Tindakan Transfusi Darah Sebagai Terapi Simptomatik
pada Pedet Sapi Japanese Black (JB) Penderita Anemia*)

(BLOOD TRANSFUSION APPLIED AS SYMPTOMATIC THERAPY TO THE JAPANESE BLACK (JB) CALF SUFFERING FROM ANEMIA)

CHUSNUL CHOLIQ1, TAKESHI TSUKA2, YASUHO TAURA2

1) Bagian Klinik Hewan, Fakultas Kedokteran Hewan,
Institut Pertanian Bogor, Jl. Agatis Kampus IPB Darmaga Bogor, Indonesia - email: [email protected]
2) Veterinary Teaching Hospital,
United Graduate School of Veterinary Science
Yamaguchi University 1677-1 Yoshida, Yamaguchi 753-8515, Japan

ABSTRAK

Transfusi darah utuh (whole blood) telah dilakukan pada seekor anak sapi Japanese Black (JB) betina umur 4 bulan yang datang ke Rumah Sakit Hewan Universitas Yamaguchi. Tanda klinis yang ditemukan berupa adanya muntah (vomit) dan inkoordinasi. Observasi selama perawatan (hospitalisasi) menunjukkan nafsu makan menurun, feses lembek dan pemeriksaan status praesens didapatkan frekuensi pulsus 148 kali/menit, frekuensi nafas 24 kali/menit dan suhu tubuh 40,2 oC. Pemeriksaan hematologi awal menunjukkan nilai sel darah merah (SDM) 19,2 x 105/µl, hemoglobin (Hb) 5,1 g/dl, dan hematokrit (PCV) 19%. Pemeriksaan kualitas fisik SDM didapatkan adanya deformitas berupa sel keriput dan mengecil. Transfusi dilakukan menggunakan teknik dan perhitungan menurut Hunt dan Wood (1999) dengan terlebih dahulu dilakukan slide test dan tube test. Hasil transfusi menunjukkan adanya perkembangan yang cukup signifikan terhadap nilai SDM, Hb dan PCV masing-masing dari 27.2×105/µl, 6.5 g/dl dan 25% menjadi 64.4×105/µl, 10.4 g/dl dan 43% yang didapatkan dari hari kesatu sampai hari keempat pasca transfusi. Transfusi darah utuh dapat dilakukan pada pedet JB penderita anemia selama hospitalisasi tanpa disertai efek negatif reaksi imunologis, setelah melewati masa krisis pada hari ketiga.

Kata kunci : hematologi, transfusi, anemia, terapi simptomatik

ABSTRACT

Blood transfusion was performed to the female Japanese Black calf four months age came to the Veterinary Teaching Hospital Yamaguchi University. Clinical signs found vomitting and incoordination. Observation during hospitalization noted loss appetite, soft manure and the praesens stated shown the pulse rate 148 waves/minute, respiratory rate 24 time/minute and body temperature 40.2 oC. Hematology examination initially shown the values of red blood cells (RBC) 19.2×105/µl, hemoglobin (Hb) 5.1 g/dl and hematocrit (PCV) 19%. Microscopic examination of RBC shown the defect of the cells, wringkled and smaller size. Transfusion technique and measurement introduced by Hunt and Wood (1999) with slide test and tube test (cross-matching test) performed. The results shown significantly developed values of the red blood cells, hemoglobin and hematocrit from 27.2×105/µl, 6.5 g/dl and 25% to 64.4×105/µl, 10.4 g/dl and 43% respectively from the day first until the day fourth post transfusion. Whole blood transfusion could be applied to the JB calf suffering from anemia during the hospitalization without negative immunological reaction after critical period at the day third.

Key words : hematology, transfusion, anemia, symptomatic therapy

*) Disampaikan pada Konferensi Ilmiah Veteriner Nasional VIII Konggres XIV Perhimpunan Dokter Hewan Indonesia. Mataram, NTB 7-10 Oktober 2002

PENDAHULUAN

Transfusi darah adalah suatu tindakan pemberian darah atau komponen darah dari seekor hewan, yang disebut donor diberikan pada hewan lain, yang disebut resipien. Transfusi darah diperlukan ketika ada perdarahan atau kerusakan sel darah merah yang spesifik sehingga mengakibatkan timbulnya tanda klinis menurunnya kemampuan daya angkut oksigen dan anemia hipoksia akut (Hunt and Wood, 1999). Bergantung pada alasannya, pemberian transfusi pada setiap individu dapat diberikan darah utuh (whole blood) atau komponen darah, seperti sel darah merah, platelet, faktor pembeku darah, plasma segar, atau sel darah putih (Hunt and Wood, 1999; Mallari, 2001).
Alasan-alasan tindakan transfusi darah perlu dilakukan, menurut Jain (1993) antara lain (1) untuk mencegah syok dari kehilangan volume darah pada hemoragi akut, (2) meningkatkan kemampuan daya angkut oksigen darah yang memungkinkan kondisi pasien menjadi lebih baik (normal) dan (3) upaya untuk menjaga kematangan normal dari sel darah merah pada anemia idiopatik tertentu dengan jalan memberikan kesempatan pada jaringan eritropoietik (sumsum tulang) beristirahat. Adapun indikasi yang paling sering digunakan dalam melakukan transfusi dengan darah utuh adalah untuk meningkatkan kemampuan daya angkut oksigen darah, karena kehilangan sepertiga volume darah secara akut dapat menyebabkan syok dan kematian.
Oleh karena itu langkah pertama yang dilakukan seorang dokter adalah mengidentifikasi secara nyata nilai ambang untuk memulai transfusi darah yang disebut sebagai triger transfusi (Fredman et al., dalam Hunt and Wood, 1999). Parameter yang digunakan dalam menduga kebutuhan untuk melakukan transfusi antara lain nilai PCV (hematokrit), konsentrasi plasma protein (PP), tanda-tanda klinis (tachikardia, lemah dan lesu), konsentrasi hemoglobin (Hb), campuran tekanan oksigen vena (PvO2) dan rasio pengeluaran oksigen.
Indikasi yang nyata untuk melakukan transfusi adalah kondisi klinis dari hewan, seperti parahnya depresi respirasi dan tachikardia yang harus segera diatasi. Menurut Sigmund et al., (1979) apabila terjadi kenaikan pulsus sampai 30 kali/menit secara berkelanjutan pada saat hewan diberdirikan, maka dapat diasumsikan bahwa ada kira-kira 20 sampai 25% volume darah atau sekitar 18 sampai 22 ml darah/kg berat badan yang hilang (Hunt and Wood, 1999).
Studi ini bertujuan untuk menerapkan metode transfusi darah pada kondisi gawat darurat pasien anak sapi dengan tanda-tanda klinis anemia sebelum dilakukan tindakan lebih lanjut untuk mendiagnosis penyakit primernya. Selain itu juga untuk melihat pengaruh pemberian darah utuh terhadap perkembangan gambaran darah sampai mencapai titik kritis adanya destruksi sel darah merah selama hospitalisasi.

MATERI DAN METODE

Materi :
Pada studi ini digunakan seekor anak sapi Japanese Black, jenis kelamin betina berumur 4 bulan yang datang ke Rumah Sakit Hewan Pendidikan, Universitas Yamaguchi Jepang dengan tanda-tanda klinis anemia. Dari kelompok sapi asalnya tidak dijumpai tanda-tanda serupa yang mencurigakan adanya penyakit menular atau penyakit yang diturunkan dari induknya. Observasi selama hospitalisasi menunjukkan nafsu makan buruk, feses lembek, suhu tubuh 40,2 oC, pulsus 148 kali/menit, laju pernafasan 24 kali/menit, sedangkan pemeriksaan fisik terlihat normal.
Pemilihan hewan donor dilakukan dengan memperhatikan jenis, golongan darah dan hubungan kekerabatan. Pada kasus ini digunakan hewan donor dan resipien yang termasuk dalam satu spesies (Japanese Black Calves). Syarat yang diperlukan sebagai hewan donor antara lain: berasal dari hewan yang sehat dan terseleksi darahnya, terbebas dari penyakit EBL, anaplasmosis, bruselosis, tuberkulosis, nonsitopatik BVD, salmonelosis, infeksi M. paratuberculosis, Sarcocystis bovicanis atau penyakit lain yang ada di daerah sekitar. Selain itu hewan donor yang ideal adalah yang belum pernah divaksinasi terhadap anaplasmosis, Johne’s disease, atau bruselosis.

Metode :
I. Teknik Reaksi Silang (Cross-Matching).
Uji reaksi silang sering digunakan pada kuda dengan teknik mayor dan minor terutama untuk mendeteksi isoaglutinin. Penggunaan pada ruminansia dapat dilakukan serupa dengan cara :
1. Darah dengan antikoagulan (CPD, ACD atau heparin) dan serum dikoleksi dari hewan donor (D) dan resipien (R).
2. Sel darah merah (SDM) dicuci dengan larutan garam fisiologis 0.9% dan dibuat suspensi 5 sampai 10%.
3. Diambil dengan volume sama (2 tetes) dan dicampur dengan baik antara:
a. SDM-D dan serum-R, pada tabung uji 1 (Sistem Mayor).
b. SDM-R dan Serum-D pada tabung uji 2 (Sistem Minor).
c. SDM-D dan Serum-D serta SDM-R dan serum-R pada tabung terpisah sebagai kontrol.
4. Tabung-tabung diinkubasikan pada suhu kamar atau 37 oC selama 30 menit, kemudian dipusing selama satu menit pada 1000 rpm.
5. Diperiksa ada tidaknya hemolisis pada tabung-tabung tersebut. Selanjutnya campuran tersebut dikocok secara perlahan dengan tangan agar terjadi pemisahan sel dan diperiksa terhadap adanya aglutinasi SDM yang persisten. Satu tetes campuran darah dipindahkan pada gelas obyek dan diperiksa di bawah mikroskop untuk melihat adanya aglutinasi. Adanya hemolisis atau aglutinasi yang signifikan pada salah satu atau kedua campuran pada tabung uji, tetapi tidak pada tabung kontrol merupakan indikasi inkompatibilitas.

II. Aplikasi Transfusi
Transfusi dilakukan secara intravena melalui vena jugularis dengan hati-hati dan perlahan dengan kecepatan kira-kira 1 liter/jam dalam waktu 15 menit pertama, untuk melihat adanya reaksi anafilaksis. Bila setelah 15 menit tidak terjadi reaksi anafilaksis, maka transfusi dilanjutkan dengan memberikan tekanan 20 ml/hg/jam.
Reaksi anafilaksis merupakan kontraindikasi untuk transfusi darah berikutnya. Reaksi ini akan muncul pada resipien yang telah mengalami sensitisasi apabila dilakukan pengulangan transfusi dalam waktu seminggu atau lebih. Tanda klinis yang muncul akibat reaksi anafilaksis dimulai dari dispnoe, gemetar, salivasi, batuk, lakrimasi, deman dan kadang-kadang terjadi atoni rumen. Untuk mengatasi tanda-tanda klinis anafilaksis ini dapat dilakukan suntikan epinephrine HCl 1:1000 dengan dosis 0.2-0.5 ml intravena atau 4-5 ml secara intramuskuler.
Jumlah darah yang akan ditransfusikan dapat dihitung menurut cara yang dilakukan Hunt dan Wood (1999) seperti berikut:

Jumlah darah transfusi={(Hbnormal - Hbresipien)x10dL/Lx0.08xBb resipien}/Hbdonor
(diadaptasi dari Hunt and Wood, 1999)
atau
Jumlah darah transfusi={(PCVnormal - PCVresipien)x90ml/kgxBb resipien}/PCVdonor
(diadaptasi dari http://cvm.msu.edu/courses/vm545/fluid/blood.htm)

Pada kasus ini anak sapi memiliki berat badan= 60 kg, nilai Hb= 5 g/dl, dengan standar Hb= 10-11 g/dl, maka akan ditransfusi sebanyak 2100 ml darah donor dengan Hb= 11 g/dl.
HASIL DAN PEMBAHASAN

Tindakan transfusi darah yang dilakukan pada anak sapi penderita anemia ini merupakan tindakan terapi simptomatis. Tindakan medis lain adalah untuk memperbaiki kondisi tubuh hewan dan memperbaiki proses metabolisme.
Indikator yang diamati selama tindakan medis ini adalah menghitung nilai-nilai hematologi antara lain sel darah merah (SDM), hemoglobin (Hb), hematokrit (PCV), sel darah putih (SDP) dan mengamati perubahan morfologi dari sel-sel darah. Hasil penghitungan hematologi dapat dilihat pada Tabel 1 dan Gambar 1, sedangkan gambaran morfologinya dapat dilihat pada Gambar 2.

Tabel 1. Hasil Penghitungan Nilai Hematologi Sebelum dan Sesudah Ditransfusi
Hari ke RBC(x105/µl) Hb (g/dl) PCV (%) WBC(x103/µl)
1 19,2 5,1 19 5,9
2 20,6 5 20 6
3 25,7 6,2 24 9,3
4 26,4 6,3 26 13,6
5 27,2 6,5 25 10
6 37,7 7,8 27 10,7
7 55,1 10,1 35 10,5
8 66,5 10,5 38 13,4
9 64,4 10,4 43 20,3

Gambar 1. Grafik Perkembangan Nilai Hematologi Sebelum dan Sesudah
Transfusi Darah.

Pada tabel 1 dapat dilihat perubahan yang progresif dari SDM diikuti dengan peningkatan nilai hematokrit dan hemoglobin. Hari kelima adalah saat (hari ke-0) dilakukan transfusi darah dengan nilai SDM 27.2×105/µl, Hb 6.5 g/dl dan PCV 25%. Perubahan ini terus meningkat sampai hari ketiga pascatransfusi dengan nilai SDM 66.5x 105/µl, Hb 10.5 g/dl dan PCV 38%, tanpa diikuti reaksi imunologis (Gambar 1.). Hari ketiga adalah titik kritis respon tubuh terhadap darah yang ditransfusikan karena SDM yang ditransfusikan menurut Hunt dan Wood (1999) hanya memiliki masa hidup (lifespan) yang pendek, yaitu antara tiga sampai empat hari. Pendeknya masa hidup SDM ini mengakibatkan terjadinya perbaikan yang singkat dalam kemampuan daya angkut oksigen darah dan perbaikan tanda klinis seperti penurunan denyut jantung dan hilangnya dengan segera rasa cemas pada hewan itu. Pada saat ini ‘supportif therapy’ berupa pemberian nutrisi yang baik dan pemberian preparat hematinik harus diberikan untuk memperbaiki metabolisme dan merangsang respon jaringan hemopoietik untuk aktif dan memperpanjang masa hidup pasien, antara lain.
Selain itu pendeknya masa hidup SDM juga diakibatkan oleh adanya destruksi dari sistem retikulo-endoltelial (RES) yang cukup efektif pada hewan ruminansia, sehingga meskipun reaksi silang kompatibel, SDM tetap akan dihancurkan dalam periode waktu antara 2 sampai 4 hari (Kalfelz dan Whitlock dalam Hunt dan Wood, 1999). Hanya sekitar 25% dari darah yang ditransfusikan akan bertahan hidup sampai 4 hari pada tubuh sapi. Sel darah merah akan dihancurkan oleh sel-sel RES yang berada pada paru-paru dan limpa. Setelah transfusi kedua mayoritas sel darah merah akan bertahan hidup kurang dari satu jam dan mungkin hanya bertahan pada satu tempat melalui jaringan retikulo-endotelial. Kondisi ketahanan hidup yang pendek ini diketahui merupakan aktifitas sistem imunologis dari serum-hemolyzing isoantibodies.
Gambaran morfologi dari SDM anak sapi ini dapat dilihat pada Gambar 2. Pada saat hewan datang ke Rumah Sakit Hewan, pemeriksaan laboratorium atas darah menunjukkan adanya bentuk-bentuk SDM berubah mengikuti keadaan anemia. Pada gambar 1A tampak banyaknya poikilositosis pada darah anak sapi yang anemik, ditandai dengan bentuk SDM yang keriput menyerupai bintang (star-like) dan ukuran yang tidak seragam anisositosis (Coles, 1986). Tindakan medis yang diberikan selama hospitalisasi hanya dengan memberikan asupan nutrisi yang baik dan seimbang antara hijauan dan konsentrat (+ 60%:40%) dan diberikan mineral-mix 50 g/hari. Perbaikan nutrisi tampaknya sedikit memberikan dampak terhadap gambaran darah karena biasanya memerlukan waktu yang cukup lama untuk memperbaiki kondisi. Gambar 1B memperlihatkan adanya SDM muda yang berbentuk lebih besar. Pemunculan SDM muda

Gambar 2. Bentuk Morfologi Sel Darah Merah Sebelum Ditransfusi (A,B,C,D) dan Sesudah Ditransfusi Darah (E,F,G,H).

menunjukkan adanya aktivitas regeneratif dari eritropoiesis. Perkembangan yang terjadi sebelum dilakukan tindakan transfusi darah, kualitas SDM dan hemoglobin anak sapi ini belum menunjukkan kemajuan yang nyata sampai dilakukan tindakan transfusi.
Gambar 1E-G merupakan gambaran darah satu hari pascatransfusi darah. Tampak adanya perubahan gambaran SDM yang nyata (Tabel 1.) dengan gambaran morfologi SDM yang mulai normal. Gambaran ini bukan merupakan gambaran SDM sapi pasien yang diberi tindakan akan tetapi campuran hasil transfusi yang masih dalam masa kritis. Indikasi yang baik adalah belum dijumpainya reaksi anafilaksis pascatransfusi. Gambaran yang serupa juga dijumpai pada hari kedua dan ketiga pascatransfusi. Kenaikan nilai SDM, Hb dan PCV merupakan indikator yang baik untuk terapi simptomatik pada kasus anemia. Peningkatan nilai hematologis tersebut nyata untuk menolong pasien dari keadaan syok dan tanda-tanda klinis menuju ke arah perbaikan. Keadaan ini tidak berlangsung lama mengikuti masa hidup SDM yang ditransfusikan sampai hari keempat. Gambar 1H memperlihatkan dimulainya aktivitas destruksi oleh sel-sel RES dan tidak adanya respon dari sistem eritropoiesis. Poikilositosis mulai muncul kembali dan nilai hematologis mulai terjadi penurunan meskipun nilai PCV saat ini mulai menunjukkan kenaikan.
Observasi lebih lanjut pada anak sapi ini mengalami hambatan dengan ditemukannya penyakit primer berupa gangguan alat pencernaan dan absorpsi dengan prognosis buruk sehingga oleh pihak Rumah Sakit dan pemilik hewan diputuskan untuk mengakhiri hidup pasien dengan euthanasia.

KESIMPULAN

Berdasarkan hasil studi terhadap pasien anak sapi Japanese Black yang menderita anemia dapat disimpulkan bahwa :
1. Kasus anemia pada anak sapi seringkali diakibatkan oleh defisiensi dan malnutrisi sehingga diagnosis tepat dan rinci perlu dilakukan.
2. Penerapan tindakan transfusi darah sebagai terapi simptomatik untuk memperpanjang masa hidup selama peneguhan diagnosis dapat dilakukan dengan metode yang sesuai dengan kaidah-kaidah yang telah teruji.
3. Gambaran darah pascatransfusi biasanya akan baik sampai masa kritis terlewati apabila respon tubuh baik dan anemia yang terjadi bersifat regenarif.

UCAPAN TERIMA KASIH

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang tulus kepada Drh. Wiwik Bagdja selaku Sekjen serta seluruh anggota Pengurus Besar Perhimpunan Dokter Hewan Indonesia (PB PDHI), yang telah memberi kesempatan kepada penulis untuk mengikuti Training Program for Asian Veterinarian ke Jepang tahun 2000-2001. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Japan Veterinary Medical Association (JAVMA) yang telah mensponsori kegiatan tersebut, sehingga penulis mendapat banyak pengalaman yang sangat berharga.

KEPUSTAKAAN

Anonimus, 2002. Bivine Transfusion Medicine. http://medtech.cls.msu.edu/ISL/vet/cow.htm

Anonimus, 2002. Whole Blood. http://cvm.msu.edu/courses/vm545/fluid/blood/htm

Coles, E.H., 1986. Veterinary Clinical Pathologi. 4th Ed. W.B. Saunders Company. Philadelphia, London, Toronto, Mexico City, Rio de Janeiro, Sidney, Tokyo, Hongkong.

Hunt, E., Wood, B., 1999. Fluid and Electrolite Therapy : Use Blood and Blood Product. Veterinary Clinics of North America : Food Animal Practice.

Jain, N. C., 1993. Essential of Veterinary Hematology. Lea & Febiger. Philadephia.

Mallari, B., 2001. Blood Transfusion. Surgery Encyclopedia. Discovery Comunication Inc.

Sigmund, O.H., Frazer, M.C., 1979. The Merck Veterinary Manual : a handbook of diagnosis and therapy for veterinarians. Merck & Co., Inc. Rahway, N.J., USA. Pp.46-47