ISOLASI BAKTERI ASAM LAKTAT PENGHASIL ANTIMIKROBA

Komang G. Wiryawan1,2), Anita S. Tjakradidjaja1,2), Rarah Ratih A.M1) dan Eliyana D. Janingrum1)

1) Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor
2) Pusat Studi Ilmu Hayati, Institut Pertanian Bogor
E-mail: [email protected]

SUMMARY

Antimicrobial producing lactic acid bacteria were isolated from five different microbial sources i.e fresh milk, sheep rumen fluid, chicken faeces, chicken intestinal fluid and cattle faeces. Thirty four different colonies of lactic acid bacteria were isolated and three of them produced antimicrobe that inhibited the growth of Salmonella sp. but did not active against Staphylococcus aureus, Staphylococcus epidermidis, Bacillus cereus and Eschericia coli. The antimicrobe is sensitive to protease (pepsin) and has maximum activity at 350C and pH 6.5-7.0

Key words: isolation, lactic acid bacteria, antimicrobe

RINGKASAN

Bakteri asam laktat penghasil antimikroba diisolasi dari lima sumber yang berbeda yaitu susu segar, cairan rumen domba, feses ayam, isi saluran pencernaan ayam, dan feses sapi. Tiga puluh empat isolat yang memiliki bentuk koloni yang berbeda diisolasi yaitu enam isolat berasal dari susu segar, delapan isolat dari rumen domba, empat isolat dari saluran pencernaan ayam, sepuluh isolat asal feses ayam dan enam isolat dari feses sapi. Tiga dari 34 isolat menghasilkan antimikroba yang dapat menghambat pertumbuhan bakteri Salmonella sp. Antimikroba yang dihasilkan sensitif terhadap enzim protease (pepsin) dan mempunyai aktifitas maksimum pada suhu 350C dan pH 6.5-7.

Kata kunci : isolasi, bakteri asam laktat, antimikroba.

PENDAHULUAN

Indonesia merupakan negara berkembang dengan tingkat pertumbuhan penduduk cukup tinggi. Peningkatan jumlah penduduk dengan peningkatan pendapatan perkapita memacu peningkatan kebutuhan penduduk, terutama kebutuhan akan bahan pangan. Bahan pangan yang berasal dari ternak sangat disukai oleh konsumen karena nilai gizinya cukup tinggi.
Kendala pemenuhan kebutuhan tersebut adalah tingkat produktivitas ternak di daerah tropis seperti di Indonesia pada umumnya rendah. Rendahnya produktivitas ternak salah satunya disebabkan oleh gangguan kesehatan seperti stress atau penyakit sehingga keseimbangan mikroflora terganggu. Gorbach (2001) menyatakan bahwa selain karena infeksi, penyakit juga dapat disebabkan karena pertumbuhan bakteri yang melampaui batas normal. Penelitian di Universitas McGill (Canada) membuktikan bahwa adanya bakteri Escherichia coli dalam jumlah besar di dalam tubuh ternak, terutama pada sapi dapat membunuh sel-sel kelenjar susu dan menyebabkan penyakit mastitis. Keberadaan Bacillus cereus dalam saluran pencernaan ternak juga dapat menyebabkan diare.
Probiotik yang selama ini digunakan terbukti dapat meningkatkan produktivitas ternak. Pemberian probiotik sebagai supplemen diharapkan dapat mengembalikan keseimbangan bakteri (rasio antara bakteri patogen dan nonpatogen) dalam saluran pencernaan ternak terutama dalam usus. Probiotik adalah pakan imbuhan dalam bentuk mikroorganisme hidup yang berpengaruh positif pada hewan inang dan dapat meningkatkan keseimbangan mikroflora dalam saluran pencernaan ternak tersebut.
Salah satu jenis bakteri yang digunakan sebagai probiotik adalah bakteri asam laktat. Bakteri asam laktat mampu menghasilkan asam laktat, hidrogen peroksida, antimikroba dan hasil metabolisme lain yang memberikan pengaruh positif bagi produktivitas ternak. Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengisolasi bakteri asam laktat penghasil antimikroba yang nantinya dapat digunakan sebagai probiotik.

MATERI DAN METODE

Isolasi Bakteri Asam Laktat
Percobaan isolasi bakteri asam laktat meliputi beberapa kegiatan, antara lain: pengenceran, pemupukan, pemurnian, pengayaan, dan penyimpanan bakteri asam laktat dalam gliserol stock. Percobaan ini dilakukan menurut Hadioetomo (1993).
Media yang digunakan adalah: MRS (de Mann, Rogosa, Sharpe) baik dalam bentuk padat maupun cair dan Mueller Hinton Agar dan Trypticase Soy Broth (TSB). Sedangkan bakteri uji yang digunakan adalah Staphylococcus aureus, Staphylococcus epidermidis, Bacillus cereus, Eschericia coli, dan Salmonella sp.

Produksi Antimikroba
Produksi antimikroba dilakukan dengan cara menanam biakan bakteri sebanyak 0,1 ml dalam 10 ml media TSB dan diinkubasi pada suhu 370C selama waktu optimum (waktu optimum diperoleh dari fase eksponensial pertumbuhan bakteri). Selanjutnya terhadap campuran kultur bakteri dilakukan sentrifugasi dengan kecepatan 6000 rpm selama 15 menit. Setelah disentrifuse, supernatan yang diperoleh disaring dengan menggunakan Millipore 0,22 µm dan filtrat akan digunakan dalam konfrontasi dengan bakteri uji untuk menentukan dihasilkan atau tidaknya antimikroba.

Seleksi Bakteri Penghasil Substansi Antimikroba
Metode yang digunakan adalah metode sumur agar (well diffusion agar) (Wolf dan Gibbons, 1996). Caranya adalah: biakan bakteri uji yang telah disegarkan dalam media TSB diencerkan, kemudian diambil 0,1 ml dan dimasukkan ke dalam media Mueller Hinton Agar bersuhu 500C. Setelah medium yang berisi biakan bakteri memadat, sumur (lubang) dibuat dengan ujung pipet Pasteur dengan diameter 0,6 mm dan dasarnya dilapisi dengan agar. Substrat antimikroba (filtrat) diteteskan ke dalam lubang sebanyak 0,05 ml. Selanjutnya cawan diinkubasi pada suhu 370C selama 24 jam. Bakteri yang mampu menghasilkan substansi antimikroba akan melakukan penghambatan terhadap bakteri uji yang dibuktikan dengan adanya zona bening di sekitar sumur agar. Besarnya aktivitas antimikroba tersebut ditentukan dengan cara mengukur diameter zona bening di sekitar sumur agar.

Uji Sensitifitas Antimikroba terhadap Enzim Proteolitik (Pepsin)
Uji sensitifitas terhadap enzim proteolitik dilakukan dengan cara mengatur supernatan pada pH netral (7,0), kemudian diperlakukan dengan pemberian pepsin dalam buffer Tris-HCl 0,01 M pH 7,5 dengan konsentrasi 0,01 b/v. Sampel dengan dan tanpa protease disterilkan dengan membran millipore 0,22 µm dan diinkubasi pada suhu 370C selama satu jam. Sensitifitas antimikroba ditentukan dengan metode sumur agar (Wolf dan Gibbons, 1996).

Uji Sensitifitas Antimikroba terhadap pH dan Suhu
Pengujian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pH dan suhu optimum terhadap aktifitas antimikroba dalam menghasilkan penghambatan pertumbuhan bakteri uji. Pada tahap ini, supernatan dari isolat diatur pada lima level pH yang berbeda yaitu 5,5; 6; 6,5; 7; 7,5 begitu juga dengan suhu, diatur pada lima level yaitu 30; 35; 40; 45; 500C. Pengujian aktifitas antimikroba dilakukan dengan metode sumur agar (Wolf dan Gibbons, 1996).

Rancangan Percobaan
Dalam pengujian suhu atau pH digunakan Rancangan Acak Lengkap Faktorial berpola 3×5 dengan tiga kali ulangan. Data diolah dengan sidik ragam (Analysis of Variance). Jika pada sidik ragam didapatkan hasil yang berbeda nyata, maka dilanjutkan dengan Uji Kontras Ortogonal (Steel dan Torrie, 1995).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Isolasi Bakteri Asam Laktat Penghasil Antimikroba
Dalam penelitian ini berhasil dimurnikan sebanyak 34 isolat bakteri asam laktat asal berbagai sampel yang berbeda dengan perincian: enam isolat asal susu segar, delapan isolat asal rumen domba, empat isolat asal saluran pencernaan ayam, sepuluh isolat asal feses ayam dan enam isolat dari feses sapi. Karakterisasi morfologi terhadap ke-34 isolat berdasarkan warna menunjukkan bahwa koloni bakteri berwarna putih, putih susu, krem, krem transparan, kuning, dan coklat. Koloni-koloni bakteri tersebut juga memiliki bentuk yang beragam, antara lain: umbonat, bintang, bulat sempurna, bulat miring, bulat berserabut, kapas, kristal, bulat bergerigi, filiform, filamen, rhizoid, kompleks, dan bentuk tak beraturan. Isolat yang didapat sebanyak 34 buah dikonfrontasi dengan bakteri uji (Staphylococcus aureus, Staphylococcus epidermidis, Bacillus cereus and Eschericia coli, dan Salmonella sp.) dan didapat bahwa hanya bakteri uji Salmonella sp. yang sensitif terhadap isolat. Oleh karena itu, pada pengujian selanjutnya hanya digunakan Salmonella sp. sebagai bakteri uji.
Seleksi berdasarkan kemampuan penghambatan didapatkan bahwa tiga dari ke-34 isolat mampu memproduksi antimikroba dan menghambat Salmonella sp. yang ditunjukan oleh adanya zona bening di sekitar sumur. Ketiga isolat tersebut adalah isolat nomor 7 dari feses ayam (FA7), isolat nomor 3 dari feses sapi (FS3) dan isolat nomor 3 dari saluran pencernaan ayam (RA3). Zona hambatan yang dihasilkan oleh masing-masing isolat berturut-turut 12, 12 dan 10 mm (Gambar 1). Aktivitas antimikroba terhadap Salmonella sp. sangat penting peranannya dalam meningkatkan produksi ternak maupun mencegah terkontaminasinya produk-produk peternakan oleh Salmonella sp. Hal ini disebabkan karena Salmonella sp. merupakan bakteri patogen yang berbahaya yang dapat menyebabkan diare baik pada hewan maupun manusia (Duerden et al. 1993).

Gambar 1. Aktivitas antimikroba isolat terhadap Salmonella sp.
(a) FA7, (b) RA3, (c) FS3

Salmonellosis merupakan penyakit yang disebabkan oleh bakteri Salmonella, dapat terjadi pada ternak maupun manusia. Serotipe bakteri ini potensial bersifat patogen, juga merupakan kontaminan bagi produk ternak seperti daging, telur, dan susu (Woolcock, 1991). Salmonellosis yang merupakan penyakit zoonose ini juga disebut “Food Borne Disease” karena penularannya terjadi melalui makanan dan minuman (Tamadja, 1982).
Salmonella sp. banyak ditemukan pada saluran pencernaan vertebrata maupun invertebrata, dan juga terdapat pada feses ternak. Bakteri ini juga terdapat pada tembolok broiler sehingga dapat mengkontaminasi karkas (Lee, 1992).
Berdasarkan uji morfologi terhadap bentuk dan susunan sel bakteri secara mikroskopis serta penentuan Gram bakteri didapatkan bahwa seluruh isolat merupakan Gram positif. Bakteri FA7 dan FS3 berbentuk batang (basil) mulai dari rantai pendek hingga rantai panjang, bakteri RA3 berbentuk bulat (kokus) berpasangan dua-dua atau diplokokus (Gambar 2).

Gambar 2. Bentuk dan susunan sel isolat (a) FA7, (b) RA3, (c) FS3

Uji Sensitifitas Antimikroba terhadap Pepsin
Sensitifitas antimikroba terhadap enzim pepsin tersebut terdapat pada Tabel 1. Penambahan enzim proteolitik (pepsin) pada substansi penghasil antimikroba akan menyebabkan aktifitasnya berkurang dan bahkan tidak ada aktifitas.

Tabel 1. Diameter zona hambatan antimikroba (mm) dengan penambahan pepsin
Isolat Diameter zona hambatan dengan volume enzim
25 µl 50 µl
FA7 tanpa enzim (K)FA7 dengan enzimRA3 tanpa enzim (K)RA3 dengan enzimFS3 tanpa enzim (K)FS3 dengan enzim 1007590 908090

Dengan demikian diketahui bahwa substansi antimikroba yang dihasilkan pada penelitian ini sensitif terhadap enzim proteolitik (pepsin). Ini berarti bahwa protein merupakan komponen utama pada substansi antimikroba yang aktif (Tagg et al. 1976). Substansi protein yang dihasilkan oleh strain bakteri tertentu dan mempunyai kemampuan untuk menghambat bakteri lain serta sensitif terhadap enzim proteolitik, secara umum disebut sebagai antimikroba. Holzaptel et al. (1995) juga menyatakan bahwa antimikroba merupakan metabolit sekunder yang dihasilkan oleh ribosom sel yang kemungkinan tidak aktif oleh enzim protease dalam saluran pencernaan. Selain itu pepsin mempunyai aktivitas yang tinggi (Muchtadi, et al. 1992) sehingga kemampuannya untuk mengikat protein yang terdapat dalam antimikroba juga besar.

Uji Sensitifitas Antimikroba terhadap pH dan Susu
Sensitifitas antimikroba sangat dipengaruhi oleh pH dan suhu. Hasil uji sensitifitas antimikroba terhadap pH dan suhu dapat dilihat pada Tabel 2. Hasil uji aktivitas pada berbagai level suhu (30, 35, 40, 45, dan 500C) menunjukkan bahwa hanya pada suhu 350C ketiga isolat tersebut mampu menghasilkan zona hambatan.
Berdasarkan hasil rataan daya hambat antimikroba dari ketiga isolat pada lima perlakuan pH (5,5; 6,0; 6,5; 7,0 dan 7,5) terlihat bahwa daya hambat antimikroba dari isolat FA7 tertinggi terjadi pada pH 7,0 (19,0 mm) dan terendah pada pH 6,0 (7,0 mm). Pada bakteri RA3, daya hambat antimikroba tertinggi terjadi pada pH 7,0 dengan rataan hambatan sebesar 29,7 mm dan terendah pada pH 7,5 dengan rataan hambatan 10 mm. Aktivitas hambatan antimikroba bakteri FS3 tertinggi terjadi pada pH 6,5 yaitu sebesar 31,3 mm dan pada pH 7,0 aktivitas tersebut mulai mengalami penurunan hingga akhirnya diperoleh aktivitas penghambatan terkecil pada pH 7,5 yaitu sebesar 16,3 mm. Barrow (1963) menyatakan bahwa perubahan pH dapat menyebabkan perubahan aktivitas antimikroba hingga menjadi tidak aktif.
Hasil uji kontras ortogonal memperlihatkan bahwa kedua perlakuan (pH dan jenis isolat) berbeda sangat nyata (P

Tabel 2. Rataan diameter zona hambatan antimikroba terhadap Salmonella sp. pada suhu 350C

Isolat pH Rataan ± SE
5,5 6,0 6,5 7,0 7,5
——————————mm——————————-
FA 18,7b 7,0b 18,3b 19,0b 16,7b 15,9±2,3
RA 15,0b 17,7b 29,0a 29,7a 10,0b 20,3±3,9
FS 17,7b 24,0a 31,3a 22,7a 16,3b 22,4±2,7
Rataan ± SE 17,1±1,1 16,2±4,9 26,2±4,0 23,78±3,1 14,33±2,2
Keterangan : Nilai yang bersuperskrip a menunjukkan daya hambat antimikroba yang lebih baik dibandingkan nilai yang bersupeskrip b (beda nyata pada P Daya hambat antimikroba dari isolat FA7 (15,9 mm) secara statistik berbeda sangat nyata (P Hasil uji kontras ortogonal juga menunjukkan bahwa terdapat interaksi antara faktor isolat bakteri dengan perlakuan pH. Dengan demikian dapat diartikan bahwa selain dipengaruhi oleh pH, daya hambat antimikroba juga dipengaruhi oleh jenis isolat bakteri.

KESIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian, diperoleh kesimpulan sebagai berikut :
1. Tiga dari 34 isolat bakteri asam laktat yang diperoleh mampu menghasilkan substansi antimikroba yang selanjutnya diberi kode FA7, RA3, dan FS3, yang masing-masing berasal dari feses ayam, saluran pencernaan ayam dan feses sapi.
2. Substansi antimikroba dari ketiga isolat tersebut sensitif terhadap protease (pepsin) dan mampu menghambat pertumbuhan bakteri Salmonella sp. dengan rata-rata zona hambat sebesar 19,5 mm.
3. Antimikroba yang dihasilkan memiliki aktivitas optimum pada pH 6,5-7,0 dan suhu 350C.
4. Diantara ketiga isolat tersebut, antimikroba dari isolat FA7 menghasilkan rata-rata penghambatan terkecil (15,9 mm), sedangkan antimikroba dari isolat RA3 dan FS3 menghasilkan penghambatan yang tidak berbeda nyata, masing-masing 20,3 dan 22,4.

UCAPAN TERIMA KASIH

Penulis mengucapkan terimakasih kepada Direktorat Pembinaan Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan Nasional yang telah membiayai penelitian ini melalui Proyek Penelitian Ilmu Pengetahuan Dasar No. Kontrak: 11/P2IPD/DPPM/III/2001.

DAPTAR PUSTAKA

Barrow, B.I. 1963. The Nature of Inhibitory Activity by Staphylococcus aureus type 71. J. Gen. Microbiol. 32:255-261.

Duerden, B.I., T.M.S. Reid, and J.M. Jewabury. 1993. Microbial and Parasitic Infection. Seventh Edition, Edward Arnold, London.

Gorbach, S.L. 2001. Microbiology of the Gastrointestinal Tract. http://www.gsbs.utmb.edu/microbook/ch095.htm (13 April 2002).

Hadioetomo, R.S. 1993. Mikrobiologi Dasal dalam Praktek, Teknik dan Prosedur Dasar Laboratorium. Cetakan Kedua. PT. Gramedia, Jakarta.

Holzapfel, W.H., R. Geisen and U. Schillinger. 1995. Biological preservation of food with reference to protective culturs, bacteriosins and food-grade enzymes. Int. J. Food Microbiol. 24:343-362.

Muchtadi, D., N.S. Palupi, M. Astawan. 1992. Enzim dalam Industri Pangan. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi. Institut Pertanian Bogor.

Steel, R.G.D. dan J.H. Torrie. 1995. Prinsip dan Prosedur Statistika Suatu Pendekatan Biometri. Edisi ke-2. Terjemahan. B. Sumantri. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.

Tagg, J.T., A.S. Dajani and L.W. Wannaker. 1976. Bacteriosins of Gram Positive Bacteria. Bacteriol. Rev. 11.722-756.

Tamadja, T. 1982. Pedoman Pengendalian Penyakit Hewan Menular. Jilid IV. Direktorat Kesehatan Hewan. Direktorat Jenderal Peternakan. Departemen Pertanian Jakarta.

Wolf, C.E. and W.R. Gibbons. 1996. Improved method for qualification of bacteriocins nisin. J.Appl. Bacteril., 80:453.

Woolcock, J.B. 1991. Microbiology of Animal and Animal Products. Department of Microbiology, University of Queensland, St.Lucia, Brisbane, Queensland, Australia.