Pengaruh Perbedaan Umur Itik Terhadap Kualitas Daging Betutu
(THE EFFECT OF DUCK AGE TO THE QUALITY OF BETUTU MEAT)

IDA BAGUS SUDANA
Jurusan Nutrisi dan Makanan Ternak
Universitas Udayana Denpasar

RINGKASAN
Penelitian ini diadakan dengan tujuan untuk mengetahui pengaruh umur itik yang berbeda sebagai bahan baku terhadap kualitas daging betutu yang dihasilkan sehingga dapat dipilih bahan baku yang tepat untuk menghasilkan kualitas daging betutu yang baik serta sesuai dengan selera konsumen. Uji organoleptik yang dilakukan oleh 15 orang panelis berpengalaman telah dilaksanakan untuk menguji kualitas daging betutu yang dibuat dari tiga variasi umur itik yang berbeda yaitu itik muda ( umur 3 bulan), itik dewasa(umur 5 bulan) dan itik tua lepas bertelur (umur 20 bulan). Adapun variabel yang dinilai pada uji panel adalah : citarasa daging, aroma, warna, tektur dan penerimaan secara keseluruhan. Sebagai data pelengkap diambil juga sampel darah untuk analisis total kolesterol. Dari hasil analisis data dapat disimpulkan bahwa secara keseluruhan kualitas daging betutu itik dewasa adalah lebih baik dari itik muda ataupun tua.

Kata kunci: Umur itik, Kulaitas daging betutu, kolesterol.

ABSTRACT
The experiment to study the effect of duck age on the quality of the betutu meat was conducted in order to select the best raw material which can produced the good quality of betutu meat accepted by the consumer. The test panel has been done by 15 panelists in order to ivestigate the quality of the betutu meat which have been produced from three different age of ducks including young (age 3 months), mature duck (age 5 months) and old duck (age 20 month). Five variables including the taste of the meat, flavour, colour, texture and general acceptability of the betutu meat were identified.Blood cholesterol also recorded as a supplement data. From the data which have been recorded and analyzed it can be concluded that in general the quality of the betutu meat which made from mature duck (age 5 month) was better than young or old duck.

Keywords: Duckage, betutu meat quality, cholesterol.

PENDAHULUAN

Pada umumnya setiap daerah wisata di Indonesia memiliki jenis-jenis makanan tradisional unggulan yang dapat disuguhkan ke pada para wisatawan yang berkunjung ke daerah tersebut. Untuk daerah Bali, daging betutu adalah salah satu makanan tradisional unggulan yang banyak disuguhkan kepada para wisatawan yang berkunjung kedaerah ini, terutama wisatawan mancanegara (Sudana, 1998).
Dengan meningkatnya kesejahteraan dan kesadaran gizi masyarakat maka konsumen semakin peka terhadap kualitas pangan yang dikonsumsi, terutama kualitas daging pada umumnya dan daging betutu pada khususnya (Sudana, 1977). Daging yang menurut Soeparno (1992) adalah semua jaringan hewan dan semua produk hasil olahan jaringan tersebut yang sesuai untuk dimakan serta tidak menimbulkan gangguan kesehatan bagi yang memakannya tersebut, kualitasnya ditentukan oleh 4 faktor yaitu: jumlah mikroba daging, komposisi kimiawi, sifat-sifat fisik dan nilai pemuas (eating quality) (Winarno, 1984). Namun demikian pada umumnya untuk memilih daging yang dikonsumsi sehari-hari, konsumen lebih mengutamakan eating quality dan sifat-sifat fisik dibandingkan dua faktor yang lainnya karena penentuan mikroba dan kimia daging tidak mudah dilakukan serta juga memerlukan waktu yang cukup lama. Eating quality lebih menuntut adanya kepekaan indra manusia yang meliputi: penglihatan, penciuman, pencicipan dan sentuhan panca indra, sebab eating quality meliputi penerimaan terhadap warna, bau, flavor, tektur dan penerimaan terhadap daging secara keseluruhan (Sutji dan Sulandra, 1994). Flavor (citarasa) didifinisikan sebagai perpaduan perasaan atau sensasi antara rasa dan bau yang ditimbulkan oleh bahan pangan yang dikunyah di dalam mulut (Lindsay, 1985). Sedangkan rasa suka atau penerimaan secara keseluruhan terhadap bahan pangan yang ada dalam mulut adalah interaksi kimia dengan reseptor melalui suatu proses yang rumit dan komplek sehingga melalui proses ini kesukaan suatu bahan pangan yang dikonsumsi dapat diketahui lewat persepsinya (Nagodawithana, 1994). Untuk penilaian kualitas daging yang telah matang lebih banyak menggunakan penilaian organoleptik (Hammond, 1955; Lawrie, 1966; Larmond, 1982).
Penilaian organoleptik merupakan penilaian secara subjektif yang dilaksanakan dengan bantuan sejumlah anggota panelis dengan menggunakan panca indra yang meliputi: penglihatan, penciuman, perabaan dan pencicipan daging yang telah matang terhadap aroma, keempukan serta cita rasa (Larmond, 1982). Banyaknya panelis yang dilibatkan dalam penilaian organoleptik antara 2-18 orang tergantung pada tingkat profesional panelis yang digunakan (Larmond, 1982). Bagi panelis yang sangat profesional 2 orang panelis sudah mencukupi, tetapi bagi panelis yang sedikit terlatih diperlukan sekitar 10-15 orang.
Kualitas daging dipengaruhi oleh beraneka ragam faktor yang dapat dikelompokkan menjadi 2 kelompok yaitu : faktor intrinsik dan ekstrinsik. Faktor intrinsik meliputi bangsa ternak, jenis kelamin dan umur. Faktor ekstrinsik meliputi pakan yang diberikan, managemen pemeliharaan serta managemen penanganan daging setelah ternak dipotong (Price dan Schweigert, 1971). Beberapa faktor ekstrinsik lain seperti penggunaan hormon-hormon tertentu dan perbandingan lysin dengan energi pada pakan juga dapat mempengaruhi kualitas daging yang dihasilkan (Lawrence et al., 1994).
Sementara itu kualitas daging betutu itik yang tersedia dipasaran di Bali adalah sangat beragam tergantung umur itik yang digunakan. Umur itik yang digunakan berpengaruh terhadap kualitas daging betutu yang dihasilkan, karena hewan terlalu muda dagingnya terlalu lembek sedangkan hewan terlalu tua dagingnya terlalu alot sehingga sama-sama tidak baik untuk betutu.

MATERI DAN METODE
Tempat Penelitian.
Pembuatan betutu dilaksanakan di Restoran Satria Jalan Belimbing Denpasar. Pengujian kualitas daging betutu dengan tes panel dilakukan di Lab.THT Universitas Udayana Denpasar. Analisis kolesterol darah dilakukan di Lab. RSU Pusat Sanglah Denpasar.

Materi Percobaan
Bahan baku betutu digunakan itik Bali dengan tiga variasi umur yang berbeda yaitu: 4 ekor itik muda (umur 3 bulan), 4 ekor itik dewasa (umur 5 bulan) dan 4 ekor itik tua lepas bertelur (umur 20 bulan). Semua itik yang digunakan adalah betina.

Rancangan Penelitian
Rancangan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL), 3 perlakuan dan 15 ulangan. Kualitas daging betutu yang dihasilkan diuji dengan penilaian organoleptik yang menggunakan 15 orang panelis berpengalaman.

Variabel Diamati
Variabel yang diamati adalah: cita rasa, aroma, warna, tekstur dan penerimaan secara keseluruhan dari daging betutu yang dihasilkan. Diamati pula kandungan kolesterol darah sebagai data tambahan.

Analisis Statistika
Semua data yang diperoleh dianalisis dengan program komputer (S.A.S, 1985).

HASIL DAN PEMBAHASAN
HASIL
Hasil uji organoleptik dan laboratorium yang meliputi cita rasa, aroma, warna, tektur dan penerimaan secara keseluruhan serta kolesterol darah disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1. Hasil Uji Organoleptik dan Kolesterol Darah Materi Percobaan
Variabel Diamati 3) P e r l a k u a n 1) SEM 2)
A B C
1. Citarasa daging (skor) 57,96 b) 68,75 a) 64,50 a) 2,14
2. Aroma (skor) 53,50 b) 59,17 a) 56,92 ab) 2,46
3. Warna daging (skor) 58,75 a) 63,88 a) 62,29 a) 3,02
4. Tektur daging (skor) 77,58 a) 68,67 b) 58,50 c) 2,36
5. Penerimaan (skor) 58,00 c) 70,38 a) 64,13 b) 2,15
6. Kolesterol darah (skor) 4) 145,50 278,14 126,03 -
Keterangan
1. Betutu itik muda umur 3 bulan (A), betutu itik dewasa umur 5 bulan (B) dan betutu itik tua lepas bertelur umur 20 bulan (C).
2. SEM= Standard Error of The Treatment Means.
3. Nilai dengan huruf yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (P 4. Tidak dianalisis secara statistik karena ulangan sedikit

Citarasa Daging
Skor citarasa daging 68,75 adalah skor yang paling tinggi untuk daging betutu itik dewasa umur 5 bulan. Skor ini berbeda nyata (P0,05) dengan itik tua umur 20 bulan (64,50).

Aroma Daging
Skor aroma daging betutu tertinggi (59,17), dimiliki oleh betutu itik dewasa dan ini berbeda nyata (P0,05) dengan aroma daging betutu itik tua (56,92).
Warna Daging
Skor warna daging ketiga perlakuan berturut-turut 58,75;63,88 dan 62,29 untuk warna daging betutu itik muda, itik dewasa dan itik tua. Secara statistik ketiga nilai tersebut tidak berbeda secara nyata (P>0,05).
Tektur Daging
Skor tektur daging betutu ketiga perlakuan berturut-turut: 77,58;68,67 dan 58,50 untuk itik muda, dewasa dan tua. Ketiga nilai skor tersebut satu sama lain berbeda nyata (P Penerimaan Secara Keseluruhan
Nilai skor penerimaan secara keseluruhan berturut-turut: 58,00; 70,38 dan 64,13 untuk daging betutu itik muda, itik dewasa dan itik tua. Ketiga nilai tersebut satu sama lainnya secara statistik berbeda nyata (P Kolesterol Darah
Nilai kolesterol darah ketiga perlakuan berturut-turut: 145,50; 278,14 dan 126,03. Ketiga nilai tersebut secara statistik tidak dilakukan analisis karena ulangan tidak memenuhi.

PEMBAHASAN
Dari nilai-nilai skor hasil tes organoleptik yang dicapai menunjukan bahwa kualitas daging betutu yang dibuat dari itik dewasa umur 5 bulan adalah lebih baik dari yang dibuat dari itik muda umur 3 bulan maupun itik tua umur 20 bulan. Nilai skor citarasa daging, aroma,daging serta penerimaan secara keseluruhan daging betutu itik dewasa adalah yang terbaik. Perbedaan-perbedaan tersebut jelas disebabkan oleh adanya perbedaan umur itik yang digunakan. Ternak terlalu muda dagingnya tidak baik karena terlalu lembek dan sewaktu dimasak susut terlalu banyak, sedangkan ternak terlalu tua dagingnya juga tidak baik karena terlalu alot dan keras, sehingga ternak terlalu muda atau terlalu tua menghasilkan daging betutu yang sama-sama tidak disenangi oleh konsumen. Hal ini sesuai dengan pendapat Forrest et al. (1975) yang mengatakan bahwa umur dan managemen pemeliharaan ternak sangat berpengaruh terhadap kualitas daging yang dihasilkan.
Nilai skor warna daging ketiga perlakuan berturut-turut : 58,75; 63,88 dan 62,29. Ketiga nilai tersebut secara statistik tidak berbeda nyata (P>0,05). Hal ini menunjukkan bahwa perbedaan umur ternak tidak banyak berpengaruh terhadap warna daging yang dihasilkan. Pada umumnya yang lebih banyak menentukan warna daging adalah perbedaan jenis ternak itu sendiri (Price dan Schweigert, 1971).
Kandungan kolesterol yang tinggi pada darah itik dewasa erat kaitannya dengan kandungan lemak daging dan cita rasa daging betutu yang dihasilkan. Sudana (1977) mendapatka bahwa semakin tinggi kandungan lemak daging semakin tinggi pula kandungan total kolesterol pada darah. Arka (1984) menyatakan bahwa adanya lemak dalam daging dalam jumlah tertentu sangat diperlukan untuk menghasilkan citarasa yang lebih baik. Daging yang sama sekali tidak mengandung lemak akan memberikan cita rasa yang rendah karena daging sewaktu dikunyah terasa sangat kering dan hambar. Namun kandungan lemak yang berlebih pada daging juga kurang baik karena berpengaruh jelek terhadap kesehatan yang mengkonsumsinya (Sudana, 1977).

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan
Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa kualitas daging betutu yang dihasilkan dari itik betina dewasa umur 5 bulan adalah lebih baik dari kualitas daging betutu yang dihasilkan dari itik betina muda umur 3 bulan atau dari itik betina tua lepas bertelur umur 20 bulan.

Saran
Untuk mendapatkan kualitas betutu yang baik disarankan kepada pembuat betutu untuk menggunakan itik yang tidak terlalu muda ataupun terlalu tua.

UCAPAN TERIMAKASIH
Penulis mengucapkan terimakasih kepada mahasiswa tingkat akhir Fakultas Peternakan Universitas Udayana, anggota team panelis dari THT serta rekan-rekan dosen dan teknisi di Fakultas Peternakan Universitas Udayana atas segala bantuannya sehingga penelitian dan penyusunan tulisan ini dapat dilaksanakan.

DAFTAR PUSTAKA
Arka, I.B. 1984. Pengaruh penggemukan terhadap kualitas daging dan karkas pada sapi Bali. Disertasi Fakultas Pascasarjana Universitas Padjadjaran.

Forrest, J.C., E.D. Aberle, H.B. Hendrich, M.D. Judge and R.A. Merkel. 1975. Principle of Meat Science. W.H. Freeman Co. San Fransisco.

Hammond, J.J., L.L. Mason and Robinson. 1971. Hammond’S Farm Animals. Edward Arnold Ltd., London.

Larmond, E. 1982. Laboratory Methods for Sensory Evaluation of Food. Research Branch Canada Departement of Agriculture Publication 1637.

Lawrence, B.V., O. Adeola and T.R. Cline. 1994. Nitrogen utization and Lean Growth Performance of 20 to 50 kilograms Pig Fed Diet Balanced for Lysine: Energy Ratio. J. Anim. Sci. 72 : 2887-2895.

Lawrie, R.A. 1966. Meat Secience. Pergamon Press. Oxford.

Lidsay, R.c. 1985. Flavor. P.585-626. In Food Chemistry. Marcel Dekker Inc., New York.

Nagodawithana, T. 1994. Flavor enhancers : Their Probbable Mode of Action Food Technol. 48 (4) : 79-85.

Price, J.F. and Schweigert, B.S. 1971. The Secience of Meat and Meat Products. W.H.& Co. San Fransisco.

S.A.S. 1985. SAS Procedure Guide For Personal Computers. SAS. Inst. Inc Cary. N.C.USA

Sudana, I.B. 1997. Studi Pengaruh Komposisi dan Frekuensi Pemberian Ransum terhadap Kualitas Daging Guling. Disertasi I.P.B. Bogor.

Sudana, I.B. 1998. Perencanaan Bahan Baku Makanan Tradisional Bali pada PKMT Madya Universita Udayana. Proseding Seminar Makanan Tradisional Bali, Unud. 28 Desember 1998.

Soeparno. 1992. Ilmu dan Teknologi Daging. Cetakan ke-1 Gajah Mada. Universitas Press, Yogyakarta.

Sutji, N.N. dan I.K. Sulandra. 1994. Evaluasi Organoleptik Guling Babi Bali Hasil Pemberian Dedak Padi dan Batang Pisang. Laporan Penelitian DIP.SPP/DPP. Unud., Denpasar

Winarno, F.G. 1984. Pengantar Teknologi Pangan. PT. Gramedia, Jakarta.