Wed 6 Apr 2005
Pengaruh Waktu Penyimpanan Epididimis pada Suhu 5oc Terhadap Kualitas Spermatozoa Epididimis Domba Garut
Posted by muhammadrizal under Jvet Vol 5(3) 2004Pengaruh Waktu Penyimpanan Epididimis pada Suhu 5oc Terhadap Kualitas Spermatozoa Epididimis Domba Garut
(EFFECT OF STORAGE PERIOD OF EPIDIDYMIS AT 5OC ON
EPIDIDYMAL SPERM QUALITY OF GARUT RAM)
Muhammad Rizal1, Mozes R. Toelihere2, Tuty L. Yusuf2,
Bambang Purwantara2, dan Polmer Z. Situmorang3
1Jurusan Peternakan, Fakultas Pertanian, Universitas Pattimura, Jl. Ir. M. Putuhena, Kampus Poka, Ambon 97233
2Departemen Reproduksi dan Kebidanan, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor, Darmaga 16680 3Laboratorium Fisiologi Reproduksi, Balai Penelitian Ternak, PO BOX 221 Ciawi, Bogor 16002
ABSTRAK
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengevaluasi kualitas spermatozoa epididimis domba garut yang dikoleksi dari bagian cauda epididimis segar (H-0) atau setelah epididimis disimpan di dalam lemari es pada suhu 5oC selama satu hari (H-1), dua hari (H-2), dan tiga hari (H-3). Spermatozoa hasil koleksi dievaluasi kualitasnya meliputi konsentrasi, motilitas, jumlah spermatozoa hidup, abnormalitas, butiran sitoplasma, tudung akrosom utuh (TAU), dan membran plasma utuh (MPU). Hasil yang diperoleh adalah konsentrasi spermatozoa rata-rata 13.993,33 juta/ml. Rata-rata motilitas dan jumlah spermatozoa hidup perlakuan H-0 (71,25% dan 82,83%) dan H-1 (70% dan 79,17%) nyata (P0,05) antarperlakuan untuk parameter abnormalitas dan butiran sitoplasma. Rata-rata nilai TAU dan MPU perlakuan H-0 (85,83% dan 81,33%) nyata (P
Kata kunci: penyimpanan epididimis, kualitas spermatozoa epididimis, domba garut.
ABSTRACT
The purpose of this research was to evaluate the quality of Garut ram epididymal sperm collected from fresh cauda epididymis (H-0) or after one day-storage (H-1), two day-storage (H-2), and three day-storage (H-3) of epidedymis at 5oC. Quality of collected sperm such as concentration, motility, the number of alive sperm, abnormality, cytoplasmic droplet, and the intergrity of acrosomal cap and plasma membrane, were evaluated. Results indicated that mean sperm concentration was 13,993.33 million/ml. Mean sperm motility and the number of alive sperm were H-0 (71.25% and 82.83%) and H-1 (70% and 79.17%) and were significantly higher (P0.05) difference between in the mean sperm abnormality and cytoplasmic droplet in all groups evaluated. The mean of the sperm with intact acrosomal cap and intact plasma membrane for H-0 were 85.83% and 81.33% respectively, and were significantly higher (P
Key words: epididymis storage, epididymal sperm quality, garut ram.
PENDAHULUAN
Domba garut merupakan salah satu domba tropis yang prolifik dan memiliki berat badan yang relatif lebih besar dibandingkan dengan domba lokal Indonesia lainnya. Domba jantan dewasa memiliki berat badan sekitar 60 – 80 kg, bahkan dapat mencapai lebih dari 100 kg, sedangkan domba betina dewasa memiliki berat badan sekitar 30 – 50 kg. Dengan demikian domba garut memiliki potensi yang besar untuk dikembangkan menjadi suatu peternakan yang modern, produktif, dan efisien. Domba jantan dapat juga dijadikan sebagai donor semen dengan tujuan memperbaiki performans domba lokal lainnya, melalui pendekatan teknologi reproduksi.
Penerapan teknologi reproduksi khususnya inseminasi buatan (IB) dan fertilisasi in vitro (FIV) hingga saat ini masih populer dengan menggunakan spermatozoa dalam bentuk semen cair dan beku yang diolah dari hasil koleksi semen melalui ejakulasi. Sumber spermatozoa yang lain seperti epididimis ternak atau hewan yang telah dipotong atau mati belum banyak mendapatkan perhatian, sehingga biasanya terbuang begitu saja. Padahal spermatozoa yang berasal dari bagian cauda epididimis telah memiliki kemampuan membuahi oosit yang sama baiknya dengan spermatozoa hasil ejakulasi (Hafez dan Hafez, 2000). Hal ini disebabkan karena spermatozoa yang ada di bagian cauda telah melewati proses pematangan di bagian caput dan corpus epididimis serta sudah memiliki kemampuan bergerak (motil) dan membuahi oosit yang sama dengan spermatozoa hasil ejakulasi (Axner et al., 1999). Proses pematangan ditandai oleh berpindahnya butiran sitoplasma (cytoplasmic droplet) dari bagian proksimal ke distal ekor atau hilang sama sekali dari ekor spermatozoa (Toelihere, 1993a).
Upaya pengolahan spermatozoa yang dikoleksi dari cauda epididimis dalam bentuk semen cair dan beku untuk keperluan aplikasi berbagai teknologi reproduksi, menjadi metode alternatif yang dapat diterapkan pada ternak atau hewan yang memiliki kualitas genetik unggul tetapi tidak dapat ditampung semennya karena berbagai alasan, seperti tidak bersedia melayani vagina buatan, tidak memberikan respons terhadap elektroejakulator dan masase, pincang, atau sebab-sebab lain yang menyebabkan hewan tersebut tidak mau melakukan aktivitas kawin secara normal. Metode ini juga akan sangat membantu dalam upaya menyelamatkan plasma nutfah ternak atau hewan jantan yang mati secara mendadak, serta terhadap satwa langka yang sedang ditangkarkan tetapi tidak dapat melakukan aktivitas kawin secara normal karena kondisi tempat penangkaran yang tidak sesuai dengan kondisi habitat aslinya. Sedangkan untuk hewan-hewan liar dan/atau buas yang sedang ditangkarkan, koleksi spermatozoa dapat dilakukan dengan metode aspirasi menggunakan spuit jarum suntik langsung dari cauda epididimis hewan hidup yang sebelumnya dianastesi, seperti yang dilakukan pada monyet ekor panjang (Feradis et al., 2001).
Pada percobaan ini epididimis disimpan di dalam lemari es pada suhu 5oC hingga tiga hari sebelum spermatozoanya dikoleksi. Ini dimaksudkan sebagai model untuk antisipasi di daerah-daerah terpencil yang tidak memungkinkan dilakukan pengolahan semen, sehingga epididimis harus ditranspor ke tempat pengolahan yang mungkin membutuhkan waktu beberapa hari. Motilitas dan kemampuan fertilitas spermatozoa cauda epididimis yang dikoleksi dari epididimis yang sebelumnya disimpan pada suhu 5oC selama 3 – 8 hari telah dilaporkan pada mencit (Jishage et al., 1997; Songsasen et al., 1998; An et al., 1999; Kishikawa et al., 1999; Sankai et al., 2001), babi (Kikuchi et al., 1998), kucing (Yu dan Leibo, 2002; Nazlie, 2004), dan rusa merah (Soler et al., 2003).
Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi kualitas spermatozoa yang dikoleksi dari cauda epididimis yang sebelumnya telah disimpan pada suhu 5oC hingga tiga hari. Hasil penelitian diharapkan dapat menjadi bagian dari solusi dalam upaya mengoptimalkan pemanfaatan potensi genetik ternak/hewan jantan unggul yang bermasalah dalam melakukan aktivitas kawin secara normal, tidak memberikan respons terhadap upaya penampungan semen menggunakan alat bantu, mati mendadak, serta dalam upaya pelestarian plasma nutfah hewan langka, liar, dan buas.
MATERI DAN METODE
Metode Percobaan
Testis beserta epididimis domba diperoleh dari rumah pemotongan hewan (RPH) tradisional di Bogor. Epididimis dipisahkan dari testis kemudian dibersihkan dan dimasukkan ke dalam tabung gelas yang diisi dengan larutan NaCl fisiologis dan ditranspor ke laboratorium. Setelah tiba di laboratorium, sebagian epididimis dikoleksi spermatozoanya dari bagian cauda, sedangkan yang lainnya dimasukkan ke dalam tabung gelas berisi larutan NaCl fisiologis yang tertutup rapat, kemudian disimpan di dalam lemari es pada suhu 5oC.
Perlakuan lama penyimpanan epididimis yang dicobakan adalah sebagai berikut:
1. Spermatozoa langsung dikoleksi segera setelah epididimis sampai di laboratorium (H-0, sekitar tiga jam setelah hewan dipotong).
2. Spermatozoa dikoleksi setelah epididimis disimpan selama satu hari (H-1).
3. Spermatozoa dikoleksi setelah epididimis disimpan selama dua hari (H-2).
4. Spermatozoa dikoleksi setelah epididimis disimpan selama tiga hari (H-3).
Tabel 1. Komposisi pengencer Tris
Bahan Jumlah
Tris(hidroksimetil)aminometana (g)Asam sitrat-monohidrat (g)D(-)Fruktosa (g)Laktosa-monohidrat 60 mM (g)Glutation (g)Akuabidestilata ad (ml)Kuning telur ayam ras (ml, v/v)Penisilin-G (IU/ml)Streptomisin sulfat (mg/ml) 3,321,861,372,160,051002010001000
Sumber: Rizal (2003).
Spermatozoa dikoleksi dengan cara membedah cauda epididimis menggunakan gunting stainless steel steril kemudian dibilas dengan larutan pengencer Tris (Tabel 1) sebanyak 2 ml. Spermatozoa hasil koleksi dievaluasi kualitasnya meliputi konsentrasi, motilitas, jumlah spermatozoa hidup, abnormalitas, butiran sitoplasma, tudung akrosom utuh (TAU), dan membran plasma utuh (MPU).
Konsentrasi spermatozoa: dihitung dengan menggunakan hemositometer. Spermatozoa hasil koleksi yang belum diencerkan disedot dengan pipet eritrosit hingga angka 0.5 kemudian ditambahkan dengan larutan NaCl 3% hingga angka 101 dan dihomogenkan. Konsentrasi dihitung pada lima kamar hitung Neubauer (Toelihere, 1993b).
Motilitas: persentase spermatozoa yang bergerak progresif ke depan. Ditentukan secara subjektif pada delapan lapang pandang yang berbeda dengan mikroskop cahaya pembesaran 400 kali (Toelihere, 1993b). Angka yang diberikan berkisar antara 0% hingga 100% dengan skala 5%.
Jumlah spermatozoa hidup: persentase spermatozoa yang hidup. Ditentukan dengan pewarnaan eosin (Toelihere, 1993b). Spermatozoa yang hidup ditandai oleh kepala yang berwarna putih, sedangkan yang mati ditandai oleh kepala yang berwarna merah. Minimal sebanyak 200 spermatozoa dievaluasi dengan mikroskop cahaya pembesaran 400 kali.
Abnormalitas: persentase spermatozoa yang abnormal. Spermatozoa yang abnormal meliputi kepala besar, kepala kecil, tidak memiliki ekor, dan lain-lain, dievaluasi menggunakan preparat ulas tipis yang dipakai untuk mengevaluasi parameter jumlah spermatozoa hidup (Toelihere, 1993b). Minimal sebanyak 200 spermatozoa dievaluasi dengan mikroskop cahaya pembesaran 400 kali.
Butiran sitoplasma: persentase spermatozoa yang memiliki butiran sitoplasma baik pada bagian proksimal maupun distal ekor (Toelihere, 1993b). Parameter ini dievaluasi menggunakan preparat ulas tipis yang dipakai untuk mengevaluasi parameter jumlah spermatozoa hidup. Minimal sebanyak 200 spermatozoa dievaluasi dengan mikroskop cahaya pembesaran 400 kali.
TAU: persentase spermatozoa yang memiliki tudung akrosom utuh. Tudung akrosom utuh ditandai oleh ujung kepala spermatozoa yang berwarna hitam tebal apabila semen dipaparkan di dalam larutan NaCl fisiologis yang mengandung 1% formalin (Saacke dan White, 1972). Minimal sebanyak 200 spermatozoa dievaluasi dengan mikroskop cahaya pembesaran 1000 kali.
MPU: persentase spermatozoa yang memiliki membran plasma utuh. Ditentukan dengan metode osmotic resistance test (Revell dan Mrode, 1994). Spermatozoa yang memiliki membran plasma utuh ditandai oleh ekor yang melingkar atau menggembung, sedangkan yang rusak ditandai oleh ekor yang lurus apabila semen dipaparkan di dalam larutan hipoosmotik dan diinkubasi pada suhu 37oC selama 60 menit. Minimal sebanyak 200 spermatozoa dievaluasi dengan mikroskop cahaya pembesaran 400 kali.
Analisis Data
Data dianalisis dengan analisis ragam dalam bentuk rancangan acak lengkap dengan empat perlakuan dan enam kali ulangan. Perbedaan antarperlakuan diuji dengan uji beda nyata terkecil (Steel dan Torrie, 1993).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil penelitian diperoleh konsentrasi spermatozoa cauda epididimis rata-rata 13.993,33 juta/ml (berkisar antara 13.530 – 14.520 juta/ml). Ini menujukkan konsentrasi spermatozoa cauda epididimis domba garut masih dalam kisaran jumlah seperti yang dilaporkan Senger (1999) bahwa konsentrasi spermatozoa pada cauda epididimis hewan mamalia sebesar 10.000 – 50.000 juta/ml. Hasil yang diperoleh lebih rendah dibandingkan dengan yang dilaporkan Tomes et al. (1979) bahwa konsentrasi spermatozoa cauda epididimis domba sebesar 37.000 – 63.000 juta/ml serta Bearden dan Fuquay (1997) pada sapi sebesar 50.000 – 74.000 juta/ml. Akan tetapi lebih tinggi dibandingkan dengan yang dilaporkan Suhendra (2002) bahwa konsentrasi spermatozoa cauda epididimis sapi sebesar 3.593 – 4.406,7 juta/ml, dan Feradis et al. (2001) pada monyet ekor panjang yakni rata-rata 67 juta/ml. Perbedaan ini diduga karena perbedaan jenis hewan percobaan yang digunakan dan metode penghitungan dan pengoleksian spermatozoa. Feradis et al. (2001) mengoleksi spermatozoa dengan cara aspirasi langsung menggunakan spuit jarum suntik pada cauda epididimis hewan yang masih hidup, sehingga spermatozoa yang teraspirasi jumlahnya terbatas. Spermatozoa yang dikoleksi dengan cara aspirasi akan diperoleh hasil penghitungan konsentrasi yang jauh lebih rendah daripada konsentrasi spermatozoa cauda epididimis yang sesungguhnya. Ini disebabkan saat aspirasi, spermatozoa bercampur dengan medium pengencer (medium aspirasi) yang terdapat di dalam jarum suntik. Volume spermatozoa yang teraspirasi tidak diketahui, menyebabkan kadar pengenceran terhadap spermatozoa pun tidak diketahui, sehingga hasil penghitungan konsentrasi spermatozoa pun tidak akan sesuai dengan konsentrasi sesungguhnya.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa penyimpanan epididimis pada suhu 5oC selama tiga hari masih mampu mempertahankan kualitas spermatozoa cauda epididimis dalam keadaan baik (Tabel 2). Hasil yang diperoleh kurang lebih sama dengan yang dilaporkan beberapa peneliti bahwa motilitas spermatozoa cauda epididimis setelah diencerkan sebesar 70 – 75% pada badak (Lubbe et al., 1999), 38 – 77% pada kuda (Squires et al., 2000), rata-rata 64% pada monyet ekor panjang (Feradis et al., 2001), dan rata-rata 57,6% pada rusa merah (Soler et al., 2003). Nilai MPU yang diperoleh berkisar antara 70 – 88%, lebih rendah dibandingkan dengan yang dilaporkan Soler et al. (2003) pada rusa merah yakni lebih dari 90%, tetapi lebih tinggi dibandingkan dengan pada monyet ekor panjang yang hanya rata-rata 63.5% (Feradis et al., 2001).
Penyimpanan epididimis selama nol dan satu hari menghasilkan motilitas, jumlah spermatozoa hidup, TAU, dan MPU yang nyata (P
Tabel 2. Rata-rata kualitas spermatozoa cauda epididimis domba garut
Parameterkualitas spermatozoa Perlakuan waktu penyimpanan epididimis
H-0 H-1 H-2 H-3
Motilitas (%)Spermatozoa hidup (%)Abnormalitas (%)Butiran sitoplasma (%)TAU (%)MPU (%) 70,83 ± 1,86c82,83 ± 1,57b10,83 ± 1,34a8,50 ± 0,96a85,83 ± 1,34d81,33 ± 1,10c 70,00 ± 0,00c79,17 ± 1,07b10,83 ± 1,34a9,50 ± 1,12a83,67 ± 1,10c79,50 ± 0,96b 60,83 ± 1,86b69,83 ± 2,91a11,17 ± 1,07a10,33 ± 1,49a78,83 ± 1,07b78,17 ± 1,07b 51,67 ± 2,36a66,17 ± 4,81a11,50 ± 1,26a9,67 ± 1,37a74,50 ± 1,71a71,67 ± 1,49a
Angka dengan huruf berbeda dalam baris yang sama, menunjukkan berbeda nyata (P
Terjadinya penurunan kualitas spermatozoa seiiring dengan bertambahnya waktu penyimpanan epididimis pada suhu 5oC diduga disebabkan kondisi lingkungan mikro cauda epididimis mengalami perubahan dari kondisi alami seperti yang terjadi pada hewan hidup. Kondisi lingkungan mikro yang dimaksud bukan hanya faktor suhu, tetapi seluruh kondisi fisiologik di dalam epididimis akan mengalami perubahan. Semakin lama penyimpanan epididimis akan semakin menurunkan kualitas seluruh senyawa-senyawa kimia yang terdapat di dalamnya, yang pada akhirnya menurunkan daya preservasinya terhadap spermatozoa yang terkandung di dalam cauda epididimis. Dengan demikian spermatozoa akan mengalami proses degenerasi baik morfologi maupun fungsional selama berada di dalam epididimis setelah hewan tersebut mati. Menurut Bearden dan Fuquay (1997) kondisi ideal yang terjadi di dalam cauda epididimis pada hewan yang masih hidup merupakan perpaduan dari hasil kerja sekian banyak mekanisme yang kompleks, yang tidak mungkin dapat dipenuhi pada perlakuan penyimpanan epididimis secara in vitro.
Menurut Tomes et al. (1979) kandungan natrium dan klorida cauda epididimis domba lebih rendah daripada retetestis, tetapi kandungan kalium, fosfat, dan protein lebih tinggi. Kandungan gliserilfosforilkolin (GPC) dan karnitin juga tinggi. Menurut Bearden dan Fuquay (1997) kondisi optimum cauda epididimis karena pH rendah, viskositas tinggi, CO2 tinggi, nisbah antara K dan Na tinggi, adanya pengaruh testosteron (testosteron berpengaruh positif terhadap fungsi epididimis), dan kombinasi faktor-faktor lain yang menyebabkan rendahnya metabolisme, sehingga dapat memperpanjang daya tahan hidup spermatozoa. Selanjutnya dinyatakan kondisi seperti ini tidak dapat diciptakan di luar epididimis.
Pada penyimpanan epididimis secara in vitro di dalam lemari es, kondisi mikro seperti yang tersebut di atas akan mengalami perubahan dan memang tidak dapat dikontrol sehingga tercipta lingkungan yang persis sama dengan kondisi alami epididimis hewan hidup. Pada kondisi penyimpanan epididimis secara in vitro pada suhu 5oC diduga bahwa seluruh mekanisme fisiologik yang kompleks tidak akan berjalan lagi sebagaimana yang terjadi pada hewan hidup. Dengan tidak berjalannya mekanisme fisiologik sebagaimana mestinya, akan berpengaruh buruk terhadap integritas sel spermatozoa yang berakibat terganggunya metabolisme dan pada akhirnya menurunkan daya hidup sel spermatozoa itu sendiri. Hasil penelitian Nazlie (2004) menunjukkan bahwa kerusakan sel-sel yang menyusun cauda epididimis kucing terjadi mulai hari kedua setelah penyimpanan epididimis pada suhu 4oC. Kerusakan semakin meluas seiring dengan bertambahnya waktu penyimpanan epididimis. Hal ini juga mengindikasikan bahwa kualitas senyawa-senyawa kimia yang terdapat di dalam cauda epididimis menurun seiring dengan bertambahnya waktu penyimpanan, sehingga kemampuan senyawa-senyawa tersebut dalam mempreservasi spermatozoa juga mengalami penurunan, yang berakibat menurunnya kualitas spermatozoa.
Evaluasi terhadap parameter abnormalitas dan butiran sitoplasma menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata antarperlakuan. Hal ini diduga karena perlakuan penyimpanan epididimis memang tidak memberikan dampak terhadap kedua parameter tersebut. Abnormalitas spermatozoa disebabkan karena adanya gangguan dalam proses produksi spermatozoa (spermatogenesis) di dalam tubuli seminiferi testis serta kerusakan selama penampungan dan pengolahan semen. Demikian pula halnya dengan butiran sitoplasma. Proses perpindahan posisi butiran sitoplasma dari daerah proksimal ke distal atau hilang sama sekali dari ekor spermatozoa (proses pematangan spermatozoa) berlangsung di bagian caput dan corpus epididimis. Dengan demikian diduga bahwa tidak lagi terjadi proses perpindahan posisi butiran sitoplasma pada saat spermatozoa memasuki bagian cauda epididimis. Menurut Toelihere (1993a) serta Hafez dan Hafez (2000) cauda epididimis berfungsi sebagai tempat penampungan sementara spermatozoa sebelum diejakulasikan.
Fenomena yang menunjukkan bahwa spermatozoa masih mampu dipertahankan daya hidupnya selama tiga hari penyimpanan epididimis pada suhu 5oC walaupun terjadi penurunan kualitas, diduga karena di dalam cairan cauda epididimis terdapat senyawa-senyawa seperti lesitin yang mampu mencegah terjadinya kejutan dingin pada spermatozoa selama penyimpanan. Pada suhu rendah (5oC), senyawa-senyawa di dalam cairan cauda epididimis yang berfungsi mendukung kelangsungan hidup spermatozoa lebih awet dibandingkan jika epididimis disimpan pada suhu yang lebih tinggi, misalnya suhu kamar. Soler et al. (2003) melaporkan kualitas spermatozoa yang dikoleksi dari cauda epididimis yang telah disimpan selama empat hari pada suhu 5oC nyata lebih tinggi dibandingkan dengan spermatozoa yang dikoleksi dari epididimis yang telah disimpan pada suhu kamar.
Hasil penelitian diperoleh motilitas dan MPU masing-masing lebih dari 40% dan 60% untuk semua perlakuan. Ini menunjukkan bahwa penyimpanan epididimis domba garut pada suhu 5oC hingga tiga hari masih mampu mempertahankan kualitas spermatozoa dalam batas yang disyaratkan untuk dapat digunakan dalam program IB. Semen yang layak digunakan dalam program IB harus memiliki motilitas paling sedikit 40% (Toelihere, 1993b; Hafez dan Hafez, 2000) dan MPU spermatozoa segar tidak kurang dari 60% (Revell dan Mrode, 1994).
KESIMPULAN
Waktu penyimpanan epididimis pada suhu 5oC berpengaruh terhadap motilitas, spermatozoa hidup, TAU, dan MPU spermatozoa, tetapi tidak berpengaruh terhadap abnormalitas dan butiran sitoplasma. Semakin lama waktu penyimpanan epididimis pada suhu 5oC, semakin menurunkan kualitas spermatozoa cauda epididimis.
Penyimpanan epididimis domba garut hingga tiga hari di dalam lemari es pada suhu 5oC masih mampu mempertahankan kualitas spermatozoa, dan memenuhi syarat digunakan dalam program IB dan/atau FIV.
UCAPAN TERIMA KASIH
Penulis mengucapkan terima kasih pada Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Jakarta dan peternakan domba laga “Lesan Putra” PT. Sarbi Moerhani Lestari, Ciomas, Bogor atas dukungan dana, sarana, dan fasilitas-fasilitas pendukung lainnya sehingga penelitian ini dapat berjalan dengan baik.
DAFTAR PUSTAKA
An, T.Z., S. Wada, K. Edashge, T. Sakurai, and M. Kasai. 1999. Viable spermatozoa can be recovered from refrigerated mice up to 7 days after death. Cryobiology 38:27-34.
Axner, E., C.L. Forsberg, and S. Einarsson. 1999. Morphology and motility of spermatozoa from different region of the epididymal duct in the domestic cat. Theriogenology 45:767-777.
Bearden, H.J. and J.W. Fuquay. 1997. The male reproduction system. In: Aplied Animal Reproduction, 4th Edition. Prentice Hall, New Jersey. p. 27.
Feradis, D. Pawitri, I.K. Suatha, M. Rizal Amin, T.L. Yusuf, D. Sajuthi, I.N. Budiarsa, and E.S. Hayes. 2001. Cryopreservation of epididymal spermatozoa collected by needle biopsy from cynomolgus monkeys (Macaca fascicularis). J. Med. Primatol. 30:100-106.
Hafez, E.S.E. and B. Hafez. 2000. Reproduction in Farm Animals 7th. Lippicott Williams & Wilkins, Baltimore.
Jishage, K., O. Ueda, and H. Suzuki. 1997. Fertility of mouse spermatozoa from cauda epididymis preserved in paraffin oil at 4oC. J. Mamm. Ova Res. 14:45-48.
Kikuchi, K., T. Nagai, N. Kashiwazaki, H. Ikeda, J. Noguchi, A. Shimada, E. Soloy, and H. Kaneko. 1998. Cryopreservation and ensuing in vitro fertilization ability of boar spermatozoa from epididymides stored at 4oC. Theriogenology 50:615-623.
Kishikawa, H., H. Tateno, and R. Yanagimachi. 1999. Fertility of mouse spermatozoa retrieved from cadavers and maintained at 4oC. J. Reprod. Fertil. 116:217-222.
Lubbe, K., R.L. Smith, P. Bartels, and R.A. Godke. 1999. Freezing epididymal sperm from white rhinoceros (Ceratotherium simum) treated with different cryodiluents. Theriogenology 51(1):288.
Nazlie, C.S. 2004. Kajian kualitas spermatozoa kucing asal epididymis dan ductus deferens setelah proses preservasi selama 7 hari pada suhu 4oC. Tesis. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Revell, S.G. and R.A. Mrode. 1994. An osmotic resistance test for bovine semen. Anim. Reprod. Sci. 36:77-86.
Rizal, M. 2003. Pengaruh penambahan glutation ke dalam pengencer TRIS terhadap kualitas semen cair domba Garut. Buletin Peternakan 27:63-72.
Saacke, R.G. and J.M. White. 1972. Semen quality tests and their relationship to fertility. Proc 4th Tech Conf on AI and Reprod, NAAB. pp 22-27.
Sankai, T., H. Tsuchiya, and N. Ogonuki. 2001. Short-term non-frozen storage of mouse epididymal spermatozoa. Theriogenology 55:1759-1768.
Soler, A.J., M.D. Perez-Guzman, and J.J. Garde. 2003. Storage of red deer epididymides for four days at 5oC: effects on sperm motility, viability, and morphology integrity. J. Exp. Zool. 295A:188-199.
Songsasen, N., J. Tong, and S.P. Leibo. 1998. Birth of live mice derived by in vitro fertilization with spermatozoa retrieved up to twenty-four hours after death. J. Exp. Zool. 280:189-196.
Squires, E.L., C. Gomez-Cuetara, and J.K. Graham. 2000. Effect of seminal plasma on cryopreserving epididymal and ejaculated stallion spermatozoa. Proceeding 14th International Congress on Animal Reproduction. Stockholm, 2-6 July 2000.
Steel, R.G.D. and J.H. Torrie. 1993. Prinsip dan Prosedur Statistika. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Suhendra. 2002. Kajian beberapa parameter kualitas spermatozoa sapi pada tiap bagian epididimis. Skripsi. Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Toelihere, M.R. 1993a. Fisiologi Reproduksi pada Ternak. Angkasa, Bandung.
Toelihere, M.R. 1993b. Inseminasi Buatan pada Ternak. Angkasa, Bandung.
Tomes, G.L., D.E. Robertson, and Lightfoot. 1979. Sheep Breeding, 2nd Edition. Butterworths, London.
Yu, I. and S.P. Leibo. 2002. Recovery of motile, membrane intact spermatozoa from canine epididymides stored for 8 days at 4oC. Theriogenology 57:1179-1190.
August 7th, 2005 at 10:51 am
maaf, saya mo nanya kalo adanya kerusakan membran membran itu kira-kira mekanismenya seperti apa ??? kalo boleh tau pada penelitian anda. makasih
August 19th, 2005 at 2:57 pm
Mekanisme membran plasma utuh.
Sel sperma yang diinkubasi di dalam medium hipoosmotik (+- 150 masmal/kg) akan menyebabkan air akan masuk kedalam sel sperma. Jika membran plasma sel sperma utuh maka air yang masuk ke sel akan menyebabkan peningkatan tekanan di dalam sel yang terekspresi dengan ekor yang melingkar atau menggelembung.
Sedangkan jika membran plasma sel sperma rusak maka air yang masuk akan keluar lagi sehingga tidak ada perubahan tekanan di dalam sel dan ekor sperma tetap lurus.
September 29th, 2005 at 1:28 am
saya sangat tertarik pada penelitian tentang invitro, kiranya anda dapat membantu saya untuk mengirim artikel2 tentang invitro. Trimakasih sebelumnya !!!!
December 6th, 2005 at 1:59 am
Saya adalah peternak Domba Garut di Banjaran- Kabupaten Bandung. Dari sekian banyak referensi buku yang Saya baca, penerapan teknologi reproduksi berupa Inseminasi Buatan guna menghasilkan Domba Garut berkualitas unggul baru Saya ketahui setelah membaca hasil penelitian ini. Dan ini sangat menggembirakan bagi Saya selaku peternak yang berorientasi pasar sebagai penyedia bibit Domba Garut berkualitas. Mohon bantuan pihak terkait yang terlibat dalam penelitian tersebut untuk dapat memberikan informasi seputar teknologi inseminasi buatan pada Domba Garut. Dan apakah dengan adanya teknologi tersebut dapat menciptakan pola kawin serentak pada Domba Garut?Mohon penjelasannya, terimakasih.
March 14th, 2006 at 10:02 am
bisa anda jelaskan bagaimana teknik inseminasi buatan pada kuda, makasih
April 7th, 2006 at 3:19 pm
apakah pembilasan dengan menggunakan larutan basa tris sebanyak 2 ml tidak berpengaruh terhadap perhitungan konsentrrasi spermatozoa? jika berpengaruh berpakah volume normal sperma pada domba?
July 20th, 2006 at 12:45 pm
saya mahasiswa peternakan univ.pattimura…
saya tertarik pada penelitian reproduksi khususnya IB dan FIV.kalo berkenan, mohon dikirimkan artikel2 tentang penelitian reproduksi maupun tentang IB dan FIV..
terima kasih sebelumnya.