Taenia asiatica: Bentuk Ketiga Cacing Pita Taenia

(TAENIA ASIATICA: A THIRD FORM OF TAENIA TEPEWORM)

NYOMAN SADRA DHARMAWAN

Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Udayana,
Kampus Bukit Jimbaran, Bali 80364. E-mail: [email protected]

ABSTRAK

Beberapa tahun terakhir ini, banyak laporan yang membahas kehadiran cacing pita baru, yaitu bentuk ketiga dari cacing pita Taenia. Awalnya disebut sebagai Taenia taiwanensis, sekarang lebih dikenal dengan Taenia Asia atau Taenia asiatica, karena hanya ditemukan di beberapa negara di Asia. Bentuk ketiga cacing pita ini digambarkan sebagai peralihan dari dua cacing pita klasik yang telah dikenal sebelumnya, Taenia solium dan Taenia saginata. Morfologi cacing pita dewasa T. asiatica mirip dengan cacing pita dewasa T. saginata, dengan sedikit perbedaan pada rostellum yang tidak dilengkapi dengan kait. Perbedaan lain, inang antara T. asiatica bukan sapi melainkan babi. Pada konteks ini, tingkat larva atau sistiserkus T. asiatica memiliki kecenderungan untuk berparasit pada hati atau organ visceral lainnya. Pada inang antara, bentuk sistiserkus dari parasit ini lebih mirip dengan sistiserkus T. solium, karena kehadiran scolex yang dipersenjatai kait, meskipun bentuk kaitnya lebih kecil karena rudimenter. Sistiserkus T. asiatica tanpa kait dapat pula ditemukan pada babi. Uraian berikut membahas secara singkat morfologi, daur hidup, patogenesa, dan pengobatan T. asiatica.

ABSTRACT

In recent years, there have been numerous reports on new form of Taenia tapeworm. Initially designated as Taenia taiwanensis, it is now known as Asian Taenia or Taenia asiatica since it has also been reported in certain Asian countries. The salient feature of this third form of tapeworm is that it is an intermediate between the two classically known species, Taenia solium and Taenia saginata. Morphologically, that adult T. asiatica similar to that of the adult T. saginata, although the inconsistent presence of both marked and unarmed rostellum on the scolex can differentiate the adult form. Moreover, the intermediate host involved is not cattle, but swine. In this context, the larval stage or cysticercus of T. asiatica exhibits a liver tropism, though other organs may also be affected. In the intermediate host, the parasite has a cysticercus more similar to that of T. solium because the scolex possesses hooks; however, the cysticerci of T. asiatica are clearly smaller than those of T. solium. Cysticerci that have already lost their hooks may also be detected in swine. This paper describe about morphology, life cycle, pathogenesa and treatment of T. asiatica.

PENDAHULUAN

Menurut definisi WHO (World Health Organization), cacing pita Taenia adalah parasit siklozoonosis yang dapat menular di antara hewan vertebrata dan manusia. Ada juga yang memasukkan pada kelompok cacing anthropozoonosis karena melihat fakta selain sebagai penyebar, manusia juga menjadi inang buntu (final host) dari parasit tersebut (Eom dan Rim., 2001). Dewasa ini, dilaporkan ada bentuk ketiga dari cacing pita Taenia. Semula dikenal dengan nama Taenia taiwanensis, karena pertama kali dilaporkan di Taiwan oleh seorang pioneer P.C. Fan (Dharmawan, 2002). Dua bentuk cacing pita sebelumnya adalah cacing pita klasik Taenia saginata atau cacing pita daging sapi dan Taenia solium atau cacing pita daging babi (Ito et al., 2003; Rajshekhar, 2004).
Bentuk ketiga cacing pita baru Taenia tersebut, sekarang lebih dikenal dengan Taenia Asia atau Taenia asiatica. Disebut demikian, karena cacing pita ini hanya ditemukan di beberapa negara di Asia, seperti Taiwan, Korea, China (di beberapa propinsi), Indonesia (di Sumatera Utara), dan Vietnam (Eom et al., 2002; Ito, et al., 2003). Cacing pita ini, tampaknya merupakan bentuk peralihan dari T. saginata dan T. solium. Ito et al. (2003) menyebut sebagai kembaran dari T. saginata. Sementara Bowles dan McManus (1994) cenderung memasukkan sebagai subspesies atau strain dari T. saginata. Berdasarkan penelitian morfologi dan analisis genotif, parasit ini dinyatakan sebagai spesies tersendiri dan memiliki kedekatan hubungan dengan T. saginata (Galan-Puchades dan Fuentes, 2000; Hoberg et al., 2000).
Morfologi cacing dewasa T. asiatica memang sangat mirip dengan T. saginata yang klasik (T. saginata Foeze 1782). Namun, memiliki perbedaan pada beberapa aspek. Perbedaan yang paling esensial adalah pada daur hidup dan lokasi berparasit bentuk sistiserkusnya pada inang antara. Secara alami, inang antara T. saginata adalah sapi dan lokasi berparasit sistiserkusnya pada otot. Sementara T. asiatica, inang antaranya babi, lokasi berparasit sistiserkusnya pada hati dan organ visceral lainnya. Di sisi lain T. solium dapat mengakibatkan sistiserkosis pada manusia, tidak demikian halnya dengan T. saginata dan T. asiatica (Galan-Puchades dan Fuentes, 2000; 2004).
Mengingat cacing ini merupakan temuan relatif baru, studi tentang penyebaran dan tingkat kejadiannya pada masyarakat masih sedikit. Sejauh ini, dilaporkan T. asiatica dan sistiserkusnya hanya ditemukan di beberapa negara di kawasan Asia. Hal ini, ada yang menghubungkan dengan kebiasaan makan (eating habbits) masyarakat Asia, setidaknya di beberapa wilayah yang masyarakatnya gemar mengkonsumsi daging babi dan organ visceral atau jeroan yang tidak dimasak (Eom et al., 2002; Ito et al., 2003).

MORFOLOGI

Cacing pita T. asiatica dewasa mirip dengan Taenia saginata dewasa yang terdapat pada usus manusia. Sistiserkusnya ditemukan pada hati babi. Oleh karenanya bentuk sistiserkus T. asiatica disebut Cysticercus vicerotropica (Eom at al., 2002; Galan-Puchades dan Fuentes, 2000). Menurut Eom dan Rim (1993) ukuran panjang tubuh cacing pita Asia ini, setelah difiksasi adalah 341 cm, dengan lebar maksimum 9,5 mm. Cacing yang tubuhnya berwarna putih kekuning-kuningan ini, terdiri dari 712 segmen. Scolexnya berbentuk bundar dengan rostellum, berukuran lebar 0, 81 mm. Mempunyai empat sucker yang berdiameter 0,24 – 0,29 mm.
Proglottidnya berbentuk empat persegi panjang, yang bersambung ke belakang membentuk strobila. Proglottid anterior lebih lebar dan pendek, sedangkan proglottid yang posterior panjang dan meruncing (Eom dan Rim, 1993). Proglottid yang lepas, memiliki tonjolan di bagian posteriornya. Dari pemeriksaan spesimen (n = 32), proglottid yang lepas ini diketahui mempunyai ukuran panjang 12,4 mm (9,5 – 16,0 mm) lebar 5,0 mm (4,2 – 5,8 mm). Lebih lanjut dilaporkan bahwa dalam keadaan basah, satu segmen memiliki berat 66,5 mg (n = 107).
Organ reproduksi jantan cacing ini memiliki banyak testes, yaitu 868 – 904 (n = 3), dengan diameter berukuran 81,7 µm (n = 25). Sedangkan organ reproduksi betina memiliki ovarium bilobus, yang berukuran tidak sama. Jumlah percabangan lateral uterus cacing ini, adalah 18,3 (16 – 21) (n = 18) dan dengan banyak ranting uterus (uterine twigs). Dari 18 yang diperiksa, diketahui jumlah ranting uterus tersebut antara 57 – 99, dengan rata-rata 81,4 (Eom dan Rim, 1993).
Telur T. asiatica, berbentuk bulat lonjong, berwarna cokelat, dengan kulit yang tipis dan mudah pecah. Dari pemeriksaan 50 telur yang dilakukan oleh Eom dan Rim (1993), dilaporkan bahwa telur dengan sebuah embrio hexacanth dalam embriofor itu berukuran 35,7 µm (33,8 – 40,0 µm) X 34,4 µm (33,5 – 37,5 µm).
Bentuk larva yaitu sistiserkusnya, agak bulat sampai lonjong, merupakan gelembung berwarna putih susu dengan kepala yang mengalami invaginasi ke dalam gelembung. Ukuran metacestoda ini adalah 2,09 mm (2,07 – 2,14 mm). Permukaan gelembung bagian luar, menciri dengan adanya bentuk-bentuk kecil menyerupai kutil berdiameter 21,5 – 36,7 µm. Pada beberapa scolex sistiserkus tersebut, terdapat kait-kait yang mengalami rudimenter (Fan, 1988; Eom dan Rim, 1993). Biasanya sulit untuk menghitung kait yang rudimenter ini. Fan (1988) melaporkan jumlah kait itu antara 11 – 16, sedangkan Eom dan Rim (1993) melaporkan jumlahnya antara 1 – 37.
Menurut Eom dan Rim (1992a) yang mengamati infeksi sistiserkus T. asiatica pada hati babi Korea, menemukan bahwa sistiserkus dikelilingi warna kekuning-kuningan atau dapat berupa jaringan kapsul dengan warna putih susu. Diameternya berkisar antara 1 – 16 mm. Bila sistiserkus yang ditemukan masih hidup, jaringan kapsul kelihatan transparan dan berukuran 3,20 mm, dengan kisaran 3,1 – 3,3 mm (n = 3, SD = 0,08). Kapsul pada sistiserkus yang telah mengalami degenarasi berukuran 4,98 mm, dengan kisaran 2,0 – 9,5 mm (n = 24, SD = 2,03) dan sistiserkus yang telah mengalami kalsifikasi, ukurannya 3,67 mm, dengan kisaran 1,0 – 16,0 mm (n = 387, SD = 2,55) (Eom dan Rim, 1992a).
Perbedaan karakteristik morfologi antara T. asiatica, Taenia saginata dan Taenia solium, tampak seperti pada Tabel 1 berikut.
Tabel 1. Perbedaan Karakteristik T. solium, T. asiatica dan T. saginata
Karakteristik T. solium T. asiatica T. saginata
Sistiserkus
Inang antara Babi, manusia, anjing, babi liar Babi, sapi, kambing, kera, babi liar Sapi
Lokasi Otot, otak, kulit, mata, lidah Organ dalam, khususnya hati Otot, organ dalam
Ukuran (mm) 5-8 X 3-6 2 X 2 7-10 X 4-6
Scolex Ada rostellum dan kait Ada rostellum dan kait rudimenter Tanpa rostellum tanpa kait

Cacing Dewasa
Scolex Rostellum dengan kait Rostellum tanpa kait Tanpa rostellum dan tanpa kait
Jumlah percabangan uterus pada proglottid gravid 7 - 12 16 - 21 18 - 32
Dikeluarkan oleh manusia Berkelompok, pasif Singel / Sepotong, aktif Singel / Sepotong, aktif
Sumber: Ito et al., 2003.

DAUR HIDUP

Daur hidup T. asiatica tidak langsung, membutuhkan satu inang antara. Dari beberapa hasil penelitian eksperimental pada ternak dan manusia (sukarelawan) yang dilakukan secara terpisah-pisah (Chao et al., 1988; Fan, 1988; Fan et al., 1992), daur hidup cacing pita ini dapat dirangkaikan sebagai berikut. Pada hari ke 14 pasca inokulasi, ditemukan sistiserkus muda berupa bintik-bintik kecil yang tumbuh pada hati. Pada hari ke 21 ditemukan kista imatur yang telah memiliki rostellum dan sucker. Kait rudimenter dan adanya pergerakan aktif kista yang matur teramati pada hari ke 28.
Dari hasil eksperimen lain, Fan et al. (1990) melaporkan perkembangan kista sebagai berikut. Sistiserkus matang pertama kali tampak pada hari ke 27 pasca infeksi pada babi Small-Ear-Miniature (SEM) dan pada hari ke 28 pada babi Landrace-Small-Ear-Miniature (L-SEM). Tingkat kematangan sistiserkus sampai pada hari ke 97 pada babi L-SEM, hari ke 79 pada babi SEM dan hari ke 71 pada babi Duroc-Yorkshire-Landrace (DYL). Sistiserkus yang sudah mengalami degenerasi / kalsifikasi, pertama kali ditemukan pada babi L-SEM, SEM dan DYL berturut-turut pada hari ke 24, 27, dan 43 pasca inokulasi dengan menggunakan 30.000 telur T. asiatica. Pada inokulasi dengan 100.000 telur, sistiserkus yang mengalami degenerasi / kalsifikasi sudah ditemukan pada hari ke 14.
Seorang laki-laki sukarelawan asal Korea, yang diinfeksi sistiserkus T. asiatica melaporkan pertama kali mengeluarkan proglottid gravid secara spontan pada hari ke 76 pasca infeksi (Eom dan Rim, 1992b). Sebelumnya Chao dan kerabat kerjanya juga Fan dan kerabat kerjanya, melaporkan bahwa sukarelawan yang diinfeksi secara eksperimental dengan sistiserekus T. asiatica mengeluarkan proglottid gravid untuk pertama kalinya pada hari ke 122 pasca infeksi yang diikuti dengan pengeluaran 43 proglottid. Tujuh belas hari kemudian yaitu pada hari ke 139 dikeluarkan strobila panjang yang terdiri atas 493 segmen berukuran 326 cm. Pada hari ke 169 pasien diobati dengan atabrin untuk mengeluarkan seluruh cacing dan scolexnya (Chao et al., 1988; Fan, 1988). Rangkaian daur hidup serupa juga dapat dilihat pada Eom et al. (2002) yang melaporkan hasil identifikasi T. asiatica di Cina melalui analisis molekular, morfologikal dan epidemiologi terhadap isolate Luzhai.

PATOGENESA DAN GEJALA KLINIS

Dari hasil penelitian eksperimental, diketahui gejala klinis yang dikeluhkan oleh penderita di antaranya adalah: diare yang tampak pertama kali pada hari ke 22 pasca infeksi, sakit perut pada hari ke 32, rasa lapar tanpa nafsu makan pada hari ke 47 – 49, dan mual-mual pada hari ke 64. Proglottid pertama kali dikeluarkan pada hari ke 122 (Chao et al., 1988; Fan et al., 1992). Telur cacing dan proglottid akan ditemukan terus sampai penderita diberi anthelmintik. Tampak adanya korelasi antara jumlah eosinofil dengan simtom yang ditemukan. Pemeriksaan hematologi menunjukkan adanya metabolisme lemak yang abnormal selama periode simtomatik.
Fan et al. (1992) secara rinci melaporkan bahwa 76% dari 1661 penderita taeniasis yang berasal dari Taiwan, mengeluhkan satu atau lebih gejala-gejala klinis. Dari pemeriksaan 1153 orang yang mengeluhkan gejala tadi, 10% di antaranya mengeluarkan segmen gravid di dalam fesesnya selama kurang dari 1 tahun; 24% selama 1 – 3 tahun; 17% selama 4 – 5 tahun; 23% selama 6 – 10 tahun; 16% selama 11 – 20 tahun; 7% selama 21 – 30 tahun dan 3% selama lebih dari 30 tahun. Selanjutnya dilaporkan bahwa ada 26 gejala klinis yang dikeluhkan oleh 1258 penderita. Gejala klinis yang terbanyak dikeluhkan adalah mengeluarkan proglottid dalam fesesnya (95%), kemudian disusul gata-gatal pada anus (77%), mual (46%), sakit perut (45%), pening (42%), nafsu makan meningkat (30%), sakit kepala (26%), mencret (18%), lemah (17%), terasa lapar (16%), sembelit (11%), penurunan berat badan (6%), rasa tidak enak di lambung (5%), letih (4%), tidak bernafsu (4%), muntah (4%), tidak ada selera makan saat lapar (1%), pegel-pegel pada otot (1%), dan rasa tidak enak / rasa nyeri di perut, terasa ngantuk, kejang-kejang, gelisah, gatal-gatal di kulit, gangguan pernafasan, masing-masing ( Gejala-gejala tersebut ternyata hampir sama dengan gejala-gejala umum yang ditunjukkan oleh orang yang menderita taeniasis atau sistiserkosis yang diakibatkan oleh T. saginata maupun T. solium / Cysticercus cellulosae seperti dilaporkan oleh Sutisna (1990). Sementara itu, seperti halnya pada infeksi C. cellulosae pada babi, babi-babi yang terinfeksi oleh sistiserkus T asiatica, tidak menampakkan gejala-gejala klinis menciri.

DIAGNOSIS

Diagnosis terhadap adanya infeksi T. asiatica dan sistiserkusnya, dapat dilakukan dengan menggunakan teknik yang telah umum dipakai mendeteksi Taenia. Untuk menemukan sistiserkus T. asiatica dapat dilakukan dengan pengamatan visual lewat prosedur pemeriksaan kesehatan daging babi. Pemeriksaan ini dilakukan post-mortum terutama pada hati dan organ visceral lainnya (Dharmawan, 1995).
Teknik diagnostik yang sekarang dikembangkan dan cocok untuk mendeteksi kista T. asiatica secara ante-mortum adalah pemeriksaan serologis. Uji serologis dapat memberi arti praktis dan spesifik. Dari hasil ekperimen untuk mengetahui adanya sistiserkosis pada babi dengan menggunakan ELISA, dilaporkan bahwa antibodi akan terdeteksi tiga minggu pasca infeksi. Walaupun demikian, teknik ini bukan berarti tidak memiliki kelemahan, karena pada umumnya uji serologis sering menunjukkan variasi keakuratan yang lebar (Dharmawan, 2002). Usaha-usaha untuk meningkatkan sensitivitas uji ELISA telah diupayakan oleh beberapa pakar, namun spesifitasnya masih tetap merupakan suatu problem tersendiri. Rendahnya spesifisitas uji serodiagnosis umumnya sering berasal dari penggunaan antigen kasar. Karena itu pemurnian antigen merupakan salah satu langkah untuk mengatasi problem tersebut.
Seperti halnya untuk diagnosis pada taeniasis intestinal lainnya, diagnosis pasti terhadap spesies T. asiatica tergantung dari identifikasi parasitnya. Dengan cara identifikasi ini, akan diketahui sifat-sifat atau ciri khas yang biasanya ada pada proglottid, telur atau scolexnya. Menurut Eom dan Rim (1993) sedikitnya ada empat ciri khas yang menonjol yang dapat digunakan sebagai indikator morfologi T asiatica, terutama bila dibandingkan dengan T. saginata klasik. Keempat ciri tersebut adalah: 1) adanya rostellum pada scolex, 2) adanya tonjolan pada posterior proglottid gravid, 3) banyaknya jumlah ranting uterus, dan 4) adanya bentukan kutil pada permukaan gelembung sistiserkusnya.
Metode pemeriksaan DNA merupakan teknik diagnostik yang lebih akurat dan kini banyak digunakan untuk membedakan spesies T. asiatica dengan spesies Taenia lainnya. Beberapa peneliti yang telah berhasil mendeteksi karakteristik T. asiatica dengan menggunakan Cloned Ribosomal DNA Fragments dan melihat sekuen amplifikasi menggunakan reaksi rantai polymerase di antaranya adalah Zarlenga (1991); Bowles dan McManus (1994). Teknik diagnostik molekuler dan serologis (imunodiagnosis) terhadap taeniasis dan sistiserkosis secara umum, juga dilaporkan peneliti lainnya (Ito, 2002; Ito dan Craig, 2003; Dorny et al., 2004). Teknik tersebut dapat digunakan untuk mendiagnosis T. asiatica.

PENGOBATAN DAN PENCEGAHAN

Tindakan pencegahan dan pengobatan terhadap taeniasis akibat T. asiatica, hampir sama dengan pencegahan dan pengobatan pada penderita T. saginata klasik. Fan (1988) berhasil mengeluarkan cacing pita T. asiatica beserta scolexnya dengan menggunakan Atabrin. Sementara Chao et al. (1988) yang melakukan penelitian eksperimental yaitu menginfeksi sukarelawan dengan sistiserkus T. asiatica melaporkan selain menggunakan Atabrin, mereka juga menggunakan Librax (7-chloro-2-methylamino-5phenyl-3H-1,4-benzodiazepepine-4-oxide), untuk mengeluarkan cacing pitanya. Librax diberikan mulai hari ke 136 pasca infeksi selama 3 hari (15 mg /hari), sedangkan Atabrin dengan dosis 0,4 gram diberikan pada hari ke 169 pasca infeksi. Dengan Librax berhasil dikeluarkan satu strobila dalam feses dengan panjang 326 cm, tanpa adanya scolex. Sedangkan dengan Atabrin dikeluarkan cacing pita (terdiri atas 342 proglottid) bersama scolexnya.
Yomesan (Niclosamide), anthelmintika yang tiap tabletnya mengandung 0,5 g N-(2’-chloro-4’nitro-phenyl)-5-chloro-salicylamide, juga efektif untuk penderita yang terinfeksi T. asiatica. Eom dan Rim (1992b) berhasil mengeluarkan cacing pita ini dengan scolexnya. Cacing pita yang panjangnya 330 cm dengan 700 proglottid itu keluar bersama feses setelah pemberian dosis tunggal 2 gram Niclosamide secara oral.
Penelitian lain tentang pengobatan sistiserkus T. asiatica pada babi telah dilaporkan oleh Lin dan Fan (1991). Dari percobaan yang bertujuan untuk mengamati efek terapeutik Praziquantel terhadap sistiserkus pada babi yang disebabkan oleh T. asiatica, telah digunakan 16 ekor babi SEM yang diinfeksi dengan 10.000 – 30.000 telur. Dua belas ekor babi diobati Praziquantel dengan dosis 100 mg / kg dalam satu hari pada tiga ekor babi. Tiga ekor yang lainnya diberi dosis 100 mg / kg setiap hari selama tiga hari. Enam ekor sisanya diberi 100 mg / kg setiap hari selama lima hari. Babi yang digunakan sebagai kontrol sebanyak empat ekor tidak diberikan pengobatan. Dari hasil studi tersebut, diketahui pemberian Praziquantel cukup efektif. Hal itu dibuktikan dari tingkat kesembuhan sebesar 33,3% pada babi yang diobati dalam satu hari, dan 100% pada babi yang diberi pengobatan tiga sampai lima hari. Dilaporkan pula dari studi tersebut, kecuali ada enam sistiserkus yang matur, seluruh sistiserkus yang ditemukan mengalami degenerasi dan kalsifikasi. Hal itu menunjukkan bahwa Praziquantel dapat dipakai untuk penetrasi kista dan efektif membunuh sistiserkusnya pada babi.
Upaya pencegahan dapat dilakukan seperti pencegahan terhadap taeniasis akibat T. saginata dan T. solium. Tindakan pencegahan tersebut pada prinsipnya terdiri atas: (1) menghilangkan sumber infeksi dengan mengobati orang yang mengandung parasit, dan mencegah kontaminasi tanah dengan feses manusia; (2) pemeriksaan hati dan organ visceral babi terhadap adanya sistiserkus; (3) memasak hati babi bila akan dikonsumsi. Penyebaran penyakit dapat pula ditekan lewat jalur pendidikan, kontrol melalui program-program kesehatan masyarakat dan kesehatan masyarakat veteriner (Dharmawan 1995; 2002).

PENUTUP

Demikian secara singkat uraian tentang T. asiatica. Terungkapnya bentuk ketiga cacing pita Taenia ini, sekaligus menjawab pertanyaan yang menjadi teka-teki mengenai fenomena taeniasis di Asia. Fenomena yang dimaksud adalah kondisi paradoksal yang memperlihatkan dominannya kasus taeniasis di beberapa wilayah di Asia, yang diduga akibat infeksi cacing pita daging sapi (T. saginata), namun terjadi pada masyarakat yang lebih suka mengkonsumsi daging babi. Dari uraian di depan, dapat disimpulkan pada fenomena di atas, ternyata cacing pita yang menginfeksi bukan T. saginata, melainkan T. asiatica. Sistiserkusnya (C. viscerotropica) berparasit pada hati babi dan morfologi cacing dewasanya memang sulit dibedakan dengan T. saginata.
Mengakhiri uraian ini, perlu dikemukakan bahwa kemungkinan T. asiatica juga dapat menyebabkan sistiserkosis pada manusia, masih diperdebatkan dan dianjurkan untuk diteliti lebih lanjut. Menurut Galan-Puchades dan Fuentes (2000), belum ada cukup bukti yang menunjukkan T. asiatica dapat berkembang dan menyebabkan sistiserkosis pada manusia. Namun, langkah yang bijak selain meningkatkan kewaspadaan dan upaya pencegahan, adalah melakukan penelitian untuk mengungkap keberadaan T. asiatica secara lengkap dan menyeluruh.

DAFTAR PUSTAKA

Bowles, J. and D.P. McManus. 1994. Genetic characterization of the Asien Taenia, a newly described taeniid cestode of humans. Am. J. Trop. Med. Hyg. 50 (1): 33-44.

Chao, D., M.M. Wong and P.C. Fan. 1988. Experimental infection in human subject by a possibly underscribed species of Taenia in Taiwan. J. Helmintol. 62: 235-242.

Dharmawan, N.S. 1995. Pelacakan terhadap kehadiran Taenia saginata taiwanensis di Bali melalui kajian parasitologi dan serologi. Disertasi Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

Dharmawan, N.S. 2002. Fenomena penyakit cacing pita daging babi di Bali dan peran laboratorium klinik dalam menegakkan diagnosis. Orasi Ilmiah Pengukuhan Guru Besar Universitas Udayana Denpasar.

Dorny, P., J. Brandt and S. Geerts. 2004. Immunodiagnostic approach for detecting Taenia solium. Trend in Parasitol. 20 (6): 259-260.

Eom, K.S. and H.J. Rim. 1992a. Natural infection of Asian Taenia saginata metacestodes in the livers of Korean domestic pigs. Korean J. Parasitol. 30 (1): 15-20.

Eom, K.S. and H.J. Rim. 1992b. Experimental human infection with Asian Taenia saginata metacestodes obtained from naturally infected Korean domestic pigs. Korean J. Parasitol. 30 (1): 21-24.

Eom, K.S. and H.J. Rim. 1993. Morphologic description of Taenia asiatica sp. N. Korean J. Parasitol. 31 (1): 1-5.

Eom, K.S. and H.J. Rim. 2001. Epidemiological understanding of Taenia tapeworm infections with special reference to Taenia asiatica in Korea. Korean J. Parasitol. 39 (4): 267-283.

Eom, K.S., H.K. Jeon, Y. Kong, U.W. Hwang, Y. Yang, X. Li, L. Xu, Z. Feng, Z.S. Pawlowski, and H.J. Rim. 2002. Identification of Taenia asiatica in China: molecular, morphological, and epidemiological analysis of a Luzhai isolate. J. Parasitol. 88 (4): 758-764.

Fan, P.C. 1988. Taiwan Taenia and taeniasis. Parasitoil. Today. 4 (3): 86-88.

Fan, P.C., W.C. Chung, C.Y. Lin and C.C. Wu. 1990. The pig as an intermediate host of Taiwan Taenia infection. J. Helminthol. 64: 223-231.

Fan, P.C., W.C. Chung, C.Y. Lin and C.H. Chan. 1992. Clinical manifestations of taeniasis in Taiwan aborigines. J. Helminthol. 66: 118-123.

Galan-Puchades, M.T. and M.V. Fuentes. 2000. The Asian Taenia and possibility of cysticercosis. Korean J. Parasitol. 38 (1): 1-7.

Galan-Puchades, M.T. and M.V. Fuentes. 2004. Taenia asiatica intermediate hosts. Lancet. 363: 660.

Horberg, E.P., A. Jones, R.L. Rausch, K.S. Eom, and L. Gardner. 2000. A phylogenetic hypotesis for species of the genus Taenia (Eucestoda: Taeniidae). J. Parasitol. 86: 89-98.

Ito, A. 2002. Serologic and molecular diagnosis of zoonotic larval cestode infections. Parasitol. International. 51: 221-235.

Ito, A. and P.S. Craig. 2003. Immunodoagnostic and molecular approach for detection of taeniid cestode infections. Trends Parasitol. 19: 377-381.

Ito, A., M. Nakao, T. Wandra. 2003. Human taeniasis and cysticercosis in Asia. Lancet. 362: 1918-1920.

Lin, C.Y. and P.C. Fan. 1991. Evaluation of the efficacy of praziquantel against cysticercosis of a Taenia saginata-like tapeworm (Taiwan Strain) in pigs. Ann. Trop. Med. Parasitol. 85 (4): 439-442.

Rajshekhar, V. 2004. Purging the worm: management of Taenia solium taeniasis. Lancet. 363: 912.

Sutisna, P. 1990. Masalah taeniasis di Banjar Kelod Renon Denpasar. Medika. 16 (7): 543-549.

Zarlenga, D.S. 1991. The differentiation of a newly described Asian taeniid from Taenia saginata using enzymatically amplified non-transcribed ribosomal DNA repeat sequences. Southeast Asean J. Trop. Med Public Health 22 (Supp): 251-255.