PENYAKIT SAYAP DAN PARUH
PADA BURUNG PARUH BENGKOK
(PSITTACINE BEAK AND FEATHER DISEASE/PBFD )
IDA LESTARI SOEDIJAR
Dokter hewan praktek
e-mail : [email protected]
Jati Indah VIII/8 Sawangan, Depok, Jawa Barat 16513

ABSTRAK
Kakaktua sebagai hewan kesayangan dengan tanda klinis memperlihatkan bulu rontok dan paruh yang tumbuh tidak beraturan pernah terdeteksi di klinik kami. Penyakit Sayap dan Paruh Bengkok (PSPB) dari hewan kakatua ini belum pernah dilaporkan kejadiannya di Indonesia walaupun penyakit ini secara klinis umum terjadi (75%) pada kakaktua yang dipelihara sebagai hewan kesayangan di Australia sebagai negara tetangga kita.

ABSTRACT :
Cockatoo as pet animal with clinical signs by loss of feathers and irregularity of the beak shape had been detected in our clinic. There is no report of Psittacine Beak and Feather Disease occurrence in Indonesia, though this disease attack commonly to cacatua as pet animal in Australia.

PENDAHULUAN
Penyakit yang diberi nama sinonim : “French moult” pada sejenis burung parkit (Gough et al., 1989; Wylie et al., 1987), dilaporkan terjadi pertama kali pada burung berparuh bengkok di daerah Pasifik Selatan pada pertengahan tahun 1970. Sedangkan kejadian di Australia pertama kali dilaporkan di pegunungan Adelaide pada kakaktua jenis Psephotus yaitu pada tahun 1887-1888 dengan tanda abnormal pada bulu sayap sehingga menyebabkan hewan menjadi susah/lemah terbang. Menurut Raidal et al., 1993a, di Australia, PBFD umumnya menyerang Cacatua galerita dengan angka kejadian berkisar antara 10 sampai 20% berdasarkan pemeriksaan secara patologi dan histopatologi. Penyakit ini terjadi secara endemik pada burung paruh bengkok yang dipelihara maupun yang hidup liar (Raidal et al., 1993b)

ETIOLOGI
1. Penyebab
PBFD disebabkan oleh virus yang termasuk famili circoviridae yang dulunya dikenal dengan nama circodnaviridae, bahkan sebelumnya pernah juga disebut dengan diminuviridae. Circovirus tidak memiliki amplop dan berkomposisi untai tunggal/single-stranded dengan DNA sirkuler. Partikelnya tidak terwarnai yang dikenal merupakan virus hewan terkecil dengan ukuran spesifik 14-19 nm. Termasuk kedalam golongan virus ini adalah porcine circovirus, PBFD dan chicken infectious anemia virus (CIAV). Circovirus pada merpati antigenisitas berbeda dengan PBFD akan tetapi mereka memiliki untaian DNA yang homolog. Dengan teknik PCR, PBFD tidak dapat dideteksi sebagai circovirus merpati maupun burung gereja. Virus PBFD yang berbentuk ikosohedral ini (Sexton et al., 1994), belum diketahui hubungannya dengan circovirus unggas (Latimer et al., 1991; Pass et al., 1994; Woods et al., 1997). Untaian PBFD dengan teknik PCR memperlihatkan adanya keterkaitan genom dengan geminivirus dan virus circo tanaman (Niagro et al., 1999). PBFD tidak bereaksi silang maupun mengadakan hibridisasi DNA silang d
engan CIAV maupun virus circo pada babi.
2. Sifat alami dan kimiawi
PBFD merupakan penyakit immunodefisiensi (Raidal et al., 1993c) dengan kepadatan virus sebesar 1,37 gr/ml dalam gradien CsCl /cesium chlorida (Ritchie et al., 1991a). Badan inklusi intranuklear maupun intrasitoplasmik yang bersifat basopilik dari virus ini selalu ditemukan dalam sel epitel bulu yang mengalami nekrotik (Ritchie et al., 1991b).

3. Sifat Hayati
Antibodi terhadap PBFD dapat dideteksi dari sel darah merah Cacatua galerita, Eolophus roselcapillus, Cacatua sanguinea, Cacatua tenuirostris, Eolophus roselcapillus yang menunjukan prevalensi serologis berkisar antara 41% sampai 94%, membuktikan PBFD ini telah menyebar luas di antara burung paruh bengkok yang hidup secara liar (Raidal et al., 1993a).
Virus PBFD dapat mengagglutinasi sel darah merah Cacatua goffini, marmot, dan sejenis burung kakaktua di Australia (Eolophus roseicapillus) serta angsa/Anser-anser (Pass et al., 1993a; Raidal et al., 1994; Riddoch et al., 1997; Sexton et al., 1994), tetapi tidak untuk sel darah merah domba dan ayam (Ritchie et al., 1991b).
Pertumbuhan virus secara in-vitro dalam biakan jaringan belum berhasil dilakukan (Raidal et al., 1994; Ritchie et al., 1991b) namun diketahui virus ini dikeluarkan melalui faeces dari hewan terkena penyakit (Raidal et al., 1993b). Burung yang tertular PBFDV secara aktif memiliki titer haemagglutination inhibition (HI) lebih rendah daripada burung yang pernah terkena walaupun secara klinis akan dapat terlihat kembali normal. Tipe klinis penyakit ini biasanya berhubungan dengan hadirnya antibodi HI. Bentuk perakut dan akut umumnya terjadi pada burung paruh bengkok yang baru lahir dengan angka mortalitas tinggi karena perubahan patologi yang hebat pada bursa dan sumsum tulang. Sedangkan bentuk kronis penyakit umumnya terjadi pada umur yang lebih tua (Ritchie et al., 1991b).

4. Kekebalan
Kekebalan terhadap penyakit ini untuk mencegah infeksi PBFDV dapat diperoleh melalui program vaksinasi yang efektif. Pengebalan induk yang akan mewariskan antibodinya ini secara pasif kepada anak-anaknya dapat membantu mencegah wabah penyakit ini pada burung yang berumur muda (Ritchie et al., 1991b).

EPIZOOTIOLOGI
1. Kejadian di Indonesia
Di Indonesia belum pernah ada laporan mengenai penyakit ini, tetapi kasus mirip PBFD telah terdeteksi secara klinis pada burung kakaktua peliharaan yaitu berupa paruh burung yang tumbuh memanjang dan berlekuk-lekuk tidak beraturan (Soedijar, 1998).

2. Hewan rentan
PBFD umumnya menyerang hewan muda seperti halnya infeksi awal circovirus merpati yang menyerang merpati muda umur dua bulan sampai satu tahun (Woods et al., 1997). Hewan yang termasuk rentan terhadap penyakit ini adalah : Sulphur-crested Cockatoo (Cacatua galerita), Lovebirds (Agapornis sp), parkit (Melopsittacus undulatus), kakaktua Australia. (Cacatua reseicapilla), Little Corella (Cacatua sanguinea), Major Mitchell Cockatoo (Cacatua leadbeateri), C.alba, C. sulphurea sulphurea. C. sulphurea cintrinocristata dan burung paruh bengkok lainnya (Latimer et al., 1992; Pass et al, 1984). Biasanya penyakit PBFD ini terjadi pada burung berusia kurang dari tiga tahun dan penyakit berjalan selama beberapa bulan sampai satu tahun bahkan lebih (Pass et al., 1984). Telah diketahui pula bahwa PBFD merupakan kejadian yang umum pada burung paruh bengkok yang hidup dalam penangkaran maupun yang hidup secara liar (Pass et al., 1994). Bahkan dari laporan dokter hewan praktek di Australia, sebanyak 75% dari C. sulphurea yang dipelihara sebagai hewan kesayangan memiliki tanda klinis PBFD (Ritchie et al., 1991 b).

3. Cara Penularan
Walaupun patogenesis penyakit tidak diketahui dengan jelas (Raidal et al., 1993c), tetapi diperkirakan virus ini menyerang alat pencernaan dan atau bursa fabrisius sebelum diikuti dengan viremia. Masa inkubasi penyakit ini berkisar antara tiga minggu sampai dua tahun. Tingginya titer HA (Haem Agglutination) dari feses hewan terkena adalah bukti terkuat bahwa infeksi pencernaan merupakan komponen penting dalam patogenesis penyakit. Penularan penyakit ini dapat dibuktikan melalui feses hewan yang mengalami diare karena PBFD kepada hewan lain yang peka ataupun melalui kontak dari hasil kontaminasi bulu, feses atau sekresi tembolok. Secara eksperimen dapat pula ditularkan melalui inhalasi maupun ingesti PBFDV ke hewan yang peka (Ritchie et al., 1991a).

PENGENALAN
1. Gejala klinik
Karakteristik PBFD adalah hilangnya bulu, bentuk bulu yang abnormal dan pertumbuhan paruh yang tidak teratur dan berlebihan. Bulu dan paruh yang abnormal adalah akibat proses distrofi pada epidermis bulu dan paruh, karena dalam proses penyakit terjadi nekrosis, hiperplasia dan hiperkeratosisdari lapisan epidermal (Pass et al., 1984; Woods et al., 1997). Secara klinis, C. galerita dan Agapornis sp dapat memperlihatkan kehilangan berat badan secara tiba-tiba sebelum akhirnya mengalami kematian. Burung yang terkena akan kehilangan bulu pada hampir seluruh tubuhnya. Gejala klinis kakatua yang memperlihatkan turunnya berat badan serta bulu rontok yang datang ke klinik kami semula diduga karena burung itu mengalami stres, akan tetapi paruh yang tumbuh tidak normal membuat kemungkinan burung ini menderita PBFD menjadi kurang pasti (Soedijar, 1998). Pola kehilangan bulu bervariasi dan kemungkinan berhubungan dengan kerontokan bulu pada awal penyakit. Hilangnya bulu biasanya simetris dan akar bulu yang normal akan diganti dengan pertumbuhan bulu abnormal atau dengan salah satu gejala : tertahannya lapisan bulu, adanya darah dalam tangkai bulu, tangkai bulu yang pendek, bulu yang keriting dan bentuk tidak umum, bulu dengan konstriksi sirkumferensial serta ada garis-garis tegas pada akar bulu. Paruh akan berubah bentuk menjadi berkilau. Perubahan tampilan paruh dari semi-kilau menjadi berkilau serta pertumbuhan yang cepat membuat paruh patah atau berbentuk kelokan khususnya pada permukaan mulut. Perubahan serupa dapat terjadi pada kuku. Pada bagian kulit yang tidak berbulu dari C. galerita yang menderita penyakit ini akan menjadi berwarna gelap (Gough et al., 1989; Pass et al., 1984) paruh menjadi panjang secara abnormal, nekrosis palatin (tekak lidah) dan dapat patah memanjang atau melintang (Gough et al., 1989; Ritchie et al., 1991a). Tanpa dipengaruhi jenis kelamin, hilangnya bulu dapat mencapai 75% dari seluruh bulu badannya (Latimer et al., 1992).

2. Kelainan Pascamati / Histopatologi
Kelainan pascamati pada organ hati menunjukan adanya hepatitis yang ditandai dengan nekrosis lokal hepatik. Bahkan pada beberapa kasus dapat terjadi atropi organ timus dan bursa fabrisius (Gough et al., 1989).
Virus PBFD ini juga dapat menyebabkan immunodepressi, hal ini dapat dilihat dari spesimen yang berasal dari sel yang mengalami proses degenerasi secara morfologik. Sitoplasma sel kulit yang mati tetapi tidak mengalami peradangan ini akan memperlihatkan bentuk apoptosis seperti halnya yang sering terjadi pada kasus-kasus penyakit viral yakni hepatitis dan acquired immuno deficiency syndrome (AIDS) pada manusia, newcastle disease (ND), infectious bursal disease (IBD) dan chicken infectious anemia (CIA). (Trinkaus et al., 1998). Sedangkan pada preparat histologik bulu dan epitel folikuler terlihat adanya badan inklusi basophilik intranuklear dan intrasitoplasmik dan pemeriksaan ultrastrukural dengan mikroskop elektron terlihat adanya barisan paracrystalin dari partikel virus. Penelitian terakhir menunjukkan adanya virus DNA novel dari saluran folikel bulu burung yang terkena PBFD (Latimer et al., 1991).

3. Diagnosis
Pengambilan dan pengiriman sampel guna mendiagnosis penyakit PBFD dapat berasal dari feses atau bulu dari hewan tersangka (Ritchie et al., 1991a). Diagnosis penyakit PBFD ini dapat dilakukan berdasarkan gejala klinis serta histopatologi yang ditimbulkan. Secara mikroskopik, sampel asal epidermis dan akar bulu, dapat ditemukan adanya makrofag yang berisi kumpulan partikel bewarna ungu (purple) berdiameter 17 sampai 22 nm (Pass et al., 1984). Dengan menggunakan mikroskop elektron, pada sampel akar bulu akan terlihat virion dengan diameter 18 sampai 20 nm yang serupa dengan virus parvo dalam ukuran serta morfologinya. Hasil serupa dapat terdeteksi pada sampel asal kulit dan hati african grey parrots (Psittacus erithacus erithacus) umur 7 minggu dan kakaktua payung (C. alba) umur 12 sampai 20 minggu (Gough et al., 1989; Ritchie et al., 1990). Sedangkan dengan teknik avidin-biotin complex immunoperoxidase, dapat diamati adanya badan inklusi intranuklear pada sel epitel bulu dan badan inklusi bodi intrasitoplasmik makrofag epitel bulu dan akar bulu hewan yang terkena PBFD. Pada umumnya badan inklusi dapat dengan mudah teramati di sel makrofag dan semakin berkurang pada inti sel epitel. (Latimer et al., 1991). Penyidikan burung secara individual dapat dilakukan dengan teknik immunokimia, transmisi mikroskop elektron dan amplifikasi genom virus PBFD yaitu dengan PCR dengan hibridisasi dot-blot DNA. Bagi laboratorium yang memiliki peralatan terbatas, metoda diagnosis yang sederhana dan rutin untuk penyakit ini dapat dilakukan dengan uji haem agglutination- haem inhibition (HA-HI) (Raidal et al., 1993a; Raidal et al ., 1993 c) maupun dengan agar gel precipitation test (AGPT) (Ritchie et al., 1992).

TINDAKAN
1. Pencegahan
Pencegahan dapat dilakukan dengan vaksinasi menggunakan vaksin mati (inactivated vaccine) dalam adjuvant (Raidal et al., 1993b; Ritchie et al., 1992). Pada klinik dokter hewan, pemeriksaan burung yang tersangka mengidap PBFD atau penyakit menular lainnya hendaknya dilakukan pada tempat yang terpisah sistem aliran udaranya, mengingat secara eksperimental penyakit ini dapat ditularkan secara inhalasi (Ritchie et al., 1991a). Semua prosedur HA-HI yang diberlakukan terhadap penyakit newcastle disease (ND) dan avian influenza (AI) pada eksportir, sebaiknya juga mulai dirintis dari sekarang untuk diberlakukan bagi PBFD. (Hernomoadi, 2003).

2. Pengendalian
Peralatan, kandang dan fasilitas lain yang terkontaminasi dengan feses dan bulu asal hewan yang positif PBFD harus dibersihkan berulangkali guna menghilangkan residual virus yang dapat ditemukan dari peralatan tersebut (Ritchie et al., 1991 a).

UCAPAN TERIMAKASIH
Terimakasih penulis haturkan untuk Ibu Zakiah Muhajan, SS., (Perpustakaan Balitvet Bogor) atas bantuannya dalam menelusuri pustaka.

DAFTAR PUSTAKA
Gouh, R. E., M. S Collins and A.C. Gresham. (1989). A parvovirus – like agent
asociated with psittacine beak and feather disease. The Vet.Record 125 : 41.
Hernomoadi, L.P. (2003). Komunikasi pribadi.
Latimer,K.S., P.M.Rakich., W.L.Steffens., I.M.Kircher., B.W.Ritchie., F.D.Niagro
and P.D.Lukert. (1991). A Novel DNA Virus associated with Feather Inclusions in Psittacine Beak and Feather Disease. Vet.Pathol 28 : 300-304.
Latimer,K.S., W.L.Steffens., P.M.Rakich., B.W.Ritchie., F.D.Niagro.,
I.M.Kircher and P.D.lukert. (1992). Cryptosporidiosis in four cockatoos with psittacine beak and feather disease. JAVMA 200 : 707-709.
Niagro,F.D., A.N.Forsthoefel., R.P.Lawrher., L.Kamalanathan., B.W.Ritchie.,
K.S.Latimer and P.D.Lukert. (1999). Beak and feather disease virus
and porcine circovirus genomes: intermediates between the geminiviruses and plant
circoviruses. Vet,Bulletin 69 : 48
Pass.D.A., and R.A.Perry.(1984). The pathology of psittacine beak and feather
disease. Australian Veterinary Journal.61. 69-74.
Pass.D.A., S.L Plant and N.Sexton. (1994). Natural infection of wild doves
(Streptopelia senegalensis) with the virus of psittacine beak and feather disease. Australian Vet. Journal. 71 : 307-308.
Raidal,S.R., C.L.McElnea and G.M.Cross. (1993 a). Seroprevalence of psittacine
beak and feather disease. In Wild psitacine birds in New South Wales. Australian Veterinary Journal.70 : 137 – 139.
Raidal,S.R., G.A.Firth and G.M.Cross. (1993 b). Vaccination and Challenge studies
with psittacine beak and feather disease virus. Australian Vet. Journal 70 : 437-441.
Raidal,S.R. and G.M.Cross. (1994). The haemagglutination spectrum of psittacine
beak and feathe disease virus. Avian Pathol. 23 : 621-630.
Raidal,S.R., M.Sabine and G.M.Cross. (1993 c). Laboratory diagnosis of psittacine
beak and feather disease by haemagglutination and haemagglutination inhibition. Aust Vet. J 70 : 133- 137.
Riddoch,P.A., S.R.Raidal and G.M.Cross. (1997). Psittacine circovirus antibody
detection and an update on the methods for diagnosis of psittacine beak and feather disease. Australian Vet. Practitioner 26 : 288
Ritchie,B.W., F.D.Niagro., K.S.Latimer., P.D.Lukert., W.L. Steffens., P.M.Rakich
and N.Pritchard. (1990). Ultrastructural, Protein composition, and antigenic comparison of psittacine beak and feather disease virus purified from four genera of psittacine birds. J. of Wildlife diseases. 26 : 196 – 203
Ritchie,B.W., F.D.Niagro., K.S.Latimer., W.L. Steffens., D. Pesti., J.Ancoma and
P.D.Lukert (1991a). Routes and prevalence of shedding of psittacine beak and feather virus. Am.J.Vet.Res. 52 : 1804 – 1809.
Ritchie,B. W., F .D.Niagro., K .S.Latimer., W. L. Steffens., D. Pesti and P. D.
Lukert (1991 b). haemagglutination psittacine beak and feather disease virus and use of haemagglutination inhibition for detection of antibodies against the virus. Am.J.Vet.Res. 52 : 1810 – 1815.
Ritchie,B.W., F.D.Niagro., K.S.Latimer., W.L. Steffens., D. Pesti., R.P. Campagnoli
and P.D.Lukert (1992). Antibody response to and maternal immunity from an experimental psittacine beak and feather vaccines. Am.J.Vet.Res. 53 : 1512 – 1518.
Sexton,N., W.J.Penhale., S.L Plant and D.A.Pass. (1994). Use of red blood cells
for detection of infection with psittacine beak and feather virus by haemagglutination and haemagglutination inhibition Aust..Vet. J. 71 : 345 – 347.
Soedijar, I.L. (1998). Practitioner report in animal clinic (unpublished).
Trinkaus,K., S.Wenisch., R.Leiser., M.Gravendyck and E.F.Kaleta. (1998).
Psittacine beak and feather disease infected cells show a pattern of apoptosis in psitaccine skin.
Wylie,S.L and D.A.Pass. (1987). Experimental reproduction of psittacine beak and
feather disease / French Moult. Avian Pathol. 16 : 269-281.
Woods, L.W., and H.L.Shivaprasad. (1997). Pigeon Circovirus Infection. Dis.of
Poultry. Edition 7.: 1050-1053.