Wed 6 Apr 2005
Penentuan Protein Antigen Limfosit Sapi yang Berasal dari Sapi Bali dan Sapi Peranakan Ongole
Posted by admin under Jvet Vol 4(2) 2003Penentuan Protein Antigen Limfosit Sapi
yang Berasal dari Sapi Bali dan Sapi Peranakan Ongole
(DETERMINATION OF THE PROTEIN OF BOVINE LYMPHOCYTE ANTIGEN,
OF BALI CATTLE AND ONGOLE CROSS BREED CATTLE)
NI KETUT SUWITI 1* DAN FEDIK ABDUL RANTAM2
1. Laboratorium Histologi Veteriner, FKH.Universitas Udayana
2. Laboratorium Virologi-imunologi FKH Universitas Airlangga
*Kampus Unud Bukit Jimbaran Kuta Badung Bali
ABSTRAK
Penentuan protein antigen limfosit sapi (BoLA) yang berasal dari sapi bali dan peranakan ongole (PO) dilakukan dengan uji western immunoblotting, menggunakan antibodi monoklonal. Protein khas BoLA sebelumnya dipisahkan dengan sodium dodecyl sulphate-gel electrophoresis, kemudian dipindahkan pada kertas nitroselulosa dan divisualisasikan dengan antibodi monoklonal dan substrat diamino benzidine (DAB).
Terdapat tiga protein khas antigen limfosit sapi , pada sapi bali adalah : 48 kD, 25 kDa dan 11 kDa, sedangkan pada sapi PO adalah : 45 kDa, 26 kDa dan 12 kDa. Studi ini dapat dipakai sebagai dasar dalam penelitian tentang fungsi masing-masing protein dalam proses kerentanan terhadap penyakit.
Kata kunci : antigen limfosit sapi, sapi bali, sapi perakan ongole.
ABSTRACT
Determination of the protein of bovine lymphocyte antigen (BoLA) of bali cattle and cross breed ongole cattle, was identified by western-immunoblotting, using monoclonal antibodies. The protein were separated by sodium dodecyl sulphate-gel electrophoresis (SDS-PAGE) and the protein bands were transferred on to nitroselulosa, and visualysed using MoAb and Diamino benzidine (DAB) substrate.
There are three specific BoLA poteins designated as : 48 kD, 25 kDa and 11kDa in bali cattle and 45 kDa, 26 kDa and 12 kDa in ongole cross breed cattle. This study provides a basis for further study of the role of each BoLA protein in disease susceptibility.
Keywords: bovine lymphocyte antigen (BoLA), bali cattle, ongole cross breed cattle
PENDAHULUAN
Major histocompatibility complex (MHC) adalah antigen yang ditemukan pada permukaan sel limfosit, yang bersifat lebih imunogenik dibandingkan dengan antigen lainnya dan berperan dalam proses respon kekebalan. Setiap jenis antigen diri sendiri (self) atau bukan diri sendiri (non-self) baru akan dikenali oleh sel T, apabila dipresentasikan bersama-sama dengan MHC (Bellanti,1993; Scheherazade dan Germain, 1992). Lewin et al.,(1999) menyepakati MHC yang ditemukan pada sapi (Bos taurus dan Bos indicus) disebut dengan Bovine Lymphocyte Antigen (BoLA).
Berdasarkan distribusi di jaringan, fungsi dan strukturnya, MHC dibedakan atas tiga klas, yaitu : MHC klas I, klas II dan klas III (Goldsby et al.,2000). Antigen klas I meliputi antigen yang dikode oleh gen MHC lokus A (A 18, A 31, A11, A14) , lokus B dan lokus C. Antigen klas II dikode oleh gen pada lokus DR, lokus DQ dan lokus DP (Glass et al., 2000), sedangkan antigen klas III dikode oleh C4, Bf dan C2 yang mengkode pembentukan komponen protein dan sistem komplemen (Abbas et al., 1991, Daniel et al., 1997; Shirly et al., 1999).
MHC merupakan suatu glikoprotein dan terdiri dari kumpulan gen yang sangat penting (major), yang berlokasi pada lengan pendek kromosom dan mempunyai sifat polimorphisme yang sangat tinggi. Sifat polimorfisme yang dimiliki oleh sistem BoLA ini, menimbulkan variasi ekspresi ataupun variasi dalam berat molekul (BM) protein. dalam satu populasi (Lewin et al.,1999)
Gen yang penyusunnya berperan dalam menentukan kerentanan atau ketahanan terhadap penyakit, ditentukan oleh urutan asam amino yang membentuk celah pengikat peptida dan celah tersebut akan berinteraksi dengan peptida antigen maupun dengan reseptor sel T (Davenport dan Hill, 1996). Penyakit yang diketahui berkaitan dengan pemunculan BoLA adalah : BoLA DRB3 pada sapi perah, karena antigen ini berasosiasi dengan kerentanan sapi itu terhadap munculnya mastitis, yang disebabkan oleh infeksi Staphylococcus aureus (Schmutz et al., 1992). Penyakit bovine viral diarhea terbukti berasosiasi dengan pemunculan BoLA HD7 (Hedge dan Srikumaran, 1997).
Tujuan penelitian ini adalah untuk menentukan BM protein antigen limfosit sapi, khususnya sapi bali dan peranakan ongole. Sehingga hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi landasan bagi penelitian lebih lanjut mengenai fungsi masing-masing protein dalam proses kerentanan terhadap penyakit.
MATERI DAN METODE
Limfosit diisolasi berasal dari darah sapi bali dan sapi peranakan ongole (PO), mengikuti prosedur Wareing (1996), dengan cara : darah yang mengandung antikoagulan (EDTA) dipusing dengan kecepatan 3000 rpm selama 15 menit. Lapisan sel darah putih yang berbentuk cincin putih di antara kedua cairan dipisahkan dengan menggunakan pipet Pasteur, dan dimasukkan ke dalam tabung yang berisi RPMI. Setelah dicampur secara merata, dimasukkan ke dalam tabung yang berisi 5 ml larutan ficolhipaque dan selanjutnya dipusingkan dengan kecepatan 3000 rpm selama 30 menit.
Sel pada perbatasan (interface) dipindahkan ke dalam tabung yang mengandung 7ml PBS, selanjutnya dipusing (1250 rpm, 15 menit). Supernatan yang mengandung limfosit dicuci 2 X dengan PBS dengan cara dipusing (1250 rpm, 15 menit). Endapan yang diperoleh adalah sel limfosit yang kemudian dipanen dengan cara membuang supernatan.
Preparasi sampel untuk Elektroforesis.
Terhadap limfosit yang diisolasi dilakukan freezing-thawing (membekukan dan mencairkan) sebanyak tiga kali, dengan cara : limfosit yang diisolasi ditambahkan lisis buffer sebanyak 500 ml dan dicampur sampai merata, kemudian didiamkan selama 30 menit dalam –20oC, kemudian panaskan dalam penangas air suhu 50°C. Selanjutnya dipusingkan dengan kecepatan 5000 rpm selama 15 menit. Supernatan diambil sebanyak 50 ml dan ditambahkan dengan sampel buffer 50 ml, dan dipanaskan dengan air mendidih (100oC) selama 5 menit, dan selanjutnya dipergunakan sebagai sampel untuk elektroforesis (SDS-PAGE).
Elektroforesis
Sampel dimasukkan sebanyak 10 ml kedalam lubang mulai no 1 s/d 7 sedangkan lubang no 8, dimasukkan marker (Prestained, Bio-Rad). Listrik berkekuatan 125 volt, 4 mA dipasang, dan ditunggu sampai sampel turun, setelah itu gel dilepaskan dan dimasukkan ke dalam gelas petri yang sudah berisi larutan pencucian I, selanjutnya gel diangkat dan dilanjutkan sampai pencucian IV. Gel diwarnai dengan pewarnaan perak, ditunggu sampai muncul pita. Reaksi dihentikan dengan memasukkan membran dalam reagensia penghenti (Laemmli, 1970).
Penentuan protein antigen limfosit sapi
Penentuan protein antigen limfosit sapi bali dan perakan ongole dilakukan melalui pengujian dengan MoAB (B5C, BAQ150A dan H34A) yang diperoleh dari VMRD, Pullman, WA, USA. cara pengujian dilakukan sebagai berikut: terhadap gel hasil elektroforesis dilakukan pemotongan tanpa pewarnaan, pada daerah yang dicurigai sebagai BM protein BoLA, selanjutnya dilakukan elusi atau pemisahan protein. Sampel hasil elusi dipidahkan ke kertas nitroselulose dengan metode Western-Immunoblotting mengikuti prosedur Jonathan (1993), pada tegangan listrik 125 volt, 4°C, 40mA, semalam. Setelah itu kertas nitroselulosa dikeluarkan dan dicelupkan ke dalam larutan BSA (bovine serum albumin) 1% selama 30 menit untuk menghambat perikatan protein asing dengan kertas nitroselulose yang tidak berisi sampel (diblok) selanjutnya dicuci dengan PBS 10 menit. Cairan PBS dibuang diganti dengan BSA 1% yang baru, kemudian ditambahkan MoAb (tercampur) dengan perbandingan 1:20, diamkan selama tiga jam pada suhu kamar. Dicuci dengan PBS tween 0,05%, sebanyak tiga kali. Konjugat rabbit anti mouse IgG (1:1000) ditambahkan selama satu jam pada 37°C .Pewarnaan dilakukan dengan diamino benzidine (DAB) (0,5 mg/ml DAB, 0,04% NiCl2, 0,01 % H2O2 dalam PBS pH 7,4), setelah sebelumnya dilakukan pencucian dengan PBS tween 0,05%, sebanyak tiga kali, dan ditunggu sampai muncul pita (band).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Protein khas bovine lymphocyte antigen (BoLA) teridentifikasi berdasarkan posisinya pada kertas nitroselulosa, yang bereaksi positif berikatan dengan antibodi, monoklonal spesifik BoLA klas I (B5C) dan klas II (BAQ 150A,H34A), yang ditandai dengan munculnya pita band. Perunutan reaksi antigen antibodi dengan berat molekul antigen limfosit sapi bali klas I : rantai α : 48 kD, rantai β 11 kDa dan klas II: rantai β 25 kDa, sedangkan antigen limfosit sapi PO klas I : rantai α: 45 kDa, dan rantai β 12 kDa dan klas II : rantai β 26 kDa.
1 2 3 4 1 2 3 4
48 kD25 kD11 kD
45 kD26 kD12 kD
Sapi Bali Sapi PO
Gambar Protein Khas Antigen Limfosit Sapi Dari Sapi Bali Dan Sapi PO Yang Divisualisasikan Pada Kertas Nitroselulosa.
Keterangan : 1 marker; 2 Antigen limfosit sapi dari sapi Bali dan Peranakan Ongole berekasi positip dengan MoAb: 3 Antigen limfosit sapi dari sapi Bali dan PO tanpa MoAb; 4 MoAb tanpa antigen limfosit sapi dari sapi Bali dan PO.
Berat molekul protein antigen limfosit sapi ini mirip dengan yang diperoleh pada penelitian Ababou et al. (1994). Sedangkan menurut Abbas et al., (1991) berat molekul protein MHC klas I rantai a pada manusia mencapai 44 kD dan pada mencit 47 kD, dengan BM rantai b 12 kD, jadi BM protein yang diperoleh pada penelitian ini mirip dengan penelitian terdahulu.
Perunutan antigen antibodi pada kertas nitroselulosa bereaksi positip pada keadaan tercampur, artinya baik antigen hasil elektroforesis maupun antibodi ketiga monoklonal dicampur menjadi satu. Pada keadaan terpisah reaksi tidak berjalan dengan sempurna, sehingga memberikan hasil negatip. Hal ini diduga karena antigen limfosit yang diisolasi dari gel (band) hasil elektroforesis, jumlahnya sedikit. Oleh karena itu konsentrasi antibodi monoklonal tidak mencukupi untuk menimbulkan reaksi ikatan antigen-antibodi yang spesifik. Limfosit yang dipergunakan dalam penelitian ini berasal dari sapi yang secara klinis sehat (fisiologis), sehingga BoLA mempunyai struktur yang tidak stabil, keadaan ini menyebabkan molekul BoLA klas I maupun klas II tidak diekspresikan secara maksimum (Scherazade dan Germain,1992).
Apabila ekspresi BoLA sapi bali dan PO, pada pemeriksaan dengan menggunakan metode imunositokimia (Suwiti, 2002) dibandingkan dengan pemeriksaan menggunakan western-immunoblotting maka hasil yang positif pada hasil imunositokimia tidak selalu menunjukkan positif pada western-immunoblotting. Bernadette et al., (1993) menyatakan bahwa, walaupun pada setiap pemeriksaan imunohistokimia pada organ timus dan limfonodus preskapularis memberi hasil positip, tetapi pada SDS-PAGE tidak semua antibodi monoklonal dapat mengekspresikan BoLA klas II, karena masing-masing monoklonal mempunyai recognize epitope yang berbeda.
Beberapa sifat khas protein antigen BoLA adalah : bisa mengalami partial cross reaction antar molekul, seperti hasil penelitian Ababau et al., (1994), yakni : enam serotipe monoklonal antibodi (TH14B, TH12A, H34A, H42A, TH22A, TH81A) yang dipergunakan untuk melihat ekspresi BoLA klas II pada sel BL-3. Tiga serotipe memberikan reaksi negatip (tidak muncul band), yaitu pada penggunaan MoAb TH12A, H34A, dan TH14B. Sedangkan MoAb H42A dan TH22A memberikan hasil yang bervariasi (+/-). Kejadian partial cross reaction menunjukkan bahwa tidak semua antibodi monoklonal bereaksi sempurna terhadap antigen protein BoLA, melainkan tergantung pada tahap maturasinya dan kematangan dari rantai a heterodimer (Stone dan Muggli, 1993).
Sifat khas yang lain adalah ekspresi antigen BoLA berhubungan dengan perbedaan karakterisasi, seperti yang ditemukan pada antigen limfosit sapi dari sapi bali dan sapi peranakan ongole. Penemuan ini juga membuktikan terdapat perbedaan kedudukan filogenik pada spesies yang berbeda, dibandingkan dengan peranan dari antigen BoLA (Lewin et al., 1999).
KESIMPULAN DAN SARAN
Berat molekul protein antigen limfosit sapi, asal sapi bali klas I : rantai α : 48 kD, rantai β 11 kDa dan klas II: rantai β 25 kDa, sedangkan antigen limfosit sapi, asal sapi peranakan ongole, klas I : rantai α: 45 kDa, dan rantai β 12 kDa dan klas II : rantai β 26 kDa. Studi ini diharapkan dapat digunakan sebagai dasar untuk menentukan peranan setiap antigen dalam kaitannya dengan kerentanan hewan terhadap suatu penyakit.
SARAN
Perlu dilaksanakan penelitian lanjutan terutama pada sapi bali dan sapi peranakan ongole yang sedang terserang penyakit tertentu, baik penyakit karena viral, parasiter maupun mikotik.
Ucapan Terimakasih
Ucapan terimakasih disampaikan kepada Prof. Dr. PG Konthen, dr. SpPD., Prof. drh. IGB Amitaba, Dr Irwan Setiabudi, SpPK, dan Dr. drh Fedik Abdul Rantam. atas segala bimbingan yang telah diberikan.
DAFTAR PUSTAKA
Ababou A., J. Goyeneche, W.C. Davis, D. Levy. 1994. Evidence for The Expression of Three Different BoLA-Class II Molecules on The Bovine BL-3 Cell Line: Determination of a Non-DR Non DQ Gene Product. J.Leuk. Biol. 56. 182-186.
Abbas, A.K., A.H. Litchman, J.S. Pober. 1991. Celluler an Molecular Immunology. Sounders Company. Pp. 19-347.
Bellanti, J.A. 1993. Imunologi III. Cetakan Pertama Universitas Gajah Mada Press. Hal 58-304.
Bernadette, C., K. Taylor, C. Yeon, J.S.Robert, F.M.Peter, L.S. Jefrey. 1993. Diffrential Expression of Bovine MHC Class II Antigen Identified by Monoclonal Antibodies. J.Leuc.Biol. (53) 479-489.
Davenport, M.P. and A.V.S. Hill. 1996. Peptides Associated with MHC ClassI & II Molecules in Browning and Michael AJ (eds) HLA and MHC Genes Molekules and Function. Bios. Sc Publ. Ltd. Oxford : 277-308.
Daniel, P., A.I Stites, G. Tritram, Parslow. 1997. Medical Immunology. 9th. Apleton & Largw. A Simon &Schuster. Company. Printed in the United Sates of America. Pp.85-181.
Glass, E.J., R.A. Oliver, G.C. Russel. 2000. Duplicated DQ Haplotypes Increase the Complexity of Restriction Element Usage in Cattle. J. Immunol. 1;165(1): 134-8.
Goldsby, R.A., T.J. Kindt, B.A. Osborne. 2000. Overview of The Immune System in Kuby Immunology 4 th ed New York. W.H. Freeman and Company. Pp.3-26.
Hegde, N.R. and S. Srikumaran. 1997. The Use of Bovine MHC Class I Allela-specific Peptide Motifs and Proteolytic Clavage Specifities for The Prediction of Potential Cytotoxic T lymphocyte Epitopes of Bovine Viral Diarrhea Virus Genes. J. Immunol 14(2):111-21.
Jonathan, M. Austyn, J. Kathryn, Wood. 1993. The Major Histocompatibility Complex. In Principles of Celluler and Molecular Immunology. Publised in The United States by Oxford Unicversity Press Inc. New York. Pp. 65-112.
Laemmli, UK. 1970. Cleavage of Structural Proteins During The Assembly of Head of Bacteriophage T4. Nature 227, 680-685.
Lewin, H.A., G.C, Russell, T.J. Nolan. 1999. Evidence For BoLA Linked Resistance and Susceptibility to Subclinical Progression of Bovine Leukaemia Virus Infection J. Animal Genet. 17:187-204.
Schmutz, S.M. T.G. Berryere, J.W. Robins, T.D. Carruthers. 1992. Resistance to Staphylococcus aureus Mastitis Detected by DNA marker. Pp.124-133 in Proc. 31 st Annu.
Shirley, A., E. Keith, T. Ballingall. 1999. Cattle MHC : Evolution in Action. Immunological Reviews. Vol. 167:159-168.
Stone, R.T. and C. Muggli. 1993. BoLA-DIB Species Distribution, Linkage with DOB and Northern Analysis. J. Anim. Genet. 24, 41-43.
Scherazade, S.N. and R.N. Germain. 1992. How MHC Class II Molecules Work: Peptide-Dependent Completion off Protein Folding. J. Immunol Today 13.2:43-46.
Suwiti, N.K. 2002. Penentuan Protein Antigen Limfosit Sapi (BoLA) dan Hubungan Ekspresinya dengan Kerentanan terhadap Penyakit Jembrana. Disertasi Universitas Airlangga
Wareing, S. 1996. Development of Assays to Monitor the Cell-Mediated Immune Response to Recombinant Jembrana Disease Virus (JDV) Protein in Cattle School of Veterinary Science Murdoch University Western Australia.