Demodekosis Sapi Bali
Kurang Efektif Diobati dengan Doramectin

(DEMODECTIC MANGE IN BALI CATTLE :
TREATMENT WITH SINGLE DOSE OF DORAMECTIN IS INEFFECTIVE)

I WAYAN BATAN
Laboratorium Diagnosis Klinik Veteriner
Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Udayana
Jl. PB Sudirman Denpasar 80232

ABSTRAK
Penelitian mengobati demodekosis sapi Bali dengan doramectin dosis tunggal bertujuan untuk mengetahui efektivitas pengobatan ini guna mengatasi penyakit yang kerap menyerang kulit sapi Bali. Dalam penelitian ini dipakai rancangan acak kelompok menggunakan lima ekor sapi Bali penderita demodekosis. Sapi-sapi itu diobati dengan doramectin secara subkutan sebanyak 200 ug/kg berat badan. Pengamatan dilakukan selang seminggu selama sebulan dimulai saat pengobatan. Parameter yang diamati adalah : lesi demodekosis, kerontokan bulu, kerokan kulit guna menemukan tungau, dan gambaran histopatologi.
Hasil yang diamati dalam penelitian adalah, pengobatan doramectin tidak mengakibatkan terjadinya perbaikan lesi kulit, kerontokan bulu, dan gambaran histopatologi, namun mampu mengurangi populasi tungau dalam lesi kulit.
Dengan demikian dalam waktu sebulan pemberian dosis tunggal doramectin kurang efektif dalam mengatasi demodekosis sapi Bali.

Kata kunci : demodekosis; Sapi Bali, doramectin.

ABSTRACT
The effectiveness of single dose treatment with doramectin against demodectic mange in bali cattle have been studied. Five Bali cattle suffering the mange were given 200ug/body weight of doramectin, subcutaneusly. Following the treatment observation of the animal including : lession of the animal integumen; hair loss; hair and scale. Scraping from the lession for mite identification and cunting, and histopathological changes were undertaken weekly for four weeks.
Results of this study indicated that there were no marked changes in all of the parameters observed except that the number of mite infest the skin lession was reduced. It is assumed that the use of singgle dose of doramectin is ineffective for the treatment of demodectic mange in Bali cattle.

Key word : demodecosis; Bali cattle; doramectin

PENDAHULUAN
Tungau Demodex spp. adalah salah satu ektoparasit yang dapat mengganggu kesehatan dan menurunkan produktivitas ternak. Pada sapi agen penyebab demodekosis adalah tungau Demodex bovis dan D. folliculorum. Tungau ini hidup di dalam folikel bulu dan kelenjar sebaseus (Blood dan Radostits, 1989). Penularan terjadi melalui kontak langsung antara penderita dengan hewan sehat (Dharma dan Putra, 1997).
Tungau yang masuk ke dalam folikel bulu dan kelenjar sebaseus menyebabkan peradangan yang kronis, penebalan kulit, dan kerontokan bulu. Infeksi bakteri sekunder umumnya dilakukan oleh Staphylococcus spp., yang masuk secara bertahap dan merangsang terjadinya abses (Anon, 1994). Tidak ada perubahan patologi anatomi khas yang ditimbulkannya selain adanya lesi pada kulit (Dharma dan Putra, 1997). Sedangkan perubahan histopatologi yang ditemukan berupa hipertrofi epitel folikel, hiperkeratosis, dan infiltrasi leukosit (Sweatman, 1971).
Di Bali kasus demodekosis pada sapi Bali jarang ditemukan, tetapi penyakit ini cukup menimbulkan masalah, karena selain mengakibatkan produktivitas kerja ternak menurun, akan membuat penampilan sapi itu memburuk, harga jualnya rendah sehingga mengakibatkan kerugian pada petani. Kenyataan ini menunjukkan bahwa masalah tersebut perlu ditangani secara sungguh-sungguh.
Kontrol terhadap tungau dapat dilakukan melalui manajemen padang penggembalaan atau menggunakan bahan-bahan kimia. Untuk itu perlu diketahui siklus hidup dan daya tahannya pada kondisi lapangan sebagai dasar pengendalian (Soulsby, 1982) Doramectin (Dectomax – Pfizer) adalah avermectin berspektrum luas yang memberikan perlindungan dan tahan lama terhadap infeksi parasit internal dan eksternal. Formulasi dectomax berisi 1% larutan doramectin, minyak wijen dan etil oleat. Cara kerja obat ini adalah mengatur aktifitas aliran ion klorida pada sistem saraf nematoda dan sel otot arthropoda. Avermectin terikat pada reseptor yang meningkatkan permeabilitas membran terhadap ion klorida. Hal ini akan menghambat aktifitas elektrik sel saraf pada nematoda dan sel otot arthropoda yang menyebabkan kelumpuhan dan kematian parasit (Rew dan Maxwell, 1998).

MATERI DAN METODE

Materi

Materi yang digunakan dalam penelitian ini adalah sapi Bali penderita demodekosis sebanyak lima ekor yang diamati di beberapa tempat yaitu di Kabupaten Badung, Klungkung, dan Karangasem.
Alat-alat yang digunakan adalah pinset, pisau skalpel, spuit, mikroskop, gelas obyek, gelas penutup, kontainer, tissue processor, mikrotom dan penangas air (waterbath).
Bahan-bahan yang dipergunakan adalah alkohol 70%, alkohol 95%, alkohol absolut, buffer formalin 10%, lidokain 2%, KOH 10%, doramectin, betadine, kapas, kertas tisu, xilol, toluena, parafin, albumin telur, akuades, hematoksilin, balsem Canada, larutan amonia dan air.

Metode

Sapi Bali penderita demodekosis diambil kerokan dan biopsi kulitnya. Kerokan kulit yang telah diperlakukan dengan KOH 10% diperiksa di bawah mikroskop, sedangkan spesimen biopsi kulit diletakkan dalam kontainer yang berisi buffer formalin 10% dan selanjutnya dibuat preparat histopatologi. Pembuatan preparat histopatologi dilakukan di Laboratorium Patologi BPPH Wilayah VI Denpasar. Setelah kerokan dan biopsi kulit diambil, sapi Bali penderita demodekosis tersebut diberi pengobatan doramectin dengan dosis 200 ug/kg berat badan. Pengambilan kerokan dan biopsi kulit dilakukan sebelum pengobatan dan selang seminggu kemudian selama satu bulan.
Rancangan penelitian yang digunakan pada penelitian ini adalah rancangan acak kelompok (RAK) menggunakan lima ekor sapi Bali penderita demodekosis dengan lima taraf jangka waktu setelah pengobatan dengan doramectin, yakni Mo = saat didiagnosis demodekosis dan diberi pengobatan, M1 = seminggu setelah pengobatan, M2 = dua minggu setelah pengobatan, M3 = tiga minggu setelah pengobatan, M4 = empat minggu setelah pengobatan.
Data kualitatif yang diperoleh dari penelitian dilaporkan secara deskriptif atau dianalisis dengan uji Friedman (Sampurna, 1995). Data kualitatif lesi demodekosis diberi skor sebagai berikut : skor 0 = tidak ditemukan lesi; skor 1 = diameter lesi 0-1 cm; skor 2 = diameter lesi 1-2 cm; skor 3 = diameter lesi >3 cm. Skor untuk kerontokan bulu adalah sebagai berikut : skor 0 = tidak ada kerontokan bulu; skor 1 = kerontokan bulu; skor 2 = bulu mulai tumbuh. Skor kerokan kulit adalah sebagai berikut : skor 1 = ditemukan 1-5 tungau demodeks; skor 2 = ditemukan 6-10 tungau demodeks; skor 3 ditemukan >10 tungau demodeks. Gambaran histopatologi demodekosis sapi Bali diberi skor sebagai berikut : skor 1 = adanya infiltrasi sel radang; skor 2 = adanya hiperkeratosis dan infiltrasi sel radang; skor 3 = adanya pembesaran folikel, perubahan epitelium folikel, hiperkeratosis, infiltrasi sel radang, dan ditemukan tungau demodeks.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil skoring lesi demodekosis, kerontokan bulu, kerokan kulit, dan histopatologi dengan pengobatan doramectin dapat dilihat pada tabel.
Dari hasil kerontokan bulu demodekosis sapi Bali menunjukkan bahwa seminggu (Mo) hingga dua minggu (M1) pasca pengobatan doramectin masih belum terjadi pertumbuhan bulu dan pada minggu ke tiga (M2) mulai terjadi pertumbuhan bulu di sekitar lesi.
Dari hasil kerokan kulit, demodekosis sapi Bali menunjukkan bahwa pada minggu ke empat (M4) masih ditemukan tungau demodeks pada pemeriksaan kerokan kulit, tetapi jumlah tungau telah berkurang bila dibandingkan dengan minggu ke dua (M2).
Hasil skoring gambaran histopatologi demodekosis sapi Bali menunjukkan bahwa pada minggu ke empat (M4) tidak mengalami perubahan, hal ini berarti bahwa sampai minggu ke empat setelah pengobatan dengan doramectin masih ditemukan adanya pembesaran folikel, penebalan epitelium folikel, hiperkeratosis, infiltrasi sel radang dan ditemukan tungau demodeks.
Uji Friedman terhadap perubahan lesi, kerontokan bulu, kerokan kulit, dan gambaran histopatologi demodekosis sapi Bali dengan pengobatan doramectin menunjukkan bahwa pengobatan doramectin tidak berpengaruh nyata (P>0,05) terhadap perubahan lesi, kerontokan bulu dan gambaran histopatologi. Hal ini menunjukkan bahwa setelah pengobatan dengan doramectin, lesi demodeks mulai menipis tetapi diameter lesi tidak berubah dan sampai minggu ke empat lesi tersebut tidak hilang. Demikian pula dengan gambaran histopatologi, sampai dengan minggu ke empat masih ditemukan adanya infiltrasi sel radang polimorfonukleus dan eosinofil parafolikuler, pembesaran folikel bulu, perubahan epitel folikel, hiperkeratosis, dan ditemukan tungau demodeks di dalam folikel bulu.

Tabel . Skor Lesi, Kerontokan Bulu, Kerokan Kulit, dan Histopatologi Sapi Bali
Penderita Demodekosis yang Diobati dengan Doramectin

No Sapi M0 M1 M2 M3 M4
LD KR KK HP LD KR KK HP LD KR KK HP LD KR KK HP LD KR KK HP
I 1 0 2 1 1 0 2 1 1 0 1 1 1 0 1 1 1 0 1 1
II 3 1 3 3 3 1 3 3 3 2 3 3 3 2 2 3 2 2 2 2
III 3 1 2 3 3 1 2 3 3 2 2 3 3 2 1 2 3 2 1 3
IV 2 0 3 1 2 0 3 1 2 0 3 3 2 0 2 2 1 0 2 3
V 3 1 3 3 3 1 3 2 3 2 2 2 3 2 1 1 3 2 1 2
Rataan 2,4 0,6 2,6 2,2 2,4 0,6 2,6 2,0 2,4 1,2 2,2 2,4 2,4 1,4 1,4 1,8 2,0 1,2 1,4 2,2

Keterangan:
Ld : Lesi Demodekosis KR : Kerontokan Bulu KK : Kerokan Kulit HP : Histopatologi
1. diameter lesio 0 – 1 cm 0 : bulu tidak rontok 1 :ditemukan 1 – 5 tungau 1 : infiltrasi sel radang
2 :D iameter lesio 1-2 cm 1 : bulu rontok 2 : ditemukan 6-10 tungau 2 : infiltrasi sel radang &
3: diameter lesio > 3cm 2 : bulu mulai tumbuh 3 : ditemukan > 10 tungau hiperkeratosis
3: spt No 2 disertai pembesaran

Uji Friedman pada kerokan kulit menunjukkan bahwa pengobatan doramectin berpengaruh sangat nyata (P Data yang diperoleh dari pengamatan di lapangan memperlihatkan gambaran klinis berupa lesi demodeks yang berbentuk pustul dan nodul dengan ukuran diameter yang bervariasi dari yang berukuran kecil sampai 3 cm, bahkan ada yang lebih besar (dollar plaque), di dalamnya berisi pus (nanah), adanya kegatalan (pruritis) dan kerontokan bulu di sekitar lesi demodeks. Pada sapi Bali, lesi demodeks ditemukan pada daerah kepala, leher, dada, punggung, abdomen, kaki depan, dan kaki belakang.
Menurut Dharma dan Putra (1997), lesi demodeks berawal pada daerah kepala, leher, dan kemudian dapat menutupi seluruh tubuh. Kerontokan bulu merupakan gejala awal demodekosis yang kemudian diikuti hiperemi pada kulit dan adanya pustul (Sloss, 1970). Adanya kerontokan bulu akan menyebabkan epitelium folikel bulu tumbuh menutupi lubang masuk folikel dan tungau berkembang biak di dalam folikel kemudian nodul akan terbentuk.
Keadaan ini diperparah dengan adanya infeksi bakteri sekunder terutama Staphylococcus spp. (Murray et al., (1976) yang dikutip oleh Arundel dan Sutherland (1988); hal senada juga dikemukakan oleh Soulsby (1982)
Dari gambaran histopatologi, perubahan yang dapat diamati adalah ditemukannya tungau demodeks terutama di dalam folikel bulu, perubahan epitel folikel bulu dari epithel kubus selapis menjadi epitelium sisik berlapis, hiperkeratosis dan adanya infiltrasi sel-sel radang polimorfonuklear dan eosinofil parafolikuler.
Tungau Demodeks spp. merupakan tungau penyebab kudis merah yang hidup di dalam folikel bulu dan kelenjar sebaseus. Adanya infeksi tungau yang berlebihan di dalam folikel bulu dan kelenjar sebaseus akan menyebabkan peradangan pada kulit. Jones dan Hunt (1983) menyatakan bahwa tungau yang ditemukan di dalam folikel bulu dan kelenjar sebaseus akan menyebabkan proliferasi dan nekrosis epitel diikuti dengan peradangan di bawah kulit, adanya granuloma, dan infiltrasi sel limfosit. Sweatman (1971), dan Soulsby (1982), juga menyatakan bahwa perubahan histopatologi yang tampak pada demodekosis adalah adanya tungau dan reruntuhan sel dalam folikel bulu, hipertrofi pada epitel folikel, hiperkeratosis, infiltrasi leukosit polimorfonukleus, dan limfosit.
Dari hasil skoring dan analisis dengan uji Friedman pada lesi demodekosis, kerontokan bulu, kerokan kulit, dan gambaran histopatologi menunjukkan bahwa pengobatan doramectin pada demodekosis sapi Bali kurang efektif. Pengobatan doramectin tidak berpengaruh terhadap perubahan lesi demodekosis, pertumbuhan bulu dan gambaran histopatologi, sedangkan pada kerokan kulit pengobatan doramectin berpengaruh terhadap berkurangnya jumlah tungau yang ditemukan pada pemeriksaan kerokan kulit.
Pengobatan tungau dikatakan efektif, jika pada pemeriksaan kerokan kulit tidak ditemukan tungau dan lesi kulit yang diakibatkannya menghilang (Hoover, 1998). Sulitnya pengobatan demodekosis mungkin disebabkan karena adanya penebalan folikel bulu, karena adanya perubahan epitel kubus selapis menjadi epitel pipih berlapis sehingga obat tidak dapat menembus folikel bulu guna membunuh tungau yang ada di dalamnya.

KESIMPULAN

Demodekosis sapi Bali menunjukkan gejala klinis berupa lesi berbentuk nodul dan pustul pada daerah kepala leher, punggung dada, abdomen, kaki depan dan kaki belakang, adanya pruritis, dan kerontokan bulu disekitar lesi.
Gambaran histopatologi menunjukkan adanya tungau demodeks dalam folikel bulu, pembesaran folikel bulu, perubahan epitel folikel dari epitel kubus selapis ke epitel sisik berlapis, hiperkeratosis, dan infiltrasi sel-sel polimorfonukleus, dan eosinofil parafolikuler.
Pemberian doramectin untuk mengobati demodekosis sapi Bali tidak efektif, bila didasarkan atas gejala klinik dan histopatologi. Hal ini didukung dengan masih ditemukan adanya tungau demodeks pada pemeriksaan kerokan kulit.

DAFTAR PUSTAKA

Anon . 1994. The Merck Veterinary Manual. A Handbook of Diagnosis and Therapy for
The Veterinarian. 5th Edition Merck & Co, Inc. Rahway.N.J.U.S.A

Arundel, J.H. and A.K.Sutherland.1988. Ectoparasitic Disease of Sheep, Cattle, Goats
and Horses. Animal Health in Australia. Vol. 10. Australian Government Publishing Service. Canberra.

Blood, D.C. and O.M. Radostits. 1989. Veterinary Medicine. A Textbook of the
Disease of Cattle, Sheeps, Pigs, Goats and Horses. 7th Edition. Bailliere Tindall.

Dharma, D.M.N. dan A.A.G. Putra, 1997. Penyidikan Penyakit Hewan. C.V. Bali
Media Adhikarsa. Denpasar.

Jones, C.J. and R.D. Hunt. 1983. Veterinary Pathology. Lea and Febiger. Philadelphia.

Rew, R. and K. Maxwell. 1998 Dectomax Pour-On Protection That’s More Than Skin
Deep. Topic in Vet.Med. Vol VIII, No. I.Pp. 15-22.

Sampurna, I.P. 1995. Ringkasan Kuliah Statistika. Program Studi Kedokteran Hewan.
Universitas Udayana. Denpasar

Sloss, M.W. 1970. Veterinary Clinical Parasitology. 4th Edition. The Iowa State
University Press, Ames.

Soulsby, E.J.L. 1982. Helminth, Arthropods and Protozoa of Domesticated Animal 7th
Edition. Bailliere Tindall. London.

Sweatman, G.K. 1971. Parasitic Disease of Wild Mammals Editor Davis, J.W. dan
Anderson, R.C. The Iowa State University Press, Ames, lowa, U.S.A.

Hoover, T. 1998. Dectomac Insectable for Swine; New Standard in Protection Againts
Mange Mite and Internal Parasites. Topic in Vet. Med. Vol 8 No.1 : 7-14