Penyulihan Asam Amino Leucin oleh Valin pada Posisi 127 Gen Penyandi Hormon Pertumbuhan dan pengaruhnya terhadap pertumbuhan Sapi Benggala

(SUBSTITUTION Of AMINO ACID LEUCINE TO VALIN AT POSITION 127 OF GROWTH HORMONE GENE AND ITS EFFECT ON THE GROWTH OF BENGGALA CATTLE)

SUTARNO
Jurusan Biologi FMIPA Universitas Sebelas Maret, Jl .Ir. Sutami 36A Surakarta

ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui adanya polimorfisme gen penyandi hormon pertumbuhan pada posisi 127 serta pengaruhnya terhadap pertumbuhan sapi lokal Indonesia jenis Benggala. Sel darah putih dipisahkan dari darah dengan cara pemusingan. Lapisan buffy coat (sel darah putih) diambil dan DNA diekstraksi sel darah putih menggunakan Wizard Genomic purification kit. Adanya polimorfisme gen hormone pertumbuhan ditentukan dengan teknik PCR-RFLP (polymerase chain reaction-restriction fragment length polymorphisms) menggunakan enzim restriksi AluI dan diteruskan dengan teknik sekuensing DNA. Data fenotip utama adalah pertumbuhan berupa berat capaian harian (daily weight gain) selama 90 hari, dan data pendukung adalah umur dan jenis kelamin. Data yang diperoleh dianalisis secara statistik menggunakan komputer dengan program JMP. Hasil analisis menunjukkan bahwa polimorfisme AluI tidak berpengaruh pada pertumbuhan sapi Benggala. Analisis terhadap data pendukung menunjukkan bahwa jenis kelamin dan umur berpengaruh pada pertumbuhan sapi Benggala.

Kata Kunci: pertumbuhan, PCR-RFLP, gen GH, sapi Benggala

ABSTRACT
The objectives of the research were to find out polymorphisms i.e substitution of leucine to valine at position 127 of bovine growth hormone (GH) gene of Benggala cattle, and to know its effect on the growth rate (daily weight gain) of Benggala cattle.
White blood cells were separated from the samples of total blood by sentrifugation. Bufy coat (white blood cells) was collected and DNA was then extracted from white blood cells using Wizard Genomic Purification kit. PCR-RFLP (polymerase chain reaction-restriction fragment length polymorphism) using AluI restriction enzyme was employed to detect polymorphic site on GH gen loci, continued with sequencing for some representative genotypes. Phenotypic data of growth rate (daily gain) measured for 90 days, while sex and age were used as supporting phenotypic data. All data were then analysed statistically using JMP program.
The result of the analysis indicated that AluI polymorphism did not affect daily gain (growth) rate of Benggala cattle. While supporting data of age and sex significantly affect daily gain of the cattle.

Key words: Benggala cattle, PCR-RFLP, GH gene, daily gain

PENDAHULUAN

Pertumbuhan merupakan indikator terpenting dalam menentukan tingkat produksi daging pada sapi, sehingga memiliki nilai ekonomi penting dalam budidaya sapi pedaging. Sapi Benggala merupakan salah satu jenis sapi pedaging lokal asli Indonesia yang telah dikenal sebagai jenis sapi yang cocok untuk dikembangkan di Indonesia. Sapi jenis ini dapat beradaptasi dengan baik pada kondisi lingkungan Indonesia, tahan terhadap iklim tropis, dapat hidup dengan kondisi pakan alami dan air setempat, dan ketahanan terhadap keberadaan bakteri dan parasit yang ada di lingkungan Indonesia. Meskipun sapi jenis ini mampu beradaptasi dengan baik di Indonesia, kualitas dan kuantitas produksinya masih kalah jika dibandingkan jenis sapi impor. Oleh karena itu, tingkat dan mutu produksinya masih perlu diperbaiki. Dengan memperbaiki kualitas dan kuantitas produksi sapi lokal Indonesia, diharapkan minat para peternak untuk beternak sapi lokal akan meningkat, sehingga kepunahan sapi lokal Indonesia dapat dihindari dan ketergantungan Indonesia akan daging maupun sapi dari negara lain dapat dikurangi serendah mungkin.
Hormon pertumbuhan sapi (bovine growth hormone) sangat berperan dalam pertumbuhan, laktasi dan perkembangan kelenjar susu pada sapi (Cunningham, 1994; Hoj et al., 1993). Dalam hubungannya dengan pertumbuhan, penelitian yang dilakukan oleh Groenewegen et al. (1990) dan Burton et al. (1994) pada sapi pedaging Eropa menunjukkan bahwa pemberian hormon pertumbuhan dapat meningkatkan rata-rata pertumbuhan sapi. Meningkatnya pertumbuhan ini diduga melalui perantara kerja IGF-I (Amstrong, et al., 1995; Enright et al, 1990). Dugaan ini diperkuat oleh penelitian yang dilakukan oleh Ballard et al. (1993) yang menunjukkan bahwa pengaruh secara tidak langsung melalui IGF-I menyebabkan terjadinya peningkatan pertumbuhan.
Polymorfisme pada gen hormon pertumbuhan telah dilaporkan pada sapi (Hoj et al., 1993: Unanian et al., 1994; Sutarno, 1998). Pada sapi perah, Lucy et al. (1993) melaporkan adanya variasi pada situs restriksi AluI pada ekson V karena terjadinya substitusi asam amino pada posisi 127. Variasi ini ternyata memiliki pengaruh pada produksi susu pada sapi perah jenis Holstein (Lucy et al., 1993). Pada percobaannya, mereka mendemonstrasikan bahwa sapi-sapi dengan allel homozigot untuk Leucin 127 (L) memiliki superioritas dalam produksi susu. Penelitian lebih jauh yang dilakukan oleh Schlee et al. 1994, menunjukkan bahwa genotipe AluI tidak berpengaruh terhadap produksi susu, tetapi berpengaruh nyata terhadap sifat produksi daging. Dalam hal ini, genotip heterozigot LV tingkat keunggulan yang lebih tinggi dalam pencapaian karkas maupun kualitas daging pada sapi jenis Simmental.
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan pada sapi perah, dan pada 9 jenis sapi pedaging di Australia (Sutarno, 1998), maka penentuan variasi genetik hormon petumbuhan dan pengaruhnya terhadap variasi fenotipe sapi pedaging asal Indonesia perlu dilakukan, khususnya terhadap sifat pertumbuhannya. Penentuan ini nantnya dapat dipakai sebagai indikator untuk menyeleksi genetik sapi.

MATERI DAN METODE
Identifikasi dan karakterisasi molekul dilakukan dengan ekstraksi DNA, analisis PCR-RFLP (polymerase chain reaction-restriction fragment length polymorphism), dan sekuensing untuk melacak ada tidaknya variasi genotip pada lokus 2 gen hormon pertumbuhan dari 115 sapi Benggala. Sampel darah diperoleh dari para peternak sapi di Kabupaten Sleman, Yogyakarta. Darah putih kemudian dipisahkan dari sampel darah dengan pemusingan dan ‘buffy coat’, (sel darah putih) diambil. DNA diekstraksi dari sel darah putih menggunakan Wizard Genomic Purification Kit (Promega, Madison, USA).
DNA yang diperoleh digunakan untuk reaksi PCR yang dilakukan dalam mesin PCR (Thermocycler Perkin Elmer 2400/ 9700). Reaksi ini digunakan untuk mengamplifikasi fragmen DNA yang diinginkan, yaitu 2 gen hormon pertumbuhan. Semua reaksi PCR dilakukan dalam mesin thermocycler Perkin Elmer. Reaksi dilakukan dalam volume campuran sebanyak 25mL yang berisi campuran reaksi menurut metode dari Sutarno (1998). Kondisi reaksi amplifikasi PCR adalah: satu tahap reaksi denaturasi awal pada suhu 94oC selama 5 menit, diikuti dengan 30 siklus amplifikasi yang masing-masing siklus terdiri atas: denaturasi pada 94oC selama 45 detik, annealing pada 60oC selama 45 detik, dan extensi pada 72oC selama 1 menit; diikuti dengan satu tahap polymerasi final pada 72oC selama 5 menit.
Analisis PCR-RFLP menggunakan enzim restriksi AluI digunakan untuk mengidentifikasi terjadinya polimorfisme DNA pada lokus 2 gen hormon pertumbuhan. DNA hasil restriksi dipisahkan dengan elektroforesis menggunakan agarosa 1% dalam bufer TAE. Beberapa perwakilan genotip dari setiap jenis dilakukan sekuensing untuk mengetahui lebih jauh penyebab terjadinya variasi gen yang sebelumnya terlacak dengan PCR-RFLP. Beberapa tahap sebelum sekuensing dilakukan di Sub lab Biologi, Lab Sentral UNS, kemudian tahap sekuensing dilakukan oleh Eijkman Institute of Molecular Biology Jakarta.
Data fenotip utama individu adalah berupa berat capaian harian (daily weight gain) selama 90 hari, serta data pendukung berupa umur dan jenis kelamin. Data yang diperoleh dianalisis secara statistik untuk mengetahui pengaruh variasi genotip terhadap variasi fenotip (pertumbuhan). Analisis menyeluruh terhadap data genotip, fenotip dan data-data pendukung tersebut dilakukan dengan menggunakan model Anova:
Yijklmn = m + Bi + Sj + Dl + Ym + Gn + eijklmn
Pada model tersebut adalah nilai rata-rata least square, Bi adalah efek dari perkawinan (breed), Sj adalah efek dari jenis kelamin (sex), Dl adalah efek dari umur, Ym adalah tahun lahir (year), Gn adalah efek dari genotip (genotype), dan eijklmn adalah faktor kesalahan (error). Model ini diimplementasikan dalam program JMP dari SAS., atau penggunaan bersama SPSS dan Minitabs.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Analisis PCR-RFLP dengan menggunakan enzim restriksi AluI pada lokus 2 gen hormon pertumbuhan menunjukkan adanya polymorfisme pada lokus tersebut. Polymorfisme dapat dilacak pada fragmen 223bp lokus 2 gen hormon pertumbuhan diperlihatkan pada Gambar 1 berikut.

Gambar 1. Foto gel hasil elektroforesis terhadap hasil analisis PCR-RFLP menggunakan enzim restriksi AluI lokus 2 gen hormone pertumbuhan sapi Benggala yang diamplifikasi dengan PCR. Kolom 1= LV, 2= VV, 3= LL, dan kolom 4 = Uncut.
Polymorfisme pada situs restriksi oleh enzim AluI pada lokus 2 gen hormon pertumbuhan telah dilaporkan sebelumnya pada sapi perah (lucy, 1993) dan pada sapi Composit dan Hereford (Sutarno, 1998; 2002). Analisis PCR-RFLP pada sapi Composit dan Hereford menunjukkan bahwa polymorfisme yang dijumpai pada situs restriksi AluI disebabkan oleh adanya penyulihan asam amino Leucine oleh Valine pada posisi 127 (Lucy et al., 1993; Sutarno, 1998). Situs restriksi yang dihasilkan dari analisis RFLP menggunakan enzim AluI disajikan pada table 1 berikut.

Tabel 1. Situs restriksi AluI pada fragmen 223bp lokus 2 gen hormone pertumbuhan.
Enzim Allele Jumlah situs restriksi Ukuran fragmen (bp)
Alu I L 1 171 , 52
V 0 223
Frequensi allel yang dihitung berdasarkan prinsip keseimbangan Hardy-Weinberg dari allel L, V, serta frekwensi genotip LL, LV dan VV populasi sapi Benggala disajikan pada tabel 2 berikut.

Tabel 2. Frekwensi allel L, V serta frekwnsi genotip LL, LV dan VV populasi sapi Benggala
Jenis sapi Allel Genotipe
L V LL LV VV
Benggala 0.9 0.1 92 7 1

Berdasarkan hasil analisis yang disajikan pada tabel 2 menunjukkan bahwa allel V, pada populasi sapi Benggala frekwensinya sangat rendah, yaitu 0.1, jauh lebih rendah bila dibandingkan dengan sapi-sapi Australia (Sutarno, 1998) yang memiliki kisaran frekwensi allel V antara 0.2 – 0.5. Sementara itu untuk genotipe VV dan LV pada populasi sapi Benggala frekwensinya juga sangat rendah. Status genotip ini ternyata sangat berkaitan dengan sifat fenotip sapi.
Hasil analisis statistik pengaruh polimorfisme AluI pada lokus 2 gen hormon pertumbuhan terhadap pertumbuhan sapi jenis Benggala disajikan pada tabel 3 berikut.

Tabel 3. Hasil analisis statistik pengaruh polimorfisme AluI pada lokus gen hormon pertumbuhan terhadap pertumbuhan (daily gain) sapi jenis Benggala.

Jenis sapi Situs polimorfik Nilai signifikansi
Model I (Crosstabs) Model II (NPar Tests)
Benggala AluI 0.44 0.48

Berdasarkan pada hasil analisis statistik pengaruh polimorfisme AluI pada lokus gen hormon pertumbuhan terhadap pertumbuhan sapi jenis Benggala dengan menggunakan dua model analisis yang berbeda menunjukkan bahwa baik dengan model I maupun model II ternyata polimorfisme AluI tidak berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan sapi jenis benggala. Polymorfisme ini mungkin berpengaruh pada sifat fenotip yang lain, seperti yang ditunjukkan oleh Lucy et al (1993) bahwa polymorfisme ini berpengaruh nyata pada produksi susu pada sapi perah.
Hasil analisis tentang pengaruh umur dan jenis kelamin terhadap pertumbuhan (daily gain) sapi Benggala, menunjukkan bahwa dua variabel ini berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan. Sapi benggala jantan memberikan nilai rata-rata pertumbuhan harian lebih besar (P = 0.000) bila dibandingkan dengan sapi betina, sedangkan untuk umur, sapi Benggala yang berumur antara 18-27 bulan memberikan nilai DG lebih besar (P = 0.001) dibandingkan dengan sapi yang sama pada tingkat umur lainnya. Denga demikian, ketepatan umur dan jenis kelamin dalam memilih sapi bakalan untuk usaha penggemukan sapi sangat menentukan keberhasilan usaha.
Variasi genetik pada jenis yang sama adalah sangat penting, dan riset di bidang ini banyak menarik perhatian pada jenis hewan ternak, karena pengetahuan tentang variasi genetik ini mempunyai banyak diterapkan pada penyilangan dan genetika. Aplikasi dari variasi genetik ini oleh Archibald (1983) disebutkan misalnya untuk identifikasi hewan dan analisis silsilah (pedigree), pemetaan gen dan identifikasi penanda gen yang mengendalikan sifat-sifat yang diinginkan. Karena semua sifat yang nampak (fenotip) dipengaruhi oleh informasi genetik yang dibawa oleh DNA, maka variasi DNA berhubungan dengan terjadinya variasi fenotip. Prinsip dasar inilah yang mendasari teknik seleksi yang dikembangkan akhir-akhir ini, yaitu seleksi berdasarkan gen marker yang dikenal dengan istilah marker assisted selection (MAS).
KESIMPULAN
Dari hasil-hasil yang telah diperoleh dapat disimpulkan bahwa: Polymorfisme gen hormon pertumbuhan ditemukan pada populasi sapi Benggala melalui teknik PCR-RFLP menggunakan enzim AluI. Variasi AluI ini ternyata tidak berpengaruh nyata pada pertumbuhan sapi benggala. Sedangkan faktor umur dan jenis kelamin berpengaruh secara signifikan pada pertumbuhan (berat capaian harian/ daily gain ) sapi Benggala.

UCAPAN TERIMA KASIH
Terima kasih kami ucapkan pada Neo Indra lelana dan Agus Purwoko yang telah membantu dalam pengambilan sampel dan kerja laboratorium, dan Ibu Hasih Pratiwi atas analisis statistiknya.

DAFTAR PUSTAKA
AArchibald, A. L. 1983. Genetic variation-the raw material of animal breeding. ABRO report:28-32
Armstrong, J.D., Harvey, R.W., Poore, M.A., Simpson, R.B., Miller, D.C., Gregory, G.M. & Hartnell, G.F. 1995. Recombinan bovine somatotropin increases milk yield and calf gain in diverse breeds of beef cattle: associated changes in hormones and indices of metabolism. J. of Animal Science 73, 3051-3061.
Ballard, F. J., Francis, G. L., Walton, P. E., Knowles, S. E., Owens, P. C., et al. 1993. Modification of animal growth with growth hormone and insulin-like growth factors. Australian Journal of Agricultural Research 44:567-577
Burton, J. L., McBride, B. W., Block, E., Glimm, D. R. & Kennelly, J. J. 1994. A review of bovine growth hormone. Canadian J. of Animal Science 74, 167-201.
Cunningham, E. P. 1994. The use of bovine somatotropin in milk production- a review [Review]. Irish Veterinary Journal 47:207-210
Enright, W. J., Quirke, J. F., Gluckman, P. D., Breier, B. H., Kennedy, L. G., Hart, I. C., Roche, J. F., Coert, A. & Allen, P. 1990. Effects of long-term administration of pituitary-derived bovine growth hormone and estradiol on growth in steers. Journal of Animal Science 68, 2345-2356.
Groenewegen, P. P., McBride, B. W., Burton, J. H. & Elsasser, T. H. 1990. Bioactivity of milk from bST-treated cows. Journal of Nutrition 120, 514.
Hoj, S., Fredholm, M., Larsen, N. J., Nielsen, V. H. 1993. Growth hormone gene polymorphism associated with selection for milk fat production in lines of cattle. Animal Genetics 24:91-96
Lucy, M. C., Hauser, S.D., Eppard, P.J., Krivi, G.G., Clark, J.H. 1993. Variants of Somatotropin in Cattle-Gene Frequencies in Major Dairy Breeds and Associated Milk Production. Domestic Animal Endocrinology 10:325-333
Schlee, P., Graml, R., Rottmann, O., Pirchner, F. 1994. Influence of Growth-Hormone Genotypes On Breeding Values of Simmental Bulls. Journal of Animal Breeding & Genetics Zeitschrift fur Tierzuchtung und Zuchtungsbiologie 111:253-256
Sutarno. 1998. Candidate Gene Marker for Production Traits in Beef Cattle. In Vet. Biology. pp. 205. Perth: Murdoch University.
Sutarno, Cummins, J.M., Greeff, J., Lymbery, A.J. 2002. Mitochondrial DNA polymorphisms and fertility in beef cattle. Theriogenology 6485, 1-8.
Unanian, M.M., Denise, S.K., Zhang, H.M., Ax, R.L. 1994. Rapid Communication - Polymerase Chain Reaction-Restriction Fragment Length Polymorphism in the Bovine Growth Hormone Gene. Journal of Animal Science 72:2203.
.