DIMORFISME SEKSUAL GELATIK Padda oryzivora (L.)) BERDASARKAN ANALISIS GAMBARAN DARAH
(SEXUAL DIMORPHISMS OF GELATIK BIRD BASED ON HEMATOLOGICAL ANALYSIS )
Sang Putu Kaler Surata
FPMIPA, IKIP Saraswati Tabanan, Jalan Pahlawan
No 2 Tabanan. E-mail: [email protected]

ABSTRAK
Analisis gambaran darah gelatik (Padda oryzivora (L.)) bertujuan untuk membandingkan dan mengelompokkan dimorfisme seksual gelatik berdasarkan sembilan karakter gambaran darah, mencakup bobot badan, butir darah putih, butir darah merah, hematokrit, heterofil, limfosit, monosit, eosinofil dan basofil. Untuk itu, telah diteliti sebanyak 17 ekor burung jantan dan 11 ekor burung betina dewasa yang berasal dari Jawa dan Bali. Data diolah dengan analisis peubah tunggal dan ganda. Hasil uji-t menunjukkan bahwa semua karakter gambaran darah berbeda tidak nyata (P>0,05). Hasil analisis diskriminan faktorial menunjukkan bahwa sebanyak 23 ekor gelatik berkelompok sesuai dengan dimorfisme seksual. Akan tetapi, sebanyak empat ekor burung jantan tergabung dalam kelompok betina dan satu ekor burung betina tergabung ke dalam kelompok jantan.
Kata kunci: jantan, betina, karakter dan kelompok.

ABSTRACT
The objectives of this study were to compare and cluster the sexual dimorphism of Java Sparrow (Padda oryzivora (L.)) based on nine haematological characters, i.e. body weight, red blood cell, white blood cell, packed cell volume, proportion of heterophil, lymphocyte, monocyte, eosinophil and basophil. For these purposed we examined 17 males and 11 females of adult bird from Java and Bali. The data were analyzed using univariate and multivariate analyses. From T-test, we found that all of nine haematological characters were not differed significantly (P>0,05). Factorial discriminant analysis showed 23 birds were classified exactly according to these sexual dimorphism. However four males were clustered on females group, and one female was clustered on males group.
Key words: male, female, character, and cluster

PENDAHULUAN
Darah merupakan indikator penting untuk mengetahui perubahan fisiologi dan patologi pada binatang. Berbagai analisis gambaran darah pada burung digunakan untuk mengetahui perubahan fungsi respirasi selama anak burung berada dalam sarang dan pengaruh lingkungan lokal terhadap faktor fisiologi (Kostelecka-Myrcha et al., 1970; 1971; 1973; 1997; Kostelecka-Myrcha, 1987;1997; Kostelecka & Jaroszewics, 1993). Perubahan tersebut dapat dievaluasi jika gambaran darah normal pada spesies itu diketahui. Banyak faktor mempengaruhi variabel gambaran darah normal pada spesies tertentu, mencakup faktor seksual, usia, iklim dan stess lingkungan lainnya (Maxwell et al. 1992). Sampai saat ini, belum terdapat laporan tentang hasil analisis gambaran darah gelatik (Padda oryzivora (L.)). Padahal spesies tersebut di alam mengalami penurunan populasi yang sangat drastis akibat perburuan dan penangkapan secara besar-besaran untuk keperluan binatang peliharaan. Menurut van Helvoort (1981), gelatik ditangkap dan diperjualbelikan pada sejumlah pasar lokal di Jawa. Sementara Surata (1999, 2002a) menemukan ratusan ekor gelatik diperdagangkan setiap tahun di Pasar Burung Satria, Denpasar. Diduga penggunaan pestisida secara intensif berdampak negatip terhadap populasi gelatik, misalnya mengakibatkan keracunan, penurunan fertilitas, perubahan struktur cangkang dan kelahiran anak burung yang cacat (Green & Rayment, 1996; van Balen, 1997).
Adanya penurunan populasi gelatik yang sangat drastis mendorong International Union of Conservation Nature and Natural Resources (IUCN) menggolongkan gelatik dalam katagori “rentan” atau vulnerable (Collar et al., 1994). Katagori tersebut mencakup kriteria kemungkinan akan terjadi penurunan populasi lebih dari 50 persen dalam waktu 20 tahun (sekitar lima generasi), atau berpeluang punah sebesar 10 persen dalam waktu 100 tahun (IUCN Spesies Survival Commission, 1994).
Oleh karena itu, upaya-upaya konservasi harus dilakukan untuk menyelamatkan populasi gelatik dari ancaman kepunahan. Berbagai informasi diperlukan sebagai data dasar dalam penyusunan strategi penyelamatan gelatik dari ancaman kepunahan.
Penelitian ini bermaksud membandingkan dan mengelompokkan dimorfisme seksual (jantan dan betina) gelatik berdasarkan sembilan karakter kuantitatif gambaran darah. Diharapkan hasil yang diperoleh bermanfaat dalam program penangkaran (captive breeding), khususnya dalam identifikasi jenis kelamin gelatik berdasarkan pola gambaran darahnya.
BAHAN DAN METODE
Identifikasi jenis kelamin. Sebanyak 27 ekor gelatik dewasa kelamin yang berasal dari Bali dan 11 ekor asal Jawa telah dikoleksi antara bulan Juni-September 1998. Untuk identitas individu burung, pada kedua kaki burung diberikan gelang dengan plastik dengan warna merah, kuning, hijau, biru dan kuning. Sampel dipelihara dalam beberapa sangkar di Bogor (Jawa Barat) dan Bangli (Bali). Pengambilan darah untuk analisis gambaran darah dilakukan hanya sekali sekitar sebulan dari waktu koleksi sampel. Hal tersebut dilakukan untuk mengadaptasikan gelatik dalam penangkaran dan mengurangi tekanan lingkungan. Selama masa adaptasi dilakukan pengamatan untuk mengidentifikasi jenis kelamin burung. Penentuan jenis kelamin relatif sulit karena gelatik termasuk burung monomorf, yaitu bentuk dan ukuran gelatik jantan dan betina sama. Beberapa sumber menyebutkan perbedaan warna paruh dapat digunakan untuk membedakan jenis kelamin gelatik (Widodo dkk, 1998). Cara ini relatif sulit karena hanya dapat dilakukan terhadap burung yang berpasangan, dan hasil pengamatan menunjukkan tidak semua paruh burung jantan berwarna lebih cerah dibanding betina. Nurjito (pers.comm.) menyarankan menggunakan rasio panjang terhadap lebar paruh sebagai faktor pembeda jenis kelamin, tetapi pengukuran paruh terhadap spesimen awetan tidak menunjukkan perbedaan nyata rasio panjang terhadap lebar paruh antara gelatik jantan dan betina (Surata, 2001).
Untuk keperluan penelitian ini, identifikasi jenis kelamin dilakukan berdasarkan prilaku berpasangan, suara, bedah atau kombinasi dari ketiga cara tersebut. Observasi prilaku berpasangan didasarkan pada posisi spesifik burung jantan dan betina pada waktu berpasangan (Goodwin, 1963). Gelatik jantan juga cenderung lebih agresif dibanding gelatik betina (Widodo dkk, 1998). Prilaku bersiul gelatik terdiri dari nada yang panjang sehingga sering disebut “nyanyian”. Nyanyian diakhiri oleh bunyi bergetar atau klik; tidak jarang nyanyian diakhiri dengan suara panjang weeeee (Clement, 1993). Bahkan dalam penangkaran gelatik juga dikenal dapat menirukan suara-suara burung yang lain (Karjono, 1998). Hanya burung jantan yang bersiul, hal tersebut didukung oleh observasi selama lima tahun oleh Goodwin (1963) yang menemukan hanya burung jantan yang bernyanyi (n=80). Identifikasi bedah dilakukan apabila setelah pemeriksaan gambaran darah, burung mati. Melalui identifikasi bedah ditentukan apakah burung memiliki testis (jantan) atau ovarium (betina). Konsekuensi dari identifikasi prilaku seksual, bersiul dan bedah maka tidak semua jenis kelamin burung dapat diidentifikasi. Dari 38 sampel hanya 28 sampel yang dapat diidentifikasi (Tabel 1), sedangkan jenis kelamin 10 sampel sisanya tidak teridentifikasi. Pembandingan dan pengelompokan gambaran darah hanya dilakukan terhadap burung yang telah diketahui jenis kelaminnya, sedangkan data gambaran darah dari burung yang tidak diketahui jenis kelaminnya tidak disertakan dalam penelitian ini.
Tabel 1. Identifikasi dimorfisme seksual gelatik (P. oryzivora)
Cara identifikasi Jumlah gelatik teridentifikasi
Jantan (n 17) Betina (n 11)
Prilaku seksual 2 8
Bedah 1 3
Suara 9 0
Prilaku seksual + bedah 1 0
Bersiul+Prilaku seksual 4 0

Analisis Darah. Sebanyak sembilan karakter gambaran darah gelatik yang diperiksa adalah bobot badan, butir-butir darah putih, butir-butir darah merah, hematokrit, heterofil, leukosit, limfosit, monosit, eosinofil dan basofil. Untuk itu, sampel darah dikoleksi dari vena sayap (vena ulnaris), pada Nopember 1998. Volume eritrosit yang dimanpatkan (packed cell volume) atau hematokrit untuk setiap mm3 darah ditentukan dengan menggunakan teknik mikrohematokrit (Coles, 1985). Sebelum volume eritrosit ditentukan, terlebih dahulu darah yang telah berada dalam pipet kapiler berlapiskan heparin disentrifus pada kecepatan 12 000 rpm selama lima menit. Jumlah eritrosit untuk setiap satu mm3 darah diukur dengan hemocytometer dan dihitung dengan kamar hitung (improved Neubauer) dengan menggunakan larutan Hayem sebagai larutan pengencer darah (Mitruka & Rawnsley, 1981). Sedangkan jumlah leukosit untuk setiap satu mm3 dihitung dengan kamar hitung dengan menggunakan larutan Turk sebagai larutan pengencer darah (Mitruka & Rawnsley, 1981). Penghitungan diferensial leukosit dilakukan dengan teknik hapusan darah. Preparat hapusan darah difiksasi dengan metanol dan diwarnai dengan pewarna Giemsa (Mitruka & Rawnsley, 1981). Penghitungan diferensial leukosit dilakukan sampai 100 lapangan pandang untuk setiap sampel di bawah mikroskop dengan perbesaran 1000 kali. Leukosit diklasifikasikan menjadi limfosit, monosit, heterofil, eosinofil dan basofil.
Analisis multivariat. Analisis diskriminan faktorial dilakukan dengan tujuan (1) menguji tingkat perbedaan dimorfisme seksual yang ditentukan oleh sembilan karakter, (2) mendeterminasi karakter yang paling mencirikan perbedaan jenis kelamin, dan (3) mendeterminasi individu yang tidak terdiskriminasi (Bengen, 1998).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil. Rataan gambaran darah (±simpangan baku) untuk ke 28 ekor gelatik berturut-turut bobot badan 25,18±1,34(g), hematokrit 60,25±12,18(%), basofil 0,71±0,26(%), heterofil 36,39±15,96(%), limposit 58,96±16,57(%), monosit 2,82±2,61(%), eosinofil 0,75±1,30(%), BDP 2,38±0,82 (x103/mm3), dan BDM 4,99±0.59 (x106/mm3). Sedangkan perbedaan gambaran darah antara burung jantan dan betina disajikan dalam Tabel 2. Pada tabel tersebut terlihat hanya pada bobot badan, monosit, dan BDP nampak terdapat perbedaan. Akan tetapi hasil analisis ragam (F1,26) untuk ke sembilan karakter berkisar dari 0,01 (hematokrit dan eosinofil); 0,10 (basofil); 0,27 (BDM); 0,77 (limfosit); 1,59 (heterofil); 3,09 (bobot badan); 3,35 (BDP); dan 3,97 (monosit). Hal itu berarti sembilan karakter gambaran darah pada gelatik jantan dan betina berbeda tidak nyata.

Tabel 2. Perbedaan rataan (± = simpangan baku) gambaran darah antara gelatik (P. oryzivora) jantan dan betina

Gambaran darah Jenis kelamin burung
Jantan (n 17) Betina (n 11)
Bobot Badan (g) 25,53±1,14 24,64±1,43
HCT (%) 60,06±12,92 60,55±10,97
Basofil (%) 0,06±0,24 0,09±0,29
Heterofil (%) 39,47±18,09 31,64±10,28
Limposit (%) 56,71±17,92 62,46±13,51
Monosit (%) 2,06±1,16 4,00±3,59
Eosinofil (%) 0,76±1,35 0,73±1.21
BDP (x 103/mm3) 2,60±0,89 2,04±0,53
BDM (x106/mm3) 5,04±0,54 4,92±0,65
Keterangan: HCT (Hematokrit); BDP (butir-butir darah putih); BDM (butir-butir darah merah).
Analisis diskriminan faktorial menunjukkan bahwa informasi gambaran darah gelatik terpusat pada sumbu utama pertama. Akar ciri (ragam diskriminan) dari sumbu tersebut 0,55. Kontribusi pada variasi total atau persentase diskriminan yang dijelaskan oleh sumbu utama pertama adalah 100%. Vektor ciri atau koefisien sembilan karakter gambaran darah dalam fungsi linear sumbu utama pertama berkisar dari berkisar dari -1,17 (limposit), -0,64 (basofil), -0,53 (heterofil), -0, 41 (monosit), -0,32 (hematokrit), -0,19 (eosinofil), 0,06 (BDM), 0,35 (BDP) dan 0,65 (bobot badan).
Nilai pseudo-F diperoleh sebesar 14,34; nilai tersebut nyata lebih besar dibanding sembilan nilai F sebelumnya sehingga sebetulnya menjadi indikator yang baik dari fungsi linear analisis diskriminan faktorial. Dengan begitu berarti memperhitungkan sejumlah karakter untuk menentukan diskriminasi jauh lebih baik dibanding hanya dengan memeriksa satu karakter terisolasi. Hal tersebut disebabkan diskriminasi tidak hanya didasarkan perbedaan rataan dan ragam sebagaimana analisis ragam melainkan juga berdasarkan korelasi antara sembilan karakter (Bengen, 1998).
Akan tetapi, dalam kasus ini, jika nilai pseudo-F diuji dengan formula (Bengen, 1998:61):
[(C1- p +1)/p][T2/C1] » {p, C1 – p + 1}
dalam mana C1 = n1 + n2 – 2 dan p = jumlah karakter; maka diperoleh nilai F1,26=1,14. Nilai tersebut berarti diskriminasi gelatik jantan dan betina dengan menggunakan kombinasi sembilan karakter gambaran darah juga menunjukkan perbedaan yang tidak nyata.
Walaupun demikian jika diperiksa representasi individu dalam histogram (Gambar 1), terlihat ada diskriminasi jenis kelamin. Persentase individu yang terklasifikasi secara tepat sebanyak 82,1%, dengan perincian dari 17 burung jantan sebanyak 13 individu tergabung dalam kelompok jantan, sedangkan 4 individu masuk ke dalam kelompok betina. Sebaliknya dari 11 burung betina, 10 individu masuk ke dalam kelompok betina, sedangkan 1 individu masuk dalam kelompok jantan.
Pada Gambar 1, terlihat 13 burung jantan yang masuk dalam kelompok jantan berada pada kisaran posisi -0,20 s/d 1,80 (J03,J10,J13,J14,J08,J06,J17,J11,J15,J16,J09,J04 dan J01. Sebanyak 4 burung jantan yang masuk ke dalam kelompok betina adalah J02, J05, J07 dan J12 (-10,99 s/d –0,39). Sedangkan 10 burung betina yang berada dalam kelompok betina berada pada posisi –1,99 s/d –0,20, yaitu B1 ,B2, B3, B4, B5, B6, B8, B9, B10 dan B11. Sedangkan B07 yang tergabung dalam kelompok jantan berada pada posisi 0,40. Dengan begitu terdapat kecenderungan gelatik dengan jenis kelamin jantan menempati sisi sebelah kanan (nilai positip) sumbu dan gelatik dengan jenis kelamin betina menempati sisi sebelah kiri (nilai negatip) sumbu.

Gambar 1. Representasi individu gelatik (Padda oryzivora (L.)) dalam histogram. B = betina (n 11); J = jantan (n 17)

Pembahasan. Pemeriksaan gambaran darah ini tidak dapat mengelompokkan jenis kelamin gelatik berdasarkan sembilan karakter kuantitatif dari gambaran darah. Hal itu disebabkan, pertama analisis hanya dilakukan satu kali. Hal ini tidak dapat dihindari dalam penelitian ini, karena koleksi darah juga diperlukan untuk analisis DNA (Surata, 2000); salah satu hasil analisis DNA membuktikan bahwa terdapat diferensiasi genetik antara gelatik yang berasal dari Jawa Barat, Jawa Timur, Bali Utara dan Bali Selatan (Surata, 2002b). Kedua, waktu untuk analisis gambaran darah dilakukan di luar musim kawin dan berbiak gelatik. Di Jawa dan Bali gelatik berbiak antara Mei sampai Agustus (Surata, 2000) sedangkan di negara-negara subtropis, gelatik berbiak mulai pertengahan September sampai akhir April (Islam, 1997). Lebih lanjut, Saito (1992) menyimpulkan bahwa aktivitas reproduksi gelatik dengan pemberian makanan ad libitum kemungkinan distimulasi oleh penurunan panjang hari (daylengths). Ketiga, jumlah sampel relatif kecil sehingga berpengaruh terhadap nilai rataan dan simpangan baku beberapa karakter gambaran darah. Persentase monosit, basofil dan eosinofil pada gelatik sangat rendah. Mitruka dan Rawnsley (1981) juga menemukan persentase monosit, basofil dan eosinofil yang relatif rendah pada ayam (Gallus domesticus), merpati (Collumbia livia), itik (Platyrhynchos domesticus), kalkun (Meleagris gallopavo) dan puyuh (Coturnix coturnix coturnix). Belum lagi bias yang disebabkan oleh hasil analisis dari sampel dalam keadaan tertekan atau sakit, dalam sampel berukuran kecil. Penggunaan sampel dengan ukuran lebih besar pada kasus tersebut dapat mengurangi faktor bias dalam analisis statistik.
Selain prilaku seksual (Goodwin, 1963), penelitian untuk menentukan jenis kelamin gelatik melalui prilaku agresif (Babtista & Atwood, 1980), morfometri (Surata, 2001) dan bercak putih (Surata, 2002c) tidak dapat mengungkapkan perbedaan nyata jenis kelamin gelatik. Salah satu cara efektif untuk mengidentifikasi jenis kelamin burung monomorf adalah dengan analisis molekular (molecular sexing). Teknik tersebut telah dilakukan dalam identifikasi jenis kelamin berbagai spesies burung paruh bengkok (Psittacidae), angsa salju (Chen caerulescens) dan pada satu spesies burung laut (Sterna dougallii) (Quinn et al., 1990; Sabo et al., 1994; Millar et al. 1996; Miyaki et al., 1997).
SIMPULAN
Bobot badan, monosit dan butir-butir darah putih menunjukkan sedikit perbedaan antara gelatik jantan dan gelatik betina. Sebanyak 23 (82,1%) gelatik menunjukkan dimorfisme seksual. Persentase burung betina yang tergabung dalam kelompok betina (90,91%) lebih tinggi dibanding burung jantan (76,47%) yang tergabung dalam kelompok jantan. Hal itu disebabkan, dari 5 ekor burung (17,86%) yang tidak menunjukkan dimorfisme seksual, sebanyak 4 ekor burung jantan (23,53%) memiliki karakter gambaran darah tergabung dalam kelompok betina. Sebaliknya hanya satu ekor gelatik betina (9,09%) memiliki karakter gambaran darah tergabung dalam kelompok jantan.
UCAPAN TERIMA KASIH
Ucapan terima kasih disampaikan kepada Bapak Benyamin Tempuhireng, Ketut Berata dan Ida Bagus Astawa yang banyak membantu koleksi sampel. Tidak dapat dilupakan budi baik dan bantuan dari Saudara Adi yang dengan penuh perhatian telah memelihara dan merawat sampel selama lebih dari setahun. Penelitian ini tidak dapat diselesaikan tanpa bantuan dari Ibu Ida dan Ibu Sri dari Laboratorium Fisiologi-FKH, IPB Bogor, untuk itu penulis mengucapkan terima kasih.

DAFTAR PUSTAKA

Baptista, L. & A. D. Atwood. 1980. Agonistic behavior in the Java Finch (Padda oryzivora). J. Orn., 121:171-179.
Bengen, D.G. 1998. Sinopsis analisis statistik multivariabel/multidimensi. Program Pasca Sarjana IPB, Bogor.
Clement, P. 1993. Finhces and sparrows: an identification guide. Princeton Univ. Press, Pronceton, NJ.
Coles, B. H. 1985. Avian Medicine & Surgey. Blackwell Scientific Publ., Melbourne.
Collar, N. J., M. J. Crosby & A. J. Stattersfield. 1994. Birds to Watch 2. The world list of threatened birds. BirdLife Conservation Series No.4
Goodwin, D. 1963. Observation on Java Sparrow. Avic.Mag., 69:54-69.
Green, R. E., & M. D. Rayment. 1996. Geographical variation in the abundance of the Corncrake Crex Crex in Europe in relation to the intensity of agriculture. Bird Conserv. International, 6:201-211.
Islam, K. 1997. Java sparrow, Padda oryzivora. The Birds of North America, 304:1-12.
IUCN Spesies Survival Commission. 1994. IUCN red list catagories. As approved by the 40th meeting of the IUCN Council Gland, Switzerland.
Karjono, 1998. Gelatik cantik kian dilirik. Trubus, 345: 76-77.
Kostelecka-Myrcha, A. 1987. Respiratory function of a unit blood volume in the Little Auk (Plautus alle) and the Arctic Tern (Sterna paradisaea). Comp. Biochem. Physiol., 86A:117-120.
Kostelecka-Myrcha, A. 1997. The ratio of amount of haemoglobin to total surface area of erythrocytes in birds in relation to body mass, age of nestling, and season of the year. Physiol. Zool., 70:278-282.
Kostelecka-Myrcha, A. & M. Jaroszewicz. 1993. The changes in the values of red blood indices during nestling development of the House Martin Delichon urbica. Acta Orn., 28:39-46
Kostelecka-Myrcha, A., J. Pinowski & T. Tomek. 1970. Changes of respiratory function of the blood of nestling Tree Sparrow (Passer montanus L.) during their development. Bull. Acad. Poult. Sci., 18:717-722.
Kostelecka-Myrcha, A., J. Pinowski & T. Tomek. 1971. Changes in the respiratory function of the blood of nestling Common Sparrow (Passer domesticus L.) during their development. Bull. Acad. Pol. Sci., 19:639-645.
Kostelecka-Myrcha, A., J. Pinowski & T. Tomek. 1973. Changes in the hematological values during the nestling period of the Great Tit (Parus major L.). Bull. Acad. Pol. Sci., 21:725-732.
Kostelecka-Myrcha, A., J. Zukowski & E. Oksiejczuk. 1997. Changes in the red blood indices during nestling development of the Tree Sparrow Passer montanus in an urban environment. Ibis, 139:92-96.
Maxwell, M. H., P. M. Hocking, & G. W. Roberston. 1992. Differential leucocyte responses to various degrees of food restriction in broilers, turkeys and ducks. Br. Poul. Sc., 33: 177-187.
Millar, C.D., C.E.M. Reed, J.Y. Halverson, and D.M. Lambert. 1996. Captive management and molecular sexing of endangered avian species: an application to the Black Stilt Himantopus novaeselandidae and hybrids. Biological Conservation, 82:81-86.
Mitruka, B. M., & H. D. Rawnsley. 1981. Clinical Biochemical and Hematological Reference Values in Normal Experimental Animals and Normal Humans. Second Edition. Year Book Medical Publishers. Inc., Chicago.
Miyaki, C.Y, J.M.B. Duarte, Capproz, R., Nunes, A.L.V., and A. Wajntal. 1997. Sex identification of South American Parrots (Psittacidae, Aves) using the human microsatellite Probe 33.15. The Auk, 114(3):516-520
Saito, N., K. Shimada, N. Nomura, K. Oguri, K. Sato, and M. Wada. 1992. Seasonal changes in the reproductive functions of Java Sparrows (Padda oryzivora). Comp. Biochem. Physiol. 101A(3):459-463.
Sabo, T.J., R Kesseli, J.L. Halverson, I.C.T. Nisbet, and J.Y. Hatch. 1994. PCR-based method for sexing Roseate Terns (Sterna dougallii). The Auk, 111(4):1023-1027.
Surata, S.P.K. 1999. Catatan harian pengamatan burung. Tidak dipublikasikan.
Surata, S.P.K. 2000. Filogeografi intraspesies gelatik (Padda oryzivora (L.))(Passeriformes: Ploceidae) di Pulau Bali. Disertasi (S3) PPs-IPB, Bogor.
Surata, S.P.K. 2001. The sexual morphometric dimorphism in the Java Sparrow (Padda oryzivora L.). Biota VI(2): 81-84.
Surata, S.P.K. 2002a. Catatan harian pengamatan burung. Tidak dipublikasikan.
Surata, S.P.K. 2002b. The identification of potential conservation units of Java Sparrow
(Padda oryzivora L.) based on DNA RAPD markers. Jurnal Biologi, VI: 27-32.
Surata, S.P.K. 2002c. Pola dan ukuran bercak putih pipi gelatik (Padda oryzivora L.). Jurnal Veteriner 3: 10-14.
van Balen, S. 1997. Java Sparrow Padda oryzivora. PHPA/Birdlife International-Indonesia Programme, Bogor.
van Helvoort, B.E. 1981. Bird population in the rural ecosystems of West Java. Nature Cons. Dpt. Agr. Un. Wageningen. Student report.
Quinn, T.W., F. Cooke, and B.N. White. 1990. Molecular sexing of Geese using a sloned Z chromosomal sequence with homology to the W chromosome. The Auk, 107(1):199-202.
Widodo, W., S. Paryanti, dan S. Handini. 1998. Sukses memelihara dan menangkar gelatik. Penebar Swadaya, Jakarta