Cendawan dan Permasalahannya Terhadap Kesehatan Hewan*

(PROBLEMS OF MYCOLOGICAL ANIMAL HEALTH ASPECTS)

SUKARDI HASTIONO

Balai Penelitian Veteriner
Jalan RE martadinata 30, PO Box 151, Bogor 16114
ABSTRAK
Makalah ini bertujuan menginformasikan kepada para dokter hewan baik di tempat praktek maupun di lapangan tentang gangguan mikotik yang dapat menimbulkan masalah bagi kesehatan hewan. Gangguan mikotik merupakan salah satu gangguan kesehatan pada hewan, di samping gangguan bakterial (oleh bakteri), gangguan viral (oleh virus), dan gangguan parasitik (oleh parasit). Gangguan mikotik disebabkan oleh cendawan, dan cendawan terdiri atas jamur, kapang, dan khamir. Ketiganya dapat mengganggu kesehatan hewan dalam bentuk: (1) mikosis, yaitu infeksi invasif cendawan ke dalam tubuh, yang biasanya disebabkan oleh kapang dan khamir patogenik; (2) mikotoksikosis, yaitu peracunan akibat pengonsumsian pakan/bahan pakan yang tercemar oleh kapang toksigenik (kapang penghasil racun yang disebut mikotoksin) dan misetismus, yaitu peracunan akibat pengonsumsian jamur beracun; dan (3) alergi cendawan, yaitu alergi akibat menghirup udara yang dicemari oleh spora kapang dan aktinomiset alergenik. Atas dasar tingkat bahaya dan frekuensi kejadiannya, maka mikotoksikosis merupakan gangguan mikotik yang paling dominan pada hewan, disusul kemudian dengan mikosis, lalu alergi cendawan, yang kejadiannya pada hewan sangat jarang. Pencemaran lingkungan yang belakangan ini semakin marak, menimbulkan gangguan mikotik pada hewan, khususnya mikotoksikosis, menjadi sedemikian mengemuka dan banyak dilaporkan sehingga keberadaannya perlu diwaspadai.
Kata kunci: Kesehatan hewan, gangguan mikotik, mikosis, mikotoksikosis, alergi cendawan

J Vet 2003 .. (..): ..-..
ABSTRACT
The objective of this paper is to inform practicians and field veterinarians about mycotic disturbances that cause health problems in animals. Mycotic disturbances are one of health disturbances besides bacterial, viral, and parasitic disturbances in animals caused by bacteria, viruses, and parasites respectively. Mycotic disturbances are caused by fungi, and fungi are consisted of mushrooms, moulds, and yeasts. They may disturb animal health in the form of: (1) mycoses, invasive infections of fungi into animal body, usually caused by pathogenic moulds and yeasts; (2) mycotoxicoses, poisonings resulted from consumption of feed or feed stuff contaminated by toxigenic moulds (toxin producing moulds, namely mycotoxins) and mycetisms, poisonings resulted from consumption of poisonous mushrooms; and (3) fungal allergies, allergies resulted from inhalation of air contaminated by allergenic moulds and actinomycetes spores. According to the hazard and the frequency of their incidences, mycotoxicoses is the most dominant mycotic disturbances in animals, followed by mycoses, and then fungal allergies, the incidences of which are very rare in animals. Nowadays, the increase of environmental contamination has resulted in mycotic disturbances in animals, especially mycotoxicoses, becoming so prominent and are often reported, making that their presence needs to be alerted.
Key words: Animal health, mycotic disturbances, mycoses, mycotoxicoses, fungal allergies

J Vet 2003 .. (..): ..-..

* Disampaikan pada Pertemuan Ilmiah/Temu Karya Kesehatan Hewan Nasional,
Direktorat Kesehatan Hewan, Direktorat Jenderal Bina Produksi Peternakan,
Departemen Pertanian, di Bandung, 24-26 Oktober 2001.

PENDAHULUAN
Gangguan kesehatan pada hewan ditimbulkan oleh pengaruh dari dalam dan pengaruh luar tubuh. Pengaruh dalam biasanya terjadi oleh adanya gangguan fungsi alat-alat tubuh, misalnya gangguan hormonal, sedangkan pengaruh luar biasanya berupa gangguan fisik, kimiawi, dan biologik. Gangguan fisik misalnya luka bakar, luka oleh benda tajam, dan memar oleh benda tumpul; gangguan kimiawi misalnya keracunan obat atau bahan toksik; sedangkan gangguan biologik terjadi oleh pengaruh mahluk berderajat rendah, berupa infeksi oleh mikroorganisme, atau serangan parasit dan hama. Mikroorganisme yang lazim menginfeksi ialah virus, bakteri, protozoa, dan cendawan (kapang, khamir), sedangkan parasit dan hama yang biasa menyerang hewan antara lain cacing, serangga, dan berbagai jenis kutu, caplak, tungau, dan pinjal.
Virus, bakteri, parasit, dan cendawan sering menjadi penyebab terganggunya kesehatan hewan, terutama yang dapat menimbulkan penyakit menular. Gangguan kesehatan yang ditimbulkan olehnya disebut gangguan viral, gangguan bakterial, gangguan parasitik, dan gangguan mikotik. Cendawan, dalam dunia tumbuhan (botani) tergolong tumbuhan berderajat rendah yang disebut Thallophyta. Thallophyta itu sendiri menurut Hastiono (2000) secara taksonomik terdiri atas ganggang (alga), lumut kerak (lichen), dan cendawan (fungi).
Seperti telah diketahui, ilmu yang mempelajari cendawan disebut mikologi, dan mikologi bersama dengan virologi, bakteriologi dan parasitologi (masing-masing mempelajari virus, bakteri dan parasit) merupakan cabang biologi.
Dalam makalah ini diuraikan bermacam-macam gangguan mikotik, yang dapat menimbulkan berbagai masalah bagi kesehatan hewan. Uraian ini penting, karena para dokter hewan lapangan dan praktisi belum banyak yang mengetahui gangguan kesehatan pada hewan yang disebabkan oleh cendawan dan belum mengetahui pula bahwa gangguan mikotik tidak dapat dipisahkan dari gangguan kesehatan oleh virus, bakteri, dan parasit. Pada manusia, gangguan mikotik, khususnya mikosis, terutama mikosis kulit, telah lama mendapat perhatian yang cukup besar, karena penyakit ini merupakan bagian dari penyakit kulit (dermatitis) yang menjadi salah satu bidang spesialisasi kedokteran manusia.
GANGGUAN MIKOTIK PADA HEWAN
Dalam bidang mikologi, organisme yang berperan dalam mempengaruhi kehidupan makhluk lain di atas bumi ini ialah cendawan (fungus), yang secara morfologik ada tiga kelompok, yaitu jamur (mushrooms), kapang (moulds), dan khamir (yeasts) (Hastiono, 2000). Cendawan ini dalam kehidupannya mampu mengubah mahluk hidup (manusia, hewan, dan tumbuhan) dan benda mati menjadi sesuatu yang menguntungkan atau merugikan (Hastiono, 1986; 2000).
Salah satu perubahan yang merugikan bagi mahluk hidup ialah gangguan mikotik. Pada tumbuhan, gangguan mikotik itu berupa mikosis, yaitu penyakit oleh infeksi cendawan, baik pada sebagian maupun pada seluruh tubuh tumbuhan yang diserangnya. Sementara itu pada manusia dan hewan, gangguan mikotik itu berupa mikosis (penyakit), mikotoksikosis dan misetismus (peracunan), dan alergi cendawan (Thompson, 1969; Hastiono, 1977). Pada manusia, gangguan mikotik yang paling menonjol ialah mikosis, lalu alergi cendawan, kemudian mikotoksikosis dan misetismus, sedangkan pada hewan, urutannya ialah mikotoksikosis (misetismus jarang terjadi), mikosis, dan alergi cendawan (yang kejadiannya juga jarang).
Menurut beberapa pustaka, penyakit-penyakit yang disebabkan oleh aktinomiset (sejenis bakteri berfilamen) baik pada hewan (Jungerman dan Schwartzman, 1972; Ainsworth dan Austwick, 1973) maupun pada manusia (Ajello et al., 1966; Al-Doory, 1980; Chandler et al., 1980), dimasukkan ke dalam penyakit mikotik (mycotic diseases) sehingga penyakitnya (disebut juga aktinomisetosis), disejajarkan dengan mikosis.
Berdasarkan sistematika Hastiono (1977), gangguan mikotik pada hewan dikelompokkan menjadi mikosis dan aktinomisetosis, mikotoksikosis dan misetismus, dan alergi cendawan. Dalam rangka mengantisipasi perkembangan terakhir dalam bidang mikologi, maka komposisi penyakit/gangguan di dalam masing-masing kelompok mengalami sedikit perubahan (Tabel 1). Dalam makalah ini, setiap penyakit/gangguan yang terdapat pada Tabel 1 tidak diuraikan secara rinci, melainkan disebutkan nama-namanya saja, sekedar untuk pengenalan. Uraian yang agak lebih rinci dilakukan terhadap penyakit/gangguan yang secara ekonomik dinilai penting.
MIKOSIS DAN AKTINOMISETOSIS
Mikosis
Mikosis, atau disebut juga penyakit mikotik atau penyakit cendawan, merupakan infeksi akibat invasi aktif cendawan patogenik pada hewan mulai dari permukaan kulit sampai ke dalam tubuh. Pada permukaan tubuh atau di dalam tubuh inang itu cendawan patogenik tumbuh dan berkembang biak dengan jalan mengambil zat-zat makanan yang seharusnya digunakan untuk tubuh inang sehingga tubuh inang menjadi sakit. Berikut ini disajikan sejumlah mikosis yang terjadi pada hewan :
Mikosis Superfisial dan Kutan
Mikosis superfisial adalah infeksi cendawan patogenik yang menginvasi lapisan luar kulit (epidermis). Termasuk ke dalam kategori ini ialah pitiriasis, piedra hitam dan piedra putih. Ketiganya merupakan penyakit yang secara ekonomik tidak penting (Ainsworth dan Austwick, 1973).
Infeksi cendawan patogenik yang masuk sampai ke dalam jaringan kulit (dermis), disebut mikosis kutan, dan yang termasuk ke dalam kategori ini ialah dermatofitosis.
1. Dermatofitosis (ringworm, tinea, favus pada unggas, kurap, atau kadas), merupakan mikosis yang bersifat zoonosis, disebabkan oleh kapang dermatofit dari marga (genus) Microsporum, Trichophyton, dan Epidermophyton (Ainsworth dan Austwick, 1973). Berbagai spesies dari ketiga genus kapang ini dapat menginfeksi kulit, bulu/rambut, dan kuku/tanduk dalam berbagai intensitas infeksi. Hampir semua jenis hewan dapat diserangnya, dan penyakit yang ditimbulkan secara ekonomi penting. Pada hewan kesayangan (pet animals), terutama anjing dan kucing, Kapang dermatofit yang sering dilaporkan sebagai penyebab ringworm pada hewan dan manusia ialah Microsporum canis, Microsporum gypseum, dan Trichophyton mentagrophytes (Rebell dan Taplin, 1970).
Mikosis Subkutan dan Intermediat
Pada kelompok ini, infeksi cendawan ada yang hanya sampai ke bawah kulit (subkutan) dan ada pula yang sampai ke beberapa organ dan jaringan tubuh tertentu (intermediat), namun belum sampai menyeluruh tubuh (sistemik), dan antara mikosis subkutan dan mikosis intermediat tidak ada batas atau perbedaan yang jelas. Mikosis dalam kategori ini jumlahnya cukup banyak. Di antaranya yang bernilai ekonomik penting ialah Sakaromikosis pada kuda, serta aspergilosis dan kandidiasis pada unggas, khususnya ayam.
2. Sakaromikosis (selakarang, limfangitis epizootika), disebabkan oleh Histoplasma farciminosum, suatu cendawan dimorfik (memiliki dua fase kehidupan: fase parasitik di dalam tubuh berujud khamir dan fase saprofitik di luar tubuh berujud kapang/miselial). Penyakit ini menyerang kuda, keledai, bagal, dan unta. Cendawan ini bersifat menular dan diduga ditularkan oleh lalat, menyebar secara endemik, dan sulit diberantas. Gejalanya berupa timbulnya simpul-simpul limfatik subkutis, terutama di daerah kaki dan leher, serta membentuk sederetan abses bergranulasi, dengan nanah yang mengandung sel-sel cendawan. Infeksi dapat berlanjut menjadi pneumonia dan konjungtivitis (Jungerman dan Schwartzman, 1972; Ainsworth dan Austwick, 1973). Di Indonesia, selakarang telah dikenali sejak lama sebagai penyakit kuda seperti termuat dalam Undang-undang Polisi (kebijakan) Veteriner. Dalam kebijakna itu termaktub bahwa jika terjadi wabah, penyakit diberantas dengan cara membunuhi setiap hewan yang terinfeksi (slaughter policy).
3. Aspergilosis (pneumonomycosis, brooder pneumonia, yellow liver pada burung unta), disebabkan oleh kapang Aspergillus fumigatus (penyebab utama) dan Aspergillus spp. lain.. Aspergilosis tergolong penyakit pernapasan, meskipun organ lain dapat diinfeksi. Cendawan ini menyerang berbagai jenis hewan, terutama unggas. Organ tubuh yang diinfeksi ialah paru-paru, kantong udara, tenggorokan (trakhea), dan organ lain. Pada unggas, penyakit ini merupakan mikosis yang pertama kali dipaparkan orang dalam pustaka, dan kini penyakit ini secara ekonomi penting, karena menimbulkan kematian yang cukup tinggi pada peternakan ayam yang kondisi sanitasinya kurang baik. Penyakit berjalan akut pada unggas muda dan kronis pada unggas dewasa (Jungerman dan Schwartzman, 1972; Ainsworth dan Austwick, 1973). Aspergilosis unggas di Indonesia telah dilaporkan ditemukan pada berbagai jenis unggas seperti ayam, itik, burung peliharaan, dan burung liar (Gholib dan Hastiono, 1993), termasuk temuan terakhir pada burung unta (Gholib et al., 2000). Kasus positif Aspergilosis unggas berturut-turut disebabkan oleh Aspergillus fumigatus 68,8%, Aspergillus flavus 24,9%, dan Aspergillus niger 6,3%, sedangkan organ tubuh yang banyak diserang ialah alat pernapasan (paru-paru, kantong udara, dan tenggorokan) 81,0% (Gholib dan Hastiono, 1993). Kasus aspergilosis pada hewan lain di Indonesia belum ada yang melaporkan.
4. Kandidiasis (thrush, moniliasis, kandidosis), disebabkan oleh khamir patogenik Candida albicans. Cendawan ini menyerang berbagai jenis hewan, terutama unggas. Pada unggas yang kondisi sanitasi kandangnya buruk, penyakit ini secara ekonomi penting dan berada pada peringkat kedua setelah aspergilosis. Organ tubuh yang diinfeksi ialah saluran pencernaan bagian atas, terutama tembolok. Pada penyakit yang akut terbentuk kerak tipis pada mukosa, tampak seperti lapisan susu, berwarna putih keabu-abuan, sedangkan pada penyakit kronis terjadi penebalan mukosa dan membuatnya kelihatan seperti handuk, berwarna putih kekuningan. Pada babi, C. albicans menginfeksi mulai dari mulut sampai ke lambung; pada sapi menginfeksi rumen, paru-paru, dan kelenjar ambing (menimbulkan mastitis mikotik); pada kucing menginfeksi usus; pada anjing menginfeksi kulit, sedangkan C. pseudotropicalis menginfeksi saluran pencernaan (Jungerman dan Schwartzman, 1972; Ainsworth dan Austwick, 1973).
Mikosis Sistemik
Infeksi kelompok mikosis ini bisa menyerang seeluruh tubuh, mulai dari kulit sampai ke jaringan dan organ tubuh dalam, termasuk darah, tulang, dan otak. Ke dalam kelompok ini termasuk histoplasmosis, kriptokokosis, koksidioidomikosis, dan blastomikosis. di antara keempat jenis penyakit ini yang tergolong penting ialah histoplasmosis dan kriptokokosis, karena keduanya zoonosis (Hastiono, 1999).
5. Histoplasmosis (darling’s disease, reticuloendotheliosis), disebabkan oleh Histoplasma capsulatum, suatu cendawan dimorfik. Penyakit dapat menginfeksi seluruh tubuh dan mematikan, atau bersifat terlokalisasi dengan infeksi yang agak jinak. Predileksi atau jaringan yang diinfeksi ialah sistem retikuloendotelial (RES), yakni hati, limpa, kelenjar limfe, sumsum tulang, otak, dan paru-paru, sedangkan hewan yang diserang meliputi anjing, kucing, sapi, babi, kuda, beberapa jenis rodensia, kera, dan kelelawar (Jungerman dan Schwartzman, 1972; Ainsworth dan Austwick, 1973; Hubbert et al., 1975; Davis et al., 1981).
6. Kriptokokosis (torulosis, busse-buschke’s disease), disebabkan oleh khamir berkapsul Cryptococcus neoformans. Pada hewan kecil, jaringan yang diinfeksi ialah sistem syaraf pusat (SSP); pada sapi betina dapat menimbulkan mastitis (disebut mastitis kriptokokal), pneumonia, dan erosi abomasum, dan pada sapi jantan dapat menimbulkan endokarditis ulseratif; pada kuda menginfeksi paru-paru, hidung, otak, dan usus; pada anjing dan kucing menginfeksi SSP, mulut, mata, saluran pernapasan bagian atas, hidung, jaringan subkutan, kelenjar limfe, dan bahkan terjadi infeksi sistemik (Jungerman dan Schwartzman, 1972; Ainsworth dan Austwick, 1973; Hubbert et al., 1975).
Mikosis Lainnya
Beberapa jenis mikosis ada yang disebabkan oleh bermacam-macam cendawan, ada pula yang temuannya jarang, atau kasusnya baru (belum lama) ditemukan. Oleh karenanya, mikosis demikian dikelompokkan ke dalam kelompok mikosis lainnya, di antaranya ialah misetoma (m. mikotik dan m. aktinomikotik), aborsi mikotik, mastitis mikotik, penisiliosis, dan prototekosis. yang mempunyai arti ekonomik penting ialah aborsi mikotik dan mastitis mikotik.
7. Aborsi mikotik, disebabkan oleh berbagai jenis kapang (Aspergillus, Absidia, Mucor, Allescheria), khamir (Candida, Saccharomyces, Trichosporon), dan aktinomiset (Nocardia sp.). Plasenta dan janin merupakan organ sasarannya. Pada plasenta akibat infeksinya akan terjadi penebalan bagian pinggir dan nekrosis bagian tengah, sedangkan pada janin yang mati akibat aborsi ditemukan jejas pada kulitnya. Aborsi teramati terjadi pada umur kebuntingan tiga sampai empat bulan dan tujuh bulan. Dari plasenta, cairan amnion, dan kulit janin dapat diisolasi penyebabnya, terutama Aspergillus fumigatus. Hewan yang diserang terutama sapi, ruminansia lainnya, kuda, dan babi. Pada sapi infeksi terjadi melalui inhalasi spora kapang yang terdapat pada jerami dan rumput kering yang tercemar, dan dari paru-paru secara hematogen menuju ke alat reproduksi (Jungerman dan Schwartzman, 1972; Ainsworth dan Austwick, 1973).
8. Mastitis mikotik, disebabkan oleh berbagai jenis khamir (Candida, Cryptococcus, Rhodotorula, Pichia, Saccharomyces), kapang (Aspergillus sp.), aktinomiset (Nocardia spp.), dan alga tak berwarna (Prototheca spp.). Jaringan yang diinfeksi, baik pada sapi maupun ruminansia lain, ialah kelenjar ambing. Gejalanya bervariasi, antara lain berupa kebengkakan kuartir ambing yang berlangsung lama, kurang nafsu makan, demam, pembengkakan kelenjar limfonudus supramamaria, dan penurunan produksi susu secara drastis, dan susu tersebut tidak boleh dikonsumsi. Pada infeksi oleh Cryptococcus neoformans terjadi mastitis kriptokokal. Mastitis mikotik biasanya merupakan akibat lanjut dari mastitis bakterial yang tak sembuh oleh pengobatan dengan antibiotika antibakterial (Ainsworth dan Austwick, 1973).
Aktinomisetosis
Aktinomisetosis disebabkan oleh aktinomiset (bakteri berfilamen), namun dalam beberapa pustaka dimasukkan sebagai gangguan mikotik sehingga dalam tulisan ini penyakit-penyakitnya dibicarakan terpisah dari mikosis. Termasuk di dalamnya ialah dermatofilosis, aktinomikosis, dan nokardiosis. Penyakit yang bernilai ekonomik ialah dermatofilosis pada domba, khususnya dermatitis mikotik.
9. Dermatitis mikotik (mycotic dermatitis, lumpy wool), disebabkan oleh aktinomiset Dermatophilus congolensis. Penyakit ini dikenal sebagai penyakityang terjadi di wilayah ber cuaca basah. Mula-mula terjadi hiperemia, lalu terbentuk kerak dan selanjutnya, bulu wol menjadi gimbal (menggumpal) sehingga mutu wol dan kulit menurun (Jungerman dan Schwartzman, 1972; Ainsworth dan Austwick, 1973). Keberadaan penyakit ini di Indonesia belum pernah dilaporkan.
MIKOTOKSIKOSIS DAN MISETISMUS
Mikotoksikosis
Gangguan mikotoksikosis, merupakan keracunan akibat mengonsumsi pakan yang tercemari mikotoksin (Ainsworth dan Austwick, 1959), racun yang dihasilkan oleh kapang toksigenik dari genus Aspergillus, Penicillium, dan Fusarium. Kapang ini selain mencemari pakan secara fisik, juga mencemari secara kimiawi dengan mikotoksin yang dihasilkannya (Hastiono, 2000). Aflatoksin (AF) merupakan mikotoksin yang paling berbahaya, dan aflatoksikosis merupakan gangguan yang ditimbulkannya, dan di Indonesia secara ekonomik penting karena menimbulkan kerugian pada ternak. Aflatoksin terutama terdiri atas AFB1, AFB2, AFG1, dan AFG2, sedangkan turunannya pada susu, disebut AFM1 dan AFM2,. Aflatoksin yang paling toksik adalah AFB1, bersifat hepatotoksik (meracuni hati), karsinogenik (menimbulkan kanker pada hati), dan teratotoksik (merusak janin). Itik merupakan hewan yang paling peka terhadap aflatoksin sehingga itik sering digunakan sebagai hewan uji terhadap toksisitas aflatoksin dan mikotoksin lain (Goldblatt, 1969).
10. Aflatoksikosis adalah keracunan akibat mengkonsumsi pakan yang tercemari aflatoksin, yang biasanya dihasilkan oleh kapang toksigenik Aspergillus flavus dan parasiticus. Di Indonesia, aflatoksin dianggap sebagai senyawa kimia yang paling banyak menimbulkan masalah pada peternakan unggas. Penelitian telah pula banyak dilakukan, di antaranya tentang kandungannya pada bahan pangan dan pakan serta keberadaannya sebagai residu dalam berbagai jaringan tubuh ternak, seperti daging, hati, telur, dan susu (Bahri et al., 1995; Maryam et al., 1995; Bahri dan Widiastuti, 1998; Widiastuti, 2000).
Misetismus
Misetismus ialah keracunan akibat mengkonsumsi jamur beracun, seperti Amanita spp., Russula spp., Morchella spp., dan Schizophyllum spp. Kasus keracunan semacam ini pada hewan jarang terjadi, karena hewan secara naluriah mereka menghindarinya. Kasus yang pernah dilaporkan ditemukan pada rodensia kecil, sapi, reindeer, dan anjing. Gejala yang teramati berupa muntah, menggigil, diare, dan hematuria. Kelinci adalah hewan yang kebal terhadap misetismus (Ainsworth dan Austwick, 1959; Hubbert et al., 1975).
ALERGI CENDAWAN
Alveolitis alergi karena faktor ekstrinsik pada sapi (bovine extrinsic allergic alveolitis) merupakan satu-satunya gangguan yang tergolong alergi cendawan pada hewan, terutama sapi, yang disebabkan oleh spora kapang Micropolyspora faeni dan aktinomiset Thermoactinomyces vulgaris. Infeksi terjadi melalui inhalasi spora yang terdapat pada jerami dan rumput kering yang tercemari oleh kedua jenis mikroorganisme tersebut. Alergi ini disebut juga bovine farmer’s lung, meniru istilah pada manusia yang disebut farmer’s lung, yaitu alergi yang diderita para petani pengolah jerami dan rumput kering untuk keperluan pakan musim dingin. Gejalanya serupa dengan serangan alergi yang mirip influenza akut (Ainsworth dan Austwick, 1973).
DAFTAR PUSTAKA
Ainsworth, G. C. and P. K. C. Austwick. (1959). Fungal Diseases of Animals. CAB, Farnham Royal, Bucks, England.
Ainsworth, G. C. and P. K. C. Austwick. (1973). Fungal Diseases of Animals. 2nd Ed. CAB, Farnham Royal, Slough, England.
Ajello, L., L. K. Georg, W. Kaplan, and L. Kaufman. (1966). Laboratory Manual for Medical Mycology. U.S. Department of Health, Education, and Welfare, Public Health Service, CDC, Atlanta, Georgia, USA.
Al-Doory, Y. (1980). Laboratory Medical Mycology. Lea & Febiger, Philadelphia, USA.
Bahri, S. dan R. Widiastuti. (1998). Beberapa mikotoksin pada bahan pangan dan pakan serta kaitannya dengan kesehatan manusia dan hewan. Informasi Jamur 4: 10-16.
Bahri, S., Ohim, dan R. Maryam. (1995). Residu aflatoksin M1 pada air susu sapi dan hubungannya dengan keberadaan aflatoksin B1 pada pakan sapi. Kumpulan makalah lengkap Kongres Nasional Perhimpunan Mikologi Kedokteran Manusia dan Hewan Indonesia I dan Temu Ilmiah. Bogor, 21-24 Juli 1994. PMKI Pusat, Balai Penerbit FKUI, Jakarta: 269-275.
Chandler, F. W., W. Kaplan, and L. Ajello. (1980). A Colour Atlas and Textbook of the Histopathology of Mycotic Diseases. Wolfe Medical Publications Ltd., London, England.
Davis, J. W., L. H. Karstad, and D. O. Trainer. (Eds.). (1981). Infectious Diseases of Wild Mammals. 2nd ed. The Iowa State University Press, Ames, Iowa, USA.
Gholib, D. dan S. Hastiono. (1993). Evaluasi aspergillosis pada unggas. Maj. Parasitol. Ind. 6 (1): 67-73.
Gholib, D., S. Hastiono, dan H. Hamid. (2000). Kasus aspergilosis pada dua ekor burung unta (Struthio camelus). Maj. Parasitol. Ind. 13 (1-2): 49-56.
Goldblatt, L. A. (Ed.). (1969). Aflatoxins: Scientific Background, Control and Implications. Academic Press, NewYork, USA.
Hastiono, S. (1977). Penyakit-penyakit cendawan pada hewan. Bagian I. Sistematika penyakit. Bul. LPPH 9 (13): 38-51.
Hastiono, S. (1986). Manfaat dan mudarat cendawan. Poultry Indonesia 7 (74): 20-21.
Hastiono, S. (1999). Dermatofitosis dan mikosis lain pada hewan yang dapat menular kepada manusia. Informasi Jamur 5: 10-14.
Hastiono, S. (2000). Cendawan dan peranannya bagi kehidupan manusia dan lingkungan. J. Mikol. Ked. Indon. 1 (2): 101-106.
Hubbert, W. T., W. F. McCulloch, and P. R. Schnurrenberger (Eds.). (1980). Diseases Transmitted from Animals to Man. 6th Ed. Charles C. Thomas Publisher, Springfield, Illinois, USA.
Jungerman, P. F. and R. M. Schwartzman. (1972). Veterinary Medical Mycology. Lea & Febiger, Philadelphia, USA.
Maryam, R., S. Bahri, dan P. Zahari. (1995). Deteksi aflatoksin B1, M1 dan aflatoksikol dalam telur ayam ras dengan kromatografi cair kinerja tinggi. Prosiding Seminar Nasional Teknologi Veteriner untuk Meningkatkan Kesehatan Hewan dan Pengamanan Bahan Pangan Asal Ternak. Cisarua, Bogor, 22-24 Maret 1994. (S. Partoutomo et al., Eds.). Balai Penelitian Veteriner, Badan Litbang Pertanian, Bogor: 412-416.
Rebell, G. and D. Taplin. (1970). Dermatophytes, Their Recognition and Identification. Revised Edition. University of Miami Press, Coral Gables, Florida, USA.
Thompson, J. C. (1969). Techniques for the isolation of the common pathogenic fungi. II. Air sampling, dilution plating and the ringworm fungi. Medium 2 (4): 110-120.
Widiastuti, R. (2000). Residu aflatoksin pada daging dan hati sapi di pasar tradisional dan swalayan di Jawa Barat. Prosiding Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner. Bogor, 18-19 Oktober 1999. (B. Haryanto et al., Eds.). Puslitbang Peternakan, Badan Litbang Pertanian, Departemen Pertanian: 609-614.