Wed 6 Apr 2005
BOTULISMUS PADA MANUSIA
Botulism in Human
I Wayan Suardana
Laboratorium Kesehatan Masyarakat Veteriner Fakultas Kedokteran Hewan
Universitas Udayana, Jl. P.B. Sudirman Denpasar, BALI
ABSTRAK
Clostridium botulinum merupakan salah satu agen penyebab penyakit yang dapat ditularkan lewat makanan. Bakteri ini menghasilkan neurotoksin yang menimbulkan akibat yang fatal. Berdasarkan atas spesifisitas serologisnya toksinnya dibedakan atas A, B, C, D, E, F dan G. Jenis A, B, E dan F dilaporkan sebagai penyebab kasus penyakit pada manusia. Walaupun botulismus jarang terjadi, namun harus mendapatkan perhatian yang serius mengingat akibat yang ditimbulkannya cukup fatal. Dilaporkan bahwa sebagian besar kasus berasal dari makanan kaleng yang dipersiapkan di rumah.
Toksin yang dihasilkan C. botulinum tergantung dari kemampuan tumbuh sel bakteri serta kemampuannya autolisis di dalam makanan (toksin dihasilkan oleh bakteri dan dilepaskan pada saat autolisis). Beberapa faktor yang mempengaruhi produksi toksin yaitu : kandungan glukosa atau maltosa pada makanan, kelembaban, pH, potensial O-R, garam, suhu dan lama penyimpanan.
Pencegahan botulismus dapat dilakukan dengan (1) pemanasan yang cukup untuk membunuh spora bakteri, (2) segera mendinginkan makanan yang tidak dimasak (di bawah 3,30C) dan (3) segera mengkonsumsi makanan yang siap santap untuk mencegah pertumbuhan optimal dari bakteri.
J Vet 2001 2(1) :32 - 41
Kata-kata kunci : C. botulinum, neurotoksin
ABSTRACT
Clostridium botulinum is one of causal agent of food borne disease. This bacteria produces several fatal neurtoxins and based on their serological spesificities, the toxin are classified into A, B, C, D, E, F and G. Neurotoxins clasified as A, B, E and F were reported to causes diseases in human. Although botulism cases are rarely reported, this food borne disease is of corcern as the disease is fatal to human. Most cases reported are originated from canned food prepared in house holds. The toxins produces by C botulinum depend on the ability of bacterial cells to grow and to autolyse in the canned food as the toxins are released by autolysis of bacterial cells. Several factors such as galactose and maltose contain of food, humudity, pH, O – R potencial, salt, temperature, and length of storage. Botulism can be prevented by 1) sufficient heating to kill bacterial spore, 2) cooking uncooked food bellow 3.3 o C, and 3) consuming food as soon as possible.
J Vet 2001 2(1) : 32 - 41
Keywords: C. botulinum, neurotoxins
PENDAHULUAN
Tidak seperti halnya keracunan makanan oleh Clostridium perfringens yang diakibatkan oleh ingesti sejumlah besar sel, tetapi kejadian botulismus oleh C. botulinum adalah akibat dari ingesti sejumlah toksin (neurotoksin) yang dihasilkan oleh organisme yang tumbuh di dalam makanan (Frazier dan Westhoff, 1988; Jay, 1978)
Kasus botulismus pertama kali dilaporkan tahun 1793 serta agen etiologinya pertama kali diisolasi tahun 1895 oleh E. Van Ermengen. Wabah yang diteliti oleh Van Ermengen terjadi di Belgia dengan kejadian 34 kasus dan menewaskan 3 orang penderita. Organisme penyebab dinamainya Bacillus botulinus dari latin botulus yang berarti sosis. Botulismus disebabkan oleh C. botulinum adalah kuman gram positif, anaerob, bentuk batang, spora (Jay, 1978). Berdasarkan atas spesifisitas serologi dari toksinnya dikenal ada 7 jenis toksin yaitu : Jenis A, B, C, D, E, F,dan G. Toksin A, B, E, dan F sebagai penyebab penyakit pada manusia. Toksin jenis A umumnya sebagai penyebab botulismus negara bagian Barat Amerika, dimana toksin A bersifat lebih toksik dibandingkan dengan toksin jenis B. Toksin jenis B lebih sering dijumpai di tanah dan bersifat kurang toksik dari jenis A. Toksin C merupakan penyebab penyakit pada unggas, sapi dan hewan lainnya. Toksin D berkaitan dengan keracunan makanan pada pakan sapi terutama di Afrika Selatan. Toksin E bersifat toksik pada manusia terutama ditemukan pada ikan dan produk-produk ikan. Toksin F sama dengan jenis A dan B yang diisolasi di Denmark. Jenis G dilaporkan di Argentina tetapi dikatakan tidak mengakibatkan botulismus pada manusia. Berdasarkan atas sifat toksinnya dapat juga digolongkan atas dasar kemampuan proteolitiknya dimana toksin jenis A, B dan F bersifat proteolitik, sedangkan jenis E tidak (Frazier dan Westhoff, 1988; Jay, 1978).
Karakteristik C. botulinum.
C. botulinum termasuk bakteri yang bersifat mesophilic dengan suhu optimum untuk tumbuh yaitu 370 C untuk strain jenis A dan B serta 300 C untuk strain jenis E. Suhu terendah dari strain jenis A dan B adalah 12,50 C namun pernah juga dilaporkan bahwa kuman dapat tumbuh pada suhu 100 C. Disisi lain spora jenis E dikatakan mampu tumbuh dan menghasilkan toksin pada suhu 3,30 C, sementara jenis F dilaporkan tumbuh dan menghasilkan toksin pada suhu 40 C . Secara umum strain jenis E dan B bersifat non-proteolitik serta strain F suhu minimum untuk tumbuhnya lebih kurang 100 C lebih rendah daripada strain A dan B. Sedangkan suhu maksimum untuk tumbuhnya yaitu : jenis A dan B pada suhu 500 C. Strain jenis E memiliki suhu maksimum 5 derajat lebih rendah dari strain A dan B dengan suhu optimumnya yaitu 300 C (Cliver, 1990 ; Jay, 1978).
Produksi toksin dari C. botulinum tergantung dari kemampuan sel untuk tumbuh di dalam makanan dan menjadi autolisis disana (Frazier dan Westhoff, 1988). Lebih lanjut produksi toksin dipengaruhi oleh komposisi dari makanan atau medium terutama glukosa atau maltosa yang diketahui sangat potensial terhadap produksi toksin, kelembaban, pH, potensial redok, kadar garam, temperatur dan waktu penyimpanan.
Berdasarkan atas pH, dilaporkan bahwa C. botulinum tidak mampu tumbuh pada pH di bawah 4,5. Lebih jauh dilaporkan bahwa organisme akan tumbuh dengan baik dan menghasilkan toksin pada pH 5,5-8,0 (Jay, 1978). Sedangkan Frazier dan Westhoff (1988) menyatakan bahwa nilai pH minimal untuk pertumbuhan sel vegetatif adalah 4,87 sedangkan untuk petumbuhan spora 5,01 di dalam cairan kaldu.
Nutrisi yang diperlukan untuk pertumbuhan bersifat komplek, diperlukan asam amino, vitamin B dan mineral.
C. botulinum jenis A dan B memerlukan kadar air aw 0,94 dan jenis E pada 0,97 Dilaporkan bahwa kadar garam 10% atau 50% sukrosa akan menghambat pertumbuhan jenis A dan B. Tar dalam Jay (1978) menyatakan bahwa pada konsentrasi 25-500 ppm dapat menghambat jenis A lebih dari sebulan pada suhu optimum dengan pH 5,9-7,6. Di dalam penelitian pembentukan toksin jenis E dan pertumbuhan sell didalam kalkun yang diinkubasikan pada suhu 300 C, Midura et al., dalam Jay (1978) menemukan bahwa spora jenis E akan memperbanyak diri dan menghasikan toksin dalam waktu 24 jam. Penampakan toksin bertepatan dengan pertumbuhan sel selama 2 minggu setelah toksin berada di luar sel hidup. Penemuan ini mengungkapkan bahwa kemungkinan ditemukannya toksin jenis E di dalam makanan tanpa ditemukannya sel jenis E.
Makanan yang mengandung toksin umumnya tanpa jenis organisme yang lain, hal ini disebabkan oleh perlakuan panas dan pengepakan vakum. Dilihat dari kehadiran ragi, kuman dilaporkan dapat tumbuh dan menghasilkan toksin pada pH rendah 4,0. Ragi dianggap menghasilkan faktor pertumbuhan yang diperlukan oleh Clostridia untuk tumbuh pada pH rendah, sementara bakteri asam laktat diasumsikan sebagai alat pertumbuhan dengan terjadinya penurunan potensial redok. Sejumlah strain C. perfringens menghasilkan penghambat yang efektif terhadap 11 strain tipe A, 7 B proteolitik, dan 1 non proteolitik, pada 5 strain E dan 7 strain F. Kautter et al., dalam Jay (1978) menemukan bahwa strain jenis E dihambat oleh organisme non toksik lainnya yang mempunyai ciri morfologi dan uji biokimia yang sama dengan tipe E. Organisme yang menunjukkan efek penghambatan ini menghasilkan substansi seperti bakteriocin yang dikenal dengan nama “bioticin E”. Laporan menunjukkan bahwa adanya kaitan antara C. botulinum tipe F dalam sampel lumpur selama periode waktu tertentu dengan kehadiran dari Bacillus licheniformis, dan kahadiran bakteri ini dianggap sebagai pembawa faktor penghambat untuk pertumbuhan strain jenis F.
Gejala Botulismus
Tergantung dari penelanan toksin pada makanan, gejala botulismus dapat berkembang dimana saja antara 12-72 jam kemudian (Jay, 1978). Menurut Cliver (1990) masa inkubasi dari kuman berkisar antara 12-36 jam, sedangkan Hayes (1992) menyatakan bahwa masa inkubasi kuman antara 18-36 jam. Gejalanya diawali dengan kesakitan pada daerah gastrointestinal meliputi: mual, muntah, diare dan diikuti konstipasi. Kelelahan dan kelemahan otot-otot adalah tanda awal dari botulism. Segera diikuti dengan efek pada mata berupa berkunang-kunang, penglihatan ganda, kekeringan pada mulut, kesulitan berbicara dan menelan, dan akhirnya kegagalan respirasi dan mati (Cliver, 1990 ; Jay, 1978). Luka botulismus dapat dikelirukan dengan kejadian tetanus, namun laporan terakhir menunjukkan bahwa kuman C. botulinum dapat menginfeksi dinding usus sendiri terutama bila dilakukan operasi bedah. Selanjutnya pada infant botulism yang umumnya menyerang bayi antara umur 6-12 bulan agak sulit untuk didiagnosis mengingat kesulitan komunikasi dari pasien, namun dengan memperhatikan gejala klinis yaitu kesulitan bernafas dalam beberapa hari dapat mengarahkan diagnosis terhadap kecurigaan terhadap botulismus (Cliver, 1990). Secara umum lama dari kesakitan berkisar antara 1-10 hari tergantung pada kepekaan host dan faktor lainnya dengan tingkat kematiannya berkisar antara 30-65%.
Epidemiologi
Sekalipun wabah keracunan makanan oleh C. botulinum dianggap umum terutama akibat dari distribusi makanan yang diperdagangkan, namun dilaporkan bahwa keracunan makanan botulismus relatif jarang. Seperti dilaporkan kejadian kasus di Amerika Serikat, bahwa antara tahun 1960-1977 dilaporkan 186 kali dengan rata-rata terjadi setiap tahunnya sebanyak 10 kali wabah dengan jumlah kematian 82 orang. Dan antara tahun 1978-1983 terjadi 91 kali wabah dengan jumlah kasus 201 dan tingkat kematian 26 orang. Dari rangkuman kejadian kasus di Amerika terlihat bahwa antara tahun 1960-1977 sebanyak 119 wabah berasal dari makanan yang dipersiapkan di rumah dan sebanyak 16 kasus berasal dari makanan komersial. Hal ini menunjukkan bahwa kesuksesan dari jaminan keamanan produk makanan komersial (Cliver, 1990).
Diawali pada tahun 1963, sebagian besar kasus botulismus di Amerika yang diperantarai oleh makanan setelah diidentifikasi adalah berasal dari sayuran yang dikalengkan dan disebabkan oleh strain A dan B. Sebesar 70% dari 640 kasus yang dilaporkan selama periode 1899-1967, belum berhasil diidentifikasikan makanan sebagai perantaranya secara lengkap. Dari penelitian di atas hanya berhasil diisolasi sebesar 17,8% berasal dari sayuran, 4,1% dari buah, 3,6% ikan, 2,2% rempah-rempah, 1,4% daging dan unggas serta 1,1% sumber lainnya (Jay, 1978)
Pada tahun 1976 di USA dilaporkan terjadi 29 kasus, sementara itu 4 bulan pertama tahun 1977 dilaporkan terjadi 64 kasus. Wabah selanjutnya terjadi di Michigan dimana 45 orang menderita botulismus setelah mengkonsumsi saos panas yang dikalengkan (di rumah) dengan kertas jalapeno. Penderita memakan hidangan restoran yang menggunakan kertas kaleng rumahan yang melanggar hukum, dilaporkan bahwa pada kejadian ini tidak ada kematian dan setelah diteliti disebabkan oleh toksin jenis B. Kejadian Botulismus di Jerman bersifat konstan untuk beberapa tahun dengan jumlah 9-15 kasus dan 30-40 penderita. Botulismus jarang dilaporkan di Perancis sebelum Perang Dunia II, tetapi selama perang dilaporkan lebih dari 1000 kasus (Frazier dan Westhoff, 1988).
Dari 404 kasus oleh jenis E pada tahun 1963, sebesar 304 atau 75% terjadi di Jepang. Pada bulan Mei tahun 1951 sampai Januari 1960, tercatat 166 kasus dengan jumlah kematian sebanyak 58 orang dengan tingkat mortalitas 35%. Sebagian besar wabah di Jepang berasal dari makanan yang dipersiapkan di rumah yaitu “izushi”yang mana makanan ini terdiri dari ikan segar, sayuran, nasi dan sedikit garam dan cuka. Persiapannya adalah dipak erat di dalam kotak kayu yang dilengkapi dengan tutup dan dipertahankan selama 3 minggu atau lebih untuk fermentasi asam laktat. Pada saat ini proses oksidasi-reduksi direndahkan yang selanjutnya akan memberi kesempatan pertumbuhan dalam suasana anaerob (Jay, 1978).
Dari laporan kasus botulismus di Amerika pada makanan kaleng yang diperdagangkan, dilaporkan dari tahun 1899-1973 terjadi sejumlah 62 wabah. Dari 62 kasus tersebut sebanyak 41 kasus terjadi sebelum tahun 1930. Pada beberapa tahun terakhir, dilaporkan bahwa jamur yang dikalengkan dianggap sebagai penyebab wabah botulismus. Kemampuan dari jamur (Agaricus bisporus) untuk membantu pertumbuhan spora C. botulinum diteliti oleh Sugiyama dan Yang (Jay, 1978). Dari penelitiannya diketahui bahwa toksin berhasil dideteksi setelah 3-4 hari setelah produk diinkubasikan pada suhu 200C. Diketahui bahwa strain jenis A lebih aktif dibandingkan dengan strain jenis B walaupun demikian diketahui bahwa strain jenis B lebih sering dijumpai pada produk makanan kaleng. Jadi jelaslah bahwa bahaya terbesar dari botulismus berasal dari makanan yang dipersiapkan di rumah dan makanan kaleng rumah sehingga diperlukan penanganan yang cukup atau diberikan pemanasan yang cukup untuk merusak spora botulinum (Jay, 1978).
C. botulinum pada Makanan
Dua hal yang mendasari terbentuknya toksin pada bahan makanan yakni : adanya sejumlah C. botulinum yang memperbanyak diri dan selanjutnya dihasilkan toksin pada bahan makanan yang tercemar. Diketahui bahwa bentuk sporanya adalah kontaminan yang sangat besar, yang mana akan bersifat toleran terhadap berbagai situasi dan akan membunuh sel vegetatif yang selanjutnya menyisakan sel yang dormant (terhenti) untuk periode yang lama sebelum memperbanyak diri untuk menjadi sel vegetatif apabila kondisinya mendukung (Cliver, 1990). Lebih jauh dinyatakan bahwa kontaminasi dapat terjadi selama masa persiapan makanan atau selama penanganan selanjutnya, tetapi yang paling sering adalah pada saat pemanenan suatu produk. Sehingga tidaklah mengherankan bahwa kasus keracunan makanan oleh C. botulinum berasal dari kontaminasi lingkungan dimana kuman C. botulinum sudah sering dijumpai seperti adanya kontaminasi sayuran dan buah-buahan akibat kontaminasi kuman jenis A yang berasal dari tanah, kontaminasi jenis E berasal dari lingkungan perairan (Cliver, 1990).
Keberadaan C. botulinum pada bahan makanan sebenarnya tidak membahayakan sepanjang kuman tidak menghasilkan toksin. Pertumbuhannya tergantung pada kecukupan nutrisi yang diperlukannya untuk tumbuh serta kondisi yang obligate anaerob. Kuman tidak dapat tumbuh pada permukaan suatu produk yang terpapar oleh udara, tetapi dapat tumbuh di bawah permukaan produk asalkan tersedianya unsur pokok untuk oksidasi-reduksi seperti unsur “thiol”, contohnya pada daging dan ikan.
Potensial redok yang lambat pada makanan kaleng dengan kondisi anaerob akan mengakibatkan toksigenesis yang selanjutnya mengakibatkan terjadinya botulismus. Adanya kondisi anaerob dapat juga terjadi dengan cara lain seperti pada saat pengepakan, contohnya pada kasus keracunan kentang dimana kentang yang tercemar oleh C. botulinum dibungkus dengan aluminium foil untuk beberapa hari (Cliver, 1990).
Perusakan Spora C. botulinum
Makanan tidak akan mengakibatkan terjadinya botulismus jika spora dari C. botulinum dirusak sebelum dapat memperbanyak diri di dalam media biakannya. Cara yang termudah adalah dengan cara pemanasan produk-produk tertutup (di kaleng) di dalam kontainer (Cliver, 1990; Pearson dan Dutson, 1986)
Untuk menguji makanan terhadap kehadiran spora tipe E, pemanasan 800 C cukup untuk merusak semua spora demikian juga halnya dengan sel vegetatif. Peneliti menemukan bahawa pemanasan 900 C selama 5 menit cukup membunuh spora tipe E. Kempe dalam Jay (1978) menemukan bahwa pemanasan spora tipe E pada suhu 70-900C dapat mengurangi jumlah mikroorganisme menjadi 0,01% dari populasi awalnya.
Pencegahan Toxigenesis
Keamanan bahan pangan dari botulismus dapat dipersiapkan tanpa pemanasan yang berlebihan untuk pencegahan perkembangan dari C. botulinum. Penghambatan disini pada dasarnya secara langsung untuk melawan spora sebagai kontaminan yang sangat penting. Beberapa peneliti mencoba berbagai perlakuan untuk menghambat pertumbuhan dan toksin dari kuman seperti dengan cara memodifikasi atmosfir pada produk English-style Crumpets. Daifas et al., (1999a) dari hasil penelitiannya diketahui bahwa waktu pembentukan toksin diperpanjang pada hari ke 4-6 dibandingkan dengan kontrol yaitu rata-rata hari ke 3,4 bila disimpan pada kondisi penyimpanan tanpa O2 (anaerob). Lebih lanjut Daifas et al., (1999b) juga mengamati adanya keterkaiatan antara pH dengan keberadaan CO2, dimana diketahui bahwa penghambatan pembentukan toksin terbesar pada pH 8,3. Penelitian lainnya terkait dengan memodifikasi keberadaan CO2 dilakukan oleh Glass et al., (1999), yang menyatakan bahwa tingkat CO2 yang rendah dapat mengurangi bahaya kerusakan pada susu yang telah dipasteurisasi.
pH asam sering digunakan untuk mencegah toksigenesis di dalam bahan pangan. Pembelahan spora grup H dapat dihambat pada pH 5,0 tetapi biasanya baru dihambat pada pH
Produk pangan dengan pH
Disamping itu untuk menghambat pertumbuhan organisme dapat dilakukan dengan penurunan aw seperti penggunaan garam >10% untuk menghambat strain grup I dan garam > 5% untuk strain grup II. Disamping itu dapat pula digunakan konsentrasi gula yang tinggi yaitu sukrose 30%.
Pertumbuhan C. botulinum yang baik terjadi pada suhu 20-450 C sehingga untuk menghambat pertumbuhannya dapat dilakukan dengan memperhatikan suhu penyimpanan yaitu 100 C untuk grup I dan 4-60 C untuk grup II (Cliver, 1990). Beberapa penelitian mengenai pengaruh suhu terhadap pembentukan spora dan toksin dari kuman seperti yang dilakukan Franciosa et al., (1999) yang menemukan bahwa toksin C. botulinum pada produk keju dan produk susu dengan suhu inkubasi 280 C terbentuk pada hari ke 3 dan ke 4.
Penambahan sulfit dengan modifikasi atmosfir untuk menghambat pertumbuhan dan toksin dari C. botulinum, dilakukan oleh Solomon et al., (1998). Sedangkan Heinitz dan Johnson (1998) menemukan bahwa pengasapan cukup efektif untuk menurunkan jumlah kuman, dimana tidak ada C. botulinum yang ditemukan pada produk ikan yang diasapkan selama 5 tahun penelitiannya. Disebutkan bahwa tidak ditemukannya pertumbuhan dan produksi toksin C. botulinum karena adanya penghambatan yang diakibatkan oleh hasil dari kombinasi garam, garam dan nitrat, asap serta suhu penyimpanan yang rendah (3,30 C).
Alamiah Toksin Botulinal
Adanya toksin botulismus di dalam makanan dapat ditentukan dari penyuntikan makanan terinfeksi ke dalam mencit secara intraperotonial. Hewan percobaan (mencit) yang peka biasanya akan mati dalam 12 hari setelah injeksi tergantung kepada dosis. Toksin botulinal dapat juga dideteksi dengan menggunakan microcapillary agar-gel diffusion, hemagglutination-inhibition dan metode elektroimmunodiffusion.
Toksin C. botulinum dibentuk di dalam organisme dan pelepasannya tergantung pada proses autolisis. Toksin dihasilkan oleh sell yang tumbuh pada kondisi yang optimal serta sel pada fase istirahat juga pernah dilaporkan. Toksin botulinal adalah merupakan substansi yang sangat toksik. Hayes (1992) menyatakan bahwa toksin sangat potensial pada jumlah 1 x 108 atau dalam jumlah 1 gram dapat membunuh 100 juta orang. Dengan pemurnian diketahui bahwa pada toksin jenis A mengandung 30.000.000 tikus LD 50/mg, dan jika ditumbuhkan pada kertas kaca (cellophane) disuspensikan pada media pertumbuhan ditemukan jumlah yang lebih tinggi yaitu 200.000.000 tikus LD 50/mg. Toksin botulinal yang pertama kali dimurnikan adalah toksin jenis A, disusul oleh jenis E dan F
Molekul toksin pada dasarnya dihasilkan oleh biakan toksigenik yang dianggap sebagai toksin progenitor. Lammana dan Sakaguchi dalam Jay (1978) menyatakan bahwa toksin progenitor adalah turunan toksin yang segera terbentuk dari toksin asalnya. Toksin progenitor terdiri dari komponen toksik disertai dengan komponen atoksik. Kemampuan dari toksin progenitor akan ditingkatkan oleh pelenyapan komponen atoksik.
Berdasarkan atas beberapa pendapat diketahui bahwa adanya enzym proteolitik yang dihasilkan organisme mengakibatkan timbulnya sifat toksisitas. Selama organisme bersifat non-proteolitik, toksin progenitor tidak akan menampakkan aktivitas toksik dan sifat toksik itu akan aktif ketika organisme menghasilkan enzym tripsin yang oleh DasGupta dan Sugiyama dalam Jay (1978) dinamakan sebagai struktur protein “nicked”. Enzym tripsin tidak memiliki pengaruh terhadap jenis A (biakan proteolitik) tetapi bersifat meningkatkan biakan non-proteolitik dari jenis B, E dan F.
Menurut laporan bahwa toksin jenis A memiliki sifat letal yang lebih tinggi dibandingkan dengan toksin jenis B atau E. Seperti ditunjukkan oleh Sterne dan Van Heyningen dalam Jay (1978) yang berhasil menenemukan bahwa toksin jenis B memiliki mortalitas yang lebih rendah dibandingkan jenis A. Hal ini terjadi jika sejumlah besar toksin ditemukan dalam darah.
Cara kerja toksin botulinal pertama kali digambarkan oleh Dikson and Shevky dalam Jay (1978), yang memperlihatkan adanya kesamaan tempat aksi dari toksin dengan acetylcholine. Toksin mencegah pelepasan acetylcholine pada pertemuan myoneural, dimana mekanisme pelepasannya tidak merusak dirinya sendiri serta tidak memblok perjalanan Ca ke saraf tepi. Toksin juga mempengaruhi otot polos, pembuluh darah namun mekanismenya belum diketahui secara pasti.
Gejala botulismus sudah nampak hanya oleh masuknya 1 mg toksin secara parenteral ataupun peroral. Toksin dapat diserap ke dalam aliran darah, seterusnya ke membran mukosa saluran pernafasan, demikian juga halnya dengan seluruh dinding perut dan usus. Toksin disini tidak sepenuhnya diinaktivasi oleh enzym proteolitik perut yang selanjutnya akan bersifat mengaktivasi toksin non-proteolitik B dan F. Setelah diabsorpsi oleh saluran pencernaan, toksin dapat ditemukan dalam darah untuk selanjutnya diserap oleh sistem saraf tepi. Tidak sama halnya dengan enterotoksin dari Staphylococcus, toksin botulinal bersifat sensitif terhadap panas, dimana toksin dapat dirusak dengan suhu 800 C selama 10 menit.
Uji Kuantitatif dan Kualitatif
Spesimen untuk pengujian adanya C. botulinum dapat diambil dari makanan yang tercemar, darah penderita, muntahan, cairan perut atau dari feses penderita (Fardiaz, 1989).
Uji Neurotoksin
Untuk mengidentifikasi toksin, spesimen yang diduga mengandung neurotoksin botulinum disentrifius, kemudian supernatannya diaktivasi dengan tripsin, ditambah antibiotik, ditambah serum normal, selanjutnya disuntikkan ke dalam tubuh tikus atau marmot secara intraperotonial. Hasilnya dibandingkan dengan supernatan yang dipanaskan pada suhu 800 C selama 30 menit (bersifat menginaktifkan toksin), dan dibandingkan pula dengan toksin yang diberi antitoksin botulinum (bersifat menetralkan toksin). Observasi dilakukan setelah 5 hari, dan diamati timbulnya kejang, kelumpuhan atau kematian pada hewan percobaan.
Pencegahan
Bertitik tolak dari permasalahan di atas maka pencegahan bahaya botulismus disarankan untuk : memanaskan makanan dengan temperatur yang tinggi (makanan kaleng) dengan tujuan untuk mematikan spora, mendinginkan makanan yang tidak dimasak (suhu lebih rendah dari 3,30C) dan segera mengkonsumsi makanan yang telah dimasak karena apabila dibiarkan terlalu lama (suhu makanan 20-450C) adalah suhu optimal untuk pertumbuhan C. botulinum.
DAFTAR PUSTAKA
Cliver, D.O.1990. Foodborne Disease. Academic Press. Inc.
Daifas, D.P., J.P. Smith, B.Blanchfield, and J.W. Austin. 1999a. Growth and Toxin Production by Clostridium botulinum in English-style Crumpets Packaged Under Modified Atmospheres. Journal of Food Protection. 62 (4): 349-355.
Daifas, D.P., J.P. Smith, B. Blanchfield, and J.W. Austin, 1999b. Effect of pH and CO2 on Growth and Toxin Production by Clostridium botulinum in English-style Crumpets Pakaged under Modified Atmospheres. Journal of Food Protection. 62 (10): 1157-1161.
Fardiaz, S. 1992. Mikrobiologi Pengolahan Pangan. Petunjuk Laboratorium. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. PAU Pangan dan Gizi. IPB.
Franciosa, G., M. Pourshaban, M. Gianfranceschi, A. Gattuso, L. Fenicia, A.M. Ferrini, V. Mannoni, G.D. luca, and P. Aureli, 1999. Clostridium botulinum Spores and Toxin in Mascarpone Cheese and Other Milk Products. Journal of Food Protection. 62 (8) : 867-871.
Frazier, W.C. and D.C. Westhoff, 1988. Food Microbiology. 4th Ed. McGraw-Hill Book Company.
Glass, K.A., K.M. Kaufman, A.L. Smith, E.A. Johnson, J.H. Chen, and J. Hotchkiss, 1999. Toxin Production by Clostridium botulinum in Pasteurized Milk Treated with Carbon Dioxide. Journal of Food Protection. 62 (8): 872-876.
Hayes, P.R., 1992. Food Microbiology and Hygiene. 2nd Ed. Elsevier Science Publisher Ltd.
Heinitz, M.I. and J.M. Johnson, 1998. The Incidence of Listeria spp., Salmonella spp., and Clostridium botulinum in Smoked Fish and Shellfish. Journal of Food Protection. 61 (3) : 318-323.
Jay, J.M., 1978. Modern Food Microbiology. 2nd Ed. D. Van Nostrand Company.
Pearson A.M., and T.R.Dutson, 1986. Advances In Meat Research. Meat and Poultry Microbiology. Macmillan Publishers.
Solomon, H.M., E.J. Rhodehamel, and D.A. Kautter, 1998. Growth and Toxin Production by Clostridium botulinum on Sliced Raw Potatoes in a Modified Atmosphere with and without Sulfite. Journal of Food Protection. 61 (1) : 126-128.