Wed 6 Apr 2005
Evaluasi Penambahan Tepung Ikan pada Akhir Masa Kebuntingan Domba Lokal, Terhadap Konsumsi Pakan, Efisiensi Pakan, Kualitas Air Susu, Jumlah dan Mortalitas Anak
Posted by admin under Jvet Vol 4(2) 2003Evaluasi Penambahan Tepung Ikan
pada Akhir Masa Kebuntingan Domba Lokal,
Terhadap Konsumsi Pakan, Efisiensi Pakan,
Kualitas Air Susu, Jumlah dan Mortalitas Anak
(EFFECT OF FISHMEAL SUPPLEMENTATION ADMINISTERED DURING
THE LATE PREGNANCY ON FEED CONSUMPTION, FEED EFFICIENCY,
MILK QUALITY, LITTER SIZE, AND LAMB MORTALITY OF LOCAL EWES)
KOMANG G. WIRYAWAN1,2)*, MAMAN DULDJAMAN1),
TOGAR S.P. SITANGGANG3)
1) Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor
2) Pusat Studi Ilmu Hayati, Institut Pertanian Bogor
3) Mahasiswa Fakultas Pertanian, Universitas Juanda, Bogor
*Kampus IPB Darmaga, E-mail : [email protected]
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh penambahan tepung ikan pada l akhir masa kebuntingan domba loka terhadap konsumsi ransum, efisiensi pakan, kualitas air susu, jumlah dan mortalitas anak. Penelitian dilakukan dalam Rancangan Acak Lengkap dengan dua perlakuan yaitu R0 untuk kontrol (50% rumput lapang + 50% konsentrat Indofeed) dengan protein kasar 11% dan R1 terdiri dari 50% rumput lapang + 34% konsentrat Indofeed + 16% tepung ikan dengan protein kasar 18%. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penambahan tepung ikan cenderung meningkatkan konsumsi bahan kering dan efisiensi pakan tetapi secara statistika tidak berbeda nyata. Penambahan tepung ikan secara nyata (P
Kata kunci : tepung ikan, akhir masa kebuntingan, kualitas air susu, jumlah anak, kematian anak
ABSTRACT
An experiment was conducted to investigate the effect of fishmeal supplement on feed consumption, feed efficiency, milk quality, litter size and lamb mortality given during late pregnancy of local ewes. The experiment was carried out in completely randomized design with two treatments and four replications. The treatments consisted of R0 for control (50% native grass + 50% Indofeed concentrate) containing 11% crude protein and R1 (50% native grass + 34% Indofeed concentrate + 16% fishmeal) containing 18% crude protein. Results of the experiment indicated that although has no significant effect, fishmeal supplementation tended to increase feed consumption, and feed efficiency. However, addition fishmeal significantly (P
Key words : fishmeal, ewes late pregnancy, milk quality, litter size, mortality.
PENDAHULUAN
Ternak domba memegang peranan penting dalam pengadaan bahan makanan di Indonesia. Sebagai sumber protein hewani, ternak domba mempunyai potensi yang dapat diandalkan, karena populasinya yang cukup besar dan penyebarannya merata di seluruh lapisan masyarakat, khususnya daerah Jawa. Walaupun demikian masih banyak kendala dalam produksi dan pengembangannya di Indonesia. Di antara faktor-faktor tersebut adalah produktivitas dan performans yang rendah, tingkat kematian yang tinggi, laju pertumbuhan yang rendah, mutu makanan dan tatalaksana yang kurang mendukung. Selain itu, karena ternak domba banyak diusahakan dalam sistem produksi yang kecil dengan modal yang rendah menjadi salah satu faktor penghambat pula (Soehadji et al., 1989).
Berdasarkan kenyataan tersebut di atas, maka produksi ternak domba perlu ditingkatkan. Dalam hal makanan yang merupakan faktor penting guna memperoleh penampilan produksi ternak yang baik maka perlu diperhatikan kebutuhan nutrisi berdasarkan status fisiologis ternak, misalnya dalam masa kering, bunting, dan laktasi.
Pakan terdiri dari hijauan saja tidak akan dapat memenuhi kebutuhan nutrisi, karena kandungan nutrisinya yang rendah. Hal tersebut dapat menyebabkan ketidakcukupan gizi bagi ternak bunting dan menyebabkan kegagalan pertumbuhan janin (Egan, 1984). Oleh karena itu perlu menambahkan makanan penguat. Pada fase kebuntingan, makanan tidak saja penting bagi pertumbuhan janin dalam kandungan tetapi juga bagi induk untuk mempertahankan kondisi badannya. Pada masa akhir kebuntingan, peranan makanan bagi pertumbuhan janin sangat penting karena 70% dari proses pertumbuhan janin terjadi pada periode ini (Robinson et al.,. 1970 dalam Putu, 1989).
Peart (1967) dan Teacher (1970) dalam Putu (1989) mengatakan bahwa produksi air susu menurun akibat rendahnya kualitas kandungan nutrisi pakan yang diberikan pada ternak tersebut. Rendahnya kualitas pakan pada akhir masa kebuntingan padahal pertumbuhan janin pada periode ini sangat cepat akan mempengaruhi sifatnya sebagai induk pada saat melahirkan. Keadaan ini dapat meningkatkan angka kematian terutama beberapa jam setelah melahirkan.
Berdasarkan hal tersebut di atas, maka sangat diperlukan jenis bahan pakan yang bermutu baik guna mencukupi kebutuhan ternak, salah satunya adalah pemakaian tepung ikan. Tepung ikan merupakan salah satu bahan yang baik karena kaya akan protein yang berkualitas tinggi dan mempunyai nilai biologis yang tinggi pula (karena kandungan asam amino esensialnya cukup khususnya lisin dan metionin) serta memiliki energi metabolisme yang tinggi (Scott et al., 1982). Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh penggunaan tepung ikan dalam ransum basal terhadap konsumsi bahan kering, efisiensi penggunaan pakan, kualitas air susu induk dan mortalitas pada ternak domba lokal akhir masa kebuntingan.
MATERI DAN METODE
Delapan ternak domba bunting empat bulan, yang mempunyai bobot badan rata-rata 18,5 kg dengan umur rata-rata 20 bulan digunakan dalam penelitian ini. Ternak tersebut dipelihara sampai saat pra-sapih anak. Bahan yang digunakan adalah rumput lapang dan konsentrat dari Indofeed serta tepung ikan. Ransum diberikan sebanyak empat % dari bobot badan per ekor per hari.
Kandang yang digunakan adalah kandang individu berukuran 0,94m2, berlantai kayu yang terletak dalam gedung beratap asbes. Kandang dilengkapi dengan tempat pakan dan ember plastik sebagai tempat minum.
Ransum yang digunakan ada dua jenis yaitu R0 sebagai kontrol terdiri dari rumput lapang dan konsentrat Indofeed dengan perbandingan 50:50% dengan protein kasar sebesar 11 %. Ransum R1 sebagai perlakuan terdiri dari rumput lapang, konsentrat Indofeed dan tepung ikan dengan perbandingan 50:34:16%, yang mempunyai kandungan protein kasar sebesar 18%. Setiap perlakuan dilakukan empat kali ulangan. Konsentrat diberikan dua kali yakni pada pagi hari yaitu sebagian dari jumlah kebutuhan per hari per ekor diberikan sebelum kandang dibersihkan dan sebagian lagi setelah kandang bersih dengan jarak pemberian berikutnya sekitar dua jam yang diselingi pemberian rumput lapang. Air minum disediakan sebanyak 3000 ml per ekor per hari. Semuanya diberikan pada pagi hari (antara pukul 06.00-11.00 WIB).
Tabel 1. Kandungan Zat Makanan Rumput Lapang, Konsentrat Indofeed dan Konsentrat Indofeed + Tepung Ikan (%)
Zat Makanan Bahan Makanan
Rumput lapang Konsentrat Indofeed Konsentrat Indofeed + Tepung Ikan
Bahan keringAbuProtein kasarSerat kasarLemakBeTNTDNCalsiumPhospor 61,84,56,022,91,527,018,70,40,3 86,48,016,07,04,051,464,7– 80,212,629,47,26,025,150,63,21,5
Rancangan yang digunakan dalam penelitian ini adalah rancangan acak lengkap (ral). Pengaruh perlakuan terhadap perubahan yang diamati dapat diketahui dengan melakukan uji sidik ragam dan perbedaan antar nilai rata-rata peubah yang diamati diuji dengan menggunakan uji beda nyata jujur (Uji Turkey).
Peubah yang diamati adalah: konsumsi bahan kering, efisiensi penggunaan pakan, kualitas air susu, jumlah dan tingkat mortalitas anak. Kualitas air susu diuji di laboratorium pada hari ke satu, dua, dan tiga (kolostrum) serta hari kesepuluh, sebelas, dan duabelas (susu biasa). Komponen yang dianalisis adalah protein kasar, lemak susu, dan bahan kering. Mortalitas adalah jumlah anak domba yang mati mulai dari hari kelahirannya sampai prasapih (umur lima minggu).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Konsumsi Bahan Kering Ransum
Konsumsi bahan kering ransum sangat dipengaruhi oleh aseptabilitas dan palatabilitas bahan makanan penyusunnya. Konsumsi bahan kering erat hubungannya dengan pertambahan bobot badan dan produksi lain seperti produksi susu. Rataan konsumsi ransum, dapat dilihat pada Tabel 2.
Rataan konsumsi bahan kering ransum induk selama penelitian, sebelum melahirkan dan sesudah melahirkan secara berturut-turut adalah 648,1; 630,2; 657,6 g/ekor/hari untuk R0 dan 785,3; 756,3; 793,8 g/ekor/hari untuk R1. Bila diperhatikan, ransum R1 yang mempunyai kandungan protein kasar lebih tinggi (18%) dari pada ransum R0 (11%) mempunyai rataan konsumsi bahan kering yang lebih tinggi pada semua pengamatan yaitu selama penelitian, sebelum partus dan sesudah partus, tetapi secara statistika tidak berbeda nyata. Tingginya rataan konsumsi bahan kering ransum tersebut, mungkin disebabkan palatabilitas ransum yang ditambahkan tepung ikan lebih tinggi.
Rataan konsumsi bahan kering ransum perlakuan (R1) yang diperoleh dalam percobaan ini lebih tinggi bila dibandingkan dengan penelitian pada domba dengan bobot badan 14,5 kg mengkonsumsi bahan kering sebesar 715 g/ekor/hari, dan lebih rendah pada domba yang diberi ransum basal (R0). Pada hasil penelitian Kearl (1981), konsumsi bahan kering ransum induk menjelang kelahiran (sebelum partus) adalah 1,2 kg/ekor/hari lebih tinggi daripada hasil yang diperoleh pada percobaan ini baik untuk R0 sebesar 630,2 maupun untuk R1 sebesar 756,3 g/ekor/hari. Perbedaan ini mungkin disebabkan oleh jenis pakan yang berbeda. Menurut Gatenby (1986) dan Kearl (1982), bahwa bahan kering ransum yang dikonsumsi domba akan dipengaruhi oleh jenis ransum yang diberikan. Penyebab lain mungkin disebabkan oleh bobot badan, umur dan jenis ternak yang berbeda.
Tabel 2. Rataan Konsumsi Bahan Kering Ransum Selama Penelitian, Sebelum Partus dan Sesudah Partus (g/ekor/hari)
PeriodePengamatan Perlakuan
R0 R1
Selama penelitian 648,1 ± 189,1 785,3 ± 130,1
Sebelum partus 630,3 ± 160,6 756,3 ± 43,1
Sesudah partus 657,4 ± 198,3 793,8 ± 153,3
Konsumsi bahan kering ransum setelah partus pada percobaan ini jauh lebih tinggi bila dibandingkan dengan konsumsi bahan kering ransum selama penelitian dan sebelum partus, yaitu untuk R0 sebesar 657,6 dan untuk R1 sebesar 793,8 g/ekor/hari. Keadaan ini sesuai dengan yang dilaporkan Chaniago (1987), bahwa kebutuhan nutrisi pada periode laktasi paling tinggi dibandingkan dengan periode lain dalam siklus reproduksi. Ini disebabkan karena permintaan fisiologis tubuh yang lebih besar pada saat laktasi dari pada saat bunting (Gatenby, 1986), karena zat makanan yang dikonsumsi tidak hanya dipakai oleh induk tapi juga untuk memproduksi susu.
Efisiensi Penggunaan Ransum
Efisiensi penggunaan ransum merupakan suatu nilai penting yang menggambarkan banyaknya pertambahan bobot badan yang dihasilkan dari satu kilogram ransum. Semakin tinggi pertambahan bobot badan dengan pemberian ransum per satuan unit menunjukkan efisiensi ternak dalam memanfaatkan ransum yang dikonsumsi.
Pada Tabel 3, diperlihatkan efisiensi penggunaan ransum oleh induk domba yang mendapat perlakuan (R1) dan tanpa perlakuan (R0) baik selama penelitian, sebelum partus dan sesudah partus. Rataan efisiensi penggunaan ransum R0 pada pengamatan selama penelitian dan sesudah partus adalah -0,0022 dan 0,0830 sedangkan ransum R1 adalah -0,0356 dan 0,0362. Pada pengamatan sebelum partus adalah 0,1729 untuk R0 dan 0,2346 untuk R1.
Penambahan kandungan protein kasar dari 11% (R0) menjadi 18% (R1), tidak nyata mempengaruhi efisiensi penggunaan ransum oleh induk selama penelitian dan sesudah partus, sedangkan sebelum partus ada kecenderungan mempengaruhi efisiensi penggunaan ransum, walaupun secara statistika tidak nyata. Ketidakefisienan penggunaan ransum oleh induk, mungkin disebabkan ransum yang dikonsumsi lebih banyak dimanfaatkan induk dalam menghasilkan susu dibandingkan dalam membentuk bobot badan. Penyebab lain mungkin disebabkan kondisi induk, jumlah dan kondisi anak domba yang dilahirkan.
Tabel 3. Rataan Efisiensi Penggunaan Ransum Induk
PeriodePengamatan Perlakuan
R0 R1
Selama penelitian -0,0022 ± 0,0981 -0,0356 ± 0,0230
Sebelum partus 0,1729 ± 0,0700 0,2346 ± 0,0400
Sesudah partus 0,0830 ± 0,1190 0,0212 ± 0,0346
Hasil percobaan ini, tidak sesuai dengan pernyataan Siahaan (1973), yang menyatakan bahwa ransum-ransum dengan protein dan energi yang tinggi akan lebih efisien penggunaannya oleh seekor ternak. Perbedaan ini mungkin disebabkan oleh jenis ternak, umur dan status fisiologis yang berbeda.
Kualitas Air Susu Domba
Kualitas air susu yang diproduksi oleh ternak dipengaruhi oleh kuantitas dan kualitas ransum yang diberikan, di samping itu juga dipengaruhi oleh kondisi induk, iklim, dan lain-lain. Produksi air susu pada hari pertama sampai ketiga sering disebut “kolostrum”. Zat makanan yang terdiri dari protein, vitamin, antibodies, dan mineral ini harus diberikan pada anak domba selama tiga sampai empat hari setelah partus, karena kolostrum ini baik bagi anak domba dalam meningkatkan dan mempertahankan daya tahan tubuh. Menurut Sudono (1985), pemberian kolostrum sangat diperlukan oleh seekor pedet yang baru lahir, karena mempunyai sifat pencahar dan menggertak alat pencernaan pedet supaya dapat bekerja dengan baik. Gatenby (1986) menambahkan bahwa air kolostrum mempunyai peranan penting untuk kelangsungan hidup dan pertumbuhan anak domba.
Bila diperhatikan pada Tabel 4, rataan kandungan nutrisi air susu domba yang tertinggi adalah pada hari pertama sampai hari ketiga, ini mungkin disebabkan kadar air yang terdapat dalam air susu tersebut lebih rendah dan tampak lebih kental serta berwarna putih kekuning-kuningan dibandingkan pada hari kesepuluh sampai keduabelas.
Pada Tabel 4, terlihat bahwa penambahan tepung ikan dalam ransum basal dengan kandungan protein kasar sebesar 18% sangat nyata (P
Tabel 4. Rataan Kandungan Nutrisi Air Susu Domba (Protein, Lemak dan Bahan Kering) Hari Pertama Sampai Hari Ketiga dan Hari Kesepuluh Sampai Hari Keduabelas.
KandunganNutrisi Perlakuan
Hari ke-1 sampai ke-3 Hari ke-10 sampai ke-12
R0 R1 R0 R1
Protein (%) 7,5 ± 0,5 9,9** ± 0,2 4,8 ± 0,7 7,3** ± 0,5
Lemak (%) 6,3 ± 0,5 7,6** ± 0,3 4,6 ± 0,1 5,4** ± 0,2
Bahan Kering (%) 12,8 ± 0,7 15,7** ± 0,7 11,1 ± 0,2 12,9** ± 0,1
** berbeda sangat nyata (P
Protein air susu domba
Rataan kandungan protein air susu domba pada hari pertama sampai hari ketiga dan hari kesepuluh sampai hari keduabelas pada masing-masing perlakuan adalah 7,51, 4,8 % untuk R0 dan 9,9, 7,3 % untuk R1, Kandungan protein air susu hari pertama sampai hari ketiga (kolostrum) lebih tinggi daripada hari kesepuluh sampai hari keduabelas (susu harian). Namun kandungan protein ini lebih rendah bila dibandingkan dengan kandungan protein air susu domba West African Dwarf (20%) yang berasal dari Nigeria (Adu dan Ngere, 1979).
Untuk kandungan protein air susu domba harian (hari kesepuluh sampai hari keduabelas) yang diberi perlakuan (R1) cukup tinggi, yaitu 7,3%, dibandingkan dengan kandungan protein air susu domba Awassi yang berasal dari Lebanon sekitar 6,5% (Bhattacharya dan Harb, 1973) dan domba Pelibuey yang berasal dari Meksiko 5,6 % (Castella Dos Ruelas dan Zarazva, 1982) serta domba Shropshire yang berasal dari Filipina sebesar 4,7 % (Villegas dan Cruz, 1960). Perbedaan ini mungkin disebabkan jenis ternak, musim, dan ransum yang berbeda.
Uji sidik ragam yang dilakukan, menunjukkan terdapat perbedaan kadar protein air susu domba (P
Lemak Air Susu Domba
Rataan kandungan lemak air susu domba pada hari pertama sampai hari ketiga sebesar 6,3% untuk R0 dan 7,6% untuk R1. Pada hari kesepuluh sampai hari keduabelas mempunyai rataan kandungan lemak air susu domba sebesar 4,6% untuk R0 dan 5,4% untuk R1. Tampak kandungan lemak air susu domba pada hari pertama sampai ketiga lebih tinggi daripada hari kesepuluh sampai keduabelas, dan rataan kandungan lemak air susu domba setelah ditambahkan tepung ikan lebih tinggi baik pada hari pertama sampai hari ketiga dan hari kesepuluh sampai hari keduabelas.
Kabbali (1977), melaporkan bahwa air susu domba Beni Ahsen di Maroko mengandung 9,9 % lemak, tetapi dilaporkan bahwa air susu domba Awassi di Irak mengandung 5,3 % lemak. Villegas dan Cruc (1960), melaporkan bahwa air susu domba Shropshire di Filipina mengandung lemak sebesar 7,8%. Bila dibandingkan, maka kandungan lemak air susu domba dalam percobaan ini hampir sama dengan bangsa domba lain di berbagai tempat, hanya pada hari kesepuluh sampai keduabelas tanpa penambahan tepung ikan (R0) kandungannya lebih rendah yaitu 4,6%.
Uji sidik ragam menunjukkan terdapat perbedaan kandungan lemak air susu domba pada kedua pengamatan (P
Bahan Kering Air Susu Domba
Rataan kandungan bahan kering air susu domba pada hari pertama sampai hari ketiga sebesar 12,8% untuk R0 dan 28,3% untuk R2, sedangkan pada hari kesepuluh sampai hari keduabelas sebesar 11,1% untuk R0 dan 12,9% untuk R1 (Tabel 4). Kandungan bahan kering air susu domba dalam percobaan ini baik hari pertama sampai hari ketiga dan hari kesepuluh sampai hari keduabelas lebih rendah dari hasil yang diperoleh Eliya et al., (1972) sebesar 16,2 % pada domba Awassi di Irak dan 16,6% pada domba West African Dwarf di Nigeria (Adu dan Ngere, 1979). Perbedaan ini mungkin disebabkan karena perbedaan cara pemeliharaan, iklim, makanan yang diberikan dan tingkat laktasi (Eackles et al., 1980).
Tapi dalam percobaan ini, tampak secara nyata (P
Jumlah dan Mortalitas Anak
Jumlah anak yang lahir pada kontrol (R0) adalah lima ekor dan tujuh ekor anak dari induk-induk yang diberi penambahan tepung ikan (R1), sehingga jumlah anak yang lahir keseluruhannya adalah 12 ekor. Umumnya kematian anak domba terjadi pada hari pertama sampai hari ketiga. Mortalitas anak yang tinggi terjadi pada induk yang diberi ransum yang ditambahkan tepung ikan (R1) sebanyak empat ekor atau 57,1% dan induk yang tidak diberi penambahan tepung ikan (R0) adalah satu ekor atau 20%. Secara keseluruhan (R0 dan R1), mortalitas pada percobaan ini adalah lima ekor atau 41,7%. Penyebab kematiannya yang diketemukan adalah akibat tertindih oleh induk pada malam hari, karena induk umumnya melahirkan pada malam hari, sehingga terlambat mendapatkan bantuan. Disamping itu ukuran kandang beranak yang dipakai dalam percobaan ini kecil yaitu 0.94 m2. Menurut Rangkuti et al., (1991), ukuran kandang domba induk yang sedang menyusui adalah 1.0 m2 ditambah 0.5 m2 untuk setiap ekor anak yang disusui.
Tingkat mortalitas pada percobaan ini baik pada R0 dan R1 lebih tinggi dari yang dikemukakan oleh Sutama (1988), yaitu 14% sampai 17%, sedangkan pada R0 tingkat mortalitasnya lebih rendah bila dibandingkan dengan hasil yang diperoleh oleh Chaniago (1987), yaitu sekitar 21% pada induk domba yang diberi suplementasi pakan pada empat minggu menjelang kelahiran dan 12 minggu masa laktasi.
Tingginya mortalitas anak pada induk-induk yang ditambahkan tepung ikan (R1), selain penyebab di atas mungkin disebabkan kondisi induk yang tidak mampu memelihara anaknya yang lebih dari satu atau kembar. Ini sesuai dengan hasil penelitian Sutama (1988), bahwa induk yang mempunyai anak kembar atau lebih, akan mempunyai ketidakmampuan dalam memelihara anak-anaknya dan gagal untuk tetap menjaga kontak yang baik dengan anak-anaknya.
KESIMPULAN
Penambahan tepung ikan dalam ransum basal cenderung meningkatkan konsumsi bahan kering dan efisiensi penggunaan ransum walau pun secara statistika tidak berbeda nyata, dan penambahan ini sangat nyata meningkatkan kandungan bahan kering, protein kasar dan lemak air susu. Disamping itu penggunaan tepung ikan meningkatkan jumlah anak yang dilahirkan tetapi karena manajemen yang kurang baik justru meningkatkan mortalitas anak.
DAFTAR PUSTAKA
Adu, I.F., L.O.Ngere. 1979. The Indigenous Sheep of Nigeria. World Review of Animal Production 15(3): 51-62.
Bhatatacharya, A.N., M. Harb. 1973. Sheep Production on Natural Pastures by Roaming Bedouins in Lebanon. Journal of Range Management, 26:266-9.
Chaniago, T.D. 1987. Effect of Peri-Mating and Peri-Partum Suppelementery Feeding on the Production of Indonesian Female Sheep and Goat. Disertasi Fakultas Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Egan, A.R. 1984. Nutritional for Reproduction in: Lindsay, D.R. and T.D. Pearse. 1984. Reproduction in Sheep. Australian Academy of Science. Canberra.
Eliya, J., K.H. Juma., M. Al-Shabibi. 1972. A Note on the Composition and Properties of Awassi Milk, Egyption Journal of Animal Production. 12:51-5.
Gatenby, R.M. 1986. Sheep Production in The Tropics and Sub-tropics. Longman. London and New York.
Kabbali, A. 1977. Etude de la Prodeuction Laitiere et dela Croissance des agneaux de brebis timahdite et Beni-Hsen: Influence du Niveau Energetique (Study of Milk Production and Lamb Growth in Middle Atlas and Beni Ahsen Sheep: Effect of Energy Level). Hommes, Terre et Eaux. 6(25):31-43.
Kearl, L.C. 1982. Nutrient Requirement of Ruminants in Developing Countries. International Feedstuffs Institute, Utah Agricultural Experiment Station. Utah State University Logam, Utah.
Putu, I.G. 1989. Proceeding: Pertemuan Ilmiah Ruminansia Jilid 2. Ruminansia Kecil. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. Bogor.
Rangkuti, M., A. Setiadi, A. Rossyat dan S. Solich. 1991. Pedoman Praktis. Beternak Kambing-Domba sebagai Ternak Potong. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian, Bogor.
Ruelas, C.A., M.N. Zarazua, 1982. Quantitative and Qualitative Study of Milk Production of the Pelibuey Sheep. Topical Animal Production. 7:232-40.
Siahaan, M.S. 1973. Pengaruh Kelamin dan Pemberian Makanan Penguat dalam Ransum terhadap Pertambahan Bobot Badan Domba. Thesis. Fakultas Peternakan, IPB. Bogor.
Sudono, A. 1985. Produksi Sapi Perah. Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Sutama, I.K. 1988. Peningkatan Produksi Ternak Domba melalui Manipulasi Proses Reproduksi. Dalam Hasil Tugas Pengembangan Usaha Ternak Domba di Jawa Tengah. Dirdjopratomo, W. dkk (Ed). BIP Ungaran, Dinas Pertanian Propinsi Jawa Tengah.
Scott, M.L., M.C. Neshei and R.J. Young. 1982. Nutrition of the Chicken. 2nd ed. M.L. Scott and Associates. Ithaca. New York.
Soehadji, A. Djajanegara dan A. Jahi. 1989. Priorities for Research and Development on Small Ruminants in Indonesia. in Proceedings of the Inaugural Meeting and Launching of the Asian Small Ruminant Informations Centre, Kuala Lumpur . 1989. IDRC. 1990.
Villegas, V., E.C. Cruz. 1960. Ewes for Dairy Purpose, Philipine Journal of Animal Industry. 21: 39-42.