunyai urutan yang khas pada manusia. Dua oligonukleotida primer dapat dibuat, satu untuk masing-masing arah menggunakan bagian yang paling konsisten pada urutan tersebut. Primer tidak dapat digunakan bersama, karena masing-masing komplementer di antara sesamanya. Tetapi urutan Alu dapat terdapat pada salah satu arah DNA, sehingga primer dapat digunakan secara terpisah, dan urutan DNA khas bagi manusia dapat diamplifikasi bila terletak pada pengulangan Alu yang berdekatan, tetapi dengan arah yang berlawanan. Sejumlah fragmen DNA yang bervariasi dapat diperoleh tergantung pada ukuran DNA manusia pada sel-sel hibrid. Teknik ini digunakan secara luas untuk melacak dan mengisolasi DNA manusia dari DNA yang lain.

2. Produk PCR dapat diurutkan secara langsung
Seperti setiap DNA, produk PCR yang berserat ganda dapat diurutkan. Hal ini dapat menyingkat waktu yang sangat berarti dibandingkan dengan metode konvensional, dimana diperlukan DNA dalam jumlah yang besar dan tidak jarang harus dilakukan pengklonan sebelum urutannya dapat ditentukan. Hanya saja, karena sasaran (cetakan) berserat tunggal merupakan cetakan yang paling baik untuk pengurutan DNA dengan teknik yang paling umum digunakan yaitu “dedeoxy chain termination method“, teknik yang disebut PCR asimetrik telah dikembangkan untuk memperoleh cetakan berserat tunggal. Dalam teknik ini, PCR yang baku juga digunakan, hanya saja konsentrasi antara kedua primer berbeda dalam faktor 100. DNA serat ganda akan diproduksi sampai primer yang terbatas semuanya digunakan dan habis. Primer yang lain tetap menempel pada DNA dan memulai sintesis DNA, menghasilkan hanya salah satu dari serat DNA. Meskipun serat tersebut terkumpul dan dihasilkan secara linier, dan tidak eksponensial, DNA serat tunggal dapat diproduksi dalam jumlah yang cukup untuk reaksi pengurutan.

3. Deteksi Mutasi dengan Amplifikasi PCR
Mutasi terjadi pada kanker dan kelainan bawaan. Pengetahuan sifat mutasi pada pasien sangat penting untuk diagnosis dan terapi. Amplifikasi PCR sudah terbukti tidak terhingga nilainya untuk penilaian gen tertentu yang mengalami mutasi. PCR dapat digunakan juga untuk mengikuti perkembangan sel kanker setelah terapi. Berbagai kelainan bawaan juga telah berhasil didiagnosis dengan cara PCR.
Pada 1989, Harold Varmus dan J. Michael Bishop memperoleh hadiah Nobel dengan penemuan mereka bahwa onkogen yang dibawa oleh virus-virus RNA penyebab tumor merupakan bagian normal dari komponen sel. Kanker terjadi bila gen tersebut mengalami mutasi. Kemajuan penting dalam riset kanker terjadi kemudian dengan pengenalan bahwa berbagai kanker disebabkan oleh mutasi tertentu dan dapat direproduksi. Sebagai contoh, mutasi pada onkogen ras telah diidentifikasi pada berbagai kanker pada manusia, dan PCR telah digunakan untuk menganalisis pola dan frekuensi dari mutasi pada gen-gen RAS manusia (berdasarkan konvensi, onkogen manusia ditulis dengan hurup besar). Cuplikan dari sejumlah besar pasien dapat didiagnosis secara cepat dengan PCR. Studi dengan teknik ini menunjukkan bahwa berbagai bentuk malignansi limfoid mempunyai pola mutasi pada RAS yang beragam.
Analisis genetik mempunyai implikasi praktis yang penting untuk retinoblastoma, suatu kanker mata pada anak-anak yang disebabkan oleh mutasi suatu gen pada q14 dari kromosom 13 (“q“ menunjukkan tangan kromosom yang panjang dan “14“ berarti lokasi tertentu pada tangan tersebut). Ini merupakan retinoblastoma turunan pada mana terdapat mutasi dari salah satu alela retinoblastoma. Semua sel dari pesien yang bersangkutan mempunyai satu alela normal dan satu alela yang mengalami mutasi, dan satu-satunya mutasi pada alela normal diperlukan untuk berkembangnya kanker. Retinoblastoma juga dapat terjadi secara spontan pada orang yang tidak mempunyai alela mutan bawaan bila satu sel retina menderita dua mutasi, masing-masing satu dalam setiap alela. Jadi pada keluarga yang dengan hanya satu anggota yang terserang adalah sukar untuk melacak apakah retinoblastoma turunan terlibat di dalamnya. Hal ini sekarang dapat dilakukan dengan PCR dan pengurutan untuk menganalisis pada jaringan tumor dan jaringan normal penderita. Bila mutasi-mutasi pada pasien ditemukan hanya pada jaringan tumor, maka tumor tersebut terjadi secara spontan dan anak-anak dari penderita tidak mempunyai kecendrungan secara turunan untuk menderita retinoblastoma. Dalam kasus yang lain, bila mutasi ditemukan pada jaringan normal, maka kelainan tersebut merupakan kelainan bawaan.

4. PCR digunakan untuk pemantauan terapi kanker
Kemampuan untuk melacak lesi yang khas untuk sel tumor merupakan hal yang sangat bernilai bagi ahli dalam mencoba untuk menentukan apakah seorang pasien yang telah diobati terhadap leukemia sudah bebas dari sel malignan. Para dokter mungkin ingin menghentikan pengobatan dengan obat-obatan yang sitotoksik atau radiasi segera setelah kanker dihancurkan. Seperti telah diketahui, beberapa kanker muncul akibat translokasi kromosom yang menyangkut gen tertentu. Sebagai contoh, pada limfoma folikuler terjadi translokasi kromosom 14 dan 18. Dengan bentuk mutasi seperti itu sebagai penanda, sel kanker dapat dilacak dengan cara bloting konvensional berdasarkan Southern bila terdapat pada konsentrasi 1 di dalam 100 sel normal. Dengan demikian, pasien yang dianggap sudah bebas mungkin masih mempunyai sejumlah sel kanker yang besar. Sebaliknya, PCR mampu melacak sampai 1 sel kanker diantara 106 sel normal, sehingga merupakan indikator yang lebih peka. Dua primer PCR dipilih dari urutan di dekat titik patah kromosom. Kedua primer hanya dapat menempel bersama-sama pada tempat dimana terjadi translokasi kromosom, sehingga urutan di antara mereka dapat diamplifikasi.
Strategi serupa telah digunakan untuk pelacakan leukemia dengan bahan baku awal mRNA. Teknik ini mempunyai kelebihan, karena mRNA telah tersedia dalam jumlah yang besar sehingga sel-sel tumor mempunyai sejumlah salinan mRNA untuk satu gen.

5. PCR digunakan untuk melacak infeksi virus dan bakteri
Serupa dengan diatas, PCR dapat digunakan untuk memantau infeksi bakteri atau virus. Diagnosis konvensional didasarkan pada kemampuan untuk menumbuhkan agen pada biakan atau untuk melacak keberadaan mereka pada pasien dengan antibodi. Uji seperti itu dapat memerlukan waktu beberapa minggu sebelum diagnosis dapat ditegakkan, sementara uji yang kedua relatif kurang peka. Hal tersebut juga merupakan masalah penting untuk diagnosis AIDS atau untuk studi epidemiologi infeksi HIV. Seperti pada terapi kanker, tujuan utama diagnosis adalah melacak sel-sel terinfeksi, yang biasanya terdapat dalam jumlah yang kecil dari suatu cuplikan jaringan atau darah. Untuk melacak HIV, primer PCR dibuat untuk urutan virus yang khas, dan kemudian, PCR dilakukan dengan menggunakan DNA yang diekstraksi dari sel darah perifir. Pendekatan ini mampu melacak DNA virus HIV yang terintegrasi dalam sel terinfeksi. Infeksi aktif dapat dideteksi dengan pembuktian adanya virus RNA. Diagnosis infeksi ini dapat diteguhkan dengan PCR dengan bahan awal RNA yang sebelumnya telah disalin ke dalam urutan DNA komplementer (cDNA). Berbagai penyakit virus telah dapat didiagnosis dengan teknik PCR yang relatif lebih cepat dibandingkan dengan teknik konvensional.
Penyakit bekteri juga dapat didiagnosis dengan PCR. Salah satu yang penting misalnya tuberkulosis. Penyakit yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis ini sering sulit didiagnosis karena hanya sedikit mikroorganisme yang ada dalam meterial dari pasien untuk penegakan diagnosis secara histologis. Untuk itu, patogen harus diidentifikasi setelah ditumbuhkan pada biakan dan pengujian kepekaan antibiotika. Prosedur seperti itu dapat memerlukan waktu sampai dua minggu. PCR telah terbukti dapat mengatasi permasalahan tersebut. Amplifikasi PCR telah dapat dilakukan dengan primer untuk urutan di dalam suatu gen yang sangat konsisten pada berbagai spesies mikobakterium. Fragmen DNA yang diamplifikasi dapat dihibridisasi dengan pelacak DNA yang khas untuk spesies tertentu guna mengidentifikasi galur khas yang terlibat dalam kasus yang bersangkutan. Uji yang berdasarkan PCR telah terbukti jauh lebih cepat dan peka dibandingkan dengan teknik konvensional. Uji ini dapat melacak walaupun hanya terdapat satu bakteri diantara 106 sel inang. Dengan keunggulan seperti itu, PCR telah diaplikasikan untuk diagnosis rutin pada laboratorium mikrobiologi.

Gambar 3.
Contoh Hasil Reaksi PCR untuk Deteksi Virus Rabies. Genom virus yang merupakan serat RNA sebelumnya disalin menjadi cDNA dengan rekasi revers transkriptase (RT). Hasil PCR dielektroforesis pada gel agarose 1% dan divisualisasi dengan sinar ultraviolet setelah diwarnai dengan ethidium bromida. Pada jalur yang tertulis 10-2 sampai 10-7 , suspensi jaringan yang positif virus rabies diencerkan bertingkat 10. Ini menunjukkan bahwa konsentrasi DNA yang terlalu tinggi menghasilkan fragmen yang tidak khas. Sal, Sk, dan CSF adalah sampel anjing tersangka dari masing-masing saliva, kulit, dan cairan serobrospinal. Std adalah marker penanda berat molekul/panjang serat DNA standar. (Sumber: www.cdc.com).

6. Penetuan jenis kelamin pada sel prenatal
Satu bidang dimana analisis genetika sangat penting adalah dalam diagnosis prenatal. Untuk kelainan genetik menurun yang terkait dengan kromosom X yang menyerang hanya kelamin jantan, penentuan seks merupakan langkah pertama dalam diagnosis prenatal. Penentuan seks jantan dengan menggunakan DNA dapat dilakukan karena pria mempunyai urutan unik pada kromosom Y. Beberapa dari urutan berulang tersebut, sudah relatif mudah “diamplifikasi“ dibandingkan gen normal. Misalnya, urutan DYZ1 yang mempunyai panjang 3,5 kb terdapat dalam kromosom Y sampai sebanyak 5000 salinan. Teknik PCR dapat digunakan untuk memperbanyak suatu fragmen sepanjang 149 bp. dari urutan DYZ1 yang khas untuk anak laki-laki. Dalam satu percobaan untuk penentuan kelamin, peneliti mengambil satu sel tunggal dari masing-masing embryo manusia sebelum implantasi yang baru mempunyai 10 sel menggunakan alat manipulator mikro. Urutan DYZ1 dapat diamplifikasi menggunakan PCR dengan 60 siklus. Fragmen khas dapat diperoleh dari embryo laki-laki.
Prosedur ini sekarang telah digunakan pada klinik bagi keluarga yang mempunyai resiko kelainan genetik turunan yang terpaut pada kromosom X, dengan implantasi embryo yang telah dibiopsi pada ibu-ibu. PCR memungkinkan biopsi, penentuan kelamin, dan transfer janin ke rahim para ibu dapat dilakukan pada status reproduksi yang sama. Jenis kelamin dari janin diperiksa dengan analisis karyologis dari sel-sel vilus korionik.

7. Studi evolusi molekuler
Informasi genetika molekuler telah semakin sering digunakan dalam studi evolusi untuk menentukan tingkat kekerabatan antar spesies. Informasi tersebut digunakan kemudian untuk membuat pohon evolusi sama seperti metode komparatif klasik. Diasumsikan bahwa sejalan dengan evolusi suatu spesies, urutan-urutan asam nukleatnya juga membias. Pengukuran tingkat divergensi atau homologi nukleotida dapat digunakan untuk menentukan tingkat kekerabatan. Homologi dapat diukur dengan menentukan tingkat hibridisasi antara DNA total dari individu, dengan membandingkan perubahan urutan pada gen yang sama antara spesies-spesies atau gen mitokondria. Gen yang terakhir ini mempunyai kelebihan karena gen mitokondria tidak mengalami penyusunan kembali selama meiosis dan mempunyai tingkat mutasi yang tinggi, sehingga perubahan dapat ditentukan pada jangka waktu yang relatif lebih pendek.
Metode studi evolusi konvensional sering mengalami hambatan, karena memerlukan spesies yang masih hidup sebagai sumber DNA. Dengan sumber tersebut, hubungan antar spesies yang masih hidup dapat diamati secara langsung, tetapi hubungan dari organisme hidup dengan yang telah punah sulit dilakukan. Cuplikan jaringan dari spesies yang sudah punah atau yang populasinya jarang, yang tersimpan di musium di seluruh dunia adalah sumber DNA yang baik. DNA telah dapat disolasi dari sumber-sumber yang beragam, seperti kulit, mumi manusia, tanaman kering, dan bahkan jaringan lunak yang disimpan dalam pengawet. Hanya saja, molekul DNA dari sumber seperti itu umumnya tinggal sebagai fragmen-fragmen yang pendek akibat degradasi, rusak akibat mutagen dari lingkungan seperti sinar ultra violet, serta tercemar hebat oleh DNA bakteri. DNA yang seperti itu tidak dapat digunakan untuk studi dengan teknik pengklonan konvensional. Sebagai contoh, ukuran rata-rata fragmen DNA yang diklon dari mumi manusia yang berumur sekitar 4000 tahun adalah hanya 90 bp.
PCR telah mengubah situasi tersebut secara dramatis. Teknik ini dapat mengamplifikasi secara efisien fragmen DNA yang kecil yang masih tetap utuh dalam terok sekalipun fragmen yang utuh tersebut terdapat dalam jumlah yang sangat sedikit sekali. Polimerase Taq juga dapat mensintesis urutan target dalam panjang yang utuh sekalipun target tersebut terfragmentasi, tetapi masih mungkin tersedia dalam potongan-potongan yang saling tumpang tindih. Pada saat konsentrasi fragmen yang diamplifikasi meningkat, dua fragmen yang berbeda dapat saling menempel pada urutan yang saling tumpang tindih dan berfungsi sebagai primer. Dalam siklus berikutnya, masing-masing fragmen akan diekstensi menggunakan fragmen lawan sebagai cetakan, sehingga urutan target yang lengkap dapat disintesis.
Sebagai contoh, analisis DNA mitokondria telah digunakan menurut cara tersebut untuk menganalisis posisi filogenetik suatu srigala berkantong yang telah punah, Thylanicus cynocephalus. Urutan dari sitokrom b mitokondria dan RNA ribosum 12S diamplifikasi menggunakan DNA yang diisolasi dari spesimen musium dan dibandingkan dengan serigala sejenis yang masih hidup dan “opossum“ Amerika Selatan. Analisis urutan dari produk PCR menunjukkan dengan jelas, bahwa Thylanicus cynocephalus berhubungan dengan serigala berkantong tersebut.
PCR juga telah digunakan untuk memperbanyak urutan DNA dari berbagai fosil. Fosil-fosil dapat terbentuk dalam kondisi yang menyebabkan terjadinya proses pengawetan. Suatu daun dari fosil yang diduga berasal dari jaman “Miocene“ (18 juta tahun yang lalu) terawetkan sedemikian rupa sehingga masih berwarna hijau. DNA telah dapat diekstraksi dari fosil yang diambil dari batu karang dan digunakan untuk PCR dengan primer untuk sebagian dari gen yang menyandi enzim ribulosa 1,5 bifosfat karboksilase (rbcL). Yang mengherankan adalah bahwa ukuran fragmen yang tepat, yaitu 820 bp, dapat diproduksi dari molekul DNA yang berumur 18 juta tahun. Selanjutnya, PCR asimetrik digunakan untuk memperoleh molekul berserat tunggal untuk pengurutan. Perbandingan dari urutan rbcL dari tanaman fosil dengan gen rbcL dari tanaman-tanaman yang masih hidup menunjukkan bahma tanaman yang berasal dari jaman “Miocene“ tersebut merupakan keluarga Magnolia.
PCR juga telah digunakan dalam studi evolusi manusia. Sebagai contoh, urutan DNA mitokondria dari sebatang rambut segar diamplifikasi dengan PCR dan dianalisis untuk menentukan hubungan genealogis dengan suku Kung, yaitu suku aborigin dari Afrika Selatan yang berbicara dengan bahasa khas dan sampai sekarang tetap terisolasi secara genetik. Studi tersebut menyokong pernyataan bahwa DNA mitokondria manusia berasal dari Afrika.

8. Penggunaan PCR dalam kehakiman
Potensi penggunaan sidik jari DNA untuk meyakinkan identitas terok dalam ilmu kehakiman sebagai alat bukti yang akurat telah diakui secara nyata dan telah banyak digunakan. Nilai praktis ini tampak ketika terbukti bahwa DNA dapat diisolasi dari tetesan darah kering atau dari sperma dalam usapan kapas vagina yang telah tersimpan sampai selama dua tahun. DNA yang cukup untuk bloting Southern dapat diisolasi dari akar rambut yang masih segar, tetapi rambut pada kasus kriminal tidak selalu dalam kondisi yang baik. PCR dapat „menyelamatkan“ DNA dari rambut-rambut lepas yang telah berusia beberapa bulan dengan kandungan DNA yang kurang dari 1 ng. Polimorfisme pada DNA mitokondria dan gen HLA klas II DQa telah dianalisis dengan cara tersebut. Memperoleh DNA utuh dalam jumlah yang cukup dari material forensik akan selalu merupakan suatu masalah, dan PCR dapat mempunyai pengaruh yang besar pada bidang ini. Pertimbangan utama dalam penerapan PCR dalam forensik adalah cemaran dari contoh barang bukti oleh DNA lain dari tempat kejadian kriminal maupun dari DNA lain yang telah pernah diamplifikasi di laboratorium yang sama.

PENUTUP
Versatilitas dari PCR adalah luar biasa, dan kombinasi antara PCR dengan pengurutan DNA merupakan alat yang sangat penting untuk analisis gen. Demonstrasi yang paling spektakuler adalah identifikasi molekuler dari tanaman Magnolia yang berasal dari jaman “Miocene“. Dari tulisan singkat ini juga tampak bahwa PCR telah diterapkan pada berbagai disiplin ilmu. Pada 1985 baru tiga makalah tentang PCR dipublikasikan. Lima tahun kemudian, yaitu pada 1990, teknik ini telah digunakan dalam ribuan laboratorium di seluruh dunia. PCR telah terbukti mengubah nilai praktis dari genetika molekuler secara cepat.

DAFTAR PUSTAKA

Coen, D. M. dan Scarf, S. J., 1990. Enzymatic amplification of DNA by the polymarase chain reaction. standard procedures and optimization. Dalam Ausubel, F. M., Brent, R., Kingston, R. E., Moore, D. D., Seidman, J. G., Smith, J. A. und Struhl, K. (Eds): Current Protocols in Molecular Biology. Greene Pub. und Wiley, New York, 15.1.1-15.1.7.

Dorit, R. L. dan Ohara, O., 1990. Direct DNA Sequencing of polymerase chain reaction products. In Ausubel, F. M., Brent, R., Kingston, R. E., Moore, D. D., Seidman, J. G., Smith, J. A. und Struhl, K. (Eds): Current Protocols in Molecular Biology. Greene Pub. und Wiley, New York, 15.2.1-15.2.11.

Innis, M. A., Myambo, K. B., Gelfand, D.H. und Brow, M. A. D. (1988). DNA sequencing with Thermus aquaticus-DNA polymerase and direct sequenzing of polymerase chain reaction-amplified DNA. Proc. Natl. Acad. Sci. USA 85, 9436-9440.

Innis, M. A. und Gelfand, D. H. (1990). Optimization of PCRs. In Innis, M. A., Gelfand, D. H., Sninsky, J. J. und White, T. J. (Eds) : PCR Protocols : A Guide to Methods and Applications, Academic Press, California, 3-12.

Lowe, T., Sharefkin, J., Yang, S. Q. und Dieffenbach, C. W. (1990). A computer program for selection of oligonucleotide primers for polymerase chain reactions. Nucl. Acids Res. 18, 1757-1761.

McPherson, M. J., Quirke, P., dan Taylor, G. R. (Eds) (1992). PCR A Practical Approach. IRL Press, Oxford University Press, Oxford, New York, Tokyo.

Mullis, K., Faloona, F., Scharf, S., Saiki, R., Horn, G. und Erlich, H. (1986). Specific enzymatic amplification of DNA in vitro: the polymerase chain reaction. Cold Spring Harbor symp. Quant. Biol. 51, 263-273.

Saiki, R. K., Gelfand, D. H., Stoffel, S., Scharf, S. J., Higuchi, R., Horn, G. T., Mullis, K. B. und Erlich, H. A. (1988). Primer directed enzymatic amplification of DNA with a thermostable DNA-Polymerase. Science 239, 487-491.

Sambrook, J., Fritsch, E. F. und Maniatis, T. (1989). Melecular Cloning : a Laboratory Manual, 2nd Ed., Cold Spring Harbor Lab. Press, New York.

Scharf, J. S. (1990). Cloning with PCR. In Innis, M. A., Gelfand, D. H., Sninsky, J. J. und White, T. J. (Eds) : PCR Protocols : A Guide to Methods and Applications, Academic Press, California, 84-91.

Scharf, J. S., Horn, G. T. und Erlich, H. A. (1986). Direct cloning and sequence analysis of enzymatically amplified genomic sequences. Science 233, 1076-1073.

Watson, J. D., Gilman, M., Witkowski, J., dan Zoller, M., 1992. Recombinant DNA (Second Edition). Scientific American Books, New York.